Analisis Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian Kabupaten Asahan Propinsi Sumatera Utara Sebelum dan pada Masa Otonomi Daerah (1995-2004)

(1)

KABUPATEN ASAHAN PROPINSI SUMATERA UTARA SEBELUM DAN PADA MASA OTONOMI DAERAH

(1995-2004)

Oleh:

Balduin Manik A 14302011

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006


(2)

ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN KABUPATEN ASAHAN PROPINSI SUMATERA UTARA

SEBELUM DAN PADA MASA OTONOMI DAERAH (1995-2004)

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh : Balduin Manik

A 14302011

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006


(3)

RINGKASAN

BALDUIN MANIK. Analisis Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian Kabupaten Asahan Propinsi Sumatera Utara Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah (1995-2004). Dibawah bimbingan NINDYANTORO

Salah satu tujuan utama dalam pembangunan adalah meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang dapat diwujudkan melalui peningkatan pembangunan ekonomi. Untuk mencapai peningkatan pembangunan ekonomi, pemerintah pusat menetapkan kebijakan dalam mengatur struktur pemerintahan mulai dari tingkat desa sampai dengan yang paling tinggi pada seluruh sektor dengan memberikan otonomi luas bagi daerah, yaitu dengan melakukan perubahan terhadap UU No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah menjadi UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dengan pola otonomi luas (general competences) yang membawa suasana dan paradigma baru yang jauh berbeda dengan undang-undang sebelumnya (UU No. 5 Tahun 1974) dengan harapan adanya kewenangan yang lebih luas bagi pemerintah daerah untuk menggali potensi wilayahnya dapat meingkatkan pertumbuhan sektor-sektor perekonomian yang ada di setiap daerah. Kabupaten Asahan merupakan salah satu daerah yang menjalankan otonomi daerah yang resmi berlaku mulai 1 Januari 2000, diberi kewenangan yang lebih luas untuk menggali potensi wilayah yang dimiliki dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerah.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi dan menganalisis laju pertumbuhan sektor-sektor perekonomian Kabupaten Asahan sebelum dan pada masa otonomi daerah, serta menganalisis laju pertumbuhan Kabupaten Asahan sebelum dan pada masa otonomi daerah bila dibandingkan dengan Propinsi Sumatera Utara dengan menggunakan analisis shift share yang didukung oleh analisis location quotient. Data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Asahan dan Propinsi Sumatera Utara 1995-2004 atas dasar harga konstan tahun 1993. Untuk keperluan analisis, periode waktu dibagi menjadi dua, yaitu tahun 1995-1999 sebagai periode sebelum otonomi daerah dan periode 2000-2004 menjadi periode masa otonomi daerah.

Selama kurun waktu 1995-1999 (sebelum otonomi daerah) sektor perdagangan, hotel dan restoran memberikan persentase perubahan kontribusi terbesar terhadap PDRB Kabuapten Asahan, yaitu sebesar 81,89 milyar atau selama kurun waktu 5 tahun telah mengalami peningkatan sebesar 3,57 persen. Sedangkan berdasarkan kontribusi secara riil yang diberikan terhadap PDRB Kabupaten Asahan, maka sektor pertanian menjadi penyumbang kontribusi terbesar yaitu sebesar 1,19 trilyun dengan persentase sebesar 40,76 persen dari total PDRB Kabupaten Asahan pada tahun 1999. Sebelum otonomi daerah, selain sektor pertanian, sektor yang mempunyai keunggulan komparatif dan memiliki potensi untuk dikembangkan adalah sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hote l dan restoran.

Pada masa otonomi daerah sektor industri pengolahan memberikan persentase perubahan kontribusi terbesar terhadap PDRB Kabupaten Asahan, yaitu sebesar Rp 319,34 milyar atau selama kurun waktu 5 tahun telah mengalami peningkatan sebesar 10,28 persen. Sedangkan berdasarkan kontribusi secara riil yang diberikan terhadap PDRB Kabupaten Asahan, maka sektor pertanian masih menjadi penyumbang kontribusi terbesar yaitu sebesar 1,51 trilyun dengan persentase sebesar 51,66 persen dari total PDRB Kabupaten Asahan pada tahun 2004. Pada masa otonomi daerah, ternyata sektor pertanian masih merupakan sektor yang paling diunggulkan di Kabupaten Asahan karena masih mempunyai keunggulan komparatif dibandingkan wilayah lain di Propinsi Sumatera Utara untuk sektor yang sama. Sama halnya pada kurun waktu 1995-1999 (sebelum otonomi daerah), selain sektor pertanian, sektor yang mempunyai keunggulan


(4)

komparatif dan memiliki potensi untuk dikembangkan adalah sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran.

Pada periode 1995-1999 (sebelum otonomi daerah), semua penyusun PDRB Kabupaten Asahan memiliki nilai pergeseran bersih yang lebih besar dari nol (PBij > 0) dan merupakan sektor sektor-sektor yang termasuk dalam kelompok sektor pertumbuhan

Progresif (Maju), kecuali sektor penggalian. Pada masa otonomi daerah (2000-2004), dari sembilan sektor penyusun PDRB kabupaten Asahan, terdapat tujuh sektor yang memiliki pertumbuhan progresif , yaitu: sektor pertanian, penggalian, listrik gas dan air bersih, industri pengolahan, bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor keuangan, persewaan dan jasa-jasa perusahaan. Sedangkan sektor-sektor yang memiliki pertumbuhan yang lambat adalah sektor pengangkutan dan komunikasi dan sektor jasa-jasa. Hal ini diakibatkan pada tahun 2004, kondisi jalan di Kabupaten Asahan masih memerlukan perhatian yang serius, walaupun sudah terjadi perbaikan di beberapa ruas jalan tetapi sebagian besar jalan di Asahan (71,19 persen) kondisinya masih rusak dan rusak berat baik jalan kabupaten maupun jalan negara.

Dengan melihat nilai pergeseran bersih Kabupaten Asahan terhadap Propinsi Sumatera Utara, maka secara agregat, Kabupaten Asahan memiliki nilai PP yang positif (PP.j > 0) dan juga memiliki nilai PPW yang positif (PPW.j > 0) sehingga Kabupaten Asahan termasuk kedalam kuadran I. Sehingga dapat dikatakan bahwa sektor-sektor perekonomian Kabupaten Asahan sebelum otonomi daerah (1995-1999) memiliki pertumbuhan yang cepat dan mampu bersaing dengan wilayah lain yang ada di Propinsi Sumatera Utara. Jika dilihat berdasarkan nilai pergeseran bersih yang positif (PB > 0), maka Kabupaten Asahan termasuk kedalam kelompok wilayah yang mempunyai pertumbuhan progresif (maju). Pada Masa Otonomi Daerah nilai pergeseran bersih (PB), secara agregat nilai yang diperoleh Kabupaten Asahan mengalami pertumbuhan yang masih progresif. Selain itu sektor-sektor perkonomian kabupaten Asahan secara umum didukung oleh daya dukung wilayah (PPW.j > 0). Dengan melihat nilai pergeseran bersih total yang positif (PB.j > 0), ini berarti bahwa pada masa otonomi daerah, Kabupaten Asahan termasuk kabupaten yang mengalami laju pertumbuhan yang progresif .

Hasil analisis yang ada, menunjukkan bahwa sektor pertanian mengalami laju pertumbuhan yang lambat pada masa otonomi daerah, padahal sektor pertanian di Kabupaten Asahan memiliki keunggulan komparatif dibanding wilayah lain di Propinsi Sumatera Utara. Untuk mencegah terjadinya penurunan kontribusi di tahun-tahun berikutnya maka perlu perlu dibangun infrastruktur (penyediaan sarana produksi, sistem irigasi dll) yang dapat menunjang peningkatan produktivitas sektor pertanian yang pada akhirnya akan mampu mendorong pertumbuhuhan sektor-sektor yang berbasis kepada sektor pertanian, seperti industri pengolahan. Pada masa otonomi daerah, sektor pengangkutan dan komunikasi dan sektor jasa-jasa terletak di Kuadran II dan termasuk kategori sektor mengalami pertumbuhan yang lamaban. Kedua sektor tersebut sangat berperan dalam mobilisasi sektor-sektor perekonomian lainnya, oleh karena itu perlu dilakukan berbagai upaya, seperti; perbaikan jalan, penyediaan sarana transportasi dan pengangkutan yang memadai, memberi kemudahan bagi investor untuk berinvestasi dan mempermudah jalur birokrasinya, serta perlunya penguatan lembaga keuangan daerah.

Sejak diberlakukannya UU No.22 Tahun 1999, otonomi yang berlaku di Indonesia merupakan otonomi luas (general competences). Oleh karena itu adanya revisi yang dilakukan terhadap UU No.22/1999 tersebut menjadi UU No.32 Tahun 2004 perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah dalam rangka menetapkan kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah dalam rangka peningkatan pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di kabupaten Asahan.


(5)

Judul : ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN KABUPATEN ASAHAN PROPINSI SUMATERA UTARA SEBELUM DAN PADA MASA OTONOMI DAERAH (1995-2004)

Nama : Balduin Manik

NRP : A 14302011

Menyetujui, Pembimbing

Ir. Nindyantoro, MSP NIP. 131 879 329

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr NIP. 130 422 698


(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI TULISAN ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Maret 2006

Balduin Manik A 14302011


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Pematangsiantar, pada tanggal 4 Nopember 1983. Penulis merupakan anak ke enam dari sebelas bersaudara, dari orang tua yang bernama Bapak Maradian Manik (Almarhum) dan Ibu Siti Dermawan br. Tambunan.

Tahun 2002 penulis menyelesaikan pendidikan menengah di SMU Negeri 2 Pematangsiantar. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2002 dan terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di berbagai kegiatan akademik dan kemahasiswaan, diantaranya menjadi Staf Departemen Informasi Divisi Pers dan Jurnalistik pada Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu- ilmu Sosial Ekonomi Pertanian (MISETA) Periode 2004/2005, Anggota Koperasi Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (KOPMA IPB) Periode 2003/2004. Sejak Tahun 2004 sampai dengan saat ini, penulis aktif menjadi penyiar di Radio Komunitas AGRI FM yang saat ini berada dibawah naungan Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Penulis juga pernah menjadi asisten dosen untuk Mata Kuliah Pengantar Ilmu Kependudukan pada tahun ajaran 2005/2006.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya maka skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi dengan judul “Analisis Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian Kabupaten Asahan Propinsi Sumatera Utara Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah (1995-2004)” dilatarbelakangi oleh diterapkannya otonomi daerah sejak 1 Januari 2000 yang membawa perubahan bagi perekonomian Kabupaten Asahan, Propinsi Sumatera Utara.

Adanya otonomi daerah memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah daerah untuk melakukan pembenahan serta mengembangkan potensi yang terdapat pada wilayah Kabupaten Asahan. Penelitian ini diharapkan mampu menjelaskan bagaimana pertumbuhan sektor-sektor perekonomian daerah Kabupaten Asahan, Propinsi Sumatera Utara sebelum dan pada masa otonomi daerah serta menghasilkan rekomendasi untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan pemerintah daerah dalam menetapkan strategi-strategi pembangunan ekonomi pada tahun-tahun berikutnya.

Penulis mengharapkan kritik dan saran untuk melengkapi tulisan ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Bogor, Maret 2006 Penulis


(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Selama penyelesaian skripsi ini, penulis mendapat banyak masukan, bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimkasih serta penghargaan yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Ir. Nindyantoro, MSP selaku dosen pembimbing, yang senantiasa

memberikan bantuan, arahan, motivasi dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini, serta sebagai dosen moderator dalam seminar penulis.

2. Ibu Sahara, SP, MSi yang bersedia menjadi Dosen Penguji Utama dan Bapak Ir, Joko Purwono, MS yang bersedia menjadi Dosen Penguji Wakil Departemen pada saat ujian skripsi penulis.

3. Bapak Maradian. Manik (Alm) dan Mama Siti Dermawan br Tambunan serta saudara-saudaraku tercinta yang senantiasa mendoakan dan menyayangi penulis.

4. Kepala Badan Pusat Statistik Kabupaten Asahan, Kepala Badan Pusat Statistik Medan, dan Kepala badan Pusat Statistik Jakarta.

5. Bapak Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, MSc selaku dosen pembimbing akademik penulis.

6. Teman-teman EPS 39 yang selalu membantu penulis; Vininta, Agus, Tulus, Noni, Asti, Ury, Viana, Rika, Suci (Uchie). Semoga Tuhan senantiasa memberikan rahmatnya kepada teman-teman semuanya.

7. Teman-teman di Radio Komunitas Agri FM IPB, terima kasih karena selama penyelesaian skripsi ini teman-teman banyak membantu dan memberikan motivasi.

8. Sahala yang telah banyak membantu penulis dan Sefri Rusyadi, terima kasih atas komputernya.

9. Teman-teman satu Program Studi: EPS 38, 39, 40, dan juga teman-teman di Pondok Nirvana, terima kasih atas kebersamaannya selama ini.

10. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas bantuannya.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 5

Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 13

Keterbatasan Penelitian ... 14

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Ekonomi Wilayah ... 15

Pembangunan Ekonomi ... 15

Pembangunan Daerah ... 18

Perbandingan Teori Pertumbuhan dan Teori Pembangunan ... 21

Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia ... 22

Otonomi Daerah di Kabupaten dan Kota ... 27

Teori Basis Ekonomi ... 28

Model Analisis Shift Share ... 29

Hasil Penelitian Terdahulu ... 31

III. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Teoritis ... 35

Analisis Shift Share ... 35

Analisis Location Quotient (LQ) ... 39

3.2 Kerangka Pemikiran Konseptual ... 44

IV. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 45


(11)

Halaman

Jenis dan Sumber Data ... 46

Metode Analisis ... 46

4.3.1 Metode Analisis Shift Share ... 46

4.3.2 Model Analisis Location Quotient (LQ) ... 50

Defenisi Operasional ... 51

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Keadaan Fisik Daerah ... 53

Potensi Demografi Daerah ... 55

Potensi Perekonomian Daerah ... 58

Kebijakan Sektoral Kabupaten Asahan Sebelum Otonomi Daerah 68 Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Asahan ... 70

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Perekonomian Kabupaten Asahan Sebelum Otonomi Daerah (1995-1999) dan Pada Masa Otonomi Daerah (2000-2004) ... 75

6.1.1 Analisis PDRB Kabupaten Asahan dan PDRB Sumatera Utara Sebelum Otonomi daerah ... 75

6.1.2 Analisis PDRB Kabupaten Asahan dan PDRB Sumatera Utara Pada Masa Otonomi daerah ... 81

Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Kabupaten Asahan Sebelum Otonomi Daerah (1995-1999) dan Pada Masa Otonomi Daerah (2000-2004) ... 88

6.2.1 Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Kabupaten Asahan Sebelum Otonomi daerah (1995-1999) ... 88

6.2.2 Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Kabupaten Asahan Pada Masa Otonomi daerah (2000-2004) ... 93

Profil Pertumbuhan PDRB dan Pergeseran Bersih Kabupaten Asahan Sebelum Otonomi Daerah (1995-1999) dan Pada Masa Otonomi Daerah (2000-2004) ... 98

6.3.1 Profil Pertumbuhan PDRB dan Pergeseran Bersih Kabupaten Asahan Sebelum Otonomi daerah (1995-1999) ... 98

6.3.2 Profil Pertumbuhan PDRB dan Pergeseran Bersih Kabupaten Asahan Sebelum Otonomi daerah (2000-2004) ... 100


(12)

Halaman

Identifikasi Sektor Basis di Kabupaten Asahan Sebelum Otonomi Daerah (1995-1999) dan Pada Masa Otonomi

Daerah (2000-2004) ... 103

6.4.1 Identifikasi Sektor Basis di Kabupaten Asahan Sebelum Otonomi daerah (1995-1999) ... 103

6.4.2 Identifikasi Sektor Basis di Kabupaten Asahan Pada Masa Otonomi daerah (2000-2004) ...103

VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan ... 107

7.2 Saran ... 109

DAFTAR PUSTAKA ... 111

LAMPIRAN... 113


(13)

DAFTAR TABEL

No Teks Halaman

1. Pendapatan Regional Domestik Bruto (PDRB) Terbesar atas Dasar Harga Konstan 1993, Lima Propinsi di Indonesia Tahun 1993-2003 (Milyar Rupiah) ... 2 2. Pendapatan Regional Domestik Bruto (PDRB) Terbesar atas

Dasar Harga Konstan 1993, Lima Kabupaten di Propinsi Sumatera Utara Tahun 1999-2002 (Milyar Rupiah) ... 4 3. Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Asahan Sebelum Otonomi

Daerah Atas Dasar Harga Konstan 1993 (Persen) ... 6 4. PDRB Sektor-sektor Perekonomian dan Persentase

Kontribusinya Terhadap PDRB Kabupaten Asahan Sebelum Otonomi Daerah Atas Dasar harga Konstan 1993 (Juta Rupiah) ... 8 5. Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Asahan Pada Masa

Otonomi Daerah Atas Dasar Harga Konstan 1993 (persen) ... 10 6. PDRB Sektor-sektor Perekonomian dan Persentase

Kontribusinya Terhadap PDRB Kabupaten Asahan Pada Masa Otonomi Daerah Atas Dasar harga Konstan 1993 (Juta Rupiah) ... 11 7. Perbedaan Dasar UU No.5/1974 dan UU No. 22/1999 ... 25 8. Perbedaan Sumber Dana Perimbangan Keuangan Sebelum dan

Pada Masa Otonomi Daerah (Persen) ... 27 9. Kebijakan Pemerintah Pada Produk Kelapa Sawit 1994-1999 ... 69 10.Kebijakan Pemerintah Pada Produk Kelapa Sawit 2000-2001 .... 72 11.Pertumbuhan PDRB Kabupaten Asahan Sebelum Otonomi

Daerah Periode 1995-1999 (Juta Rupiah) ... 77 12.Pertumbuhan PDRB Kabupaten Asahan Pada Masa Otonomi

Daerah Periode 2000-2004 (Juta Rupiah) ... 83 13.Komponen Pertumbuhan Regional Kabupaten Asahan Sebelum

Otonomi Daerah Periode 1995-1999 (Juta Rupiah) ... 89 14.Komponen Pertumbuhan Proporsional Kabupaten Asahan


(14)

No Teks Halaman

15.Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Kabupaten Asahan Sebelum Otonomi Daerah Periode 1995-1999 (Juta Rupiah) ... 92 16.Komponen Pertumbuhan Regional Kabupaten Asahan Pada

Masa Otonomi Daerah Periode 2000-2004 (Juta Rupiah) ... 94 17.Komponen Pertumbuhan Proporsional Kabupaten Asahan Pada

Masa Otonomi Daerah Periode 2000-2004 (Juta Rupiah) ... 96 18.Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Kabupaten Asahan

Pada Masa Otonomi Daerah Periode 2000-2004 (Juta Rupiah) .. 97 ix


(15)

DAFTAR GAMBAR

No Teks Halaman

1. Profil Pertumbuhan PDRB ... . 38

2. Bagan Kerangka Pemikiran Konseptual Analisis

Pertumbuhan Ekonomi... 44

3. Model Analisis Shift Share ... 48

4. Profil Pertumbuhan PDRB Kabupaten Asahan Tahun 1995-

1999 ... 98

5. Profil Pertumbuhan PDRB Kabupaten Asahan Tahun 2000-


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. PDRB Kabupaten Asahan Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 Menurut Lapangan Usaha Periode

1994-1999 (Juta Rupiah) ... 114 2. PDRB Kabupaten Asahan Atas Dasar Harga Konstan

Tahun 1993 Menurut Lapangan Usaha Periode

2000-2004 (Juta Rupiah) ... 115 3. Kontribusi Sektor-sektor Perekonomian Terhadap PDRB

Kabupaten Asahan Sebelum Otonomi Daerah (Tahun

1995-1999) ... 116 4. Kontribusi Sektor-sektor Perekonomian Terhadap PDRB

Kabupaten Asahan Pada Masa Otonomi Daerah (Tahun

2000-2004) ... 117 5. Laju Pertumbuhan Tiap Sektor Kabupaten Asahan

Sebelum Otonomi Daerah (Tahun 1995-1999) ... 118 6. Laju Pertumbuhan Tiap Sektor Kabupaten Asahan Pada

Masa Otonomi Daerah (Tahun 2000-2004) ... 119 7. Laju Pertumbuhan Tiap Sektor Kabupaten Asahan

Periode 1995-1999 (Juta Rupiah) ... 120 8. Laju Pertumbuhan Tiap Sektor Kabupaten Asahan

Periode 2000-2004 (Juta Rupiah) ... 121 9. PDRB Sumatera Utara Atas Dasar Harga Konstan Tahun

1995-1999 Menurut Lapangan Usaha (Juta Rupiah) ... 122 10.PDRB Sumatera Utara Atas Dasar Harga Konstan Tahun

2000-2004 Menurut Lapangan Usaha (Juta Rupiah) ... 123 11.Laju Pertumbuhan Tiap Sektor Propinsi Sumatera Utara

Periode 1996-2004 (Juta Rupiah) ... 124 12.Kontribusi Sektor-sektor Perekonomian Kabupaten

Asahan Terhadap Sektor-sektor Perekonomian Sumatera


(17)

Halaman

13.Kontribusi Sektor-sektor Perekonomian Kabupaten Asahan Terhadap Sektor-sektor Perekonomian Sumatera

Utara Tahun 2000-2004 ... 126 14.Kontribusi Sektor-sektor Perekonomian Kabupaten

Asahan Terhadap Total PDRB Perekonomian Sumatera

Utara Tahun 2000-2004 ... 127 15.Hasil Perhitungan Shift Share Pada Semua Sektor

Kabupaten Asahan Sebelum Otonomi Daerah ... 128 16.Hasil Perhitungan Shift Share Pada Semua Sektor

Kabupaten Asahan Pada Masa Otonomi Daerah ... 130 17.Hasil Perhitungan Location Quotient Kabupaten Asahan

Periode 1995-2004 ... 132 18.Luas Tanam, Luas Panen, Produksi dan Rata-Rata

Produksi Bahan Makanan Menurut Jenis Tanaman ... 134 19.Total investasi (Agro Industri) di Kabupaten Asahan

selama tahun 2003 ... 134 20.Produksi Perkebunan Rakyat Menurut Jenis Tanaman (Ton) ... 135 21.Peta Panjang Jalan (Negara, Propinsi, dan Kabupaten)

Menurut Kecamatan di Kabupaten Asahan, Propinsi

Sumatera Utara ... 135 22.Peta Pembagian Wilayah Kabupaten Asahan Menurut


(18)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan tidak hanya bertujuan untuk mencapai kemajuan lahiriah dan batiniah saja, akan tetapi lebih kepada keselarasan, keserasian dan keseimbangan, sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan pembangunan meliputi: (1) pertumbuhan ekonomi; (2) pemerataan sosial; dan (3) keberlanjutan ekosistem, dengan demikian keseimbangan tingkat pertumbuhan antar wilayah dapat menutup atau setidaknya mempersempit gap pertumbuhan ekonomi antar wilayah/daerah di Indonesia dapat terwujud (Djojohadikusumo dalam Al Hakiem dalam Husein, 2004).

Pemerintah pusat belum sungguh-sungguh menjalankan amanat tersebut, karena keseimbangan tingkat pertumbuhan antar wilayah belum tercapai. Selama ini pembangunan yang diselenggarakan hanya terkonsentrasi pada daerah-daerah yang secara fungsional dan sektoral berdekatan dengan pusat pemerintahan. Daerah-daerah yang dekat dengan pusat pemerintahan terus tumbuh dan berkembang dengan cepat sedangkan daerah yang jauh dari pusat pemerintahan mengalami pertumbuhan yang lebih lambat dan cenderung tertinggal.

Saat ini jumlah propinsi di Indonesia telah me ngalami perkembangan menjadi 32 propinsi yang pada tahun 2002 masih berjumlah 30 propinsi. Dari sejumlah propinsi tersebut terdapat perbedaan dalam jumlah Pendapatan Regional Domestik Bruto (PDRB). Dari sejumlah propinsi tersebut, pada Tabel 1 disajikan lima propinsi yang memiliki jumlah PDRB yang terbesar.


(19)

Tabel 1. Pendapatan Regional Domestik Bruto (PDRB) Terbesar atas Dasar Harga Konstan 1993, Lima Propinsi di Indonesia Tahun 1993-2003 (Milyar Rupiah)

No Tahun

Propinsi DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Timur Jawa Tengah Sumatera Utara 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 51.106,46 55.505,27 60.648,69 66.164,80 69.543,45 57.380,52 57.215,22 59.694,42 61.865,97 64.259,08 53.939,67 57.823,11 62.491,17 68.243,53 71.568,94 58.847,84 53.442,34 55.660,21 57.824,84 60.096,78 49.172,25 52.727,48 57.040,50 61.752,47 64.346,96 53.976,38 55.058,97 56.856,82 58.750,18 60.754,06 33.978,91 36.345,17 38.969,65 41.862,20 43.129,84 37.852,30 39.394,51 40.941,67 42.305,18 43.759,54 18.215,46 19.942,02 21.689,81 23.714,74 25.065,41 25.332,69 22.910,09 24.016,60 24.911,05 25.918,70

Jumlah 603.383,88 599.938,43 570.436,07 398.538,97 231.716,57

Sumber: BPS, 2000, dan 2003

Tabel diatas menunjukkan bahwa sejak tahun 1993 Propinsi Jawa Barat merupakan propinsi penyumbang PDRB terbesar. Akan tetapi, sejak tahun 1999-2003 propinsi yang memiliki PDRB terbesar adalah DKI Jakarta. Hal ini disebabkan pada tahun 1999 propinsi Jawa Barat mengalami pemekaran menjadi dua propinsi yakni propinsi Jawa Barat dan Banten. Hal yang menarik dari Tabel 1 adalah dari lima propinsi yang mempunyai PDRB terbesar, hanya Propinsi Sumatera Utara satu-satunya propinsi yang berada di luar Pulau Jawa. Kondisi ini memperlihatkan bahwa pola pembangunan yang dilaksanakan selama ini hanya terpusat di Pulau Jawa sehingga sistem pemerintahan yang diterapkan tidak lagi cukup efektif seiring perkembangan yang terjadi dalam masyarakat serta kompleksnya persoalan yang dihadapi baik politik maupun sosial ekonomi. Oleh karena itu dibutuhkan suatu strategi kebijakan yang diharapkan dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi.

Pembangunan yang bersifat sentralistik memiliki beberapa kelemahan, antara lain: (1) kurang sesuainya program pembanguan yang disusun bagi daerah dengan kebutuhan, aspirasi, dan karakteristik budaya setempat sehingga tidak


(20)

mendukung terciptanya pembangunan yang berkelanjutan; (2) kurang merangsang kreatifitas pemerintah daerah dan aparatnya dalam upaya mencari ide- ide atau strategi pembangunan untuk mendukung perkembangan daerahnya.

Salah satu kebijakan yang diambil pemerintah dalam menghadapi persoalan yang terjadi saat itu adalah melakukan pegeseran paradigma dari sentralistik menuju ke desentralistik. Dengan kebijakan tersebut diharapkan proses pengambilan keputusan pembangunan daerah lebih demokratis dan sesuai dengan kebutuhan, persoalan, aspirasi masyarakat, serta dapat memperkecil kesenjangan yang terjadi baik antara pusat dan daerah maupun antar daerah.

Pergeseran paradigma dari sentralistik menjadi desentralistik diwujudkan dalam pembentukan undang- undang otonomi daerah, yang secara nasional mulai berlaku sejak 1 Januari 2000 setelah sebelumnya terdapat undang-undang yang memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah kabupaten/kota, sehingga pemerintah daerah kabupaten/kota memiliki peluang untuk secara leluasa mengatur dan melaksanakan pembangunan berdasarkan potensi dan prakarsa daerah yakni dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan pada tahun 2004 direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dengan hal itu diharapkan mampu mengubah pandangan pemerintah daerah untuk lebih efisien dan profesional dalam menentukan arah dan kebijakan pembangunan (Hanggono et al, 2000).

Undang-undang No. 32 Tahun 2004 memberikan kewenangan bagi pemerintah daerah kabupaten/kota untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi pada sebagian besar aspek pemerintahan. Sebagai salah


(21)

satu daerah yang telah menjalankan otonomi sejak tahun 2000, Kabupaten Asahan yang merupakan salah satu daerah yang menjadi bagian dari Propinsi Sumatera Utara, dituntut untuk melakukan pembenahan-pembenahan dan pengembangan potensi-potensi lokal secara produktif serta menetapkan kebijakan yang menitikberatkan pada sektor-sektor yang memberikan kontribusi yang terbesar bagi Pendapatan Regional Domestik Bruto (PDRB) dan kebijakan tersebut harus mempertimbangkan serta mendukung perkembangan sumber-sumber penerimaan lainnya meskipun hanya memberikan kontribusi yang relatif lebih rendah bagi PDRB.

Sampai saat ini, salah satu indikator keberhasilan pembangunan daerah adalah besarnya kontribusi semua sektor perekonomian daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah tersebut yang dapat dilihat melalui Pendapatan Domestik Regional Bruto daerah yang bersangkutan. Berdasarkan kontribusinya terhadap Produk Domestik Regional Bruto Sumatera Utara, Kabupaten Asahan menempati peringkat kedua penyumbang PDRB terbesar setelah kota Medan yang merupakan ibukota Propinsi Sumatera Utara. Perbedaan jumlah Pendapatan Regional Domestik Bruto (PDRB) tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Pendapatan Regional Domestik Bruto (PDRB) Terbesar atas Dasar Harga Konstan 1993, Lima Kabupaten di Propinsi Sumatera Utara Tahun 1999-2002 (Milyar Rupiah)

No Tahun

Kabupaten Kota

Medan Asahan

Deli serdang

Labuhan

Batu Simalungun

1 2 3 4 1999 2000 2001 2002**) 4.999,86 5.274,10 5.549,45 5.799,22 2.926,47 3.106,28 3.269,47 3.449,69 2.910,54 3.079,17 3.204,81 3.320,07 2.337,06 2.476,43 2.603,30 2.748,76 1.957,98 2.034,03 2.131,85 2.225,57

Jumlah 21.622.63 12.751.91 12.514.59 10.165.55 8.349.43

Keterangan : **) Angka Perbaikan Sumber: BPS Propinsi Sumatera Utara (2004)


(22)

Tahun 1999 Kabupaten Asahan memberikan kontribusi terhadap PDRB Sumatera Utara sebesar Rp 2.9 trilyun dan pada tahun 2000 dimana otonomi daerah telah berjalan, kontribusi yang diberikan mengalami peningkatan menjadi Rp 3.1 trilyun atau sekitar 12,19 persen. Kontribusi Kabupaten Asahan terhadap PDRB propinsi diharapkan semakin meningkat dengan adanya otonomi daerah karena undang-undang otonomi daerah telah memberikan kewenangan yang lebih luas bagi pemerintah Kabupaten Asahan dalam melakukan pembenahan serta mengembangkan potensi-potensi yang terdapat pada wilayah Kabupaten Asahan.

1.2 Perumusan Masalah

Pelaksanaan otonomi secara bertahap dan terarah diharapkan akan memungkinkan berkembangnya pusat-pusat pertumbuhan daerah, sehingga perekonomian daerah menjadi bagian dari perekonomian nasional. Keadaan ini dapat diartikan bahwa perekonomian daerah menjadi bagian dari perekonomian daerah pada masa otonomi daerah akan lebih baik daripada masa sebelum otonomi daerah. Salah satu cara untuk melihat kondisi perekonomian adalah dengan melihat perkembangan sektor riil atau Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) yang ada (CIDES, 2004)1.

Pertumbuhan perekonomian Kabupaten Asahan sebelum otonomi (periode 1995-1999 mengalami laju pertumbuhan yang berubah-ubah meskipun nilai PDRB yang dihasilkan cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 1995 laju pertumbuhan mencapai 9,98 persen kemudian meningkat pada tahun 1996 menjadi 10,29 persen, sedangkan pada tahun 1997 pertumbuhan PDRB

1www.cides.or.id/text/artaaa0003.asp


(23)

Kabupaten Asahan mengalami penurunan sebesar 1,48 persen menjadi 8.81 persen (Tabel 3).

Tabel 3. Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Asahan Sebelum Otonomi Daerah Atas Dasar Harga Konstan 1993 (Persen)

No Sektor/Lapangan Usaha Sebelum Otonomi Daerah*) 1995 1996 1997 1998 1999

1 Pertanian 7,91 17,56 16,80 4,88 6,20 2 Penggalian 13,21 7,02 3,44 -33,53 2,80 3 Industri Pengolahan 10,22 4,40 3,89 -2,71 3,19 4 Listrik Gas dan Air Bersih 22,50 10,19 5,97 5,22 9,39 5 Bangunan 10,07 8,90 4,53 -10,43 7,00 6 Perdagangan Hotel dan Restoran 10,85 11,01 3,35 4,25 7,02 7 Pengangkutan & Komunikasi 13,81 8,78 4,11 -0,62 8,13 8 Keuangan, Persewahan dan Jasa

Perusahaan 13,54 10,35 10,71 -5,71 5,22

9 Jasa-Jasa 16,98 7,56 7,07 4,41 5,33

10 Pertumbuhan PDRB 9,98 10,29 8,81 1,05 5,29

Keterangan : *) Pelaksanaan Otonomi Kabupaten Asahan Tahun 2000 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Asahan, 2000

Kondisi tersebut diperparah oleh semakin rendahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika serta meningkatnya laju inflasi yang menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat dan tingkat permintaan agregat yang disebabkan kenaikan pada setiap tingkat harga. Krisis moneter yang terjadi juga menyebabkan keengganan para investor untuk melakukan investasi, karena biaya investasi menjadi semakin tinggi. Hal inilah yang pada akhirnya menyebabkan penurunan kinerja perekonomian yang diindikasikan dengan melemahnya pertumbuhan sektor riil sehingga menyebabkan penurunan laju pertumbuhan yang sangat signifikan menjadi 1,05 persen yang berarti mengalami penurunan sebesar 7.76 persen dari tahun sebelumnya.

Hampir semua sektor mengalami dampak negatif akibat krisis ekonomi yang terjadi terutama sektor Penggalian yang mengalami penurunan sebesar 33,53 persen. Akan tetapi ditengah krisis yang terjadi di Indonesia, justru sektor perdagangan, hotel dan restoran di Kabupaten Asahan mengalami peningkatan


(24)

menjadi 4,25 persen dibanding tahun sebelumnya (Tahun 2003) yang hanya mencapai 3,35 persen hal ini dikarenakan wisatawan domestik yang sebelumnya melakukan kunjungan wisata ke daerah lain (diluar wilayah Kabupaten Asahan), semenjak terjadinya krisis moneter lebih memilih untuk melakukan kunjungan wisata di dalam wilayah Kabupaten Asahan itu sendiri.

Pada tahun 1999 perekonomian Kabupaten Asahan mulai membaik. Ini ditunjukkan oleh laju pertumbuhan PDRB yang meningkat menjadi 5,29 persen sebagai dampak dari peningkatan PDRB pada semua sektor perekonomian di Kabupaten Asahan. Peningkatan laju pertumbuhan yang terjadi pada setiap sektor perekonomian disebabkan oleh mulai stabilnya kondisi perekonomian secara Nasional maupun Kabupaten Asahan. Berdasarkan kontribusi setiap sektor ekonomi terhadap total PDRB selama periode 1995-1999, sektor-sektor perekonomian di Kabupaten Asahan memberikan kontribusi yang cenderung meningkat (Tabel 4).


(25)

Tabel 4. PDRB Sektor-sektor Perekonomian dan Persentase Kontribusinya Terhadap PDRB Kabupaten Asahan Sebelum Otonomi Daerah Atas Dasar harga Konstan 1993 (Juta Rupiah)

No

Sektor

Sebelum Otonomi Daerah*)

1995 1996 1997 1998 1999

1 Pertanian 779.962,38 (34,03) 916.907,80 (36,27) 1.070.933,22 (38,94) 1.123.241,18 (40,41) 1.192.894,16 (40,76) 2 Pertambangan

dan Penggalian 9.621,63 (0,42) 10.297,06 (0,41) 10.651,74 (0,39) 7.080,59 (0,25) 7.278,99 (0,25) 3 Industri

Pengolahan 915.633,41 (39,95) 955.914,91 (37,81) 993.114,25 (36,11) 966.154,88 (34,76) 996.983,57 (34,07) 4 Listrik dan Air

Minum 4.897,21 (0,21) 5.396,04 (0,21) 5.718,19 (0,21) 6.016,64 (0,22) 6.581,70 (0,22) 5 Bangunan dan

Konstruksi 64.331,61 (2,81) 70.057,12 (2,77) 73.228,52 (2,66) 65.593,00 (2,36) 70.184,51 (2,40) 6 Perdagangan,

Hotel dan Restoran 292.383,86 (12,76) 324.569,83 (12,84) 335.454,35 (12,20) 349.715,26 (12,58) 374.276,21 (12,79) 7 Angkutan dan

Komunikasi 85.282,79 (3,72) 92.771,95 (3,67) 96.588,37 (3,51) 95.988,78 (3,45) 103.794,66 (3,55) 8 Keuangan dan

Jasa Persewaan 51.538,85 (2,25) 56.872,31 (2,25) 62.961,00 (2,29) 59.367,55 (2,14) 62.464,55 (2,13) 9 Jasa-jasa 88.445,67

(3,86) 95.133,76 (3,76) 101.862,75 (3,70) 106.354,71 (3,83) 112.019,82 (3,83) Total PDRB 2.292.097,41

(100) 2.527.920,78 (100) 2.750.512,39 (100) 2.779.512,59 (100) 2.926.478,17 (100)

Keterangan : *) Pelaksanaan Otonomi Kabupaten Asahan Tahun 2000

Angka dalam kurung merupakan persentase kontribusi tiap sektor Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Asahan, 2000

Secara umum sektor-sektor perekonomian di Kabupaten Asahan memiliki kontribusi yang semakin besar terhadap PDRB Kabupaten Asahan. Sektor yang memberikan kontribusi terbesar adalah sektor Pertanian yang meningkat setiap tahunnya meskipun terjadi krisis pada tahun 1998. Ini dikarenakan krisis yang terjadi tidak memberikan dampak negatif yang berarti bagi sektor pertanian secara umum. Akan tetapi pada tahun 1998-1999 terdapat beberapa sektor yang mengalami penurunan, anatara lain: sektor Industri Pengolahan, dan sektor Keuangan dan Jasa Persewaan. Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998 sangat mempengaruhi kedua sektor tersebut.

Menurunnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang dolar Amerika Serikat mengakibatkan tingginya biaya operasional dalam setiap aktivitas perekonomian


(26)

sehingga para investor enggan untuk melakukan investasi terutama pada sektor industri pengolahan. Tabel 4 juga memperlihatkan bahwa perekonomian Kabupaten Asahan sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian Nasional dan Propinsi Sumatera Utara. Hal ini berarti perubahan yang terjadi dalam perekonomian nasional maupun Propinsi Sumatera Utara akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Kabupaten Asahan.

Diberlakukannya otonomi daerah di Kabupaten Asahan pada tahun 2000 memberikan dampak yang cukup positif bagi pertumbuhan PDRB Kabupaten Asahan yang ditunjukkan oleh peningkatan PDRB dari tahun ke tahun ( Lampiran 1 dan 2). Pada tahun 2000 laju pertumbuhan mencapai 6,15 persen, meningkat dari tahun 1999 yang hanya mencapai 5,29 persen. Pada tahun 2001 laju pertumbuhan PDRB mengalami penurunan, hanya mencapai 5,24 persen. Akan tetapi pada tahun-tahun berikutnya terjadi peningkatan sampai tahun 2004. Peningkatan laju pertumbuhan PDRB memperlihatkan bahwa kinerja perekonomian Kabupaten Asahan mengalami peningkatan. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai laju pertumbuhan PDRB semua sektor yang sebagian besar mengalami peningkatan, meskipun masih terdapat sektor-sektor perekonomian yang justru mengalami penurunan pada tahun 2004.

Penurunan laju pertumbuhan PDRB pada tahun 2004 terutama dialami oleh sektor Bangunan dan Konstruksi, dan sektor Keuangan dan jasa Persewahan (Tabel 5). Bisa jadi hal ini dikarenakan data yang diperoleh masih merupakan angka sementara.


(27)

Tabel 5. Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Asahan Pada Masa Otonomi Daerah Atas Dasar Harga Konstan 1993 (Persen)

No Lapangan Usaha Masa Otonomi Daerah

2000 2001 2002 2003 2004

1 Pertanian 4.55 3.90 3.23 6.14 6.48

2 Penggalian 10.69 -0.04 16.02 1.12 1.94 3 Industri Pengolahan 5.90 6.15 6.65 6.71 7.82 4 Listrik Gas dan Air Bersih 10.55 4.13 19.52 17.92 5.87 5 Bangunan 11.15 8.63 10.44 21.46 -3.36 6 Perdagangan Hotel dan Restoran 9.36 6.03 7.60 -0.51 5.46 7 Pengangkutan dan Komunikasi 10.77 4.93 4.69 6.34 0.56 8 Keuangan, Persewahan dan Jasa

Perusahaan 7.86 7.84 12.71 5.62 -0.78

9 Jasa-Jasa 5.69 5.38 3.84 2.38 1.61

10 Pertumbuhan PDRB 6.15 5.24 5.53 5.72 5.93

Keterangan : *) Pelaksanaan Otonomi Kabupaten Asahan Tahun 2000

Angka dalam kurung merupakan persentase kontribusi tiap sektor **) Angka Sementara

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Asahan, 2004

Sama seperti periode sebelum otonomi daerah, pada masa otonomi daerah, sektor pertanian masih memberikan kontribusi yang terbesar bagi PDRB Kabupaten Asahan. Pada tahun 2000 sektor pertanian mampu memberikan kontribusi sebesar 40,15 persen dan pada tahun 2004 sektor Pertanian mampu memberi kontribusi sebesar 39,13 persen. Sementara itu sektor Industri Pengolahan juga memberikan konrtibusi sebesar 34,97 pada Tahun 2003, mengalami peningkatan yang cukup signifikan pada tahun 2004 mencapai 35,59 persen, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 6 berikut.


(28)

Tabel 6. PDRB Sektor-sektor Perekonomian dan Persentase Kontribusinya Terhadap PDRB Kabupaten Asahan Pada Masa Otonomi Daerah Atas Dasar Harga Konstan 1993 (Juta Rupiah)

No

Sektor

Masa Otonomi Daerah*)

2000 2001 2002 2003 2004**)

1 Pertanian 1.247.181,72 (40,15) 1.295.872,19 (39,64) 1.333.731,90 (38,71) 1.419.836,40 (38,93) 1.511.900,68 (39,13) 2 Pertambangan

dan Penggalian 8.057,11 (0,26) 8.501,06 (0,26) 9.344,69 (0,27) 9.449,69 (0,26) 9.632,76 (0,25) 3 Industri

Pengolahan 1.055.792,81 (33,99) 1.120.717,61 (34,28) 1.195.260,20 (34,69) 1.275.404,85 (34,97) 1.375.132,77 (35,59) 4 Listrik dan Air

Minum 7.276,27 (0,23) 7.576,79 (0,23) 9.055,65 (0,26) 10.678,57 (0,29) 11.305,4 (0,29) 5 Bangunan dan

Konstruksi 78.010,08 (2,51) 84.744,22 (2,59) 93.593,47 (2,72) 113.678,36 (3,12) 109.855,47 (2,84) 6 Perdagangan,

Hotel dan Restoran

409.313,37 (13,18) 433.984,58 (13,27) 466.973,60 (13,55) 464.583,44 (12,74) 489.938,6 (12,68) 7 Angkutan dan

Komunikasi 114.970,16 (3,70) 120.643,20 (3,69) 126.296,87 (3,67) 134.298,00 (3,68) 135.062,56 (3,50) 8 Keuangan dan Jasa

Persewaan 67.283,48 (2,17) 72.673,05 (2,22) 81.891,84 (2,38) 86.495,00 (2,37) 85.818,22 (2,22) 9 Jasa-jasa 118.390,52

(3,81) 124.754,58 (3,82) 129.541,43 (3,76) 132.622,35 (3,64) 134.756,44 (3,49)

Total PDRB 3.106.275,52 (100) 3.269.467,28 (100) 3.445.689,65 (100) 3.647.046,66 (100) 3.863.402,90 (100)

Keterangan : *) Pelaksanaan Otonomi Kabupaten Asahan Tahun 2000

Angka dalam kurung merupakan persentase kontribusi tiap sektor **) Angka Sementara

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Asahan, 2004

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Asahan pada masa otonomi cenderung mengalami peningkatan meskipun jika dibanding pada periode sebelum otonomi daerah laju pertumbuhan sektor perekonomian yang dicapai justru lebih kecil khususnya sebelum terjadinya krisis pada tahun 1997. Selain itu persentase kontribusi setiap sektor pada masa otonomi daerah juga mengalami penurunan jika dibandingkan pada periode sebelum otonomi daerah meskipun secara absolut mengalami peningkatan. Hal inilah yang menjadi kendala dan kekhawatiran dalam usaha pembangunan daerah khususnya pada masa otonomi karena perubahan yang terjadi pada setiap sektor perekonomian akan semakin mempengaruhi pemerintah daerah dalam membuat kebijakan dalam rangka


(29)

pengambilan keputusan pembiayaan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan.

Uraian diatas mendorong pemikiran lebih lanjut tentang bagaimana laju pertumbuhan dan kontribusi setiap sektor riil perekonomian Kabupaten Asahan dengan melihat faktor- faktor penyebab perubahan pada perekonomian yang dihubungkan dengan Propinsi Sumatera Utara sebagai daerah atasnya. Hal tersebut sangat penting mengingat sektor riil merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan daerah.

Oleh karena itu, pertama perlu diketahui sektor-sektor apa saja yang menjadi sumber pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Asahan sebelum otonomi daerah dan pada masa otonomi daerah? Hal tersebut diperlukan untuk melihat sektor-sektor yang berpotensi untuk dikembangkan dan juga dilihat dari keunggulan komparatif Kabupaten Asahan dan daya saing sektor-sektor tersebut di Kabupaten Asahan.

Kedua, sektor-sektor apa saja yang termasuk dalam kelompok sektor

pertumbuhan Progresif (Maju) atau Lambat dalam perekonomian Kabupaten Asahan sebelum dan pada masa otonomi daerah? Hal tersebut terkait dengan penentuan pertumbuhan ekonomi sektoral, yang dilihat dari unsur pertumbuhan regional.

Ketiga, bagaimana laju pertumbuhan perekonomian di Kabupaten Asahan sebelum dan pada masa otonomi daerah dibandingkan dengan Propinsi Sumatera Utara? Hal ini diperlukan untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi regional, sehingga dapat diketahui apakah Kabupaten Asahan termasuk kelompok


(30)

daerah yang pertumbuhannya Progresif atau Lambat dibandingkan Propinsi Sumatera Utara, dengan melihat nilai pergeseran bersih Kabupaten Asahan.

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang penulisan serta perumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Asahan sebelum dan pada masa otonomi daerah.

2. Menganalisis sektor-sektor apa saja yang termasuk dalam kelompok sektor pertumbuhan Progresif (Maju) atau Lambat dalam perekonomian Kabupaten Asahan sebelum dan pada masa otonomi daerah.

3. Menganalisis laju pertumbuhan perkonomian Kabupaten Asahan sebelum dan pada masa otonomi daerah bila dibandingkan dengan Propinsi Sumatera Utara.

Bagi pemerintah daerah Kabupaten Asahan, Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pertumbuhan perekonomian Kabupaten Asahan, dan dapat dijadikan bahan evaluasi sektoral yang membawa dampak makro bagi perekonomian Kabupaten Asahan. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah Kabupaten Asahan dalam penetapan kebijakan-kebijakan terkait.

Bagi para pembaca, penelitian ini dapat memberikan gambaran pertumbuhan sektor-sektor perekonomian Kabupaten Asahan Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah serta berguna sebagai referensi bagi peneliti lain yang akan 13


(31)

melakukan penelitian terkait atau bagi para peneliti yang akan melanjutkan penelitian ini.

1.4 Keterbatasan Penelitian

Dikeluarkannya Undang-Undang No 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan yang terkait dengan otonomi daerah mengindikasikan bahwa otonomi daerah resmi diberlakukan di Indonesia. Namun pada kenyatannya, pelaksanaan otonomi daerah tidak dapat berlangsung begitu saja karena masih terdapat berbagai tahapan yang harus dipenuhi seperti adanya aturan pelaksanaan, peraturan pemerintah, keputusan menteri, dan sebagainya sehingga otonomi daerah layak untuk dilaksanakan.

Otonomi yang berjalan di Kabupaten Asahan pada tahun 2000 masih dilakukan secara bertahap. Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan sebuah asumsi, yaitu meskipun otonomi yang dilakukan Kabupaten Asahan pada tahun 2000 masih secara bertahap akan tetapi telah terjadi banyak perubahan-perubahan dalam perekonomian Kabupaten Asahan terutama sektor-sektor penyusun PDRB Kabupaten Asahan.


(32)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pertumbuhan Ekonomi Wilayah

Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di wilayah tersebut berupa kenaikan seluruh nilai tambah yang terjadi di wilayah tersebut. Pertambahan pendapatan itu diukur dalam nilai riil, artinya dinyatakan dalam harga konstan. Hal itu juga sekaligus menggambarkan balas jasa bagi faktor- faktor produksi yang beroperasi di daerah tersebut yanga dapat menggambarkan kemakmuran daerah tersebut (Tarigan, 2002). Menurut Boediono dalam Tarigan (2002), pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang dan pertumbuhan itu haruslah bersumber dari proses intern perekonomian tersebut.

2.2 Pembangunan Ekonomi

Menurut Sukirno (1985), kebijaksanaan pembangunan ekonomi selalu bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dalam arti yang seluas- luasnya. Oleh karena itu kegiatan pembangunan ekonomi selalu dipandang sebagai usaha yang dilakukan pemerintah bersama-sama dengan masyarakat. Sedangk an secara keseluruhan usaha pembangunan meliputi pembangunan ekonomi, sosial, politik, dan juga kebudayaan. Selain merupakan suatu proses yang menyebabkan tingkat pendapatan per kapita masyarakat meningkat dalam jangka panjang, pembangunan ekonomi juga merupakan proses menuju ke arah perbaikan yang dilaksanakan secara terus-menerus dan bertahap di semua bidang. Definisi pembangunan ekonomi tersebut mempunyai tiga sifat penting, yaitu: (1)


(33)

Merupakan suatu proses yang terjadi terus- menerus dan saling mempengaruhi antara faktor-faktor yang menghasilkan pembangunan ekonomi; (2) sebagai usaha untuk meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat, yang merupakan pencerminan dari adanya perbaikan kesejahteraan masyarakat; (3) kenaikan pendapatan per kapita harus terus berlangsung dalam jangka panjang, yang berarti bahwa suatu wilayah berkembang apabila pendapatan per kapita menunjukkan kecenderungan yang meningkat pada jangka panjang.

Menurut Arsyad (1999), pembangunan ekonomi harus dipandang sebagai suatu proses saling keterkaitan dan saling mempengaruhi antara faktor-faktor yang menghasilkan pembanguna n ekonomi, sehingga dapat diketahui deretan peristiwa yang timbul dan akan mewujudkan peningkatan kegiatan ekonomi serta taraf kesejahteraan masyarakat dari satu tahap ke tahap pembangunan berikutnya.

Menurut Azman (2001), dalam pembangunan ekonomi, beberapa indikator yang biasa dipergunakan adalah: (1) tingkat pertumbuhan ekonomi, yang tercermin dalam PDRB berdasarkan harga konstan, dimana akan menunjukkan laju pertumbuhan perekonomian suatu daerah secara menyeluruh maupun per sektor; (2) tingkat kemakmuran daerah, yang akan dapat diketahui dengan memperbandingkan dengan daerah lain, dan untuk mengetahui perkembangan tingkat kemakmuran suatu daerah melalui perkembangan pendapatan per kapita secara berkala; (3) tingkat inflasi dan deflasi, peningkatan pendapatan yang diterima oleh masyarakat dapat saja tidak memberikan arti penting bagi masyarakat tersebut bila diikuti laju inflasi yang tinggi, karena inflasi yang tinggi akan mengakibatkan kemampuan daya beli dari pendapatan yang diterima menurun dan sebaliknya untuk deflasi. Inflasi dan deflasi dapat diketahui


(34)

berdasarkan PDRB harga konstan dan harga yang berlaku, dan (4) gambaran struktur perekonomian, yang dapat dilihat melalui sumbangan masing- masing sektor pembangunan terhadap PDRB.

Pembangunan ekonomi memiliki dimensi kualitatif, memerlukan perubahan struktur dan termasuk di dalamnya pengurangan kemiskinan dan peningkatan yang besar dalam nutrisi, kesehatan, pendidikan dan standar hidup. Pembangunan ekonomi juga meliputi perubahan dalam kemiskinan, diversifikasi pertanian utama, perekonomian urban yang mampu mendorong pertumbuhan. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi adalah sesuatu yang perlu tetapi tidak cukup untuk pembangunan ekonomi.

Sebagai suatu proses, pembangunan ekonomi memiliki konsep yang lebih sulit untuk didefinisikan dan diukur daripada pertumbuhan ekonomi. Pembangunan ekonomi mencakup perubahan dalam komposisi input dan output dalam sebuah perekonomian. Perubahan ini nantinya akan mengarah pada berkurangnya kemiskinan di dalam masyarakat ya ng berarti pula semakin meningkatnya kesejahteraan dan kemakmuran suatu bangsa.

Sukirno (1985), mendefinisikan pembangunan ekonomi sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Dari definisi tersebut jelas terlihat bahwa pembangunan ekonomi merupakan: (1) suatu proses, yang berarti merupakan perubahan yang terjadi secara terus-menerus; (2) usaha untuk menaikkan tingkat pendapatan per kapita; dan (3) kenaikan pendapatan per kapita tersebut harus terus berlangsung dalam jangka panjang. Namun yang lebih utama dari semua itu adalah bahwa pembangunan ekonomi harus dilaksanakan atas dasar kekuaatan


(35)

dan kemampuan perekonomian di dalam negeri. Keinginan dan prakarsa pembangunan harus muncul dari warga negara itu sendiri. Kekuatan yang berasal dari luar seyogyanya hanya dijadikan sebagai kekuatan pendorong bagi pembangunan. Kekuatan luar tersebut hanya bersifat membantu dan tidak bisa dijadikan kekuatan utama dalam pelaksanaan pembangunan.

2.3 Pembangunan Daerah

Dalam rangka meningkatkan peran aktif masyarakat serta mendayagunakan potensi daerah secara optimal dan terpadu sesuai dengan persoalan yang berkenaan dengan pembangunan ekonomi dan kebutuhan masyarakat maka pembangunan daerah sangat penting untuk dilaksanakan. Secara mendasar, konsep pembangunan daerah mengandung prinsip pelaksanaan kebijaksanaan desentralisasi dalam kerangka peningkatan pelaksanaan pembangunan untuk mencapai sasaran pembangunan nasional yang bertumpu pada Trilogi Pembangunan, yaitu pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas (Soegijoko, 1997). Sehingga pembangunan daerah merupakan upaya pemerataan pembangunan melalui berbagai kegiatan sektoral secara terpadu, karena adanya perbedaan kepentingan, permasalahan, ciri dan karakteristik dari masing- masing daerah.

Pembangunan daerah merupakan bagian integral dan penjabaran dari pembangunan nasional. Oleh karena itu pembangunan daerah perlu diarahkan untuk lebih mengembangkan dan menyelaraskan laju pertumbuhan antar daerah, dengan memperhatikan daerah terbelakang, padat dan jarang penduduk, daerah


(36)

transmigrasi, daerah terpencil, dan daerah miskin. Sehingga dapat mengurangi dan tidak menimbulkan kesenjangan pembangunan antar daerah.

Arsyad (1999) mengemukakan bahwa secara regional/daerah, pembangunan daerah merupakan suatu proses dimana masyarakat mengelola sumberdaya yang dimiliki serta membentuk pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan swasta untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut.

Tujuan pembangunan wilayah seharusnya diarahkan untuk mencapai pertumbuhan (growth), pemerataan (equity) dan keberlanjutan (sustainability). a. Pertumbuhan (growth)

Pertumbuhan ditentukan sampai dimana kelangkaan sumberdaya yang terdiri atas sumberdaya manusia, peralatan dan sumberdaya alam dapat dialokasikan secara maksimal dan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kegiatan yang produktif. Semakin tinggi tingkat sumberdaya yang dicerminkan dari penguasaan teknologi, maka semakin tinggi pula kemampuan mengelola sumberdaya alam yang tersedia untuk mencapai tingkat pertumbuhan.

b. Pemerataan (equtiy)

Pengaturan atau pengalokasian manfaat dari hasil- hasil pembangunan harus adil dan merata, sehingga setiap anggota masyarakat yang terlibat akan memperoleh pembangunan yang adil dalam menikmati hasil- hasil pembangunan. c. Keberlanjutan (sustainability)

Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan arahan terhadap pembangunan daerah dan pengelolaannya oleh


(37)

pemerintah daerah serta memiliki kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri dan aspirasi masyarakat lokal. Penerapan otonomi daerah berhubungan erat dengan pembangunan ekonomi daerah yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteran dan mengurangi perbedaan tingkat kemampuan suatu daerah diantaranya, dapat memenuhi kebutuhan pokok masyarakat secara merata, memberikan kesempatan memperoleh pendidikan dan memperole h kesempatan kerja serta pemerataan pembagian pendapatan melalui pemanfaatan sumber-sumber pembangunan yang dimiliki (Anwar dan Hadi, 1996 dalam Restuningsih, 2004).

Pelaksanaan pembangunan tidak selalu berhasil dan mencapai tujuan yang diharapkan, sehingga laju pertumbuhan pembangunan tidak merata di seluruh wilayah. Menurut Hanafiah (1982), keadaan ini menyebabkan adanya pengelompokan wilayah berdasarkan perkembangannya, yaitu:

1. Wilayah yang terlalu maju; terutama di kota-kota besar dimana terdapat batas pertumbuhan atau polarisasi, umumnya dalam menghadapi masalah diseconomic of scale. Industri- industri maju di kota tersebut akan mundur kembali disebabkan oleh diseconomic of scale, seperti masalah manajemen, kenaikan biaya produksi dan sebagainya. Manfaat aglomerasi juga dapat berkurang akibat meningkatnya biaya fasilitas pelayanan umum, kenaikan gaji dan upah, kenaikan harga bahan baku dan energi serta ongkos sosial seperti: pencemaran suara, udara dan air. Jika keadaan tersebut akan diatasi dan tetap dipertahankan maka akan memerlukan


(38)

biaya yang tinggi, yang akan dibebankan kepada kegiatan ekonomi di tempat lain.

2. Wilayah netral; yang dicirkan dengan tingkat pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi, tidak ada kesesakan dan tekanan ongkos sosial. Wilayah ini merupakan kota satelit bagi wilayah yang terlalu maju.

3. Wilayah sedang; merupakan wilayah dengan ciri-ciri campuran, pola distribusi pendapatan dan kesempatan kerja yang relatif baik, merupakan gambaran kombinasi antara daerah maju dan kurang maju, yang memiliki pengangguran dan kelompok miskin.

4. Wilayah kurang berkembang; merupakan wilayah yang tingkat pertumbuhannya jauh dibawah tingkat pertumbuhan nasional dan tidak ada tanda-tanda untuk dapat mengejar pertumbuhan dan pembangunan nasional.

5. Wilayah tidak berkembang; merupakan wilayah tidak maju atau wilayah miskin, yaitu wilayah yang tidak akan pernah dapat mengembangkan industri modern dalam berbagai skala serta ditandai dengan daerah pertanian yang usahataninya subsistem dan berskala kecil.

2.4 Perbandingan Teori Pertumbuhan dan Teori Pembangunan

Pertumbuhan dan pembangunan memiliki keterkaitan yang sangat erat sehingga pertumbuhan dan pembangunan seringkali diartikan sama. Kedua istilah tersebut sebenarnya memiliki arti yang berbeda secara eksplisit dan implisit. Menurut Herrick dan Charles (1982) dalam Setiawan (2004), pertumbuhan ekonomi memiliki arti tidak hanya output yang lebih banyak, tetapi juga lebih 21


(39)

banyak macamnya dari yang sebelumnya, termasuk di dalamnya perubahan teknologi dan institusi yang berperan dalam produksi dan distribusi. Sedangkan perkembangan atau pembangunan selalu disertai dengan pertumbuhan tetapi pertumbuhan belum tentu disertai dengan pembangunan atau perkembangan. Tetapi pada tingkat-tingkat permulaan, mungkin pembangunan ekonomi selalu disertai dengan pertumbuhan dan sebaliknya.

Hess dan Clark (1997) dalam Setiawan (2004) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi mengacu pada perubahan kuantitas dan biasanya diukur sebagai kenaikan dalam output per kapita atau pendapatan. Pertumbuhan ekonomi modern, sebagaimana terungkap dari pengalaman negara maju sejak akhir abad ke-18, ditandai dengan laju kenaikan produk per kapita yang tinggi dibarengi dengan laju pertumbuhan penduduk yang cepat. Laju kenaikan yang luar biasa itu paling sedikit sebesar lima kali untuk penduduk dan paling sedikit sepuluh kali untuk produksi .

2.5 Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia

Meskipun UUD 1945 yang menjadi acuan konstitusi telah menetapkan konsep dasar tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah, tetapi dalam perkembangan sejarahnya, ide otonomi daerah itu mengalami berbagai perubahan bentuk kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik- menarik kalangan elit politik pada masanya. Apabila perkembangan otonomi daerah dianalisis sejak tahun 1945, akan terlihat bahwa perubahan-perubahan konsepsi otonomi banyak ditentukan oleh para elit politik yang berkuasa pada saat itu. Hal itu terlihat jelas


(40)

dalam aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang berikut ini 1:

- UU No. 1 tahun 1945

Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih menitikberatkan pada dekonsentrasi. Kepala daerah hanyalah kepanjangan tangan pemerintahan pusat. - UU No. 22 tahun 1948 dan UU No. 44 Tahun 1950

Kebijakan otonomi daerah lebih menitikberatkan pada desentralisasi. Tetapi masih ada dualisme peran di kepala daerah, di satu sisi ia punya peran besar untuk daerah, tapi juga masih menjadi alat pemerintah pusat.

- UU No. 1 tahun 1957

Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat dualisme, di mana kepala daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih alat pemerintah pusat.

- Penetapan Presiden No.6 tahun 1959

Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih menekankan dekonsentrasi. Melalui penpres ini kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat terutama dari kalangan pamong praja.

- UU No. 18 tahun 1965

Pada masa ini kebijakan otonomi daerah menitikberatkan pada desentralisasi dengan memberikan otonomi yang seluas- luasnya bagi daerah, sedangkan dekonsentrasi diterapkan hanya sebagai pelengkap saja

- UU No. 5 tahun 1974

1 http://www.transparansi.or.id/?pilih=lihatotonomidaerah&id=5


(41)

Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi kevakuman dalam pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengan dikeluarkanya UU NO. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Sejalan dengan kebijakan ekonomi pada awal Ode Baru, maka pada masa berlakunya UU No. 5 tahun 1974 pembangunan menjadi isu sentral dibanding dengan politik. Pada penerapanya, terasa seolah-olah telah terjadi proses depolitisasi peran pemerintah daerah dan menggantikannya dengan peran pembangunan yang menjadi isu nasional.

- UU No. 22 tahun 1999

Pada masa ini terjadi lagi perubahan yang menjadikan pemerintah daerah sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengedapankan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.


(42)

Tabel 7. Perbedaan Dasar UU No.5/1974 dan UU No. 22/19992

No. Aspek UU No.5/1974 UU No.22/1999

1. Nama UU & Asas yang Digunakan.

Disebut UU tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah didasarkan kepada asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Kepala Daerah merangkap Kepala Wilayah.

Disebut UU tentang Pemerintahan Daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan berdasarkan ketiga asas yang mengarah pada prinsip devolusi. Tidak ada lagi Kepala Daerah yang merangkap Kepala Wilayah, sebagai kepanjangan tangan dari Pusat. 2 Model

Penyelenggaraan Desentralisasi

Structural Efficiency Modelyang

menekanan persatuan dan kesatuan nasional dan cenderung mengabaikan nilai-nilai lokal serta nilai-nilai demokrasi, dengan alasan menjamin efisiensi dan kemajuan ekonomi.

Local Democratic Model yang

menekankan nilai-nilai lokal dan demokratik serta menghargai perbedaan dan keanekaragaman.

3 Penekanan definisi ‘Otonomi Daerah’

Adalah pada penyerahan urusan kepada lembaga pemerintah daerah yang di beri hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Lebih berorientasi kepada masyarakat, kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri. 4 Status Daerah

Otonom

Titik berat otonomi pada Dati II, namun Dati I tetap berstatus daerah otonom yang utuh. Daerah otonom merangkap sebagai daerah administrasi

Otonomi yang luas dan utuh pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, dan tidak merangkap sebagai daerah administrasi.

5 Hubungan antar Dati I dan Dati II

Terdapat hubungan hirarkis antara Dati I dan Dati II melalui jalur “Kepala Wilayah.”

Tidak ada hubungan hirarkis maupun subordinatif antara daerah-daerah otonom.

6 Kedudukan Badan Legislatif

Fungsi eksekutif dan fungsi legislatif tercampur aduk karena kedudukan Kepala Daerah yang merangkap Kepala Wilayah.

Fungsi eksekutif dan fungsi legislatif dipisahkan secara tegas,yaitu Kepala Daerah sebagai fungsi eksekutif dan DPRD sebagai fungsi legislatif. Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD. 7 Prinsip

Pembiayaan Pengeluaran

Function Follows Finance, jadi

tergantung dari pemberian Subsidi Daerah Otonom (SDO) dan INPRES dari Pusat.

Finance Follows Function,

fungsi-fungsi pengeluaran Daerah terdefinisi dengan jelas yaitu, PU, kesehatan, pendidikan, perhubungan,industri dan perdagangan, penanaman modal,lingkungan hidup, pertanahan,koperasi dan tenaga kerja.

2 Koswara dalam www.csis.or.id/working_paper_file/16/wpe054.pdf


(43)

Hal yang sama terjadi pada aspek keuangan. Meskipun UU No. 32 tahun 1956 sudah menyebut “perimbangan keuangan antara Negara dengan daerah-daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri, dan UU No. 5 Tahun 1974 pun sudah menyebut hal itu, namun secara realitas sangat berbeda. Bahkan terjadi eksploitasi yaitu sumber pengelolaan urusan yang prospektif ditarik ke tingkat propinsi atau pusat. Hal ini juga tampak dari pengelolaan urusan yang prospektif ditarik ke tingkat pusat atau propinsi. Hal ini juga tampak dari penerbitan peraturan pelaksanaannya. UU No. 5 Tahun 1974 baru direspon 18 tahun kemudian oleh munculnya PP No. 45 Tahun 1992 tentang titik berat pelaksanaan otonomi daerah pada tingkat Kabupaten (Tingkat II). Sejalan dengan tuntutan reformasi meyeluruh dan upaya untuk mempercepat pemulihan ekonomi akibat krisis maka terdapat tuntutan menerapkan otonomi daerah secara sungguh-sungguh. Majelis Permusyawaratan Rakyat mengeluarkan keputusan politik dalam bentuk TAP MPR Nomor XV/MPR 1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah yang Nyata, Luas dan Bertanggung jawab.

Ikeluarkannya UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah telah membawa perubahan yang mendasar terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah. Perbedaan sumber dana perimbangan keuangan sebelum dan pada masa otonomi daerah dapat dilihat pada Tabel 8 berikut.


(44)

Tabel 8. Perbedaan Sumber Dana Perimbangan Keuangan Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah (Persen)

Jenis Pengeluaran

UU No. 5/1974 UU No. 25/1999

Pusat Prop

Kab/

Kota Pusat Prop

Kabupaten/Kota Semua

Kab/

Kota Penghasil

Kab/ Kota lain

I. Bagian Daerah

1. PBB 10 16.2 64.8 10 16.2 64.8

2. BPHTB 20 16 64 20 16 64

3. IHH 55 30 15 20 16 32 32

4. IHPH 30 70 20 16 64

5. Royalti (emas

dan batubara) 20 16 64 20 16 32 32

6. Land Rent 20 16 64 20 16 64

7. Royalti Migas a. Minyak

Bumi 100 85 3 6 6

b. Gas Alam 100 70 6 12 12

8. Agraria 40 40 20 100

9. Royalti

Perikanan 20 80

II. Dana Alokasi

Umum 75 25 22.5

III. Dana Alokasi Khusus

Sumber: UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No. 25 Tahun 1974

2.6 Otonomi Daerah di Kabupaten dan Kota

Undang-undang No. 22 Tahun 1999 Pasal 4 menyatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi dibentuk dan disusun Daerah Propinsi, Daerah kabupaten, dan Daerah Kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prkarsa sendir berdasarkan aspirasi masyarakat dan daerah masing- masing berdiri send ir dan tidak mempunyai hubungan hirearkhi satu sama lain.

Dalam Pasal 6 dinyatakan bahwa daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus atau digabung dengan daerah lain sesuai dengan Peraturan Pemerintah.


(45)

2.7 Teori Basis Ekonomi

Teori basis memisahkan sektor-sektor ekonomi ke dalam basis dan non basis. Sektor basis merupakan kagiatan masyarakat yang hasil- hasilnya baik berupa barang maupun jasa dapat memenuhi kebutuhan masyarakat setempat dan luar daerah. Sedangkan sektor non basis merupakan sektor yang hasilnya hanya untuk mencukupi kebutuhan masyarakat setempat.

Menurut Kartono (1986), pertumbuhan sektor basis akan menimbulkan dan menetukan pertumbuhan secara keseluruhan, sedangkan kegiatan sektor non basis merupakan akibat dari pertumbuhan sektor basis. Hal ini disebabkan karena sektor basis memberikan dua sumbangan terhadap perekonomian daerah, baik langsung maupun tidak langsung. Sumbangan langsung diantaranya; (1) kenaikan ekspor akan menyebabkan kenaikan barang-barang mengimpor modal yang penting dalam pembangunan daerah, (2) pengembangan ekspor berarti pengalokasian dana kepada sektor yang efisien untuk dapat bersaing dengan daerah lain, (3) kegiatan ekspor akan memperluas pasar produk dalam negeri dan memungkinkan untuk memperluas skala sektor yang bersangkutan, (4) karena harus bersaing maka kegiatan sektor tersebut harus dapat menekan biaya produksi dan meningkatkan efisiensi kegiatan. Sumbangan tidak langsung terhadap perekonomian daerah diantaranya: (1) kenaikan kegiatan sektor basis akan dapat meningkatkan pendapatan baik dari dalam maupun luar daerah, (2) pengembangan kegiatan basis akan memudahkan masuknya inovasi dalam teknologi, pemasaran dan keahlian usahawan, (3) adanya peningkatan jumlah dan variasi barang yang dikonsumsi. Sehingga kedua sektor tersebut akan menimbulkan dampak terhadap perekonomian daerah secara keseluruhan.


(46)

Menurut Glasson (1977), basis ekonomi merupakan pendekatan yang dapat menerangkan pertumbuhan regional suatu daerah, untuk menganalisis struktur daerah dan untuk mengetahui peranan suatu sektor terhadap perekonomian daerah. Salah satu metode yang dapat digunakan dalam menentukan sektor basis adalah metode Location Quotient (LQ) sedangkan Richardson (1977) menyatakan bahwa teknik LQ adalah teknik yang lazim digunakan dalam studi basis empirik.

2.8 Model Analisis Shift Share

Menurut Glasson (1977), model Analisis Shift Share (ASS) digunakan untuk melihat pertumbuhan masing- masing sektor perekonomian di suatu wilayah terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah yang lebih luas. Selain itu model ini juga dapat menunjukkan perkembangan perekonomian suatu wilayah terhadap wilayah lainnya, sehingga dapat membandingkan besarnya aktivitas suatu sektor dalam suatu wilayah dan perbandingan pertumbuhan antar wilayah. Melalui Analisis Shift Share dapat diketahui perkembangan suatu sektor jika dibandingkan dengan sektor lainnya dalam suatu wilayah tertentu. Pendekatan Shift Share menganalisis perubahan-perubahan tersebut dengan menggunakan indikator-indikator seperti produksi, penduduk dan tenaga kerja selama periode waktu tertentu menjadi komponen shift dan share.

Analisis shift share menganalisis perubahan berbagai indikator kegiatan ekonomi, seperti produksi dan kesempatan kerja pada dua titik waktu. Di dalam analisis ini diasumsikan bahwa perubahan tingkat produksi/kesempatan kerja pada 29


(47)

suatu tahun dasar dengan tahun akhir dibagi menjadi tiga komponen pertumbuhan yaitu:

1. Komponen Pertumbuhan Nasional adalah perubahan kesempatan kerja atau produksi suatu wilayah yang disebabkan oleh perubahan kesempatan kerja atau produksi nasional secara umum, perubahan kebijakan ekonomi nasional, atau perubahan dalam hal- hal yang mempengaruhi perekonomian semua sektor dan wilayah. Beberapa contoh dapat dikemukakan, misalnya deva luasi, kecenderungan inflasi, pengangguran dan kebijakan perpajakan. Bila diasumsikan bahwa tidak terdapat perbedaan karakteristik ekonomi antar sektor dan antar wilayah, maka akibat dari perubahan ini pada sektor dan wilayah kurang lebih sama dengan perubahan ini pada sektor dan wilayah kurang lebih sama dengan perubahan dan laju pertumbuhan nasional. Akan tetapi pada kenyataannya beberapa sektor tumbuh dan berkembang lebih cepat dari sektor-sektor lainnya. Oleh karena itu perlu diidentifikasi penyebabnya dan mengukur perbedaan yang timbul, dengan memisahkan komponen pertumbuhan nasional, komponen pertumbuhan proporsional, dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah.

Analisis pertumbuhan ekonomi dalam penelitian ini difokuskan pada pembahasan daerah kabupaten. Maka istilah komponen pertumbuhan nasional dianalogikan menjadi komponen pertumbuhan regional (PR). Hal ini dilakukan untuk menghindari salah penafsiran dalam pengertian nasional (Indonesia) dengan regional (Propinsi).

2. Komponen pertumbuhan proporsional (PP) timbul karena perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir, perbedaan dalam ketersediaan bahan mentah,


(48)

perbedaan dalam kebijaksanaan (misalnya, kebijakan perpajakan, subsidi dan price support) dan perbedaan dalam struktur dan keragaman pasar.

3. Komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW) timbul karena peningkatan atau penurunan PDRB atau kesempatan kerja dalam suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya. Cepat atau lambatnya pertumbuhan suatu daerah dibandingkan dengan wilayah lainnya ditentukan oleh keunggulan komparatif, akses ke pasar, dukungan kelembagaan, prasarana sosial dan ekonomi serta kebijakan ekonomi regional wilayah tersebut. (Budiharsono, 2001)

2.9 Hasil Penelitian Terdahulu

Doni Setiawan (2004) melakukan penelitian mengenai Analisis Pertumbuhan Antar Kabupaten dan Kota di Propinsi Sumatera Utara Periode 1993-2002 dengan menggunakan analisis shift share terhadap PDRB Propinsi Sumatera Utara. Hasil Analisis Komponen Pertumbuhan menunjukkan pada kurun waktu 1993-1997 Kota Medan merupakan daerah yang mempunyai pertumbuhan regional yang paling besar dalam pembentukan PDRB Propinsi Sumatera Utara sedangkan yang paling kecil adalah kota Sibolga. Berdasarkan laju pertumbuhan, yang paling cepat adalah Kota Pematangsiantar dan yang paling lambat adalah Kabupaten Langkat. Daerah yang mempunyai daya saing yang paling baik adalah Kota Sibolga dan yang paling rendah adalah Kabupaten Langkat. Dilihat dari pertumbuhan wilayah, maka yang paling maju adalah Kota Sibolga dan yang paling lambat adalah Kabupaten Langkat.


(49)

Pada Kurun waktu 1998-2002, Komponen Pertumbuhan menunjukkan pada kurun waktu 1993-1997 Kota Medan masih merupakan daerah yang mempunyai pertumbuhan regional yang paling besar dalam pembentukan PDRB Propinsi Sumatera Utara sedangkan yang paling kecil adalah kota Sibolga. Berdasarkan laju pertumbuhan, yang paling cepat adalah Kota Medan dan yang paling lambat adalah Kabupaten Asahan. Daerah yang mempunyai daya saing yang paling baik adalah Kabupaten Asahan dan yang paling rendah adalah Kabupaten Langkat. Dilihat dari pertumbuhan wilayah, maka yang paling maju adalah Kabupaten Asahan dan yang paling lambat adalah Kabupaten Langkat.

Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Ogan Komering Ulu Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah dengan menggunakan Analisis Shift Share oleh Zulparina (2004) menyatakan bahwa sebelum otonomi daerah, pertumbuhan aktual Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) cenderung menurun, yaitu sebesar Rp 33.950 juta (-2,69 persen). Begitu juga dengan pertumbuhan regional yang mengalami penurunan sebesar Rp 176.010,02 juta (-13,93 persen). Sedangkan pada masa otonomi daerah pertumbuhan aktual Kabupaten OKU dan regional bernilai positif, yaitu sebesar Rp 173 511 juta (13,45 persen) dan Rp 144.133,92 juta (11,17 persen). Sehingga selisih antara kedua nilai tersebut yang merupakan pertumbuhan bersih Kabupaten OKU memberikan nilai positif, baik sebelum maupun pada masa otonomi daerah, yaitu sebsar Rp 142.060,02 (11,24 persen) dan sebesar Rp 29.377,07 juta (2,27 persen). Ini berarti pertumbuhan Kabupaten OKU termasuk kedalam wilayah yang pertumbuhannya cepat.

Sedangkan penelitian mengenai Struktur Perekonomian kabupaten Padang Pariaman, Propinsi Sumatera Barat, tahun 1995-1999 yang dilakukan oleh Azman


(50)

(2001) dengan menggunakan analisis shift share, memperlihatkan bahwa telah terjadi pergeseran dari kelompok sektor primer (pertanian, pertambangan dan penggalian) ke kelompok sektor sekunder (industri) dan tersier (jasa-jasa, perdagangan dan hotel dan restoran) dalam struktur perekonomian daerah. Namun dari segi kontribusinya terhadap PDRB maupun dalam penyediaan lapangan kerja sektor pertanian yang berada pada kelompok sektor primer masih tetap mendominasi. Kontribusi tersebut sebesar 29,12 persen pada tahun 1999, sedangkan dilihat dari sektor lapangan usaha sebesar 43,55 persen penduduk Padang Pariaman mata pencahariannya bersumber dari sektor pertanian.

Budiharsono (1996) menggunakan analisis shift share sebagai salah satu alat analisisnya mengenai Pertumbuhan Ekonomi antar Daerah di Indonesia Tahun 1969-1987. Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa selama kurun waktu tersebut terdapat kecenderungan pertumbuhan ekonomi propinsi-propinsi di Kawasan Barat Indonesia lebih cepat jika dibandingkan dengan pertumbuhan di Kawasan Timur Indonesia. Rendahnya pertumbuhan propinsi-propinsi di KTI disebabkan oleh rendahnya permintaan domestik terhadap barang dan jasa. Hal ini karena tingkat pendapatan per kapita masyarakat yang rendah.

Sedangkan penelitian mengenai Pertumbuhan Ekonomi dan Kesenjangan Antar Wilayah di Propinsi Jawa Barat tahun 1986-1990 yang dilakukan oleh Irawan (1994) yang juga menggunakan analisis shift share sebagai alat analisisnya menemukan bahwa sektor pertanian masih memegang peranan kunci dalam pertumbuhan ekonomi di beberapa wilayah daerah Dati II Jawa Barat. Daerah Dati II tersebut adalah Pandeglang, Lebak, Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Majalengka, Cirebon, Sumedang, Subang, 33


(51)

Purwakarta dan Karawang. Sedangkan daerah yang basis perekonomian ditopang oleh sektor indus tri dan jasa adalah Bogor, Bandung, Bekasi, Tangerang, Serang, Kodya Bandung, dan Kodya Cirebon. Sisanya yaitu kabupaten Indramayu, struktur perekonomiannya banyak bertumpu pada sektor pertambangan dan penggalian, kotamadya Sukabumi dan Bogor ditopang oleh sektor perdagangan dan jasa.

Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Analisis Shift Share cukup efektif digunakan dalam menganalisis pertumbuhan perekonomian suatu wilayah, dalam kaitannya dengan daerah atasnya. Namun, penelitian sebelumnya hanya membandingkan pertumbuhan ekonomi sebelum dan pada masa otonomi daerah tanpa menjelaskan bagaimana kebijakan pemerintah sebelum dan pada masa otonomi daerah. Sedangkan pada penelitian ini, dijelaskan kebijakan-kebijakan apa saja yang ditetapkan pemerintah baik sebelum maupun pada masa otonomi daerah serta bagaimana sejarah otonomi daerah itu sendiri.


(52)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Teoritis

Dalam analisis pertumbuhan sektor-sektor perekonomian Kabupaten Asahan Propinsi Sumatera Utara ini akan digunakan dua pendekatan, yaitu analisis Shift Share yang ditunjang oleh analisis Location Quotient (LQ) berdasarkan pendekatan laju pertumbuhan, dengan membagi dua periode waktu analisis, yaitu sebelum otonomi dan pada masa otonomi daerah.

3.1.1 Analisis Shift Share

Analisis Shift Share berguna untuk menganalisis atau melihat gambaran tentang pertumbuhan dan perkembangan struktur perekonomian suatu daerah yang dihubungkan dengan daerah atasnya dan menggunakan dua titik waktu. Analisis ini memberikan penjelasan atas faktor-faktor penyebab perubahan di suatu daerah berdasarkan beberapa variabel komponen, yaitu pertumbuhan regional, pertumbuhan proporsional dan pertumbuhan pangsa wilayah. Komponen pertumbuhan proporsional dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah merupakan unsur pertumbuhan regional yang bersifat eksternal dan yang bersifat internal. Pertumbuhan proporsional adalah akibat dari pengaruh unsur-unsur luar (eksternal) yang bekerja secara umum (nasional), dan pertumbuhan pangsa wilayah adalah akibat dari pengaruh faktor- faktor yang bekerja khusus di daerah analisis.

Akan tetapi, dalam analisis Shift Share masih terdapat beberapa kelemahan, antara lain:


(53)

1. Rentang waktu yang digunakan dalam analisis ini sangat tergantung pada keberadaan data yang akan dianalisis, sehingga analisis ini bersifat statis dan kurang dapat memproyeksikan fenomena yang akan terjadi setelah tahun analisis.

2. Untuk menganalisis keadaan perekonomian suatu wilayah, hanya satu indikator yang dapat dipergunakan dan tidak dapat dipergunakanberbagai indikator ekonomi secara bersamaan, misalnya berdasarkan PDRB dengan mengkombinasikannya dengan indikator lain, seperti tingkat upah dan penyerapan tenaga kerja pada berbagai sektor perekonomian.

Pada penelitian ini, analisis Shift Share dipergunakan untuk membandingkan pertumbuhan perekonomian Kabupaten Asahan sebelum otonomi daerah dan pada masa otonomi daerah dengan daerah atasnya (Propinsi Sumatera Utara). Variabel yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah nilai tambah masing- masing sektor Kabupaten Asahan dan Propinsi Sumatera Utara yang dibagi menjadi dua periode yaitu, sebelum otonomi dipergunakan data PDRB Tahun 1995-1999 dan pada masa otonomi daerah digunakan data PDRB Tahun 2000-2004 menurut harga konstan tahun 1993.

a. Indeks Rasio Pertumbuhan Daerah

Indeks rasio pertumbuhan daerah didasarkan pada perbandingan antara PDRB tahun akhir analisis dengan PDRB tahun dasar analisis. Sehingga akan diperoleh nilai Ra, Ri dan Ri. Nilai-nilai tersebut dipergunakan untuk mengetahui perkembangan sektor perekonomian pada daerah analisis (Kabupaten Asahan) dengan daerah atasnya.


(54)

1. Indeks rasio Ra

Rasio Ra diperoleh dengan membandingkan antara jumlah total PDRB Propinsi Sumatera Utara pada tahun dasar analisis. Rasio ini memperlihatkan besarnya perubahan PDRB yang terjadi berdasarkan harga konstan.

2. Indeks Rasio Ri

Ri menunjukkan perubahan suatu sektor i dalam PDRB di propinsi Sumatera Selatan berdasarkan harga konstan. Rasio Ri merupakan perbandingan antara jumlah total sumbangan sektor i terhadap PDRB pada tahun akhir analisis. Nilai ini menunjukkan besarnya perubahan setiap sektor perekonomian Kabupaten Asahan pada periode waktu tertentu.

b. Profil Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Dengan mengana lisis data-data komponen pertumbuhan proporsional (PP) dan komponen pertumbuhan Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW), dapat dilihat bagaimana profil pertumbuhan PDRB di suatu daerah. Caranya dengan memplotkan data-data tersebut ke dalam sumbu vertikal dan horizontal, yang kemudian diinterpretasikan. Komponen pertumbuhan proporsional diletakkan pada sumbu horizontal sebagai absis, dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah pada sumbu vertikal, sebagai ordinat.


(55)

Gambar 1. Profil Pertumbuhan PDRB Sumber: Budiharsono, 2001

a. Kuadran I menginterpretasikan bahwa sektor perekonomian di suatu wilayah memiliki pertumbuhan yang cepat dan mampu bersaing dengan wilayah lain untuk sektor-sektor yang sama. Karena PP dan PPW pada kuadran ini bernilai positif, maka nilai pergeseran bersihnya juga positif (PB > 0). Sehingga sektor dalam kuadran ini termasuk dalam kelompok sektor yang pertumbuhannya progresif (maju).

b. Kuadran II menginterpretasikan bahwa sektor perekonomian di suatu wilayah memiliki pertumbuhan yang cepat, tetapi pertumbuhan sektor tersebut tidak didukung oleh daya dukung wilayah. Karena sektor tersebut kurang mampu bersaing dengan wilayah lain. Pada kuadran ini nilai PB sektor dapat bernilai positif (PB > 0) ataupun negatif (PB < 0). Sehingga pengelompokan sektor pada kuadran ini sangat ditentukan oleh selisih antara nilai PP dan PPW. c. Kuadran III menginterpretasikan bahwa sektor perekonomian di suatu wilayah

memiliki pertumbuhan yang lamban dan tidak mampu bersaing dengan 450

PB.j=o

Kuadran II Kuadran III

Kuadran IV

PPW PP


(1)

Judul : ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN KABUPATEN ASAHAN PROPINSI SUMATERA UTARA SEBELUM DAN PADA MASA OTONOMI DAERAH (1995-2004)

Nama : Balduin Manik

NRP : A 14302011

Menyetujui, Pembimbing

Ir. Nindyantoro, MSP NIP. 131 879 329

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr NIP. 130 422 698


(2)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI TULISAN ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Maret 2006

Balduin Manik A 14302011


(3)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Pematangsiantar, pada tanggal 4 Nopember 1983. Penulis merupakan anak ke enam dari sebelas bersaudara, dari orang tua yang bernama Bapak Maradian Manik (Almarhum) dan Ibu Siti Dermawan br. Tambunan.

Tahun 2002 penulis menyelesaikan pendidikan menengah di SMU Negeri 2 Pematangsiantar. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2002 dan terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di berbagai kegiatan akademik dan kemahasiswaan, diantaranya menjadi Staf Departemen Informasi Divisi Pers dan Jurnalistik pada Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu- ilmu Sosial Ekonomi Pertanian (MISETA) Periode 2004/2005, Anggota Koperasi Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (KOPMA IPB) Periode 2003/2004. Sejak Tahun 2004 sampai dengan saat ini, penulis aktif menjadi penyiar di Radio Komunitas AGRI FM yang saat ini berada dibawah naungan Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Penulis juga pernah menjadi asisten dosen untuk Mata Kuliah Pengantar Ilmu Kependudukan pada tahun ajaran 2005/2006.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya maka skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi dengan judul “Analisis Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian Kabupaten Asahan Propinsi Sumatera Utara Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah (1995-2004)” dilatarbelakangi oleh diterapkannya otonomi daerah sejak 1 Januari 2000 yang membawa perubahan bagi perekonomian Kabupaten Asahan, Propinsi Sumatera Utara.

Adanya otonomi daerah memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah daerah untuk melakukan pembenahan serta mengembangkan potensi yang terdapat pada wilayah Kabupaten Asahan. Penelitian ini diharapkan mampu menjelaskan bagaimana pertumbuhan sektor-sektor perekonomian daerah Kabupaten Asahan, Propinsi Sumatera Utara sebelum dan pada masa otonomi daerah serta menghasilkan rekomendasi untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan pemerintah daerah dalam menetapkan strategi-strategi pembangunan ekonomi pada tahun-tahun berikutnya.

Penulis mengharapkan kritik dan saran untuk melengkapi tulisan ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Bogor, Maret 2006 Penulis


(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Selama penyelesaian skripsi ini, penulis mendapat banyak masukan, bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimkasih serta penghargaan yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Ir. Nindyantoro, MSP selaku dosen pembimbing, yang senantiasa

memberikan bantuan, arahan, motivasi dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini, serta sebagai dosen moderator dalam seminar penulis.

2. Ibu Sahara, SP, MSi yang bersedia menjadi Dosen Penguji Utama dan Bapak Ir, Joko Purwono, MS yang bersedia menjadi Dosen Penguji Wakil Departemen pada saat ujian skripsi penulis.

3. Bapak Maradian. Manik (Alm) dan Mama Siti Dermawan br Tambunan serta saudara-saudaraku tercinta yang senantiasa mendoakan dan menyayangi penulis.

4. Kepala Badan Pusat Statistik Kabupaten Asahan, Kepala Badan Pusat Statistik Medan, dan Kepala badan Pusat Statistik Jakarta.

5. Bapak Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, MSc selaku dosen pembimbing akademik penulis.

6. Teman-teman EPS 39 yang selalu membantu penulis; Vininta, Agus, Tulus, Noni, Asti, Ury, Viana, Rika, Suci (Uchie). Semoga Tuhan senantiasa memberikan rahmatnya kepada teman-teman semuanya.

7. Teman-teman di Radio Komunitas Agri FM IPB, terima kasih karena selama penyelesaian skripsi ini teman-teman banyak membantu dan memberikan motivasi.

8. Sahala yang telah banyak membantu penulis dan Sefri Rusyadi, terima kasih atas komputernya.

9. Teman-teman satu Program Studi: EPS 38, 39, 40, dan juga teman-teman di Pondok Nirvana, terima kasih atas kebersamaannya selama ini.

10. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas bantuannya.


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 5

Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 13

Keterbatasan Penelitian ... 14

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Ekonomi Wilayah ... 15

Pembangunan Ekonomi ... 15

Pembangunan Daerah ... 18

Perbandingan Teori Pertumbuhan dan Teori Pembangunan ... 21

Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia ... 22

Otonomi Daerah di Kabupaten dan Kota ... 27

Teori Basis Ekonomi ... 28

Model Analisis Shift Share ... 29

Hasil Penelitian Terdahulu ... 31

III. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Teoritis ... 35

Analisis Shift Share ... 35

Analisis Location Quotient (LQ) ... 39

3.2 Kerangka Pemikiran Konseptual ... 44

IV. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 45