Kondisi Pemenuhan Kebutuhan kedelai di Era Perdagangan Bebas

konsumsi kedelai untuk konsumsi ternak meningkat dari tahun 1969-1993 sebesar 8.58 persen per tahun Sudaryanto,1996. Berdasarkan data statistik badan dunia FAO konsumsi kedelai per kapita Indonesia dalam 15 tahun terakhir menurun dari 11.38 kg pada tahun 1990 menjadi 8.97 kg pada tahun 2004, dengan laju penurunan 1.69 persen per tahun. Penurunan konsumsi terjadi sejak 1995. Selama periode 1995-2000 konsumsi per kapita menurun dari 11.82 kg pada tahun 1995 menjadi 10.92 kg pada tahun 2000, dengan laju 1.57 persen per tahun. Penurunan paling tajam terjadi pada periode 2000-2004, dengan rata-rata 4.81 persen per tahun. Secara nasional, penurunan konsumsi kedelai jauh lebih rendah daripada penurunan produksi. Implikasinya, tanpa terobosan peningkatan produksi, Indonesia akan menghadapi defisit yang makin besar. Dengan laju penurunan produksi kedelai yang lebih tajam daripada laju penurunan konsumsi, maka ke depannya impor kedelai untuk menutupi defisit diperkirakan akan terus meningkat Puslitbang Tanaman Pangan, 2005.

2.2.2. Kondisi Pemenuhan Kebutuhan kedelai di Era Perdagangan Bebas

Menurut Mankiw 2000, pada saat perdagangan internasional dibuka, maka suatu negara memiliki dua kemungkinan posisi. Misal apakah Indonesia akan menjual kedelai ke pasar internasional, ataukah sebaliknya membeli kedelai dari pasar internasional. Selanjutnya kita harus membandingkan harga kedelai yang tengah berlaku di pasar domestik dengan yang berlaku di negara-negara lain atau pasar dunia. Jika harga dunia kedelai lebih tinggi daripada harga domestik, maka ketika hubungan dagang dibuka, Indonesia akan menjadi pengekspor kedelai. Sebaliknya jika harga dunia kedelai lebih rendah daripada harga domestik, maka ketika hubungan dagang dibuka, Indonesia akan menjadi pengimpor kedelai. Berdasarkan penelitian Hadipurnomo 2000, dijelaskan bahwa sebelum era perdagangan bebas, BULOG masih memonopoli kedelai impor. BULOG menyalurkan kedelai impor ke KOPTI Koperasi Tahu dan Tempe Indonesia, KPKD Kelompok Pedagang Kacang Kedelai dan industri pengolah pangan. KOPTI belum dapat memenuhi kebutuhan industri tahu dan tempe. Sebelum tahun 1997, pemerintah masih memberlakukan impor terbatas kuota, sehingga tidak semua industri dapat menggunakan kedelai impor. Hal ini dilakukan agar produksi kedelai lokal dapat terlindungi, mengingat harga kedelai lokal lebih mahal daripada kedelai impor CIF. Dalam hal ini BULOG menjual kedelai impor dengan harga lebih tertentu kepada industri tahu dan tempe sehingga selisih harga kedelai lokal tidak terlalu besar dengan kedelai impor. Harga impor yang ditetapkan telah dipertimbangkan dari segi daya beli industri sehingga petani kedelai dapat berproduksi. KOPTI dan KPKD yang mendapat jatah kedelai dari pemerintah dapat beroperasi dengan baik karena mampu bersaing harga dengan pedagang besar. Pada era perdagangan bebas, pemerintah tidak lagi membatasi impor dan BULOG tidak memonopoli kedelai lagi. Pelaku importir dalam hal ini dipegang oleh perusahaan-perusahaan swasta pedagang dan koperasi KOPTI, sehingga terjadi persaingan. Pada saat terjadi lonjakan tajam depresiasi rupiah tahun 1998, harga kedelai impor menjadi lebih mahal daripada kedelai lokal. Hal ini mengakibatkan volume impor menurun walaupun kuota impor tidak dibatasi. Namun setelah terjadi penyesuaian-penyesuaian dalam pasar seiring dengan berjalannya waktu, volume impor kembali meningkat bahkan melimpah. Hal ini disebabkan oleh terjadinya persaingan antar pedagang kedelai impor. Pedagang mampu menjual kedelai impor lebih murah daripada KOPTI, sehingga ada kecenderungan industri tahu dan tempe menggunakan kedelai impor dari pedagang. Harga impor menjadi semakin murah dengan adanya persaingan antar pedagang kedelai impor. Akibatnya semakin banyak industri tahu dan tempe yang menggunakan kedelai impor. Hal ini mengakibatkan lesunya produksi kedelai lokal karena kecenderungan preferensi bahan baku kedelai industri adalah kedelai impor. Produksi kedelai lokal semakin menurun, sedangkan kedelai impor semakin melimpah.

2.3. Kebijakan Pengembangan Kedelai di Indonesia