Analisis Pertumbuhan dan Daya Saing Sektor-Sektor Perekonomian Di Kota Bekasi Pada Masa Otonomi Daerah

(1)

OLEH PRITTA AMALIA

H14103119

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007


(2)

RINGKASAN

PRITTA AMALIA. Analisis Pertumbuhan dan Daya Saing Sektor-sektor Perekonomian di Kota Bekasi pada Masa Otonomi Daerah (dibimbing oleh YETI LIS PURNAMADEWI).

Sejak diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, Pemerintah Pusat mulai berhasil memulihkan perekonomian nasional kembali. Pertumbuhan ekonomi nasional yang semakin membaik, diikuti pula oleh perbaikan pertumbuhan ekonomi diberbagai daerah pada masa otonomi daerah, meskipun dalam kenyataannya terjadi perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi di setiap daerah sebagai akibat dari berbedanya faktor endogen maupun eksogen yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan di suatu daerah. Sejalan dengan semakin membaiknya perekonomian nasional pada masa otonomi daerah yang terlihat dari meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi nasional, laju pertumbuhan ekonomi di Kota Bekasi yang juga mengimplementasikan kedua Undang-Undang tersebut, ternyata ikut mengalami peningkatan. Akan tetapi, berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistika (BPS) Kota Bekasi, laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi (5,4 persen) pada masa otonomi daerah (2001-2005) mengalami penurunan jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi (6,3 persen) pada masa sebelum otonomi daerah (1997-2000).

Bersamaan dengan penurunan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi, ternyata jumlah keluarga miskin dan tingkat pengangguran di Kota Bekasi terus mengalami peningkatan. Terjadinya peningkatan jumlah keluarga miskin dan tingkat pengangguran di Kota Bekasi pada masa otonomi daerah, tentunya akan sangat mengkhawatirkan bagi perkembangan ekonomi Kota Bekasi dimasa yang akan datang. Seperti yang diketahui bahwa perkembangan ekonomi suatu wilayah yang dapat dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi sangat tergantung pada pertumbuhan sektor-sektor perekonomian yang terdapat pada wilayah tersebut. Namun dengan adanya segala keterbatasan, maka Pemerintah Daerah tidak perlu memprioritaskan semua sektor-sektor perekonomian, cukup hanya dengan memprioritaskan sektor unggulan daerahnya pada saat merumuskan kebijakan pembangunan ekonomi. Meskipun demikian, Kota Bekasi yang telah menjadikan sektor jasa dan perdagangan sebagai sektor unggulannya dan telah memprioritaskan sektor ini dalam kebijakan pembangunan ekonominya, laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi bukannya mengalami peningkatan justru mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan adanya kemungkinan Kota Bekasi kurang tepat dalam memilih atau menentukan sektor yang menjadi sektor unggulannya.

Dengan demikian, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1) menganalisis laju pertumbuhan ekonomi rata-rata dan pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi pada masa otonomi daerah tahun 2002-2005, 2) menganalisis daya saing sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi pada masa otonomi daerah


(3)

dengan sektor ekonomi dan daerah/wilayah lainnya. Variabel yang digunakan untuk analisis Shift Share adalah data sekunder berupa PDRB Jawa Barat dan PDRB Kota Bekasi berdasarkan lapangan usaha yang terdiri dari sembilan sektor perekonomian dan disajikan berdasarkan harga konstan 2000.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pada tahun 2002-2005, hampir seluruh sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi memiliki nilai laju pertumbuhan ekonomi rata-rata (LPER) yang positif dan Nilai Persentase Perubahan (NPP) total PDRB Kota Bekasi lebih besar dibandingkan dengan nilai NPP total PDRB Jawa Barat. Kemudian berdasarkan komponen pertumbuhan wilayah, sejak kebijakan otonomi daerah diberlakukan di Kota Bekasi, sektor kontruksi merupakan sektor yang memiliki laju pertumbuhan tercepat dan sektor ini terdapat pada kuadran II karena sektor ini memiliki laju pertumbuhan yang cepat dan tidak mampu berdaya saing. Sedangkan sektor yang memiliki laju pertumbuhan terlambat adalah sektor pertanian dan sektor ini terdapat pada kuadran III karena selain memiliki laju pertumbuhan yang lambat, sektor ini juga tidak mampu berdaya saing. Sementara itu, sektor yang paling mampu berdaya saing di Kota Bekasi adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor ini berada pada kuadran IV karena meskipun mampu berdaya saing, ternyata sektor ini memiliki pertumbuhan yang lambat, sedangkan sektor yang paling tidak mampu berdaya saing adalah sektor kontruksi, sektor ini berada di kuadran II karena walaupun tidak mampu berdaya saing, tetapi sektor ini memiliki pertumbuhan yang cepat.

Walupun demikian, jika berdasarkan profil pertumbuhan, sektor perekonomian yang memiliki laju pertumbuhan yang cepat dan mampu berdaya saing di Kota Bekasi adalah sektor listrik, gas dan air serta sektor pengangkutan dan komunikasi. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Bekasi disarankan agar dapat menjadikan kedua sektor ini sebagai sektor unggulan yang akan diprioritaskan dalam kebijakan pembangunan ekonomi Kota Bekasi selanjutnya. Setelah itu, Pemerintah Kota Bekasi diharapkan dapat menumbuhkembangkan secara akseleratif sektor unggulannya agar bisa menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi, sehingga laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi dapat meningkat kembali dan bisa menstimulasi seluruh laju pertumbuhan ekonomi pada sektor-sektor perekonomian lainnya.


(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Pritta Amalia lahir pada tanggal 14 April 1984 di Jakarta. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Nur Effendi dan Tusi Gusniar. Jenjang pendidikan yang dilalui penulis diawali dari Taman Kanak-Kanak di TK Yuli, lalu menamatkan sekolah dasarnya di SDN Bekasi Jaya Indah I, kemudian melanjutkan ke SLTPN 3 Bekasi dan menamatkan sekolah menengah atasnya di SMUN 2 Bekasi.

Pada tahun 2003, penulis diterima sebagai mahasiswa pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis aktif di organisasi HIPOTESA (Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan) sebagai Ketua Departemen Media dan Informasi, selain itu penulis juga aktif diberbagai kepanitian kegiatan yang diselenggarakan di kampus.


(5)

DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Agustus 2007

Pritta Amalia


(6)

ANALISIS PERTUMBUHAN DAN DAYA SAING

SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DI KOTA BEKASI

PADA MASA OTONOMI DAERAH

Oleh

PRITTA AMALIA H14103119

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007


(7)

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Pritta Amalia Nomor Registrasi Pokok : H14103119 Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Analisis Pertumbuhan dan Daya Saing Sektor-sektor Perekonomian di Kota Bekasi pada Masa Otonomi Daerah

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Ir.Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc. NIP. 131 967 243

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS. NIP. 131 846 872


(8)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

I. PENDAHULUAN ………... 1

1.1. Latar Belakang...………... 1

1.2. Perumusan Masalah...………... 6

1.3. Tujuan Pelitian...………... 8

1.4. Manfaat Penelitian...………... 8

1.5. Ruang Lingkup Penelitian... 9

II. KERANGKA PEMIKIRAN... 10

2.1. Keterkaitan Antara Otonomi Daerah dengan Pertumbuhan Ekonomi... 10

2.2. Teori Pertumbuhan Wilayah... 12

2.3. Analisis Shift Share dan Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian ... 14

2.3.1. Kegunaan Analisis Shift Share……….... 15

2.3.2. Kelebihan dan Kelemahan Analisis Shift Share…………... 15

2.4. Penelitian Terdahulu…... 17

2.5. Kerangka Pemikiran Operasional... 20

III. METODE PENELITIAN... 23

3.1. Lokasi Penelitian... 23

3.2. Jenis dan Sumber Data... 23

3.3. Metode Analisis... 24

3.3.1. Analisis Laju Pertumbuhan Ekonomi Rata-rata Kota Bekasi 24 3.3.2. Analisis Shift Share...……… 25

3.3.2.1. Analisis PDRB Kota Bekasi dan PDRB Jawa Barat 25 3.3.2.2. Analisis Ratio PDRB Kota Bekasi dan PDRB Provinsi Jawa Barat... 26

3.3.2.3. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah……….. 28

3.3.2.4. Analisis Pergeseran Bersih... 32


(9)

IV. GAMBARAN UMUM KOTA BEKASI ... 37

4.1. Keadaan Geografi dan Pemerintahan... 37

4.2. Demografi... 39

4.3. Sarana dan Prasarana... 41

4.3.1. Transportasi... 41

4.3.2. Penyediaan Air bersih... 41

4.3.3. Pengelolaan Sampah... 42

4.3.4. Sistem Drainase... 43

4.3.5. Sarana Penerangan Jalan Umum... 43

4.4. Kondisi Perekonomian... 43

4.5. Kebijakan Pembangunan Ekonomi... 45

4.5.1. Prioritas Kebijakan Pembangunan Ekonomi... 45

4.5.2. Arah Kebijakan Pembangunan Ekonomi... 47

4.5.3. Strategi Kebijakan Pembangunan Ekonomi... 49

V. HASIL DAN PEMBAHASAN... 50

5.1. Analisis Laju Perumbuhan Ekonomi Rata-rata Kota Bekasi Tahun 2002-2005...………. 50

5.2. Analisis PDRB Kota Bekasi dan PDRB Provinsi Jawa Barat Tahun 2002-2005... 52

5.3. Rasio PDRB Provinsi Jawa Barat dan PDRB Kota Bekasi Tahun 2002-2005. ………. 55

5.4. Analisis Pertumbuhan dan Daya Saing Sektor-sektor Perekonomiaan di Kota Bekasi Tahun 2002-2005... 57

5.5. Pergeseran Bersih dan Profil Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian di Kota Bekasi Tahun2002-2005...………. 61

VI. KESIMPULAN DAN SARAN...………... 65

6.1. Kesimpulan ………. 65

6.2. Saran ………. 66

DAFTAR PUSTAKA ... 68


(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1.1. Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2001-2005 (Persen)... 3 1.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Rata-rata Menurut Provinsi,

Tahun 2001-2005 (Persen).………... 4 1.3. Laju Pertumbuhan Ekonomi, Jumlah Keluarga Miskin dan Tingkat Pengangguran di Kota Bekasi, Tahun 2001-2005... 6 4.1. Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan

Tahun 2005... 39 4.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Sektor-sektor Perekonomian Kota

Bekasi, Tahun 2005 (Persen)... 44 5.1. Laju Pertumbuhan Ekonomi Rata-rata Kota Bekasi,

Tahun 2002-2005 (Persen)...……… 51 5.2. PDRB Kota Bekasi Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga

Konstan 2000, Tahun 2002 dan 2005... 53 5.3. PDRB Kota Bekasi Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga

Konstan 2000, Tahun 2002 dan 2005... 54 5.4. Rasio PDRB Jawa Barat dan PDRB Kota Bekasi, Tahun 2002

dan 2005...………... 55 5.5. Komponen Pertumbuhan Regional, Tahun 2002 dan 2005... 57 5.6. Komponen Pertumbuhan Proposional, Tahun 2002 dan 2005... 58 5.7. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah, Tahun 2002 dan 2005 .. 60 5.8. Pergeseran Bersih, Tahun 2002-2005... 62


(11)

OLEH PRITTA AMALIA

H14103119

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007


(12)

RINGKASAN

PRITTA AMALIA. Analisis Pertumbuhan dan Daya Saing Sektor-sektor Perekonomian di Kota Bekasi pada Masa Otonomi Daerah (dibimbing oleh YETI LIS PURNAMADEWI).

Sejak diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, Pemerintah Pusat mulai berhasil memulihkan perekonomian nasional kembali. Pertumbuhan ekonomi nasional yang semakin membaik, diikuti pula oleh perbaikan pertumbuhan ekonomi diberbagai daerah pada masa otonomi daerah, meskipun dalam kenyataannya terjadi perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi di setiap daerah sebagai akibat dari berbedanya faktor endogen maupun eksogen yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan di suatu daerah. Sejalan dengan semakin membaiknya perekonomian nasional pada masa otonomi daerah yang terlihat dari meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi nasional, laju pertumbuhan ekonomi di Kota Bekasi yang juga mengimplementasikan kedua Undang-Undang tersebut, ternyata ikut mengalami peningkatan. Akan tetapi, berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistika (BPS) Kota Bekasi, laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi (5,4 persen) pada masa otonomi daerah (2001-2005) mengalami penurunan jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi (6,3 persen) pada masa sebelum otonomi daerah (1997-2000).

Bersamaan dengan penurunan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi, ternyata jumlah keluarga miskin dan tingkat pengangguran di Kota Bekasi terus mengalami peningkatan. Terjadinya peningkatan jumlah keluarga miskin dan tingkat pengangguran di Kota Bekasi pada masa otonomi daerah, tentunya akan sangat mengkhawatirkan bagi perkembangan ekonomi Kota Bekasi dimasa yang akan datang. Seperti yang diketahui bahwa perkembangan ekonomi suatu wilayah yang dapat dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi sangat tergantung pada pertumbuhan sektor-sektor perekonomian yang terdapat pada wilayah tersebut. Namun dengan adanya segala keterbatasan, maka Pemerintah Daerah tidak perlu memprioritaskan semua sektor-sektor perekonomian, cukup hanya dengan memprioritaskan sektor unggulan daerahnya pada saat merumuskan kebijakan pembangunan ekonomi. Meskipun demikian, Kota Bekasi yang telah menjadikan sektor jasa dan perdagangan sebagai sektor unggulannya dan telah memprioritaskan sektor ini dalam kebijakan pembangunan ekonominya, laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi bukannya mengalami peningkatan justru mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan adanya kemungkinan Kota Bekasi kurang tepat dalam memilih atau menentukan sektor yang menjadi sektor unggulannya.

Dengan demikian, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1) menganalisis laju pertumbuhan ekonomi rata-rata dan pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi pada masa otonomi daerah tahun 2002-2005, 2) menganalisis daya saing sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi pada masa otonomi daerah


(13)

dengan sektor ekonomi dan daerah/wilayah lainnya. Variabel yang digunakan untuk analisis Shift Share adalah data sekunder berupa PDRB Jawa Barat dan PDRB Kota Bekasi berdasarkan lapangan usaha yang terdiri dari sembilan sektor perekonomian dan disajikan berdasarkan harga konstan 2000.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pada tahun 2002-2005, hampir seluruh sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi memiliki nilai laju pertumbuhan ekonomi rata-rata (LPER) yang positif dan Nilai Persentase Perubahan (NPP) total PDRB Kota Bekasi lebih besar dibandingkan dengan nilai NPP total PDRB Jawa Barat. Kemudian berdasarkan komponen pertumbuhan wilayah, sejak kebijakan otonomi daerah diberlakukan di Kota Bekasi, sektor kontruksi merupakan sektor yang memiliki laju pertumbuhan tercepat dan sektor ini terdapat pada kuadran II karena sektor ini memiliki laju pertumbuhan yang cepat dan tidak mampu berdaya saing. Sedangkan sektor yang memiliki laju pertumbuhan terlambat adalah sektor pertanian dan sektor ini terdapat pada kuadran III karena selain memiliki laju pertumbuhan yang lambat, sektor ini juga tidak mampu berdaya saing. Sementara itu, sektor yang paling mampu berdaya saing di Kota Bekasi adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor ini berada pada kuadran IV karena meskipun mampu berdaya saing, ternyata sektor ini memiliki pertumbuhan yang lambat, sedangkan sektor yang paling tidak mampu berdaya saing adalah sektor kontruksi, sektor ini berada di kuadran II karena walaupun tidak mampu berdaya saing, tetapi sektor ini memiliki pertumbuhan yang cepat.

Walupun demikian, jika berdasarkan profil pertumbuhan, sektor perekonomian yang memiliki laju pertumbuhan yang cepat dan mampu berdaya saing di Kota Bekasi adalah sektor listrik, gas dan air serta sektor pengangkutan dan komunikasi. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Bekasi disarankan agar dapat menjadikan kedua sektor ini sebagai sektor unggulan yang akan diprioritaskan dalam kebijakan pembangunan ekonomi Kota Bekasi selanjutnya. Setelah itu, Pemerintah Kota Bekasi diharapkan dapat menumbuhkembangkan secara akseleratif sektor unggulannya agar bisa menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi, sehingga laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi dapat meningkat kembali dan bisa menstimulasi seluruh laju pertumbuhan ekonomi pada sektor-sektor perekonomian lainnya.


(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Pritta Amalia lahir pada tanggal 14 April 1984 di Jakarta. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Nur Effendi dan Tusi Gusniar. Jenjang pendidikan yang dilalui penulis diawali dari Taman Kanak-Kanak di TK Yuli, lalu menamatkan sekolah dasarnya di SDN Bekasi Jaya Indah I, kemudian melanjutkan ke SLTPN 3 Bekasi dan menamatkan sekolah menengah atasnya di SMUN 2 Bekasi.

Pada tahun 2003, penulis diterima sebagai mahasiswa pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis aktif di organisasi HIPOTESA (Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan) sebagai Ketua Departemen Media dan Informasi, selain itu penulis juga aktif diberbagai kepanitian kegiatan yang diselenggarakan di kampus.


(15)

DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Agustus 2007

Pritta Amalia


(16)

ANALISIS PERTUMBUHAN DAN DAYA SAING

SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DI KOTA BEKASI

PADA MASA OTONOMI DAERAH

Oleh

PRITTA AMALIA H14103119

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007


(17)

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Pritta Amalia Nomor Registrasi Pokok : H14103119 Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Analisis Pertumbuhan dan Daya Saing Sektor-sektor Perekonomian di Kota Bekasi pada Masa Otonomi Daerah

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Ir.Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc. NIP. 131 967 243

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS. NIP. 131 846 872


(18)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

I. PENDAHULUAN ………... 1

1.1. Latar Belakang...………... 1

1.2. Perumusan Masalah...………... 6

1.3. Tujuan Pelitian...………... 8

1.4. Manfaat Penelitian...………... 8

1.5. Ruang Lingkup Penelitian... 9

II. KERANGKA PEMIKIRAN... 10

2.1. Keterkaitan Antara Otonomi Daerah dengan Pertumbuhan Ekonomi... 10

2.2. Teori Pertumbuhan Wilayah... 12

2.3. Analisis Shift Share dan Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian ... 14

2.3.1. Kegunaan Analisis Shift Share……….... 15

2.3.2. Kelebihan dan Kelemahan Analisis Shift Share…………... 15

2.4. Penelitian Terdahulu…... 17

2.5. Kerangka Pemikiran Operasional... 20

III. METODE PENELITIAN... 23

3.1. Lokasi Penelitian... 23

3.2. Jenis dan Sumber Data... 23

3.3. Metode Analisis... 24

3.3.1. Analisis Laju Pertumbuhan Ekonomi Rata-rata Kota Bekasi 24 3.3.2. Analisis Shift Share...……… 25

3.3.2.1. Analisis PDRB Kota Bekasi dan PDRB Jawa Barat 25 3.3.2.2. Analisis Ratio PDRB Kota Bekasi dan PDRB Provinsi Jawa Barat... 26

3.3.2.3. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah……….. 28

3.3.2.4. Analisis Pergeseran Bersih... 32


(19)

IV. GAMBARAN UMUM KOTA BEKASI ... 37

4.1. Keadaan Geografi dan Pemerintahan... 37

4.2. Demografi... 39

4.3. Sarana dan Prasarana... 41

4.3.1. Transportasi... 41

4.3.2. Penyediaan Air bersih... 41

4.3.3. Pengelolaan Sampah... 42

4.3.4. Sistem Drainase... 43

4.3.5. Sarana Penerangan Jalan Umum... 43

4.4. Kondisi Perekonomian... 43

4.5. Kebijakan Pembangunan Ekonomi... 45

4.5.1. Prioritas Kebijakan Pembangunan Ekonomi... 45

4.5.2. Arah Kebijakan Pembangunan Ekonomi... 47

4.5.3. Strategi Kebijakan Pembangunan Ekonomi... 49

V. HASIL DAN PEMBAHASAN... 50

5.1. Analisis Laju Perumbuhan Ekonomi Rata-rata Kota Bekasi Tahun 2002-2005...………. 50

5.2. Analisis PDRB Kota Bekasi dan PDRB Provinsi Jawa Barat Tahun 2002-2005... 52

5.3. Rasio PDRB Provinsi Jawa Barat dan PDRB Kota Bekasi Tahun 2002-2005. ………. 55

5.4. Analisis Pertumbuhan dan Daya Saing Sektor-sektor Perekonomiaan di Kota Bekasi Tahun 2002-2005... 57

5.5. Pergeseran Bersih dan Profil Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian di Kota Bekasi Tahun2002-2005...………. 61

VI. KESIMPULAN DAN SARAN...………... 65

6.1. Kesimpulan ………. 65

6.2. Saran ………. 66

DAFTAR PUSTAKA ... 68


(20)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1.1. Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2001-2005 (Persen)... 3 1.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Rata-rata Menurut Provinsi,

Tahun 2001-2005 (Persen).………... 4 1.3. Laju Pertumbuhan Ekonomi, Jumlah Keluarga Miskin dan Tingkat Pengangguran di Kota Bekasi, Tahun 2001-2005... 6 4.1. Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan

Tahun 2005... 39 4.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Sektor-sektor Perekonomian Kota

Bekasi, Tahun 2005 (Persen)... 44 5.1. Laju Pertumbuhan Ekonomi Rata-rata Kota Bekasi,

Tahun 2002-2005 (Persen)...……… 51 5.2. PDRB Kota Bekasi Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga

Konstan 2000, Tahun 2002 dan 2005... 53 5.3. PDRB Kota Bekasi Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga

Konstan 2000, Tahun 2002 dan 2005... 54 5.4. Rasio PDRB Jawa Barat dan PDRB Kota Bekasi, Tahun 2002

dan 2005...………... 55 5.5. Komponen Pertumbuhan Regional, Tahun 2002 dan 2005... 57 5.6. Komponen Pertumbuhan Proposional, Tahun 2002 dan 2005... 58 5.7. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah, Tahun 2002 dan 2005 .. 60 5.8. Pergeseran Bersih, Tahun 2002-2005... 62


(21)

2.2. Kerangka Pemikiran Operasional... ... 22 3.1. Profil Pertumbuhan PDRB... ... 33 5.1. Profil Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian di Kota Bekasi 63


(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Laju Pertumbuhan Ekonomi, Menurut Provinsi, Tahun

2002-2005 (persen)………... 71 2. PDRB Kota Bekasi Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar

Harga Konstan 2000, Tahun 2002-2005 (Juta Rupiah)... 72 3. PDRB Jawa Barat Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar


(23)

kita semua. Tidak lupa salawat dan salam juga penulis curahkan kepada Rasullulah Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan orang-orang yang tetap istiqomah memegang teguh ajaran beliau hingga akhir zaman. Berkat rahmat dan karunia yang diberikan Allah SWT, penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Pertumbuhan dan Daya Saing Sektor-sektor Perekonomian di Kota Bekasi pada Masa Otonomi Daerah”. Otonomi daerah merupakan topik yang sangat menarik karena diharapkan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan di daerah, khususnya di Kota Bekasi. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan skripsi ini, terutama kepada Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc selaku dosen pembimbing yang selalu membimbing dengan penuh kesabaran dan ketulusan, kemudian kepada Sahara, SP, M.Si sebagai dosen penguji utama dan Widyastutik, SE, M.Si sebagai dosen penguji dari Komisi Pendidikan yang telah menguji hasil penelitian, memberikan masukan berupa saran dan kritik sekaligus perbaikan mengenai tata cara penulisan skripsi ini dengan baik dan benar. Selain itu, penulis juga sangat berterima kasih kepada kedua orang tua penulis atas segala dukungan dan semangat yang berupa material maupun spiritual. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2007

Pritta Amalia H14103119


(24)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sebenarnya bagi Indonesia, otonomi daerah bukanlah suatu hal yang baru karena sejak zaman kemerdekaan sampai dengan tahun 1980 telah terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang otonomi daerah, mulai dari Undang Nomor 01 Tahun 1945 sampai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 (Elmi, 2004). Namun dalam pelaksanaannya dimasa lalu, otonomi daerah masih bersifat semu dan tidak sungguh-sungguh dalam penerapan maupun pelaksanaannya. Hal itu disebabkan karena masih mendominasinya campur tangan Pemerintah Pusat yang mengakibatkan kewenangan Pemerintah Pusat semakin hari bertambah besar terhadap pengaturan pemerintahan dan penyelenggaraan pembangunan di tingkat daerah.

Kewenangan Pemerintah Pusat yang semakin bertambah besar tersebut, ternyata banyak menimbulkan dampak negatif, diantaranya adalah laju pertumbuhan ekonomi diberbagai daerah menjadi ralatif lamban karena panjangnya birokrasi pelayanan publik yang harus menunggu petunjuk dari Pemerintah Pusat. Tidak hanya itu, Pemerintah Pusat juga sering memperlakukan suatu daerah secara tidak adil, terutama dari segi ekonomi sumber daya alam. Pemerintah Pusat cenderung memiliki keinginan untuk mengeksploitasi seluruh potensi dan kekayaan daerah tanpa memperhatikan keadilan dan pemerataan ekonomi kepada daerah, sehingga setelah reformasi bergulir beberapa Pemerintah Daerah menuntut kepada Pemerintah Pusat agar membuat kebijakan-kebijakan


(25)

yang berkaitan dengan redistribusi sumber-sumber daya supaya mereka bisa memperoleh bagian lebih besar daripada sebelumnya.

Sebagai wujud responsif dari tuntutan beberapa Pemerintah Daerah, maka Pemerintah Pusat mengganti beberapa Undang lama dengan Undang-Undang baru yang dirasa memiliki kaitan erat dengan tuntutan-tuntutan tadi diantaranya: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Menurut Undang-Undang ini otonomi daerah dipahami sebagai suatu kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan untuk Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1956 Pemerintah Pusat menggantikannya dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Adapun yang dimaksud dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah adalah suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, mancangkup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta pemerataan antar daerah secara proposional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi serta kebutuhan daerah.

Kehadiran kedua Undang-Undang baru diatas merupakan salah satu bentuk dari upaya Pemerintah Pusat untuk memulihkan perekonomian nasional dan daerah setelah dilanda krisis ekonomi pada sekitar pertengahan tahun 1997. Dimana sebelumnya upaya-upaya pemulihan ekonomi nasional maupun daerah


(26)

3

merupakan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat saja, tetapi kini akhirnya Pemerintah Pusat turut melibatkan Pemerintah Daerah agar ikut bertanggung jawab dalam memulihkan perekonomian di daerahnya masing-masing (Saragih, 2003).

Tabel 1.1. Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 1997-2005 (Persen)

Tahun Laju Pertumbuhan Ekonomi

1997 4,91 1998 -13,01 1999 0,31 2000 4,54 2001 3,64 2002 4,50 2003 4,78 2004 5,05 2005 5,60 Sumber: BPS Pusat, 1997-2005.

Setelah diimplementasikannya UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 25 Tahun 1999, Pemerintah Pusat mulai berhasil memulihkan perekonomian nasional kembali. Pertumbuhan ekonomi nasional yang semakin membaik (lihat Tabel 1.1), diikuti pula oleh perbaikan pertumbuhan ekonomi diberbagai daerah pada masa otonomi daerah (lihat Tabel 1.2), meskipun dalam kenyataannya terjadi perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi di setiap daerah sebagai akibat dari berbedanya faktor endogen maupun eksogen yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan di suatu daerah.

Diantara banyaknya kategori faktor endogen yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan disuatu daerah, namun pada penelitian kali ini hanya satu kategori saja yang menjadi fokus perhatian yaitu sektor-sektor perekonomian. Sementara untuk faktor eksogen tidak dibahas pada penelitian ini. Jika sektor-sektor


(27)

perekonomian disuatu wilayah secara relatif banyak yang mengalami peningkatan dalam laju pertumbuhannya, maka bisa dipastikan laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan di daerah tersebut juga akan mengalami peningkatan, begitu pula sebaliknya.

Tabel 1.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Rata-rata, Menurut Provinsi, Tahun 2001- 2005 (Persen)

No Provinsi Laju Pertumbuhan Ekonomi Rata-Rata

Tahun 2001-2005

1. Nanggroe Aceh Darussalam 11,88

2. Sumatera Utara 4,91

3. Sumatera Barat 4,96

4. Riau 2,78

5. Jambi 5,69

6. Sumatera Selatan 3,74

7. Bengkulu 5,09

8. Lampung 4,76

9. Kepulauan Bangka Belitung 6,19

10. Kepulauan Riau 6,52

11. DKI Jakarta 5,32

12. Jawa Barat 4,66

13. Jawa Tengah 4,52

14. DI Yogyakarta 4,67

15. Jawa Timur 4,80

16. Banten 4,93

17. Bali 4,07

18. Kalimantan Barat 3,95

19. Kalimantan Tengah 4,92

20. Kalimantan Selatan 4,54

21. Kalimantan Timur 2,57

22. Sulawesi Utara 3,56

23. Sulawesi Tengah 6,29

24. Sulawesi Selatan 4,42

25. Sulawesi Tenggara 6,81

26. Gorontalo 6,57

27. Sulawesi Barat -

28. Nusa Tenggara Barat 4,56

29. Nusa TenggaraTimur 4,41

30. Maluku 3,34

31. Maluku Utara 3,55

32. Irian Jaya Barat 7,43

33. Papua 14,49


(28)

5

Kota Bekasi sebagai salah satu kota besar yang relatif tidak memiliki sumber daya alam dalam mengimplementasikan kebijakan otonomi daerah ini mempunyai karakteristik tersendiri. Kota yang baru dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1996 tentang pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi dan diresmikan pada tanggal 10 Maret 1997 tersebut, sebelumnya merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Bekasi.

Ketika baru didirikan, Kota Bekasi memiliki sektor unggulan yang sama dengan Kabupaten Bekasi yaitu pada sektor industri, tetapi pada tahun 2000 berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2000, Kota Bekasi mengalihkan sektor unggulannya dari sektor industri ke sektor jasa dan perdagangan. Adanya peralihan sektor unggulan di Kota Bekasi pada tahun 2000 telah mengindikasikan bahwa sejalan dengan perkembangan ekonomi Kota Bekasi dimasa yang akan datang, tidak menutup kemungkinan jika Kota Bekasi akan mengalihkan lagi sektor unggulannya dari sektor jasa dan perdagangan ke sektor potensial lainnya.

Untuk itu, supaya Pemerintah Kota Bekasi dapat mengambil keputusan dengan tepat dalam menentukan sektor unggulannya, maka Pemerintah Kota Bekasi memerlukan berbagai macam informasi mengenai perkembangan sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi. Salah satu informasi yang dibutuhkan oleh Pemerintah Kota Bekasi adalah tentang pertumbuhan dan daya saing sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi pada kurun waktu tertentu.


(29)

1.2. Perumusan Masalah

Semakin membaiknya perekonomian nasional pada masa otonomi daerah yang terlihat dari meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi nasional (lihat Tabel 1.1) dan laju pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah di Indonesia (lihat Tabel 1.2), laju pertumbuhan ekonomi di Kota Bekasi juga mengalami peningkatan (lihat Tabel 1.3). Akan tetapi, berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistika (BPS) Kota Bekasi, laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi (5,4 persen) pada masa otonomi daerah (2001-2005) mengalami penurunan jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi (6,3 persen) pada masa sebelum otonomi daerah (1997-2000).

Tabel 1.3. Laju Pertumbuhan Ekonomi, Jumlah Keluarga Miskin dan Tingkat Pengangguran di Kota Bekasi, Tahun 2001-2005

Tahun Laju Pertumbuhan Ekonomi (Persen)

Jumlah Keluarga Miskin (Keluarga)

Tingkat Pengangguran

(Persen)

2001 5,26 26422 5,21

2002 5,54 30649 7,12

2003 5,25 33013 7,22

2004 5,36 35670 7,42

2005 5,60 42878 7,71

Sumber: BPS Kota Bekasi, 2001-2005.

Bersamaan dengan penurunan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi, ternyata jumlah keluarga miskin dan tingkat pengangguran di Kota Bekasi terus mengalami peningkatan (lihat Tabel 1.3). Terjadinya peningkatan jumlah keluarga miskin dan tingkat pengangguran di Kota Bekasi pada masa otonomi daerah, tentunya akan sangat mengkhawatirkan bagi perkembangan ekonomi Kota Bekasi dimasa yang akan datang. Seperti yang diketahui bahwa perkembangan ekonomi suatu wilayah yang dapat dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi sangat


(30)

7

tergantung pada pertumbuhan sektor-sektor perekonomian yang terdapat pada wilayah tersebut. Namun dengan adanya segala keterbatasan, maka Pemerintah Daerah tidak perlu memprioritaskan semua sektor-sektor perekonomian, cukup hanya dengan memprioritaskan sektor unggulan daerahnya pada saat merumuskan kebijakan pembangunan ekonomi.

Meskipun demikian, Kota Bekasi yang telah menjadikan sektor jasa dan perdagangan sebagai sektor unggulannya dan telah memprioritaskan sektor ini dalam kebijakan pembangunan ekonominya, laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi bukannya mengalami peningkatan justru mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan adanya kemungkinan Kota Bekasi kurang tepat dalam memilih atau menentukan sektor yang menjadi sektor unggulannya.

Oleh karenanya, maka diperlukan adanya suatu penelitian yang dapat memilih sektor unggulan dengan tepat. Dengan menggunakan alat analisis shift share, penelitian kali ini nantinya dimaksudkan akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat terutama dalam memberikan informasi secara lengkap mengenai sektor-sektor perekonomian mana saja yang tepat untuk dijadikan sektor unggulan. Adapun sektor unggulan yang dimaksud adalah sektor yang memiliki laju pertumbuhan yang cepat dan mampu berdaya saing.

Berdasarkan uraian diatas, maka secara sistematis penelitian ini akan menjawab berbagai macam permasalahan, sebagai berikut:

1. Bagaimanakah laju pertumbuhan ekonomi rata-rata dan pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi pada masa otonomi daerah, tahun 2002-2005?


(31)

2. Bagaimanakah daya saing sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi pada masa otonomi daerah, tahun 2002-2005?

3. Bagaimanakah pergeseran bersih dan profil pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis laju pertumbuhan ekonomi rata-rata dan pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi pada masa otonomi daerah, tahun 2002-2005.

2. Menganalisis daya saing sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi pada masa otonomi daerah, tahun 2002-2005.

3. Mengidentifikasi pergeseran bersih dan profil pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi.

1.4. Manfaat Penelitian

Sesuai dan sejalan dengan tujuan penilitian, maka penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :

1. Pemerintah

Sebagai bahan pertimbangan dan rekomendasi bagi Pemerintah Kota Bekasi agar memprioritaskan sektor-sektor yang memiliki laju


(32)

9

pertumbuhan yang cepat dan mampu berdaya saing pada saat merumuskan kebijakan pembangunan ekonomi Kota Bekasi selanjutnya.

2. Masyarakat

Memotivasi masyarakat Kota Bekasi agar mau ikut berperan dan berpartisipasi secara aktif dalam meningkatkan pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi.

3. Mahasiswa

Bahan informasi bagi mahasiswa lainnya yang memiliki ketertarikan dan keinginan untuk mengadakan penelitian tentang pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi selanjutnya.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah mengenai analisis pertumbuhan dan daya saing sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi pada masa otonomi daerah (2002-2005). Pada penelitian kali ini Shift Share digunakan sebagai alat analisis karena dengan menggunakan Shift Share pertumbuhan dan daya saing sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi dapat diketahui dan dibandingkan dengan sektor ekonomi dan daerah/wilayah lainnya. Variabel yang digunakan untuk analisis Shift Share adalah data sekunder berupa PDRB Jawa Barat dan PDRB Kota Bekasi berdasarkan lapangan usaha yang terdiri dari sembilan sektor perekonomian dan disajikan berdasarkan harga konstan 2000.


(33)

Menurut Suwandi (2002), pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia dapat dilacak dalam kerangka konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam UUD 1945 terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan yakni, nilai unitaris dan nilai desentralisasi teritorial. Nilai dasar unitaris diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak akan mempunyai kesatuan pemerintah lain didalamnya yang bersifat negara, artinya kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintah.

Sementara itu nilai dasar desentralisasi teritorial diwujudkan dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah dalam bentuk otonomi daerah. Berkaitan dengan dua nilai dasar konstitusi tersebut, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia terkait erat dengan pola pembagian kekuasaan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah karena dalam penyelenggaraan desentralisasi selalu terdapat dua elemen penting yakni pembentukan daerah otonom dan penyerahan kekuasaan secara hukum dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus bagian-bagian tertentu urusan pemerintahan. Hal ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

Dengan demikian pembentukan daerah otonom dalam rangka desentralisasi di Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berikut:


(34)

11

a. Daerah Otonom tidak memiliki kedaulatan atau semi kedaulatan layaknya di negara federal.

b. Desentralisasi dimanifestasikan dalam bentuk penyerahan atau pengakuan atas urusan pemerintahan.

c. Penyerahan atau pengakuan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada butir diatas, terutama terkait dengan pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

Dalam persebaran pemerintahan otonomi daerah terdapat dua prinsip pokok yang harus diperhatikan yaitu: 1) Selalu terdapat urusan pemerintah yang secara absolut tidak dapat diserahkan kepada daerah karena menyangkut kepentingan dan kelangsungan hidup bangsa dan negara, dan 2) Tidak ada urusan pemerintahan yang sepenuhnya dapat diserahkan kepada daerah. Bagian-bagian urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah hanyalah yang menyangkut kepentingan masyarakat setempat. Ini berarti ada bagian-bagian dari urusan pemerintahan tertentu yang dilaksanakan oleh Kota/Kabupaten dan ada bagian-bagian yang diselenggarakan oleh provinsi dan ada juga bagian-bagian yang diselenggarakan oleh Pemerintah.

Salah satu urusan yang termasuk tidak dapat diserahkan ke Pemerintah Daerah Oleh Pemerintah Pusat adalah keuangan. Pemerintah Pusat hanya melakukan suatu perimbangan keuangan dengan Pemerintah Daerah (Terdapat dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 19999). Hal ini dimaksudkan karena karakteristik sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan


(35)

yang sangat beragam dari satu daerah dengan daerah yang lain sehingga sebagai perwujudan nilai dasar konstitusi maka diperlukan pengaturan tentang pembagian hasil atas dasar sumberdaya-sumberdaya tersebut maupun atas dasar kegiatan perekonomian lainnya yang pada intinya kesemua itu memiliki tujuan untuk memperlancar pelaksanaan otonomi daerah dan memperkuat NKRI.

Meskipun Keuangan menjadi salah satu urusan yang termasuk tidak dapat diserahkan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Namun dengan adanya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, telah menyiratkan bahwa setiap daerah telah diberi wewenang oleh Pemerintah Pusat untuk mengatur dan mengurus kepentingan daerah dan masyarakatnya masing-masing, termasuk aturan maupun urusan yang menyangkut perkembangan perekonomian di suatu wilayah., sehingga setiap daerah diharuskan memiliki kemampuan untuk mengoptimalkan potensi sektor-sektor ekonomi (sektor unggulan) sebagai pendorong laju pertumbuhan ekonomi di daerah pada setiap tahunnya.

2.2. Teori Pertumbuhan Wilayah

Dalam melaksanakan pembangunan diperlukan suatu landasan teori yang mampu menjelaskan hubungan antara fakta-fakta yang diamati. Adapun teori yang dimaksud adalah teori pertumbuhan wilayah. Menurut Adisasmita (2005), teori pertumbuhan wilayah merupakan kerangka orientasi untuk analisis dan membuat ramalan terhadap gejala-gejala baru yang diperkirakan akan terjadi. Salah satu teori yang tergolong dalam teori pertumbuhan wilayah adalah teori sektor. Teori sektor merupakan bagian teori pertumbuhan wilayah yang


(36)

13

paling sederhana. Teori ini dikembangkan berdasakan hipotesis Clark Fisher yang mengemukakan bahwa kenaikan pendapatan perkapita akan dibarengi oleh penurunan dalam proporsi sumberdaya yang digunakan dalam sektor pertanian (sektor primer) dan kenaikan dalam sektor industri manufaktur (sektor sekunder) lalu kemudian dalam sektor industri jasa (tersier). Laju pertumbuhan dalam sektor yang mengalami perubahan (sector shift), dianggap sebagai determinan utama dari perkembangan suatu wilayah.

Alasan dari perubahan atau pergeseran sektor tersebut dapat dilihat dari sisi permintaan dan sisi penawaran. Pada sisi permintaan, yaitu elastisitas pendapatan dari permintaan untuk barang dan jasa yang disuplai oleh industri manufaktur dan indusri jasa adalah lebih tinggi dibandingkan untuk produk-produk primer. Maka pendapatan yang meningkat akan diikuti oleh perpindahan (realokasi) sumberdaya tenaga kerja dan modal dilakukan sebagai akibat dari perbedaan tingkat pertumbuhan produktivitas dalam sektor-sektor tersebut. Kelompok sektor-sektor sekunder dan tersier menikmati kemajuan yang lebih besar dalam tingkat produktivitas.

Hal ini akan mendorong peningkatan pendapatan dan produktivitas yang lebih cepat (kombinasi dari keduanya misalnya dalam skala ekonomi), karena produktivitas yang lebih tinggi baik untuk tenaga kerja maupun untuk modal dan penghasilan yang tinggi tersebut memungkinkan untuk melakukan realokasi sumberdaya. Tingkat pertumbuhan produktivitas tergantung pada inovasi dan kemajuan teknik ataupun skala ekonomi. Bila produktivitas lebih tinggi dalam industri-industri, permintaan terhadap produk-produknya akan meningkat cepat,


(37)

maka terdapat kausalitas ”produktivitas - harga rendah - permintaan bertambah luas”, bukan sebaliknya.Terjadinya perubahan atau pergeseran sektor dan evaluasi spesialisasi (pembagian kerja) dipandang sebagai sumber dinamika pertumbuhan wilayah.

2.3. Analisis Shift Share dan Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian Model Analisis Shift Share pertama kali diperkenalkan oleh Perloff et al pada tahun 1960. Menurut Budiharsono (2001), analisis shift share ini menganalisis perubahan berbagai indikator kegiatan ekonomi, seperti produksi dan kesempatan kerja pada dua titik waktu disuatu wilayah.

2.3.1. Kegunaan Analisis Shift Share

Analisis shift share memiliki kegunaan dan kemampuan untuk menunjukkan:

a. Perkembangan sektor perekonomian disuatu wilayah terhadap perkembangan ekonomi wilayah yang lebih luas.

b. Perkembangan sektor-sektor perekonomian jika dibandingkan secara relatif dengan sektor-sektor lainnya.

c. Perkembangan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya, sehingga dapat membandingkan besarnya aktivitas suatu sektor pada wilayah tertentu dan pertumbuhan antar wilayah.

d. Perbandingan laju sektor–sektor perekonomian disuatu wilayah dengan laju pertumbuhan perekonomian nasional serta sektor-sektornya.


(38)

15

Pada Gambar 2.1 analisis shift share menunjukan bahwa perubahan sektor i pada wilayah j dipengaruhi oleh tiga komponen pertumbuhan wilayah. Ketiga komponen yang dimaksud adalah komponen pertumbuhan nasional (PN), komponen pertumbuhan proposional (PP) dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW).

Berdasarkan ketiga komponen pertumbuhan wilayah tersebut dapat ditentukan dan diidentifikasi perkembangan suatu sektor ekonomi pada suatu wilayah melalui pergeseran bersih.

Gambar 2.1. Model Analisis Shift Share Sumber : Budiharsono, 2001

2.3.2. Kelebihan dan Kelemahan Analisis Shift Share

Analisis shift share memiliki kelebihan-kelebihan dalam proses pengumpulan data. Data yang dipergunakan dalam menganalisis pertumbuhan dengan metode analisis shift share dapat berupa data produksi, kesempatan kerja, PDB dan PDRB berdasarkan atas dasar harga konstan. Penelitian ini menggunakan nilai PDRB provinsi dan PDRB Kota yang menunjukan struktur perekonomian provinsi dan kota. Penggunaan data PDRB provinsi dan kota

Komponen Pertumbuhan Nasional (PN)

Wilayah ke j Sektor ke i

Wilayah ke j Sektor ke i

Komponen Pertumbuhan

Proposional

Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah

Maju PP+PPW≥0

Lamban PP+PPW<0


(39)

seharusnya dapat dengan mudah diperoleh dan relatif tersedia mulai dari tingkat kabupaten/ kota hingga provinsi. Hal ini juga berlaku pada data kesempatan kerja dan produksi.

Selain itu, kemampuan teknik analisis shift share tidak lepas dari kelemahan-kelemahan, antara lain:

a. Analisis shift share hanya merupakan suatu teknik pengukuran atau prosedur baku untuk mengurangi pertumbuhan satu variabel wilayah menjadi komponen-komponen. Persamaan shift share hanyalah identity equation dan tidak mempunyai implikasi-implikasi keprilakuan. Metode analisis shift share juga merupakan teknik pengukuran yang mencerminkan suatu sistem perhitungan semata dan tidak analitik.

b. Komponen pertumbuhan nasional secara implisit mengemukakan bahwa pertumbuhan sektor perekonomian di suatu wilayah ekuivalen dengan laju pertumbuhan nasional. Gagasan tersebut terlalu sederhana karena mengabaikan sebab-sebab pertumbuhan wilayah.

c. Arti ekonomi dari kedua komponen pertumbuhan wilayah (PP dan PPW) tidak dikembangkan dengan baik. Kedua komponen pertumbuhan wilayah tersebut berkaitan dengan hal-hal yang sama seperti perubahan penawaran dan permintaan, perubahan teknologi dan perubahan lokasi, sehingga tidak dapat berkembang dengan baik.

d. Teknik analisis shift share secara implisit mengambil asumsi bahwa semua barang dijual secara nasional, padahal tidak semua demikian. Apabila pasar suatu wilayah bersifat lokal maka barang itu tidak dapat bersaing


(40)

17

dengan wilayah-wilayah lain yang menghasilkan barang yang sama, sehingga tidak mempengaruhi permintaan agregat.

e. Analisis shift share tidak mampu menganalisis keterkaitan kedepan dan kebelakang antar sektor yang disebabkan oleh adanya pergeseran pertumbuhan seperti yang dilakukan pada analisis input output.

2.4. Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai pertumbuhan sektor-sektor perekonomian pada suatu wilayah dengan menggunakan Shift Share sebagai alat analisis pernah dilakukan di Indonesia diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Putra (2004) mengenai analisis pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kota Jambi sebelum dan pada masa otonomi daerah menghasilkan kesimpulan bahwa pada saat sebelum otonomi daerah (1994-1996) sektor yang memiliki pertumbuhan paling cepat adalah sektor industri pengolahan, sedangkan sektor jasa-jasa merupakan sektor yang memiliki pertumbuahan paling lambat. Pada masa otonomi daerah, sektor pertambangan masih menjadi sektor yang memiliki pertumbuhan paling cepat, sementara sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan memiliki pertumbuhan paling lambat.

Untuk daya saing pada masa sebelum otonomi daerah, sektor pertambangan merupakan sektor yang paling mampu berdaya saing, sedangkan sektor industri pengolahan adalah sektor yang paling tidak mampu berdaya saing adalah sektor industri pengolahan. Pada masa otonomi daerah, sektor pertambangan justru menjadi sektor yang paling tidak mampu berdaya saing,


(41)

sedangkan sektor keuangan, persewaan dan jasa menjadi sektor yang paling mampu berdaya saing.

Restuningsih (2004) dalam penelitiannya yang berjudul, ”Analisis Pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Provinsi DKI Jakarta Pada Masa krisis Ekonomi Tahun 1997-2002” menyimpulkan bahwa laju pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta dan laju pertumbuhan nasional mengalami penurunan pada masa krisis ekonomi. Akan tetapi penurunan laju pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta cukup besar yakni mencapai -7,6 persen dibandingkan dengan laju pertumbuhan nasional yang hanya mencapai -1,50 persen.

Jika ditinjau secara sektoral, sebagian besar sektor perekonomian di Provinsi DKI Jakarta mengalami penurunan kontribusi terhadap pembentukan PDB secara nasional. Sektor bangunan merupakan sektor ekonomi yang mengalami kontraksi terbesar dan sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor ekonomi yang mengalami kontraksi terkecil.

Selain itu adanya krisis ekonomi berpengaruh pada pertumbuhan proposional sehingga menyebabkan PDRB Provinsi DKI Jakarta mengalami penurunan. Namun demikian, pengaruh daya saing antar sektor perekonomian di Provinsi DKI Jakarta telah meningkatkan PDRB DKI Jakarta.

Hasil penelitian Bahri (2005) terhadap sektor-sektor sumber pertumbuhan perekonomian Kota Bekasi yang menggunakan metode analisis basis wilayah (LQ), menyatakan bahwa ada beberapa sektor yang mampu menjadi sektor basis secara berkesinambungan pada tahun 2000-2002 berdasarkan indikator


(42)

19

pendapatan. Sektor tersebut adalah sektor industri pengolahan, sektor bangunan dan kontruksi, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Sedangkan sektor pertanian serta sektor pertambangan dan penggalian tidak mampu menjadi sektor basis pada tahun 2000-2002.

Analisis pertumbuhan sektor-sektor perekonomian 30 provinsi di Indonesia yang dilakukan oleh Rini (2006) dengan alat analisis shift share menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 1998 dan 2003 mengalami pertumbuhan positif. Dengan membandingkan pertumbuhan ekonomi 30 provinsi di Indonesia, maka terdapat 16 provinsi yang mengalami pertumbuhan ekonomi lebih besar dari pertumbuhan ekonomi nasional. Sedikitnya 14 provinsi mengalami pertumbuhan yang lebih kecil daripada pertumbuhan ekonomi nasional dimana dua provinsi diantaranya mempunyai pertumbuhan yang negatif.

Pada nilai PN (Pertumbuhan Nasional) menunjukan bahwa Provinsi DKI Jakarta adalah provinsi yang mampu mempengaruhi kebijakan pertumbuhan sektoral, sedangkan provinsi Maluku Utara merupakan Provinsi yang kurang mampu mempengaruhi kebijakan pertumbuhan sektoral. Nilai PP (Pertumbuhan Proposional) menunjukan bahwa Provinsi Banten merupakan provinsi yang mempunyai pertumbuhan ekonomi sektoral tercepat dan Provinsi Papua merupakan provinsi dengan pertumbuhan ekonomi sektoral terlamban. Sementara nilai PPW (Pertumbuhan Pangsa Wilayah) memperlihatkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi yang mampu berdaya saing dengan baik, sedangkan


(43)

Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi yang tidak mampu berdaya saing dengan baik.

Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu telah dijelaskan bahwa metode analisis shift share dapat digunakan untuk menganalisis sektor-sektor perekonomian dari bagian terkecil wilayah sampai tingkat nasional dengan melakukan perbandingan laju pertumbuhan. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Restuningsih (2004) dan Rini (2006) dalam hal tempat dan tahun penelitian, sedangkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bahri, berbeda dalam hal tahun dan metode penelitian yang digunakan. Penelitian ini dilakukan di Kota Bekasi dengan menggunakan PDRB Jawa Barat dengan PDRB Kota Bekasi pada masa otonomi daerah (tahun 2002 dan 2005).

2.5. Kerangka Pemikiran Operasional

Pemikiran mengenai penelitian ini diawali semenjak diberlakukannya UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 25 Tahun 1999 pada awal tahun 2001 di Kota Bekasi. Pada tahun itu dan tahun-tahun setelahnya (2002-2005) laju pertumbuhan ekonomi Kota Bekasi mengalami peningkatan (lihat Tabel 1.3), namun secara rata-rata, laju pertumbuhan ekonomi pada kurun waktu tersebut justru mengalami penurunan (5,4 persen) jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata (6,3 persen) pada kurun waktu sebelumnya (1997-2000). Seperti yang diketahui bahwa tahun 2001-2005 merupakan masa otonomi daerah, sedangkan tahun 1997-2000 merupakan masa sebelum otonomi daerah.


(44)

21

Laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi yang mengalami penurunan pada masa otonomi daerah, ternyata menjadi salah satu penyebab jumlah keluarga miskin dan tingkat pengangguran di Kota Bekasi terus mengalami peningkatan pada masa itu. Berdasarkan pernyataan tersebut, Pemerintah Kota Bekasi melalui berbagai kebijakan pembangunan diharapkan dapat melakukan upaya-upaya yang dapat meningkatkan perekonomian sekaligus kesejahteraan masyarakatnya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Kota Bekasi adalah upaya dalam penyediaan sarana dan prasarana publik yang harusnya selalu diprioritaskan pada sektor-sektor perekonomian yang secara nyata dibutuhkan oleh masyarakat maupun pada sektor unggulan.

Oleh karena itu, maka diperlukan adanya suatu penelitian yang dapat memilih sektor unggulan dengan tepat. Dengan menggunakan alat analisis shift share, penelitian kali ini nantinya dimaksudkan akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat terutama dalam memberikan informasi secara lengkap mengenai sektor-sektor perekonomian mana saja yang tepat untuk dijadikan sektor unggulan. Adapun sektor unggulan yang dimaksud adalah sektor yang memiliki laju pertumbuhan yang cepat dan mampu berdaya saing. Selanjutnya, hasil dari penelitian ini akan di rekomendasikan kepada Pemerintah Kota Bekasi agar diprioritaskan dalam kebijakan pembangunan ekonomi Kota Bekasi selanjutnya. Secara sistematis kerangka pemikiran operasional dapat dijelaskan pada gambar 2.2


(45)

Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Shift Share

Pertumbuhan

Sektor-sektor Perekonomian

Daya Saing

Sektor-sektor Perekonomian Sektor-sektor Perekonomian di Kota Bekasi

Cepat Lambat

Rekomendasi bagi Pemerintah Kota Bekasi agar memprioritaskan sektor-sektor perekonomian yang memiliki laju pertumbuhan cepat

dan mampu berdaya saing (sektor unggulan) dalam merumuskan kebijakan pembangunan ekonomi Kota Bekasi selanjutnya.

pada Masa Otonomi Daerah (Tahun 2002-2005)

Tidak Mampu Mampu

Pergeseran Bersih dan Profil Pertumbuhan Laju

Pertumbuhan Ekonomi Rata-rata Kota Bekasi pada Masa Otonomi Daerah (2002-2005)


(46)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian

Lokasi atau wilayah yang digunakan sebagai objek penelitian mengenai analisis pertumbuhan dan daya saing sektor-sektor perekonomian adalah Kota Bekasi. Kota Bekasi dipilih menjadi lokasi atau wilayah penelitian karena beberapa alasan yaitu: 1) Kota Bekasi berbatasan langsung dengan Ibu Kota DKI Jakarta sehingga Kota Bekasi memiliki struktur perekonomian yang berbeda jika dibandingkan oleh Kota-kota lain yang terdapat di Provinsi Jawa Barat, 2) Sebagai salah satu kota besar di Provinsi Jawa Barat, Kota Bekasi dapat memberi kontribusi yang berarti bagi PDRB Provinsi Jawa Barat, 3) Data-data yang berkenaan dengan Kota Bekasi dan diperlukan pada penelitian ini relatif tersedia dengan lengkap, 4) Belum adanya penelitian tentang analisis pertumbuhan dan daya saing sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi pada masa otonomi daerah (tahun 2002 dan 2005).

3.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang dibutuhkan sebagai bahan analisis penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional dan BPS Kota Bekasi. Data yang dipergunakan antara lain yaitu data PDRB Jawa Barat dan PDRB Kota Bekasi tahun 2002 dan 2005 disajikan berdasarkan harga konstan tahun 2000 menurut lapangan usaha. Selain itu juga terdapat data-data penunjang


(47)

lainnya yang diperoleh dari internet dan perpustakaan-perpustakaan di lingkungan IPB maupun yang diluar lingkungan IPB.

3.3. Metode Analisis

Alat analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi pertumbuhan dan daya saing sektor-sektor perekonomian pada suatu wilayah tertentu adalah analisis shift share. Analisis shift share juga merupakan suatu alat analisis mengenai perubahan berbagai indikator kegiatan ekonomi, seperti produksi dan kesempatan kerja pada dua titik waktu (tahun dasar analisis dan tahun akhir analisis) disuatu wilayah. Hasil yang dapat ditunjukan oleh analisis shift share antara lain: (1) Perkembangan suatu sektor disuatu wilayah jika dibandingkan secara relatif dengan sektor-sektor lainnya, (2) Perkembangan suatu wilayah bila dibandingkan dengan wilayah lainnya yang lebih luas.

3.3.1. Analisis Laju Pertumbuhan Ekonomi Rata-Rata Kota Bekasi LPER = LPEt

n

t

=1

n Dimana:

LPER = Laju pertumbuhan ekonomi rata-rata

LPEt = Laju pertumbuhan ekonomi pada tahun tertentu.

t = Tahun


(48)

25

3.3.2. Analisis Shift Share

3.3.2.1. Analisis PDRB Kota Bekasi dan PDRB Jawa Barat

Menurut Budiharsono (2001), jika dalam suatu negara terdapat m daerah/wilayah/propinsi (j = 1, 2, 3…, m) dan n sektor ekonomi (i = 1, 2, 3…, n), maka PDRB provinsi dan PDRB kota dari sektor i pada tahun dasar analisis dan tahun akhir analisis dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. PDRB Provinsi Jawa Barat dari sektor i pada tahun dasar analisis (2002).

= = m j Yij Yi 1 Dimana:

Yi. = PDRB Provinsi Jawa Barat dari sektor i pada tahun 2002.

Yij = PDRB Kota Bekasi dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2002.. b. PDRB Provinsi Jawa Barat dari sektor i pada tahun akhir analisis (2005).

∑ = = m

j Y ij i

Y

1 ' '

Dimana:

Y’i. = PDRB Provinsi Jawa Barat dari sektor i pada tahun 2005.

Y’ij = PDRB Kota Bekasi dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2005. Sedangkan total PDRB Provinsi Jawa Barat pada tahun dasar analisis dan tahun akhir analisis, dirumuskan sebagai berikut:

c. Total PDRB Provinsi Jawa Barat pada tahun dasar analisis (2002).

∑∑

= = = n i m j Yij Y 1 1 ..


(49)

Dimana:

Y.. = Total PDRB Provinsi Jawa Barat dari sektor i pada tahun 2002. Yij = PDRB Kota Bekasi dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2002. d. Total PDRB Provinsi Jawa Barat pada tahun akhir analisis (2005).

∑∑

= =

= n i

m

j ij Y Y

1 1 ' '..

Dimana:

Y’.. = Total PDRB Provinsi Jawa Barat dari sektor i pada tahun 2005. Y’ij = PDRB Kota Bekasi dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2005. Perubahan PDRB Kota Bekasi/Provinsi Jawa Barat sektor i pada wilayah j dapat dirumuskan sebagai berikut:

ΔYij = Y’ij –Yij Dimana:

ΔYij = Perubahan PDRB dari sektor i pada wilayah j. Yij = PDRB dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2002. Y’ij = PDRB dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2005.

Persentase perubahan PDRB provinsi/kota sektor i pada wilayah j dapat dirumuskan sebagai berikut:

%ΔYij = Y’ij –Yij X 100 Yij

3.3.2.2. Analisis Ratio PDRB Kota Bekasi dan PDRB Provinsi Jawa Barat Nilai ri, Ri dan Ra digunakan untuk mengidentifikasi perubahan PDRB dari sektor i pada wilayah j pada tahun dasar analisis dan tahun akhir analisis.


(50)

27

Menghitung nilai ri, Ri dan Ra menggunakan nilai PDRB yang terjadi pada dua titik waktu.

a. ri

Nilai ri adalah selisih antara PDRB kota dari sektor i pada wilayah j pada tahun akhir analisis dengan PDRB kota dari sektor i pada wilayah j pada tahun dasar analisis dibagi dengan PDRB kota dari sektor i pada wilayah j pada tahun dasar analisis, dengan rumus sebagai berikut:

ri = Y’ij -Yij Yij

Dimana:

Yij = PDRB Kota Bekasi dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2002. Y’ij = PDRB Kota Bekasi dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2005. b. Ri

Nilai Ri adalah selisih antara PDRB provinsi dari sektor i pada tahun akhir analisis dengan PDRB provinsi sektor i pada tahun dasar analisis dibagi dengan PDRB provinsi sektor i pada tahun dasar analisis, dengan rumus sebagai berikut:

Ri = Y’i.- Yi. Yi. Dimana:

Yi. = PDRB Provinsi Jawa Barat dari sektor i pada tahun 2002. Y’i. = PDRB Provinsi Jawa Barat dari sektor i pada tahun 2005.


(51)

c. Ra

Nilai Ra adalah selisih antara total PDRB provinsi pada tahun akhir analisis dengan total PDRB provinsi pada tahun dasar analisis dibagi dengan total PDRB provinsi pada tahun dasar analisis, dengan rumus sebagai berikut:

Ra = Y’..- Y.. Y.. Dimana:

Y.. = Total PDRB Provinsi Jawa Barat pada tahun 2002. Y’..= Total PDRB Provinsi Jaba Barat pada tahun 2005.

3.3.2.3. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah

Komponen pertumbuhan wilayah terdiri atas komponen pertumbuhan nasional (PN), komponen pertumbuhan proposional (PP) dan komponen pertumbuhan pangsa pasar wilayah (PPW). Nilai PN, PP dan PPW diperoleh dari perhitungan nilai ri, Ri dan Ra, dengan rumus sebagai berikut:

a. Komponen Pertumbuhan Nasional (PN)

Komponen pertumbuhan nasional adalah perubahan produksi suatu wilayah yang disebabkan oleh perubahan produksi nasional secara umum, perubahan kebijakan ekonomi nasional atau perubahan dalam hal-hal yang mempengaruhi perekonomian suatu sektor dan wilayah. Bila diasumsikan bahwa tidak ada perbedaan karakteristik ekonomi antar sektor dan antar wilayah, maka adanya perubahan akan membawa dampak yang sama pada semua sektor dan wilayah. Akan tetapi pada kenyataannya beberapa sektor dan wilayah tumbuh


(52)

29

lebih cepat daripada sektor dan wilayah lainnya. Komponen PN dapat dirumuskan sebagai berikut:

PNij = (Ra) Yij………... (1) Dimana:

PNij = Komponen pertumbuhan nasional dari sektor i pada wilayah j. Yij = PDRB kota dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2002. (Ra) = Persentase perubahan PDRB yang disebabkan oleh komponen pertumbuhan nasional.

Apabila:

PRij < (Ra) Yij, maka pertumbuhan sektor-sektor ekonomi wilayah tersebut (kota) lebih besar daripada pertumbuhan sektor-sektor ekonomi wilayah diatasnya (provinsi).

PRij > (Ra) Yij, maka pertumbuhan sektor-sektor ekonomi suatu wilayah (kota) lebih kecil daripada pertumbuhan sektor-sektor ekonomi wilayah di atasnya (provinsi).

b. Komponen Pertumbuhan Proposional (PP)

Komponen pertumbuhan proposional tumbuh karena perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir, perbedaan dalam ketersediaan bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan industri dan perbedaan dalam struktur dan keragaman pasar. Komponen PP dapat dirumuskan sebagai berikut:

PPij = (Ri – Ra) Yij... (2) Dimana:


(53)

Yij = PDRB kota dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2002.. (Ri-Ra) = Persentase perubahan PDRB yang disebabkan oleh komponen pertumbuhan proposional.

Apabila:

PPij < 0: Menunjukan bahwa sektor i pada wilayah j pertumbuhannya lambat.

PPij > 0: Menunjukan bahwa sektor i pada wilayah j pertumbuhannya cepat.

c. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW)

Komponen pertumbuhan pangsa wilayah timbul karena peningkatan atau penurunan produksi/kesempatan kerja dalam suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya. Cepat lambatnya pertumbuhan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya ditentukan oleh keunggulan komparatif, akses ke pasar, dukungan kelembagaan, prasarana sosial ekonomi serta kebijakan ekonomi regional pada wilayah tersebut. Komponen PPW dapat dirumuskan sebagai berikut:

PPWij = (ri – Ri) Yij ………. (3) Dimana:

PPWij = Komponen pertumbuhan pangsa wilayah sektor i pada wilayah j. Yij = PDRB Kota dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2002.

(ri-Ra) = Persentase perubahan PDRB yang disebabkan oleh komponen pertumbuhan pangsa wilayah.


(54)

31

Apabila:

PPWij < 0: Berarti sektor i pada wilayah j tidak mempunyai daya saing yang baik apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya untuk sektor i.

PPWij > 0: Berarti sektor i pada wilayah j mempunyai daya saing yang baik apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya untuk sektor i.

Adapun perubahan dalam PDRB sektor i pada wilayah j dirumuskan sebagai berikut:

ΔYij = PRij + PPij + PPWij... (4)

ΔYij = Y’ij – Yij...(5)

Apabila persamaan (1), (2), (3) dan (5) disubtitusikan kepersamaan (4), maka didapatkan rumus sebagai berikut:

ΔYij = PRij + PPij + PPWij

Y’ij – Yij = Y’ij – Yij + Yij (Ri-Ra) + Yij (ri – Ri)

Dimana:

ΔYij = Perubahan PDRB sektor i pada wilayah j.

Yij = PDRB sektor i pada wilayah j pada tahun 2002..

Y’ij = PDRB sektor i pada wilayah j pada tahun 2005.

Persentase ketiga komponen pertumbuhan wilayah dapat dirumuskan sebagai berikut:


(55)

% PNij = (PNij)/Yij X 100%

% PPij = (PPij)/Yij X 100%

% PPWij = (PPWij)/Yij X 100%

3.3.2.4. Analisis Pergeseran Bersih

Analisis profil pertumbuhan PDRB suatu wilayah dapat dilihat berdasarkan penjumlahan komponen pertumbuhan proposional dan pangsa wilayah. Pergeseran bersih yang diperoleh dari penjumlahan tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi pertumbuhan suatu sektor perekonomian. Pergeseran bersih sektor i pada wilayah j dapat dirumuskan sebagai berikut:

PBij = PPij + PPWij Dimana:

PBij = Pergeseran bersih sektor i pada wilayah j.

PPij = Komponen pertumbuhan proposional sektor i pada wilayah j. PPWij = Komponen pertumbuhan pangsa wilayah sektor i pada wilayah j. Apabila:

PBij > 0: Berarti pertumbuhan sektor i pada wilayah j termasuk ke dalam kelompok progresif (maju).

PBij < 0: Berarti pertumbuhan sektor i pada wilayah j termasuk ke dalam kurang/tidak progresif (kurang/tidak maju).


(56)

33

Persentase pergeseran bersih sektor i pada wilayah j dapat dirumuskan sebagai berikut:

%PBij = PBij/Yij X 100%

3.3.2.5. Analisis Profil Pertumbuhan

Analisis ini digunakan untuk mengidentifikasi pertumbuhan PDRB sektor ekonomi di suatu wilayah pada kurun waktu yang ditentukan dengan cara mengekspresikan persentase perubahan komponen pertumbuhan proposional (PPij) dan pertumbuhan pangsa wilayah (PPWij). Pada sumbu horizontal terdapat PP sebagai absis, sedangkan pada sumbu vertikal terdapat PPW sebagai ordinat.

PPW

Kuadran IV Kuadran I

PP

Kuadran III Kuadran II

Gambar 3.1. Profil Pertumbuhan PDRB Sumber : Budiharsono, 2001

Keterangan:

a. Kuadran I menunjukan bahwa sektor-sektor di wilayah yang bersangkutan memiliki pertumbuhan yang cepat, demikian juga daya saing wilayah untuk sektor-sektor tersebut baik apabila dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya.


(57)

Hal ini menunjukan bahwa sektor/wilayah yang bersangkutan merupakan wilayah maju.

b. Kuadran II menunjukan bahwa sektor-sektor ekonomi yang ada diwilayah yang bersangkutan pertumbuhannya cepat, tetapi daya saing wilayah untuk sektor-sektor tersebut dibandingkan dengan wilayah lainnya tidak baik.

c. Kuadran III menunjukan bahwa sektor-sektor ekonomi di wilayah yang bersangkutan memiliki pertumbuhan yang lambat dengan daya saing yang kurang baik jika dibandingkan dengan wilayah lain. Hal ini menunjukan bahwa sektor/wilayah yang bersangkutan merupakan wilayah yang lambat.

d. Kuadran IV menunjukan bahwa sektor-sektor ekonomi pada wilayah yang bersangkutan memiliki pertumbuhan yang lambat, tetapi daya saing wilayah untuk sektor-sektor tersebut baik jika dibandingkan dengan wilayah lainnya.

e. Pada kuadran II dan kuadran IV terdapat garis miring yang membentuk sudut 450 dan memotong kedua kuadran tersebut. Garis ini merupakan nilai PB=0. Bagian yang tepat atau di atas garis menunjukkan PB>0 yang mengindikasikan bahwa sektor/wilayah yang bersangkutan merupakan sektor/wilayah yang maju (progresif), sedangkan di bawah garis berarti sektor/wilayah yang bersangkutan menunjukkan sektor/ wilayah yang tidak maju (tidak progresif).

Untuk memudahkan pengolahan data PDRB setiap sektor perekonomian di Provinsi Jawa Barat dan di Kota Bekasi, maka dalam analisisnya dibantu dengan menggunakan software Microsoft Excel. Kemudian hasil-hasil analisis dengan menggunakan model analisis shift share tersebut digunakan sebagai dasar untuk


(58)

35

merumuskan secara deskripsi pertumbuhan dan daya saing sektor-sektor di Kota Bekasi pada masa otonomi daerah, tahun 2002-2005.

3.4. Definisi Operasional Data

3.4.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh tentang kondisi perekonomian suatu wilayah dalam satu tahun tertentu sehingga PDRB mempunyai lingkup lebih kecil dibandingkan dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional. Terdapat dua macam perhitungan PDRB yaitu PDRB atas dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga konstan. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menunjukan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu waktu tertentu sebagai tahun dasar (BPS, 2002).

3.4.2. Tahun Dasar Analisis dan Tahun Akhir Analisis

Tahun dasar analisis merupakan faktor penentu yang digunakan sebagai titik awal dalam menganalisis data untuk mengukur pertumbuhan ekonomi dan tahun akhir analisis merupakan faktor penentu yang digunakan sebagai titik akhir dalam menganalisis data untuk mengukur pertumbuhan ekonomi. Keduanya memiliki peran yang sama yakni sebagai penentu dan dasar untuk menganalisis dan mengelola data.


(59)

3.4.3. Sektor-Sektor Perekonomian

Sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi terdiri atas sembilan sektor, yang meliputi: 1) sektor pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman pangan, tanaman perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan. 2) sektor pertambangan dan penggalian yang terdiri dari subsektor minyak dan gas bumi, pertambangan tanpa migas dan penggalian. 3) sektor industri pengolahan yang terdiri dari subsektor industri migas dan industri tanpa migas. 4) sektor listrik, gas dan air bersih. 5) sektor bangunan atau konstruksi. 6) sektor perdagangan, hotel dan restoran. 7) sektor pengangkutan dan komunikasi yang meliputi subsektor angkutan rel, angkutan jalan raya, angkutan laut, angkutan sungai dan penyebrangan, angkutan udara dan jasa penunjang angkutan. 8) sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan yang meliputi subsektor bank, lembaga keuangan lainnya, sewa bangunan dan jasa perusahaan. 9) sektor jasa-jasa yang terdiri subsektor pemerintahan umum dan swasta yang meliputi sosial kemasyarakatan, hiburan dan rekreasi serta perorangan dan rumah tangga.


(60)

IV. GAMBARAN UMUM KOTA BEKASI

4.1. Keadaan Geografi dan Pemerintahan

Kota Bekasi terletak di bagian Utara Propinsi Jawa Barat antara 106o48’28’’ – 107o27’29’’ Bujur Timur dan 6o10’6’’ – 6o30’6’’ Lintang Selatan. Wilayah Kota Bekasi memiliki luas sebesar 21.049 Ha dan berdasarkan Peraturan Daerah No 04 Tahun 2004 tentang Pemekaran Kecamatan dan Kelurahan, terdiri dari 12 Kecamatan dan 56 Kelurahan yang terdiri dari 12 Kecamatan yaitu Kecamatan Bekasi Timur, Bekasi Selatan, Bekasi Barat, Bekasi Utara, Pondokgede, Jatiasih, Bantargebang, Jatisampurna, Medan Satria, Rawa Lumbu, Mustikajaya dan Pondok Melati. Dengan batas wilayah Kota Bekasi adalah:

- Sebelah Utara : Kabupaten Bekasi

- Sebelah Selatan : Kabupaten Bogor dan Kota Depok - Sebelah Barat : Propinsi DKI Jakarta

- Sebelah Timur : Kabupaten Bekasi

Kondisi topografi relatif datar dengan kemiringan lahan 0 – 3% dan ketinggian tanah antara 10 – 45 m di atas permukaan air laut. Kondisi tanah sebagian besar berupa aluvial yang merupakan endapan pantai di bagian Utara kota dan tanah liat serta vulkanik di bagian Selatan kota. Suhu udara Kota Bekasi cukup tinggi antara 24 – 33 0C karena terletak di dataran rendah. Dengan kondisi topografi demikian, maka secara teknis kerekayasaan Kota Bekasi memiliki potensi yang sangat baik untuk segala kegiatan budidaya, khususnya budidaya


(61)

permukiman perkotaan. Pada sisi lain kondisi topografis yang relatif datar ini menciptakan permasalahan pada pengelolaan drainase.

Posisi wilayah Kota Bekasi yang berbatasan dengan wilayah DKI Jakarta membawa konsekwensi pada arah kebijakan pembangunan Kota Bekasi yang berorientasi pada kepentingan nasional, hal ini terlihat pada kedudukan Kota Bekasi dalam kebijakan tata ruang makro baik dalam RTRWN, RTRWP Jawa Barat, maupun RTRW Kawasan tertentu Jabodetabek, yang mengarahkan pembangunan Kota Bekasi sebagai Pusat Kegiatan Nasionall (PKN) bersama-sama dengan Bogor dan Depok sekaligus menjadi bagian dari kawasan pengimbang DKI Jakarta.

Di samping potensi dan permasalahan kewilayahan di atas, hal yang juga harus menjadi perhatian adalah wilayah Kota Bekasi dilintasi oleh tiga infrastruktur penting bagi skala nasional yaitu, lintasan kereta api Jakarta – Cikampek, Jalan Tol Cawang – Cikampek dan aliran pasokan air bersih otorita Jatiluhur untuk DKI Jakarta. Kondisi ini disamping merupakan potensi yang perlu didayagunakan secara efektif juga menciptakan permasalahan pada penyediaan dan pengelolaan prasarana dan sarana penunjang di sekitar tiga infrastruktur skala nasional tersebut, misalnya penyediaan jalan akses, frontage road dan penanganan perlintasan kereta.

Selain itu, Kota Bekasi juga dilintasi oleh 5 (lima) sungai utama yaitu: Kali Cakung, Kali Bekasi, Kali Sunter, Kali Cikeas dan Kali Cileungsi. Kelima sungai ini karena mempunyai daerah tangkapan air yang cukup luas disamping mempunyai potensi yang cukup sebagai drainase utama/primer juga potensial


(62)

39

dalam menciptakan permasalahan banjir apabila penanganannya tidak dilakukan secara komprehensif dari hulu ke hilir.

4.2. Demografi

Laju pertumbuhan penduduk Kota Bekasi mengalami sedikit penurunan dibandingkan periode tahun 1990-an. Pada awal tahun 1990-an laju penduduk Kota Bekasi masih sekitar 6,29 persen. Pada awal tahun 2001 menurun menjadi 4,93 persen kemudian pada tahun 2005 sebesar 4,10 persen. Sementara persebaran penduduk di Kota Bekasi belum merata. Jumlah penduduk Kota Bekasi pada tahun 2005 mencapai 2.005.899 jiwa yang terdiri dari 997.622 jiwa penduduk laki-laki dan 1.004.277 jiwa penduduk perempuan.

Tabel 4.1. Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk di Kota Bekasi Menurut Kecamatan Tahun 2005

Kecamatan Jumlah Penduduk (Jiwa)

Kepadatan Penduduk (Jiwa /Km2)

Pondok Gede 196.318 12.051

Jati Sampurna 101.456 7.002

Pondok Melati 69.759 3.759

Jati Asih 168.210 7.648

Bantar Gebang 72.114 4.230

Mustika Jaya 97.768 3.952

Bekasi Timur 243.552 18.068

Rawa Lumbu 185.640 11.847

Bekasi Selatan 185.776 12.410

Bekasi Barat 250.308 13.727

Medan Satria 147.030 10.002

Bekasi Utara 274.968 13.993

Sumber: BPS Kota Bekasi, 2005.

Kepadatan penduduk Kota Bekasi selama periode tahun 2001-2005 dapat dikatakan tidak mengalami perubahan yang cukup berarti. Pada tahun 2005 kepadatan penduduk sekitar 9.511 jiwa/km2 sedangkan pada tahun 2004 sebesar


(63)

9.095 jiwa/km2. Kecamatan Bekasi Timur merupakan wilayah Kecamatan yang terpadat penduduknya, dimana kepadatan penduduk di Kecamatan ini mencapai 18.068 jiwa/km2 pada tahun 2005. Sementara Kecamatan yang penduduknya tidak padat yaitu Kecamatan Pondok Melati, angka kepadatan penduduknya sekitar 3.759 jiwa/km2.

Jumlah penduduk yang besar merupakan salah satu modal bagi pembangunan jika sebagian besar memiliki tingkat produktivitas yang tinggi. Oleh karena itu meningkatkan rasio jumlah penduduk bekerja dengan jumlah penduduk usia kerja merupakan salah satu tujuan/sasaran dalam rencana strategis Kota Bekasi.

Pada tahun 2005, jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas berjumlah 1.432.449 jiwa dimana 794.208 jiwa termasuk kedalam kelompok angkatan kerja dan 638.241 jiwa bukan angkatan kerja. Dari 794.208 jiwa, penduduk yang bekerja sekitar 692.189 jiwa dan penduduk yang mancari pekerjaan sekitar 102.019 jiwa. Jumlah penduduk yang termasuk kedalam angkatan kerja pada tahun 2005 lebih kecil dibandingkan pada tahun 2004. Sebagian penduduk yang termasuk angkatan kerja adalah mereka yang bertempat tinggal di Kecamatan Bekasi Timur dan Bekasi Barat.

Sektor Industri merupakan sektor paling dominan, 28,07 persen pekerja di Kota Bekasi bekerja di sektor ini. Sektor yang juga banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor perdagangan dan jasa. Pertambahan jumlah penduduk yang bekerja juga diikuti dengan semakin bertambahnya jumlah pencari kerja di Kota Bekasi selama setahun terakhir. Berdasarkan catatan Dinas Tenaga Kerja Kota Bekasi,


(64)

41

jumlah pencari kerja terdaftar pada tahun 2005 sebanyak 51.608 orang, sedangkan tahun 2004 sebanyak 64.890 orang (BPS,2005).

4.3. Sarana dan Prasarana 4.3.1. Transportasi

Sampai dengan tahun 2005 panjang jalan di Kota Bekasi mencapai 322,09 km, yang terdiri dari 18,3 km jalan negara, 23,3 km jalan provinsi, dan 280,19 km jalan kota. Dari total panjang jalan tersebut, kondisi yang rusak sekitar 27,87% dan sisanya 72,13% berada dalam kondisi baik. Kemudian bila dilihat dari kelas jalan, terbagi dalam kelas I 12,93%, kelas II 34,96% dan kelas III/A 52,11%.

Sarana angkutan darat di Kota Bekasi pada tahun 2005 jumlah angkutan kota sebanyak 11.495 unit, sedangkan mikrobus dari 603 unit menurun manjadi 483 unit dan taksi sebanyak 1.746 unit. Sementara itu, angkutan kereta api merupakan sarana transportasi masal yang cukup banyak digunakan masyarakat Kota Bekasi. Jumlah pengguna sarana kereta api mengalami penurunan dari 8,0 juta orang selama tahun 2004 menjadi 3,0 juta orang selama tahun 2005.

4.3.2. Penyediaan Air bersih

Pada tahun 2005 cakupan pelayanannya baru mencapai 24 persen, karena terbatasnya kapasitas air terpasang belum mencukupi. Dengan dibangunnya WTP baru di Teluk Buyung diharapkan dapat menambah kapasitas air bersih 200 lt/dt dan program WJUDSP Loan ADB 1384 INO dengan pendamping dari daerah sebesar 45 %. Jumlah pelanggan air bersih saat ini mencapai 70.808 sambungan


(65)

rumah atau sekitar 424.848 jiwa. Permasalahan dalam pengembangan air bersih ini disamping investasinya sangat mahal, juga masalah kepemilikan PDAM belum ada penyelesaiannya. Padahal Pemerintah Kota Bekasi telah menyampaikan kesepakatan pembagian aset yang sesuai dengan Pemerintah Kabupaten.

4.3.3. Pengelolaan Sampah

Cakupan pelayanan persampahan di Kota Bekasi relatif masih rendah baru mencapai 26 persen dari jumlah penduduk. Sesuai dengan standar pelayanan persampahan, maka dengan jumlah penduduk yang ada pemerintah Kota Bekasi memerlukan 180 truk sampah (dengan asumsi 1 truk sampah melayani 10.000 penduduk).

4.3.4. Sistem Drainase

Di Kota Bekasi terdapat 27 lokasi genangan banjir yang tersebar di 12 kecamatan. Pada umumnya lokasi banjir ini berada di daerah permukiman karena masalah sebagai berikut :

1. Lokasi permukiman berada di bawah peil banjir.

2. Pelaksanaan pengurugan tanah permukiman tidak sesuai dengan ketentuan peil banjir yang telah ditetapkan.

3. Tidak terintegrasinya perencanaan drainase antar lokasi permukiman karena izinnya/site plannya diberikan secara partial tidak skala kawasan. 4. Pembangunan drainase biayanya mahal dan harus tuntas mulai dari daerah


(66)

43

dilakukan antara lain pembangunan dan normalisasi saluran yang dibiayai APBD maupun dalam paket MBUDSP melalui Loan ADB 1511-INO masih belum terselesaikan seluruhnya dan masih perlu dilanjutkan.

4.3.5. Sarana Penerangan Jalan Umum

Penyediaan Penerangan Jalan Umum (PJU) sangat dibutuhkan untuk meningkatkan keindahan kota pada malam hari dan juga meningkatkan keselamatan pengguna jalan serta mengurangi kemungkinan terjadinya tindak kejahatan. Pada saat ini ketersediaan PJU di Kota Bekasi masih sangat terbatas, baik kualitas maupun kuantitasnya. Pada tahun 2001 jumlah PJU baru mencapai 6.084 titik, kemudian tahun 2002 meningkat sebesar 22,4% menjadi 7.448 titik dan meningkat lagi pada tahun 2003 menjadi 7.979 titik. Dalam APBD Kota Bekasi tahun 2005 telah dialokasikan anggaran untuk pembangunan PJU sebanyak 350 titik.

4.4. Kondisi Perekonomian

Menurut Badan Pusat Statistik Kota Bekasi pada tahun 2005, laju pertumbuhan ekonomi Kota Bekasi berdasarkan hasil perhitungan PDRB Kota Bekasi mengalami kemajuan yang cukup signifikan sebesar 5,60 persen. Pada Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa semua sektor perekonomian di Kota Bekasi pada tahun tersebut seluruhnya mengalami pertumbuhan positif. Diawali dengan sektor yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi yaitu sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 8,48 persen. Pada sektor ini, sub sektor pengangkutan


(1)

Badan Pusat Statistik. 2005. Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk di Kota Bekasi Menurut Kecamatan Tahun 2005. Badan Pusat Statistik. Jakarta ________________. 2005. Jumlah Keluarga Miskin dan Tingkat Pengangguran

di Kota Bekasi, Tahun 2001-2005. Badan Pusat Statistik. Jakarta

________________. 2005. Laju Pertumbuhan Ekonomi Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Provinsi. Badan Pusat Statistik. Jakarta

________________. 2005. Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000 . Badan Pusat Statistik. Jakarta

________________. 2005. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Bekasi Atas Dasar Harga Konstan 2000 . Badan Pusat Statistik. Bekasi

________________. 2005. PDRB Jawa Barat Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2002 dan 2005 . Badan Pusat Statistik. Jakarta

________________. 2005. PDRB Kota Bekasi Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2002 dan 2005 . Badan Pusat Statistik. Bekasi

Bahri, S. 2005. Identifikasi Sektor-sektor Sumber Pertumbuhan Perekonomian Kota Bekasi. [skripsi]. FEM IPB. Bogor

Budiharsono, S. 2001. Teknis Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. PT Pradnya Paramita. Jakarta

Elmi, B. 2002. Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di Indonesia. Universitas Indonesia Press. Jakarta

Putra, A. 2004. Analisis Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian di Kota Jambi Sebelum dan Sesudah Masa Otonomi Daerah. [skripsi]. FEM IPB Bogor Restuningsih. 2004. Analisis Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian di

Provinsi DKI Jakarta pada Masa Krisis Ekonomi Tahun 1997-2002. [skripsi]. FEM IPB. Bogor

Rini, S. 2006. Analisis Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian 30 Provinsi di Indonesia. [skripsi]. FEM IPB. Bogor


(2)

69

Saragih, J.P. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah Dalam Otonomi. Ghalia Indonesia. Jakarta

Suwandi, M. 2002. Konsepsi Dasar Otonomi Daerah Indonesia. Departemen Dalam Negeri. Jakarta


(3)

(4)

71

Lampiran 1. Laju Pertumbuhan Ekonomi, Menurut Provinsi, Tahun 2002-2005 (Persen)

Laju Pertumbuhan Ekonomi No Provinsi

2001 2002 2003 2004 2005

1. Nanggroe Aceh Darussalam 10,73 20,07 5,52 9,63 13,45 2. Sumatera Utara 3,98 4,56 4,81 5,74 5,48 3. Sumatera Barat 3,66 4,69 5,26 5,47 5,73 4. Riau 0,46 2,64 2,45 2,93 5,41 5. Jambi 6,65 5,86 5,00 5,38 5,57 6. Sumatera Selatan 2,47 3,08 3,68 4,63 4,84 7. Bengkulu 4,15 4,73 5,37 5,38 5,82 8. Lampung 3,59 5,62 5,76 5,07 3,76 9. Kepulauan Bangka Belitung 5,86 6,85 11,80 3,20 3,25 10. Kepulauan Riau 0 0 0 6,47 6,57 11. DKI Jakarta 4,74 4,89 5,31 5,65 6,01 12. Jawa Barat 3,89 3,94 4,84 5,16 5,47 13. Jawa Tengah 3,59 3,55 4,98 5,13 5,35 14. DI Yogyakarta 4,26 4,50 4,58 5,12 4,91 15. Jawa Timur 3,76 3,80 4,78 5,83 5,84 16. Banten 3,95 4,11 5,07 5,63 5,88 17. Bali 3,54 3,04 3,57 4,62 5,56 18. Kalimantan Barat 2,69 4,55 3,06 4,79 4,68 19. Kalimantan Tengah 2.95 5,30 4,91 5,56 5,90 20. Kalimantan Selatan 3,97 3,66 4,71 5,15 5,21 21. Kalimantan Timur 4,73 1,74 1,86 1,75 2,79 22. Sulawesi Utara 2,13 3,32 3,20 4,26 4,90 23. Sulawesi Tengah 5,10 5,62 6,21 7,15 7,35 24. Sulawesi Selatan 5,11 4,09 5,25 5,31 2,33 25. Sulawesi Tenggara 5,01 6,66 7,57 7,51 7,31 26. Gorontalo 5,55 6,45 6,88 6,93 7,06 27. Sulawesi Barat 0 0 0 0 0 28. Nusa Tenggara Barat 7,32 3,51 3,90 6,25 1,82 29. Nusa TenggaraTimur 4,73 4,88 4,57 4,77 3,10 30. Maluku 0,03 2,87 4,31 4,43 5,07 31. Maluku Utara 1,67 2,44 3,82 4,70 5,11 32. Irian Jaya Barat 0 0 7,86 7,61 6,81 33. Papua 7,92 5,15 0,28 22,53 36,57


(5)

PDRB No Lapangan Usaha

2002 2003 2004 2005

1 Pertanian 117 384 119 853 123 709 123 735 2 Pertambangan dan

Penggalian 0 0 0 0 3 Industri Pegolahan 4 752 376 5 006 595 5 252 919 5 528 623

4 Listrik, Gas dan Air Bersih 206 954 217 611 230 199 244 305 5 Konstruksi 353 871 370 214 388 215 407 545 6 Perdagangan, Hotel dan

Restoran 2 841 529 2 984 438 3 154 082 3 339 089 7 Pengangkutan dan

Komunikasi 748 802 794 757 854 614 927 067 8 Keuangan, Persewaan dan

Jasa Perusahaan 351 537 368 580 384 708 403 359 9 Jasa-jasa 646 683 683 580 722 759 760 008 PDRB 10 019 136 10 545 455 11 111 205 11 733 731

Sumber: BPS Kota Bekasi, 2002-2005.

Lampiran 3. PDRB Jawa Barat Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2002-2005 (Juta Rupiah)

PDRB No Lapangan Usaha

2002 2003 2004 2005 1 Pertanian 31 307 840 32 078 345 34 038 121 34 691 240 2 Pertambangan dan

Penggalian 7 999 634 8 232 371 7 705 213 7 194 526 3 Industri Pegolahan 89 177 060 94 276 295 97 902 362 104 886 919 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 4 858 690 4,918,154 5 337 897 5 649 830 5 Konstruksi 5 580 463 5,985,267 6 602 399 7 780 824 6 Perdagangan, Hotel dan

Restoran 41 837 785 42,420,431 44 604 770 47 259 970 7 Pengangkutan dan

Komunikasi 8 478 452 9,323,764 10 274 963 10 295 854 8 Keuangan, Persewaan dan

Jasa Perusahaan 6 490 645 6,967,353 7 247 002 7 570 633 9 Jasa-jasa

15 661132 17,426,194 19 344 963 20 468 266 PDRB 211 391 701 221,628,174 233 057 691 245 798 062


(6)