Pendidikan, Kesehatan dan Agama Kondisi Perekonomian Jawa Barat

Pertumbuhan tenaga kerja yang kurang diimbangi dengan pertumbuhan lapangan kerja akan menyebabkan tingkat kesempatan kerja cenderung menurun. Jumlah penduduk Jawa Barat yang mencari kerja pada tahun 2005 berjumlah 4.614.356. Dari total jumlah tersebut, pencari kerja lulusan SLTA sebanyak 71,42 persen, lulusan Sarjana sebanyak 6,5 persen, SLTP 9,45 persen, lulusan Sarjana Muda 10,59 persen dan lulusan SD 3,50 persen. Dapat disimpulkan bahwa dari semua pengangguran terbuka yang ada di Provinsi Jawa Barat, sebagian besar berpendidikan rendah.

4.4. Pendidikan, Kesehatan dan Agama

Pada tahun ajaran 2004 2005, rasio perbandingan jumlah murid terhadap jumlah guru untuk SD 31,43 persen, SLTP 17,85 persen, SLA 16,55 persen serta sekolah lanjutan tingkat atas lanjutan Perguruan Tinggi 14,75 persen. Jumlah Puskesmas keliling pada tahun 2004 mengalami kenaikan sebesar 5.585 unit, sementara jumlah rumah sakit sebanyak 152 unit dengan jumlah tempat tidur sebanyak 498 buah. Jumlah tenaga kerja kesehatan mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2004, jumlah dokter umum sebanyak 1.425 orang dan jumlah dokter gigi ada 626 orang. Jumlah bidan puskesmas ada 5.902 orang, sedangkan jumlah bidan desa ada 2.412 orang. Terdapat jumlah persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan, yaitu mencapai 496.684 persalinan. Tempat peribadatan umat Islam pada tahun 2004 tercatat 110.021 buah, yang terdiri dari 42.605 buah mesjid, 86.671 langgar dan 23.350 mushola. Tempat peribadatan agama lainnya sebanyak 1.808 buah, terdiri dari Gereja Protestan 1.521, Gereja Katholik 103, Pura Hindu 25 dan Vihara Budha sebanyak 159 buah BPS Jawa Barat, 2005.

4.5. Kondisi Perekonomian Jawa Barat

Kegiatan perekonomian di Provinsi Jawa Barat menunjukkan perkembangan yang signifikan baik dari jumlah maupun keragamannya, hal ini menggambarkan bahwa Jawa Barat merupakan wilayah yang potensial untuk mengembangkan dan membangun berbagai kegiatan ekonomi. Tumbuhnya kegiatan ekonomi tersebut tidak terlepas dari faktor Sumber Daya Alam SDA ataupun Sumber Daya Manusia SDM. Jika dilihat dari kontribusinya terhadap pembentukan PDB nasional, Jawa Barat merupakan salah satu wilayah yang memberikan kontribusi cukup besar dalam perekonomian Indonesia Tabel 1.2, selain itu juga merupakan daerah hinterland DKI Jakarta dan sebagai wilayah pemasok berbagai kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia. Tetapi semenjak terjadinya krisis ekonomi tahun 1997, kontribusi yang diberikan Jawa Barat terhadap PDB nasional mulai menurun. Pertumbuhan PDRB Jawa Barat sebelum terjadi krisis ekonomi menunjukkan nilai yang positif yaitu sebesar 8,18 persen, sedangkan pada saat terjadi krisis pertumbuhannya turun hingga mencapai nilai negatif yaitu sebesar -17,76 persen pada tahun 1998. Pada tahun berikutnya yaitu tahun 1999, laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat sedah menunjukkan nilai yang positif. Namun mulai tahun 2000, kontribusi Jawa Barat terhadap Nasional mulai mengalami penurunan bahkan Jawa Barat berada pada peringkat ketiga setelah DKI Jakarta dan Jawa Timur. Penurunan kinerja perekonomian Jawa Barat selain disebabkan terjadinya krisis ekonomi, akan tetapi juga disebabkan karena lepasnya Banten menjadi Provinsi Banten pada pemekaran wilayah tahun 2000. Kontribusi Banten cukup besar terhadap pertumbuhan PDRB Jawa Barat khususnya dalam menunjang sektro utilitas dan sektor jasa BPS, 1999. Setelah terjadi pemekaran wilayah, Provinsi Jawa Barat mampu memulihkan kembali keadaan perekonomiannya. Hal ini dapat dilihat dari nilai PDRB nya yang meningkat, meskipun kontribusi Jawa Barat terhadap nasional masih berada pada peringkat ketiga. Pada periode sebelum pemekaran wilayah Provinsi Jawa Barat memiliki 25 kabupatenkota yang terdiri dari 20 kabupaten dan 5 kota. Pemekaran wilayah di Provinsi Jawa Barat diawali UU No. 23 Tahun 2000 tentang Provinsi Banten. Provinsi Banten terbentuk dari kabupatenkota yang melepaskan pemerintahannya dari Provinsi Jawa Barat dengan daerahnya meliputi : Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kota Cilegon, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang. Pemekaran wilayah yang terjadi dengan lahirnya Provinsi Banten kemudian diikuti oleh pemekaran beberapa kabupaten di Jawa Barat. Pemekaran yang terjadi diantaranya Kota Tasikmalaya pemekaran dari Kabupaten Tasikmalaya, Kota Depok pemekaran dari Kabupaten Bogor, Kota Banjar pemekaran dari Kabupaten Ciamis, Kota Bekasi pemekaran dari Kabupaten Bekasi dan Kota Cimahi pemekaran dari Kabupaten Bandung. Setelah terjadinya pemekaran wilayah, Provinsi Jawa Barat terdiri dari : 16 kabupaten dan 9 kota, dengan membawahi 584 Kecamatan, 5.201 Desa dan 609 Kelurahan BPS 2002. V. ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN 5.1. Analisis PDRB Provinsi Jawa Barat dan PDB Nasional Sebelum, Pada Masa, dan Setelah Krisis Ekonomi 1993-1996, 1997-2001, dan 2002- 2005 Berdasarkan Tabel 5.1, terlihat bahwa sebelum terjadi krisis ekonomi, laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat adalah sebesar 37,06 persen, sedangkan setelah krisis sebesar 15,70 persen. Hampir seluruh sektor perekonomian tumbuh positif, akan tetapi sektor pertambangan dan penggalian memiliki pertumbuhan yang negatif yaitu sebesar -2,54 persen. Rendahnya pertumbuhan sektor pertambangan dan penggalian, disebabkan menurunnya kontribusi dari sub sektor pertambangan tanpa migas dan sub sektor penggalian. Menurunnya kontribusi dari kedua sub sektor tersebut diduga penyebabnya adalah karena terbatasnya SDA barang tambang dan galian yang terdapat di Provinsi Jawa Barat. Wilayah di Jawa Barat yang memiliki sumber tambang dan galian terbesar hanya terdapat di Kecamatan Nagreg, Kabupaten Bandung lihat peta pada lampiran 10. Sektor yang memiliki pertumbuhan terbesar adalah sektor industri pengolahan sebesar 68,17 persen. Besarnya pertumbuhan sektor tersebut, penyebabnya adalah karena meningkatnya permintaan akan produk akhir dari sektor tersebut. Selain itu, sektor tersebut juga memiliki pertumbuhan yang pesat karena besarnya pangsa pasar penjualan produk akhirnya. Menjelang pertengahan tahun 1997, Indonesia mengalami krisis ekonomi. Pertumbuhan Nasional dan daerah mengalami fluktuasi, bahkan mengalami pertumbuhan yang negatif. Pertumbuhan PDRB pun mulai melambat yang disebabkan oleh menurunnya kontribusi masing-masing sektor perekonomiannya. Hal ini dapat dilihat dari laju pertumbuhan PDRB masing-masing sektor yang menunjukkan angka yang lebih rendah dari tahun sebelumnya, bahkan ada sektor yang telah menunjukkan pertumbuhan yang negatif, yaitu sektor pertanian -7,13 persen dan sektor bangunan -2,23 persen. Penurunan pertumbuhan sektor pertanian dapat dimengerti karena dampak dari kemarau panjang yang melanda Jawa Barat sepanjang tahun 1997 BPS, 2000. Sedangkan pada tahun 1998 merupakan puncak dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Pada masa ini pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami penurunan yang cukup tajam hingga mencapai nilai negatif, yaitu sebesar -13,33 persen Tabel 1.1. Pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat di semua sektor juga menunjukkan angka negatif negative growth bahkan penurunannya lebih besar bila dibandingkan dengan nasional yaitu sebesar -17,76 persen Tabel 1.3. Penurunan tersebut merupakan imbas dari terdepresiasinya nilai tukar rupiah sehingga menyebabkan terganggunya kinerja sektor-sektor perekonomian yang pada akhirnya menyebabkan rendahnya kontribusi yang diberikan oleh masing- masing sektor tersebut. Berdasarkan Tabel 5.1, terlihat bahwa krisis ekonomi telah menyebabkan hampir seluruh sektor perekonomian di Provinsi Jawa Barat memiliki pertumbuhan yang negatif yaitu sebesar -10,55 persen. Sektor yang mengalami penurunan terbesar adalah sektor bangunan sebesar -48,85 persen. Penurunan tersebut disebabkan memburuknya kondisi perekonomian akibat terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing sehingga suku bunga meningkat. Meningkatnya suku bunga telah menyebabkan meningkatnya harga bahan- bahan bangunan yang sebagian besar masih berasal dari impor. Selain itu, kondisi perekonomian yang tidak stabil menyebabkan rendahnya tingkat kepercayaan sektor perbankan terhadap para developer dalam penyaluran kredit usaha. Hal yang juga menyebabkan rendahnya tingkat kepercayaan perbankan terhadap para pengembang adalah meningkatnya jumlah kredit macet sehingga kondisi perbankan nasional tidak stabil BPS, 2000. Meskipun pada saat krisis hampir seluruh sektor perekonomian di Jawa Barat memiliki pertumbuhan yang negatif, akan tetapi ada dua sektor yang tetap memiliki pertumbuhan yang positif yaitu sektor pertambangan dan penggalian serta sektor listrik, gas dan air bersih. Sektor listrik, gas dan air bersih mengalami pertumbuhan yang positif bahkan mengalami peningkatan walaupun adanya krisis yaitu sebesar 4,85 persen, disebabkan karena adanya peningkatan kontribusi dari sub sektor pendukungnya. Selain itu, tidak terpengaruhnya tingkat penggunaan oleh rumah tangga karena produk dari sektor tersebut merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan sektor pertambangan dan penggalian mengalami pertumbuhan yang positif 2,58 persen pada saat krisis, hal tersebut disebabkan karena meningkatnya kontribusi dari sub sektor minyak dan gas bumi dan sektor pertambangan tanpa galian. Meningkatnya kontribusi sub sektor minyak dan gas bumi dipengaruhi oleh meningkatnya permintaan bahan baku dari sektor listrik, gas dan air bersih. Pada tahun 2002 kondisi perekonomian Indonesia sudah mulai stabil. Stabilnya perekonomian nasional berdampak baik terhadap perekonomian Jawa Barat. Hal ini dilihat dari pertumbuhan PDRB Jawa Barat yang sudah menunjukkan nilai yang positif hampir disemua sektor 15,70 persen, meskipun masih ada sektor yang memiliki pertumbuhan yang negatif yaitu sektor pertambangan dan penggalian sebesar -15,99 persen. Setelah krisis sektor pertambangan dan penggalian memiliki pertumbuhan yang negatif diduga penyebabnya adalah rendahnya investasi yang mengalir pada sektor tersebut. Rendahnya investasi di sektor pertambangan dan penggalian disebabkan karena kegiatan sektor pertambangan dan penggalian mengandung resiko tinggi sehingga para investor kurang berminat menanamkan modalnya pada sektor tersebut. Sektor yang mengalami pergeseran pertumbuhan yang cukup signifikan setelah krisis adalah sektor bangunan. Sektor bangunan mampu tumbuh dan bangkit kembali setelah mengalami keterpurukan yang cukup parah pada saat krisis, seiring dengan membaiknya kondisi perekonomian setelah krisis. Pulihnya perekonomian telah memicu bergairahnya kembali bisnis properti, hal ini dilihat dari mulai membaiknya tingkat kepercayaan perbankan terhadap sektor bangunan dalam hal penyaluran kredit kepada para developer. Selain itu juga, meningkatnya daya beli masyarakat akan permintaan perumahan, pusat perbelanjaan dan sarana ekonomi lainnya serta meningkatkan jumlah proyek pemerintah, swasta maupun perorangan. Dengan demikian pada periode tahun 1993-2005, pertumbuhan ekonomi Jawa Barat mengalami penurunan dari 37,06 persen sebelum krisis menjadi 15,70 persen setelah krisis. Namun secara umum kondisi perekonomian Jawa Barat sudah jauh lebih baik dibandingkan pada saat terjadi krisis yang memiliki pertumbuhan yang negatif yaitu sebesar -10,55 persen. Berdasarkan Tabel 5.2, kondisi perekonomian Indonesia pada masa sebelum terjadi krisis menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik yaitu sebesar 25,48 persen. Seluruh sektor perekonomian memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pembentukan PDB Nasional. Sektor yang memiliki pertumbuhan terbesar adalah sektor listrik, gas dan air bersih sebesar 48,22 persen. Sedangkan pertumbuhan terendah adalah sektor pertanian sebesar 8,25 persen. Pertumbuhan sektor listrik, gas dan air bersih sebelum terjadi krisis memiliki pertumbuhan terbesar, baik terhadap PDB Nasional maupun PDRB Jawa Barat. Hal ini dikarenakan produk akhir yang dihasilkan dari sektor tersebut merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat. Pada pertengahan tahun 1997, kondisi perekonomian Indonesia tidak stabil yang disebabkan karena terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Pertumbuhan PDB Nasional pada saat krisis mengalami penurunan pertumbuhan hingga mencapai nilai negatif yaitu sebesar -4,96 persen. Namun penurunan tersebut masih jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan penurunan PDRB Jawa Barat yang mencapai -10,55 persen Tabel 5.1. Sektor bangunan merupakan sektor perekonomian nasional yang terkena dampak paling parah dari adanya krisis ekonomi yaitu sebesar -31,23 persen. Sedangkan sektor yang mengalami pertumbuhan yang positif meskipun terjadi krisis adalah sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian serta sektor industri pengolahan. Sektor pertanian baik sebelum maupun pada saat krisis memiliki pertumbuhan yang positif meskipun nilainya lebih kecil yaitu sebesar 4,42 persen. Sektor pertanian mampu bertahan dari krisis dan tetap memiliki pertumbuhan yang positif dikarenakan pada sektor pertanian tidak terdapat komponen impor. Setelah memasuki masa pemulihan, kondisi perekonomian Indonesia sudah mulai membaik. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5.2, pertumbuhan PDB Nasional setelah krisis mengalami peningkatan sebesar 16,18 persen, meskipun nilai ini masih lebih rendah bila dibandingkan dengan sebelum krisis sebesar 25, 48 persen. Setelah krisis hampir seluruh sektor perekonomian memiliki pertumbuhan yang positif, namun ada satu sektor yang memiliki pertumbuhan negatif yaitu sektor pertambangan dan penggalian yaitu sebesar -0,94. Sektor pertambangan dan penggalian, setelah krisis mengalami pertumbuhan yang negatif, diduga faktor penyebabnya adalah kurangnya perhatian pemerintah karena sektor pertambangan dan penggalian tidak menyerap banyak tenaga kerja. Selain itu, alat-alat modal yang digunakan sebagian besar berasal dari impor sehingga menyebabkan tingginya biaya produksi serta rendah produkstivitas SDM yang terdapat dalam sektor tersebut. Sektor yang memiliki pertumbuhan terbesar setelah krisis ditempati oleh sektor pengangkutan dan komunikasi. Besarnya laju pertumbuhan sektor pengangkutan dan komunikasi disebabkan karena meningkatnya kontribusi dari sub sektor pengangkutan yang disebabkan mulai membaiknya proses distribusi. Selain itu juga karena terjadi peningkatan pada sub sektor komunikasi yang disebabkan sudah mulai membaiknya jaringan komunikasi hingga ke daerah- daerah terpencil di Indonesia serta meningkatnya permintaan akan telepon seluler mulai dari masyarakat golongan menengah kebawah hingga masyarakat menengah keatas. Namun ada hal yang paling mendasar terjadinya peningkatan sektor pengangkutan dan komunikasi adalah tingginya permintaan masyarakat akan sarana transportasi dan komunikasi dalam menunjang mobilitas kegiatannya sehari-hari. Jadi adanya krsisis ekonomi tahun 1997 telah menyebabkan terjadinya pergeseran kontribusi sektor-sektor perekonomian baik terhadap pembentukan PDB nasioanl maupun terhadap pembentukan PDRB Provinsi Jawa Barat. Selain itu, krisis juga telah menyebabkan hampir seluruh sektor perekonomian memiliki pertumbuhan yang negatif.

5.2. Rasio PDRB Provinsi Jawa Barat dan PDB Nasional Sebelum, Pada

Masa, dan Setelah Krisis Ekonomi Kontribusi sektor perekonomian Provinsi Jawa Barat maupun PDB Nasional, sebelum terjadi krisis ekonomi cenderung mengalami peningkatan. Sedangkan pada saat terjadi krisis mengalami penurunan hingga mencapai nilai negatif dan setelah terjadi krisis kontribusi sektor perekonomian mulai meningkat kearah pertumbuhan yang positif. Untuk melihat rasio perbandingan pertumbuhan sektor ekonomi di Provinsi Jawa Barat dengan Nasional maka dapat dilihat dari nilai Ra, Ri dan ri pada Tabel 5.3. Nilai Ra didasarkan pada perhitungan selisih antara PDB Nasional tahun 1996 dengan PDB tahun 1993 dibagi dengan PDB tahun 1993 periode sebelum krisis, dan selisih antara PDB Nasional tahun 2001 dengan PDB tahun 1997 dibagi dengan PDB tahun 1997 periode krisis, serta selisih PDB nasional tahun 2005 dengan PDB tahun 2002 dibagi dengan PDB tahun 2002 periode setelah krisis. Sehingga nilai Ra yang didapat tiap sektor ekonomi menunjukkan nilai yang sama besar. Nilai Ra sebesar 0,37 menunjukkan bahwa pada periode sebelum krisis ekonomi, pertumbuhan ekonomi nasional meningkat sebesar 0,37. Sedangkan nilai Ra yang kedua sebesar -0,05 menunjukkan bahwa pada saat terjadi krisis ekonomi, pertumbuhan ekonomi nasional mengalami penurunan sebesar -0,05. Nilai Ra yang ketiga adalah sebesar 0,16 yang berarti setelah terjadi krisis, pertumbuhan ekonomi nasional mengalami peningkatan sebesar 0,16. Jika dilihat dari nilai Ra tersebut, maka peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional sebelum terjadi krisis lebih besar bila dibandingkan peningkatan pada periode setelah krisis ekonomi Tabel 5.3. Hal ini terjadi karena perkembangan pertumbuhan PDB nasional sebelum krisis lebih tinggi dibandingkan setelah krisis yang merupakan imbas dari terdepresiasinya nilai tukar rupiah dan pergolakan sosial serta terganggunya keamanan dalam negeri yang terjadi pada saat krisis ekonomi tahun 1997. Tabel 5.3. Rasio PDRB Jawa Barat dan PDB Nasional Nilai Ra, Ri dan ri Sebelum Krisis Ekonomi 1993 dan 1996 Pada Masa Krisis Ekonomi 1997 dan 2001 Setelah Krisis Ekonomi 2002 dan 2005 Sektor Perekonomian Ra Ri ri Ra Ri ri Ra Ri ri 1. Pertanian 0,25 0,08 0,12 -0,05 0,04 -0,03 0,16 0,11 0,05

2. Pertambangan dan Penggalian

0,25 0,20 -0,03 -0,05 0,02 0,03 0,16 -0,01 - 0,16 3. Industri Pengolahan 0,25 0,39 0,68 -0,05 0,01 -0,04 0,16 0,15 0,15 4. Listrik, Gas Air Bersih 0,25 0,48 0,33 -0,05 0,30 0,45 0,16 0,18 0,18 5. Bangunan 0,25 0,46 0,38 -0,05 -0,31 -0,48 0,16 0,24 0,40 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 0,25 0,26 0,41 -0,05 -0,10 -0,25 0,16 0,19 0,16 7. Pengangkutan dan Komunikasi 0,25 0,28 0,43 -0,05 -0,01 -0,12 0,16 0,40 0,19 8. Keuangan, Persewaan Jasa Perusahaan 0,25 0,30 0,37 -0,05 -0,25 -0,21 0,16 0,20 0,21 9. Jasa-jasa 0,25 0,10 0,17 -0,05 0,03 -0,09 0,16 0,13 0,36 Total 0,25 0,25 0,37 -0,05 -0,05 -0,11 0,16 0,16 0,16 Sumber : Lampiran 5 Berdasarkan Tabel 5.3, nilai Ri menunjukkan kontribusi masing-masing sektor perekonomian terhadap peningkatan pertumbuhan secara nasional. Pada periode sebelum krisis seluruh sektor perekonomian bernilai positif yaitu sebesar 0,25, sedangkan pada saat krisis secara umum memiliki nilai Ri yang negatif. Hal ini berarti secara keseluruhan kontribusi sektor-sektor perekonomian pada saat krisis, mengalami penurunan terhadap pertumbuhan nasional. Kemudian setelah krisis hampir seluruh sektor perekonomian bernilai positif meskipun ada satu sektor yang bernilai negatif yaitu sektor pertambangan dan penggalian. Hal ini berarti terjadi peningkatan kontribusi masing-masing sektor perekonomian secara nasional baik sebelum maupun setelah krisis ekonomi. Tetapi nilai Ri sebelum krisis lebih besar daripada setelah krisis yaitu 0,25: 0,16. Periode sebelum krisis, sektor ekonomi yang memiliki nilai Ri terbesar terdapat pada sektor listrik, gas dan air bersih yaitu sebesar 0,48 dan terendah pada sektor pertanian sebesar 0,08. Hal ini menunjukkan bahwa sektor listrik, gas dan air bersih memberikan kontribusi sebesar 0,48 terhadap peningkatan pertumbuhan secara nasional. Pada saat krisis tidak semua sektor perekonomian memiliki nilai Ri yang negatif. Sektor yang memiliki nilai Ri yang positif adalah sektor pertanian 0,04, sektor pertambangan dan penggalian 0,02, sektor industri pengolahan 0,01 serta sektor listrik, gas dan air bersih 0,30. Hal ini menunjukkan bahwa baik sebelum maupun pada saat krisis, sektor listrik, gas dan air bersih memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap peningkatan pertumbuhan secara nasional. Setelah krisis, sektor yang memiliki nilai Ri tertinggi terdapat pada sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 0,40. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pengangkutan dan komunikasi setelah krisis, memberikan kontribusi sebesar 0,40