Persamaan 5 diatas menunjukkan hasil penetapan rendemen berdasarkan analisis nilai nira perahan pertama kurang menghargai prestasi individu, karena kualitas
tebu yang seharusnya didekati dengan NNPP dan KNT hanya didekati dengan NNPP saja, KNT untuk semua tebu dianggap sama.
2.6. Metode Penetapan Rendemen Tebu Alternatif
2.6.1. Metode Penetapan Rendemen Dengan Krepyak Mini Sampler KMS
Pada musim giling 2003, PG Mojopanggung dengan kapasitas giling ± 2400 TCD telah mengupayakan proyek percontohan penentuan rendemen individu yang
menghargai prestasi individu dengan model sampling “krepyak mini sampler KMS” Martoyo dan Santoso, 2003. Krepyak mini sampler ditujukan untuk
menetapkan titik sampel individu, sedangkan ultrasonic flowmeter untuk menetapkan kadar nira perahan pertama KNPP, sehingga rendemen ditetapkan
berdasarkan formula : Rendemen = NNPP x KNPP x Faktor Kristal. Upaya untuk mengukur langsung NNPP dan KNPP untuk menilai kualitas tebu secara lebih
tegas merupakan langkah yang baik dalam rangka penyempurnaan penetapan rendemen yang lebih berkeadilan.
Namun demikian, hasil kajian Martoyo dan Santoso 2004 menemukan lori dengan berat tebu tinggi dan diperkirakan niranya tinggi namun kenyataannya
berat niranya rendah, begitu pula sebaliknya, sehingga menyebabkan rentang nilai KNPP yang cukup besar, berkisar antara 20 – 85 . Hal tersebut diduga karena
kesalahan sistem yang hanya mengukur jumlah NNPP berdasarkan jarak waktu yang sama. Padahal, kenyataannya terjadi perbedaan jarak waktu untuk tebu
lonjoran di krepyak tebu I krepyak mini I sampler dengan jarak waktu untuk tebu cacah di krepyak tebu II krepyak mini II sampler, serta jarak waktu nira
mengalir di talang NNPP. Dengan kondisi demikian, pada skala komersial untuk musim giling 2004 metode
ini masih mempunyai kendala dalam pelaksanaannya, khususnya pengukuran KNPP dengan ultrasonic flowmeter. Untuk PG yang berkapasitas giling 3000
TCD, dimana umpan tebu ke krepyak lebih dari 2 meja tebu, perlu dikaji tingkat kevalidan sampel kaitannya dengan tercampurnya nira tebu antar individu
Martoyo dan Santoso, 2004.
2.6.2. Metode Penetapan Rendemen Dengan Refraktometer
Alat yang digunakan dalam metode ini adalah refraktometer presisi yang sudah dikalibrasi. Prinsip yang diterapkan adalah index bias larutan gula mempunyai
korelasi dengan konsentrasi larutan tersebut Harisutji, 2001. Metode ini bisa digunakan untuk analisis macam-macam nira npp, nira mentah, nira encer atau
nira kental dan tetes dengan mengencerkannya terlebih dahulu setara dengan nira encer.
Prosedur analisisnya sederhana, yaitu meneteskan larutan contoh kedalam prisma refraktometer dan dibaca skala brix yang tertera serta suhunya. Skala yang
ditunjukkan dalam alat sudah langsung menunjukkan brix, kemudian dikoreksi sesuai dengan suhu pengukuran. Brix terkoreksi = brix terbaca + koreksi brix.
Menurut Purwono 2002, diketahui bahwa terdapat korelasi yang nyata antara nilai brix B yang diukur dengan rendemen R dengan r
2
= 0.82 dan persamaan regresinya adalah :
R = - 0.0254 + 0.4746 B.
Dengan demikian, cukup dengan memasukkan hasil pengukuran brix, maka dapat langsung diketahui nilai rendemen suatu contoh tebu.
Hasil penelitian Santoso dan Martoyo 1994 di tiga pabrik gula menunjukkan bahwa hasil pengukuran brix refraktometer dan hydrometer tidak berbeda untuk
contoh nira mentah dan nira encer. Semakin rendah kemurnian contoh, perbedaan hasil pengukuran semakin besar. Walaupun terdapat perbedaan hasil pengukuran,
penggunaan refraktometer untuk pengawasan pabrikasi tidak menimbulkan masalah berarti, bahkan menguntungkan. Cara pemakaian refraktometer lebih
mudah dan cepat, hanya memerlukan contoh yang sedikit dibandingkan menggunakan hydrometer.
Perbandingan hasil pengukuran refraktometer brix dan kadar bahan kering sesungguhnya dalam contoh nira mentah, nira encer, nira kental dan tetes juga
dilaporkan oleh Mellet 1986 dalam Santoso dan Martoyo 1994. Pada contoh nira mentah, nira encer dan nira kental, cara refraktometer memberikan perbedaan
0,05 – 0,13 angka lebih tinggi dari kadar bahan kering sesungguhnya. Sedangkan pada contoh tetes, perbedaan itu menjadi 3,2 – 4,4 angka lebih tinggi.
Hasil kajian Ekosoni, Hendroko dan Praptiningsih 1996, menunjukkan pengamatan brix dengan refraktometer-tangan pada rumpun tebu contoh telah
mampu mendekati rerata brix kebun dengan simpangan hanya sebesar ± 5. Kajian ini menyarankan mengambil 3 tiga rumpun contoh yang terletak pada tiga
juring berhimpitan, masing-masing berturutan searah kemiringan lahan. Disarankan pula untuk tidak mengambil rumpun pada jarak minimal 10 meter dari
pinggir kebun. Refraktometer tangan mampu mengatasi permasalahan-permasalahan di atas
karena hanya membutuhkan setetes nira, yang dapat diambil tanpa merusak batang-batang tebu dan tidak menggunakan logam berat Pb seperti pada prosedur
analisis pendahuluan.
2.6.3. Metode Penetapan Rendemen dengan Pendekatan Core Sampler PCS
Dalam makalahnya, Partowinoto 1996 menyebutkan bahwa metode Core Sampler telah diperkenalkan sejak tahun 1975 untuk mengatasi permasalahan
antara petani dengan pabrik gula, pertama kali digunakan di pabrik St. Martin di Lousiana USA.
Sistem kerja core sampler : sebuah pipa dengan diameter 8 – 10 dm, panjang ± 6m diujungnya dilengkapi semacam gergaji diputar dengan 550 sampai 1250 rpm
dimasukan ke tumpukan tebu di dalam trukkontainer dengan arah datar atau menukik dengan sudut 45
o
. Sampel yang diambil dipotong-potong dan kemudian dicacah. Selanjutnya 1 kg cacahan tebu dipress dengan tekanan 3000 psi hingga
menghasilkan nira kurang lebih 60 tebu, selanjutnya nira tersebut dianalisis pol dan brixnya. Core sampler hanya mampu membedakan mutu tebu nilai nira dari
masing-masing truklori dengan pendekatan perhitungan NNPP dan KNT, sedangkan untuk menentukan besarnya rendemen perlu adanya rumus rendemen
atau Faktor Rendemen Santoso dan Bahri, 2004. Pendekatan Core Sampler PCS adalah metode penetapan rendemen dengan cara
mengambil sampel dengan pendekatan seperti pengambilan sampel dengan menggunakan alat Core Sampler.
2.7. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Rendemen