Latar Belakang Kajian Teknik Penetapan Rendemen Tebu Individual Petani Di Pabrik Gula Mojopanggung Tulung Agung Jawa Timur

1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Angka rendemen yang digunakan untuk menghitung hasil di pabrik gula adalah rasio antara hasil gula kristal hablur dengan bobot tebu yang digiling LP IPB, 2002; Purwono, 2002. Dengan kata lain, rendemen adalah kristal nyata diperoleh tebu digiling atau lebih dikenal dengan kristal nyata tebu Harisutji, 2001; Santoso dan Martoyo, 2000. Menurut Hommes 1932 dalam Meade dan Chen, 1977, yang dimaksud dengan rendemen adalah jumlah gula yang dapat dihasilkan setiap 100 bagian berat tebu. Dalam konteks Indonesia, faktor rendemen menjadi sangat penting karena tebu yang dihasilkan petani tidak secara langsung dijual kepada pihak pabrik gula PG. Petani menyerahkan tebu kepada PG untuk diolah menjadi gula. Perhitungan pembagian ditetapkan berdasarkan jumlah gula yang dihasilkan dengan sistem “bagi hasil” antara pihak PG dan pihak petani dengan perbandingan 65-66 untuk petani dan 34-35 untuk PG. Kurangnya pengetahuan petani dan kerumitan dalam pengukuran rendemen menimbulkan kecurigaan PG memanipulasi rendemen gula. Dilain pihak, PG menilai mutu tebu kurang baik karena banyak mengandung kotoran dan petani hanya mengejar bobot tebu saja Woeryanto, 2000. Hasil penelitian Lembaga Penelitian IPB 2002 menyebutkan bahwa persoalan yang seringkali muncul dan dirasakan belum memuaskan petani adalah perhitungan tingkat rendemen. Rendemen yang digunakan di Indonesia adalah tolok ukur perolehan gula yang ditentukan setiap satu periode giling 15 harian berdasarkan kristal nyata yang dihasilkan dari tebu yang digiling. Sejak diberlakukannya program Tebu Rakyat Intensifikasi Inpres No 9 tahun 1975, tebu ditanam dan dikelola oleh petani tebu rakyat PTR, sedangkan pabrik gula hanya menggiling tebu tersebut dengan sistem bagi hasil. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri PertanianKetua Badan Pengendali Bimas Nomor 013SKMENTANBPB376 tanggal 5 Maret 1976 tentang Pedoman Penentuan Rendemen Tebu Rakyat Yang Diolah Pabrik Gula, rendemen ditetapkan berdasarkan pada analisis nilai nira perahan pertama. Untuk melindungi PTR dari resiko ketidakefisienan pabrik gula, ditetapkanlah faktor rendemen minimum yang konstan dan berlaku bagi suatu wilayah tertentu. Sebaliknya, untuk melindungi pabrik gula, digunakan suatu faktor koreksi rendemen Anonim, 1984. Cara penetapan rendemen tebu seperti diatas masih mempunyai kelemahan, yaitu : a. Mutu tebu nilai nira dipersamakan bagi tebu yang digiling pada jam yang sama, sedangkan Faktor Rendemen diperlakukan sama bagi tebu yang digiling selama satu periode 15 hari. Dengan demikian tidak dapat dibedakan antara rendemen tebu petani yang satu dengan lainnya Santoso dan Bahri, 2004. b. Penelitian Kusbiyanto, et al. 1982, menyimpulkan bahwa metode penetapan rendemen yeng digunakan pada waktu itu dan sampai saat ini masih digunakan tidak dapat membedakan kualitas tebu masing-masing petani. c. Berdasarkan pelaksanaan proses penggilingan tebu di pabrik, permasalahan sampling nilai nira perahan pertama NNPP menjadi kendala khususnya untuk pabrik gula yang besar dengan kapasitas giling 3000 TCD ton cane per day menjadi tidak akurat. Hal ini disebabkan umpan tebu berasal dari beberapa meja 2 meja sehingga nira dari tebu petani yang satu tercampur dengan petani lain. Dengan demikian nira yang berasal dari tebu dengan kualitas baik akan bercampur dengan nira tebu lain yang kualitasnya berbeda Mochtar, et al. 1993; LRPI, 2004. Penelitian Partowinoto 1996 menunjukkan bahwa hasil penetapan rendemen tidak mencerminkan tebu individu petani karena tidak menghargai prestasi individu. Akibatnya, para petani yang awalnya bekerja keras untuk berprestasi akan kecewa karena tidak menemukan perbedaan nyata dengan petani yang berprestasi lebih rendah. Input usahatani berupa bibit, pupuk dan tenaga kerja yang berbeda tidak membedakan pendapatan petani Adisasmito, 1998; Murdiyatmo, 2000. Petani yang merasa mempunyai tebu berkualitas baik namun rendemen tebunya tidak berbeda nyata dengan rendemen tebu lain yang berkualitas lebih rendah, merasa dirugikan dan timbul kecurigaan terhadap PG karena penetapan rendemen tersebut dilakukan oleh PG. Timbul hubungan yang kurang harmonis antara PG dan petani, kondisi kemitraan menjadi tidak kondusif dan terjadi disinsentif terhadap peningkatan produksi Husodo, 2000; Partowinoto, 1996; Woeryanto, 2000. Oleh karena itu, perbaikan industri gula saat ini harus menyentuh aspek pengukuran kualitas tebu yang mampu mengukur prestasi petani secara individual serta menjamin akurasi pengukuran tersebut LRPI, 2004; Roesmanto dan Nahdodin, 2001; Santoso dan Bahri, 2004. Teknik dan sistem penetapan rendemen yang lebih transparan dan adil sangat diperlukan untuk mendorong petani memproduksi tebu dengan rendemen yang tinggi Roesmanto dan Nahdodin, 2001. Penelitian Martoyo dan Santoso 2003 melaporkan bahwa penetapan rendemen individual petani dapat dilakukan dengan cara sampling terhadap tebu yang akan digiling dengan menggunakan alat sampling. Selain dengan cara sampling tersebut, pendugaan rendemen tebu secara individual petani juga dapat dilakukan berdasarkan komponen-komponen input kebun yang mempengaruhi rendemen Purwono, 2002; Santoso dan Martoyo, 1994. Cara sampling yang sudah digunakan di Indonesia adalah dengan menggunakan metoda krepyak mini sampler KMS yang telah dilaksanakan sejak tahun 2003 di PG Mojopanggung dan PG Ngadirejo, Jawa Timur LRPI, 2004; Martoyo dan Santoso, 2003. Namun demikian, metode ini belum mampu mengatasi kemungkinan tercampurnya nira tebu pada PG dengan kapasitas besar yang menggunakan meja tebu 3 buah atau lebih Martoyo dan Santoso, 2004, sehingga diperlukan pengaturan khusus dalam menata antrian truklori agar nira tebu tidak tercampur LRPI, 2004; Martoyo dan Santoso, 2004. Disamping metode krepyak mini sampler, teknik sampling yang sudah digunakan di beberapa negara seperti India, Thailand, serta Amerika Serikat adalah dengan menggunakan metode core sampler LRPI, 2004; Partowinoto, 1996; Santoso dan Bahri, 2004. Metode ini mampu membedakan nilai nira dari masing-masing loritruk Partowinoto, 1996. Teknik sampling ini belum pernah dicoba di Indonesia, sehingga untuk dapat diterapkan di Indonesia perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Hasil penelitian Santoso dan Martoyo 1994 serta Purwono 2002 terhadap komponen brix tebu di kebun, yaitu suatu satuan yang menyatakan persen beratberat bb zat padat terlarut suatu larutan yang dalam hal ini adalah perkiraan jumlah gula yang dapat dikristalisasi dari batang tebu Harisutji, 2001, melaporkan bahwa brix kebun dapat digunakan untuk menduga besarnya rendemen tebu petani secara individual. Permasalahannya, pendugaan rendemen dengan hanya berdasarkan nilai brix kebun belum sepenuhnya akurat karena komponen-komponen input lainnya yang juga berpengaruh terhadap tinggi- rendahnya rendemen belum diperhitungkan Santoso dan Martoyo, 1994. Komponen-komponen input tersebut antara lain : varietas tebu Darmodjo, 1995, tingkat keprasan Arsana, et al, 1997; Rasyid, 1992, stadia kemasakan tebu saat ditebang Sunantyo, 1992, pemupukan Dharmawan, 1992, banyaknya kotoran yang terangkut dan ikut digiling Yates, 1996 dalam Martoyo, 2000, adanya delay-time sejak tebang hingga saat digiling atau yang dikenal dengan istilah kewayuan Santoso, et al, 1996, serta efisiensi pabrik dalam memproses tebu menjadi gula Hommes, 1932 dalam Meade dan Chen, 1977. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang menggunakan berbagai komponen input dalam pendugaan rendemen. Penelitian ini diharapkan dapat mempelajari serta menetapkan teknik dan sistem penetapan rendemen tebu yang dapat mengukur prestasi petani secara individul dan secara teknis akurat. Selain itu, diharapkan dapat dipelajari dan diidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi rendemen tinggi. Hubungan antara faktor- faktor tersebut menjadi acuan penetapan metode alternatif pengukuran rendemen yang dapat mengatasi permasalahan tersebut.

1.2. Tujuan Penelitian