4.3 Pembahasan
4.3.1 Kemampuan Berpikir Kritis
Kemampuan berpikir kritis dalam penelitian ini diteliti melalui instrumen tes dan lembar observasi. Berdasarkan analisis data, rata-rata
kemampuan berpikir kritis siswa mengalami peningkatan dari keadaan awal pre-test dan keadaan akhir post-test baik kelas eksperimen
maupun kelas kontrol. Hal ini dapat diketahui dari Gambar 4.1 dan Gambar 4.2.
Kemampuan berpikir kritis yang diteliti melalui instrumen tes meliputi menilai, mengidentifikasi, menganalisis, mengevaluasi dan
menyimpulkan. Hasil kemampuan berpikir kritis antara kelas eksperimen dan kelas kontrol yang diukur dengan menggunakan instrumen tes dapat
dilihat pada Gambar 4.3. Dari hasil analisis data post-test, diketahui bahwa berpikir kritis kedua kelas berdistribusi normal. Hal itu sesuai dengan uji
normalitas yang ditunjukkan Tabel 4.2. Karena data tersebut berdistribusi normal, hipotesis diuji dengan menggunakan statistik parametris.
Setelah diuji normalitas, data tersebut diuji kesamaan varians untuk mengetahui uji t apa yang digunakan dalam pengujian hipotesis. Karena
data tersebut berdistribusi normal dan kedua varians homogen, serta sampel yang diambil berkolerasi dependen, maka pengujian hipotesis ini
menggunakan uji t satu pihak yaitu uji t pihak kanan untuk mengetahui apakah berpikir kritis kelas eksperimen lebih baik dari kemampuan
berpikir kritis kelas kontrol. Dari hasil analisis data pada Tabel 4.4
diperoleh bahwa t
hitung
sebesar 2.02 dan t
tabel
sebesar 1.67. Dari uji t tersebut, diketahui bahwa t
hitung
t
tabel
maka Ho ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis kelas eksperimen lebih
besar dari kemampuan berpikir kritis kelas kontrol. Kesimpulan tersebut menunjukkan bahwa berpikir kritis siswa yang
mendapat pembelajaran CTL bervisi SETS lebih tinggi dari berpikir kritis kelas yang mendapat pembelajaran konvensional bervisi SETS. Hal ini
dikarenakan pembelajaran berkaitan dengan dunia nyata yang dekat dengan kehidupan siswa sehingga kemampuan berpikir kritis dapat dilatih
dengan baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nurhadi 2003 :73, kemampuan berpikir kritis paling baik dicapai bila dihubungkan dengan
topik yang dikenal siswa. Selain itu, pembelajaran pada kelas eksperimen dilaksanakan
berlandaskan pada azas kontruktivisme yang merupakan salah satu komponen utama pada CTL. Dengan berlandaskan pada azas
konvtruktivisme, maka siswa tak lagi hanya menerima pengetahuan dari guru, tetapi mereka mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka tentang
materi kalor. Pengkontruksian tersebut diawali dengan mengungkapkan pertanyaan yang sering ditemui dan dialami siswa dalam kehidupan
sehari-hari. Kemudian guru mendorong siswa mengkaitkan pengalaman dengan materi tentang kalor. Jadi, dalam pembelajaran siswa terlibat
secara langsung dalam penemuan pengetahuan tentang materi. Dengan menemukan sendiri, siswa lebih ingat akan yang dipelajari, dan sesuatu
yang ditemukan sendiri bisa bertahan lama; tidak mudah dilupakan Nurhadi 2003:75. Hal ini sesuai pula dengan pendapat Sanjaya 2006 :
260 bahwa belajar bukanlah menghafal, akan tetapi proses mengkontruksi pengetahuan sesuai pengalaman yang mereka miliki. Dalam proses
menemukan pengetahuan tentang materi kalor, guru berperan sebagai model praktikum dan membimbing jalannya kegiatan tersebut.
Dalam kegiatan praktikum, siswa dibagi dalam kelompok belajar. Menurut Hasruddin 2009, kelompok belajar dibentuk oleh pengajar
dengan memperhatikan karakteristik pelajar. Keadaan kelompok yang bersifat heterogen memungkinkan terjadi interaksi dalam proses
pembalajaran. Dalam kerja kelompok yang heterogen memungkinkan terjadinya saling komunikasi untuk berbagi gagasan dan pengalaman serta
bekerja sama untuk memecahkan masalah. Sehingga untuk mengembangkan kemampuan berpikir, siswa dibentuk dalam suatu
kelompok yang heterogen dalam hal kemampuan akademik. Masing-masing kelompok belajar diberi LKS yang berorientasi
pada siklus inkuiri yang berisi tahapan-tahapan : a menyusun hipotesis dari suatu permasalahan; b melakukan percobaan melatih kemampuan
mengamati dan mengukur; c mengklasifikasi data yang diperoleh; d menganalisis; e menginterpretasi data; f membuat kesimpulan d .
Melalui kegiatan inkuiri tersebut, siswa terlatih untuk memanfaatkan kemampuan berpikirnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Nurhadi 2007:
76, bahwa siswa hanya akan dapat mengembangkan pikirannya dengan
berpikir, dengan menggunakan pikiran itu sendiri. Selain itu menurut Hasruddin 2009:55, dalam kegiatan inkuiri, siswa melakukan kegiatan
observasi. Dengan observasi berarti siswa meningkatkan kemampuan berpikir kritis.
Berbeda dengan kelas kontrol yang diajar dengan model konvensional bervisi SETS yaitu ceramah dan demonstrasi, siswa hanya
mengamati demonstrasi yang dilakukan oleh guru. Pada pembelajaran ini, masing-masing kelompok mendapat LKS yang berorientasi pada tahapan-
tahapan inkuiri seperti pada kelas eksperimen, namun siswa kurang terlibat secara langsung dalam proses penemuan sehingga berpikir kritis kelas
kontrol lebih rendah dari berpikir kritis kelas eksperimen. Peningkatan berpikir kritis dapat dilihat pada Gambar 4.6. Dari
gambar tersebut dapat diketahui bahwa keadaan awal rata-rata berpikir kritis kelas eksperimen sebelum dan sesudah diberi pembelajaran dengan
model CTL bervisi SETS adalah sebesar 19,97 kurang kritis dan 65,20 kritis. Hasil tersebut kemudian diuji gain ternormalisasi untuk
mengetahui seberapa besar peningkatannya. Dari hasil analisis, diketahui bahwa uji gain ternormalisasi untuk kelas eksperimen sebesar 0,57 atau
berada dalam kategori sedang, sedangkan pada kelas kontrol diketahui bahwa kemampuan awal siswa sebesar 19,12 tidak kritis. Setelah
diberi pembelajaran dengan model ceramah dan demonstrasi bervisi SETS, diperoleh rata-rata nilai sebesar 59,53 kategori kritis. Hasil
tersebut kemudian diuji gain ternormalisasi untuk mengetahui seberapa
besar peningkatannya. Dari hasil analisis data, diketahui bahwa uji gain ternormalisasi pada kelas kontrol sebesar 0,50 atau berada pada kategori
sedang. Dengan demikian, rata-rata kemampuan berpikir kelas eksperimen
meningkat secara signifikan daripada rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa kontrol sehingga nilai atau hasil belajar siswa pada kelas eksperimen
lebih baik daripada nilai atau hasil belajar siswa pada kelas kontrol. Hal itu sesuai dengan pendapat Gokhale 1995, yang menyatakan bahwa
pembelajaran dengan menerapkan ketarmpilan berpikir kritis menunjukkan prestasi yang lebih baik dalam menyelesaikan permasalahan
dan lebih memotivasi dakam belajar. Instrumen kedua yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar
ovbservasi. Indikator pada lembar observasi ini adalah kemampuan berpikir kritis yang meliputi menyusun hipotesis, mengamati dan
menginterpretasi data. Pada instrumen lembar observasi, peneliti dibantu oleh tiga observer yang terdiri dari teman sejawat peneliti. Rata-rata
kemampuan berpikir kritis pada kelas eksperimen lebih baik daripada rata- rata kemampuan berpikir kritis kelas kontrol, baik penilaian dari observer
1, observer 2 maupun observer 3. Hal itu ditunjukkan pada Tabel 4.1 dan Gambar 4.4.
Secara umum, rata-rata kemampuan berpikir kritis kelas eksperimen lebih besar dari rata-rata kemampuan berpikir kritis kelas kontrol. Hal ini
ditunjukkan pada Gambar 4.5. Perbedaan hasil kemampuan berpikir kritis
kedua kelas dipengaruhi oleh perbedaan masing-masing indikator.. Namun terdapat satu indikator dengan perbedaan yang signifikan, yaitu
kemampuan mengevaluasi. Kemampuan mengevaluasi siswa yang mendapat pembelajaran CTL bervisi SETS jauh lebih tinggi daripada
kemampuan mengevaluasi siswa yang mendapat pembelajaran konvensional bervisi SETS. Hal ini dikarenakan pada pembelajaran CTL
dilakukan refleksi pada setiap akhir pembelajarannya. Sebagaimana kita ketahui bahwa refleksi merupakan cara berpikir tentang apa yang baru
terjadi atau dipelajari. Mengevaluasi adalah kegiatan untuk mengambil keputusan,
menyatakan pendapat, memberikan penilaian berdasarkan kriteria-kriteria tertentu baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Melalui refleksi, siswa
diberi kesempatan untuk mencerna, menimbang, membandingkan, dan melakukan diskusi dengan dirinya sendiri learning to be. Hal ini sesuai
dengan pendapat Rusman 2010 bahwa kemampuan untuk mengaplikasikan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan pada dunia nyata
yang dihadapinya akan lebih mudah diaktualisasikan manakala pengalaman belajar itu telah terinternalisasi dalam setiap jiwa serta pada
saat melakukan refleksi pada setiap akhir pembelajaran. Selain refleksi, kemampuan mengevaluasi pada kelas eksperimen juga dilatih dengan
pemberian soal-soal di setiap akhir pembelajaran. Dengan pemberian soal- soal disetiap akhir pembelajaran mengenai materi yang telah disampaikan
ini akan membuat siswa melatih kemampuan berpikirnya dalam kegiatan untuk mengambil keputusan.
4.3.2 Sikap Siswa Terhadap Pengurangan Risiko Bencana