1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Banyaknya peristiwa bencana di dunia pada awal abad ke-21, sebanyak 168 negara termasuk Indonesia mendorong negara-negara
tersebut membangun komitmen global dalam pengurangan risiko bencana. Pada tanggal 18-22 Januari 2005, majelis umum PBB telah
mengadakan konferensi sedunia tentang pengurangan risiko bencana di Kobe, Hyogo, Jepang yang menekankan perlunya mengidentifikasi cara-
cara untuk membangun ketahanan bangsa dan komunitas terhadap bencana. Konferensi dengan tema ‘Membangun Ketahanan Bangsa dan
Komunitas Terhadap Bencana’ ini telah memberikan suatu kesempatan bagi negara untuk menggalakkan suatu pendekatan yang strategis dan
sistematis dalam meredam kerentanan dan risiko terhadap bahaya. Selain itu, konferensi tersebut juga menghasilkan kerangka aksi Hyogo atau
Hyogo Framework for Action HFA tahun 2005-2015. HFA menyoroti pentingnya pendidikan dan pembelajaran sebagai
bagian dari prioritas aksi, menggunakan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun sebuah budaya keselamatan dan
ketahanan di semua tingkat. Inisiatif pengurangan risiko bencana harus berakar di semua lembaga pendidikan, khususnya di sekolah-sekolah
dan memasukkan dalam program pendidikan. HFA merekomendasikan bahwa Pengurangan Risiko Bencana PRB dimasukkan dalam
kurikulum sekolah, pendidikan formal dan informal. “Menggalakkan dimasukkannya pengetahuan pengurangan risiko
bencana dalam bagian yang relevan dalam kurikulum sekolah di semua tingkat dan menggunakan jalur formal dan informal lainnya untuk
menjangkau pemuda dan anak-anak; menggalakkan integrasi pengurangan risiko bencana sebagai suatu elemen intrinsic Dekade
Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan 2005-2015 dari PBB” Dijelaskan pula dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan keterampilan
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, baik dalam situasi tidak terjadi bencana maupun situasi terdapat potensi bencana. Undang-
Undang tersebut juga menekankan bahwa pengurangan risiko bencana harus diintegrasikan kedalam proses pembangunan, yang salah satunya
adalah sektor pendidikan. Dalam masalah pengurangan risiko bencana, peran pendidikan
menjadi sangat penting untuk menciptakan bibit tunas bangsa yang cerdas dan berkualitas yang mampu berpikir global, namun dapat
melakukan tindakan aksi lokal dalam rangka pengurangan risiko bencana think globally, but act locally. Menyelanggarakan pendidikan
pengurangan risiko bencana dapat dilakukan melalui pembelajaran di sekolah dengan mengintegrasikan materi pengurangan risiko bencana ke
dalam mata pelajaran IPA di SMPMTs.
Sesuai yang diamanatkan dalam Permendiknas 2006 bahwa di tingkat SMPMTs diharapkan ada penekanan pembelajaran salingtemas
sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat secara terpadu yang diarahkan pada pengalaman belajar untuk merancang dan membuat
suatu karya melalui penerapan konsep IPA dan kompetensi bekerja ilmiah secara bijaksana.
Selain itu, Undang–Undang No 19 tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional, menyebutkan bahwa kelompok mata pelajaran
ilmu pengetahuan alam dan teknologi termasuk di dalamnya mata pelajaran IPA di SMPMTs dimaksudkan untuk memperoleh
kompetensi dasar ilmu pengetahuan alam dan teknologi serta membudidayakan berpikir ilmiah secara kritis, kreatif dan mandiri.
Berpikir kritis merupakan salah satu kemampuan yang penting untuk dilatihkan kepada siswa pada pembelajaran IPA. Berpikir kritis
dianggap penting dalam bidang akademik karena memungkinkan seseorang untuk menganalisis, mengevaluasi, menjelaskan dan
merestrukturisasi pemikiran mereka, sehingga mengurangi risiko mengadopsi, bertindak, atau berpikir dengan keyakinan yang tidak benar.
Untuk dapat menumbuhkan kemampuan berpikir kritis siswa diperlukan suatu model pembelajaran yang yang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk terlibat secara aktif dalam mengkontruksi,
mengeksplorasi pengetahuan
sendiri, serta
mengaplikasikan konsep-konsep IPA dalam kehidupan sehari-hari. Salah
satu model yang dapat diterapkan untuk menumbuhkan kemampuan berpikir kritis siswa adalah model contextual teaching and learning
CTL yang berpendekatanbervisi SETS. Sebagaimana kita ketahui bahwa tujuan pembelajaran sainsIPA
adalah agar siswa memahami konsep sains dan keterkaitannya dalam kehidupan sehari-hari, memiliki ketrampilan tentang alam sekitar untuk
mengembangkan pengetahuan tentang proses alam sekitar, mampu menerapkan berbagai konsep sains untuk menjelaskan gejala alam dan
mampu menggunakan teknologi sederhana untuk memecahkan masalah yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari Trianto, 2007:138
Pembelajaran kontekstual Contextual Teaching and Learning adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi
yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Visipendekatan SETS memberikan peluang para siswa untuk memperoleh pengetahuan
sekaligus kemampuan berpikir dan bertindak berdasarkan hasil analisis dan sintesis yang bersifat komprehensif dengan memperhitungkan aspek
sains, lingkungan, teknologi dan masyarakat sebagai satu kesatuan tak terpisah Binadja, 2005.
Menurut Syahbana 2012, pendekatan CTL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP Negeri 17 Palembang
yaitu ada perbedaan yang signifikan pada kemampuan berpikir kritis
matematis siswa yang memperoleh pembelajaran matematika dengan pendekatan CTL dibandingkan siswa yang memperoleh pembelajaran
dengan pendekatan konvensional. Ketut Suwita 2012 juga berpendapat bahwa dasar pemikiran penggunaan model pembelajaran STM Sains
Teknologi Masyarakat dan CTL karena kedua model tersebut memiliki beberapa kelebihan diantaranya : 1 memberikan kesempatan kepada
siswa aktif dalam dalam proses pembelajaran dalam usaha untuk membangun ketrampilan berpikir tingkat tinggi ketrampilan berpikir
kritis dan kreatif melalui kegiatan proses sains, 2 memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkaji pembelajaran yang berkaitan
dengan dunia nyata dengan permasalahan kontekstual untuk membangun makna, 3 memberikan peluang kepada guru untuk
melaksanakan penilaian dengan berbagai dimensi penilaian termasuk didalamnya penilaian terhadap ketrampilan berpikir kritis. Selain itu,
menurut Rusilowati dkk 2009 menunjukkan bahwa model kebencanaan yang terintegrasi dalam IPA yang dapat dikembangkan adalah model
yang berpendekatanbervisi SETS. Melalui model CTL bervisi SETS, siswa dilibatkan secara langsung untuk mengkaitkan materi dengan
situasi dunia nyata dalam kehidupan sehari-hari yang menerapkan sains ke dalam bentuk teknologi dalam memenuhi kebutuhan masyarakat
dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat dan memperhatikan lingkungan, sehingga risiko terjadinya bencana dapat dikurangi.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti melakukan penelitian tentang “Pengintegrasian Pembelajaran Pengurangan Risiko Bencana PRB
dalam IPA melalui Model CTL Bervisi SETS untuk Menumbuhkan Kemampuan Berpikir Kritis siswa SMP”.
1.2 Rumusan Masalah