Kebijakan Pengembangan Kedelai di Indonesia

berjalannya waktu, volume impor kembali meningkat bahkan melimpah. Hal ini disebabkan oleh terjadinya persaingan antar pedagang kedelai impor. Pedagang mampu menjual kedelai impor lebih murah daripada KOPTI, sehingga ada kecenderungan industri tahu dan tempe menggunakan kedelai impor dari pedagang. Harga impor menjadi semakin murah dengan adanya persaingan antar pedagang kedelai impor. Akibatnya semakin banyak industri tahu dan tempe yang menggunakan kedelai impor. Hal ini mengakibatkan lesunya produksi kedelai lokal karena kecenderungan preferensi bahan baku kedelai industri adalah kedelai impor. Produksi kedelai lokal semakin menurun, sedangkan kedelai impor semakin melimpah.

2.3. Kebijakan Pengembangan Kedelai di Indonesia

Menyadari peranan kedelai sebagai bahan makanan penting di Indonesia, pemerintah menetapkan berbagai kebijakan dalam usaha mencapai swasembada kedelai. Berbagai kebijakan pemerintah antara lain kebijakan harga, kebijakan tarif dan impor kedelai, dan kebijakan khusus pengembangan kedelai. a. Kebijakan Harga Kebijakan harga yang diterapkan dengan sasaran utama mendorong adopsi teknologi, meningkatkan produksi dan pendapatan petani adalah melalui kebijakan proteksi harga dan penetapan harga dasar. Kebijakan proteksi bertujuan untuk mengendalikan harga kedelai dalam negeri agar tetap lebih tinggi dan terisolasi dari fluktuasi harga kedelai di pasaran dunia. Hal ini dilakukan melalui pengaturan volume impor dan penetapan harga kedelai ex-impor serta pengendalian penyalurannya kepada industri pengolah dalam negeri Rachman dkk, 1996. Selain kebijakan proteksi harga, pemerintah juga menerapkan kebijakan harga dasar. Namun penetapan harga dasar secara umum belum mencapai sasaran yang diharapkan. Dalam periode 1984-1991, rata-rata harga kedelai di tingkat petani sekitar 76.00 persen lebih tinggi dari penetapan harga dasar Tabel 4. Dibandingkan dengan penetapan harga pembelian kedelai oleh pemerintah, harga produsen juga masih tetap lebih tinggi yaitu sekitar 69.07 persen dari harga pembelian. Nampak jelas bahwa penetapan harga dasar maupun harga pembelian kedelai oleh pemerintah adalah sangat rendah dibandingkan dengan harga pasar yang berlaku. Sejak tahun 1992 pemerintah tidak lagi menetapkan harga dasar untuk komoditas kedelai. Hal ini dikarenakan penetapan harga dasar kedelai selama ini tidak efektif sebab sejak tahun 1984 pemerintah tidak lagi melakukan pengadaan kedelai dalam negeri. Pengadaan kedelai tidak lagi dilakukan pemerintah karena harga kedelai di pasaran umum sangat baik, jauh di atas harga dasar dan dianggap sudah cukup baik bagi petani untuk meningkatkan produksi Bulog, 1995 dalam Hadipurnomo, 2000. Selain itu adanya hambatan dalam pemasaran kedelai menyebabkan Bulog kesulitan dalam melaksanakan kebijakan harga dasar. Adapun hambatan pemasaran adalah 1 produksi kedelai difokuskan pada sentra- sentra kecil dan jaraknya relatif jauh satu sama lain, 2 kontrol terhadap kualitas kedelai sulit dilakukan, dan 3 kombinasi kegiatan-kegiatan pemasaran kedelai yang bersifat musiman membuat sulit dilakukannya evaluasi ekonomi. Akibatnya, biaya yang harus dikeluarkan untuk menetapkan harga dasar akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya peningkatan produksi kedelai itu sendiri. Tabel 4. Perkembangan Kebijakan Harga Dasar, Harga Produsen, Harga Pembelian dan Pengadaan Kedelai oleh Bulog, 1984-1991. Tahun Harga Dasar Rpkg Harga Pembelian RpKg Harga Produsen Rpkg Perbedaan terhadap harga produsen Harga dasar Harga Pembelian 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 280 300 300 300 325 370 400 500 293 313 313 313 340 385 415 520 458.34 468.47 517.00 612.15 665.17 766.22 705.11 766.22 63.93 56.33 72.00 100.33 104.61 80.54 76.25 53.20 56.66 49.84 64.86 94.89 95.59 73.51 69.88 47.31 Sumber : Statistik Bulog 1983-1993. Biro Gasar, Badan Urusan Logistik, Jakarta. Keterangan : Sejak 1984 sampai sekarang tidak ada lagi pengadaan kedelai dalam negeri oleh Bulog, dan setelah 1991 tidak ada lagi penetapan harga dasar. Dalam kondisi pasar kedelai seperti tersebut di atas, pedagang swasta dapat dengan baik melakukan kegiatan pembelian dan penyaluran kedelai secara efisien. Pasar kedelai Indonesia cenderung bersifat kompetitif dan efisien Hayami, 1987 dalam Astuti, 1998. Perbedaan harga antar waktu Peak and Off season adalah relatif rendah. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya pasokan, produksi saat panen raya selalu terserap tanpa diikuti penurunan harga yang berarti. Pada saat produksi langka, harga kedelai juga tidak meningkat melebihi batas toleransi, disebabkan oleh adanya penyaluran kedelai impor. Dapat dikatakan bahwa efektivitas kebijakan harga dasar ini juga terkait dengan kebijakan proteksi harga melalui pengaturan impor kedelai. b. Kebijakan Kuota Impor Non Tarif Kebijakan kuota untuk proteksi harga ini diakui telah berhasil mencapai sasarannya dan berdampak positif dalam mendorong dan meningkatkan produksi kedelai domestik Rosegrant et al, 1987, dalam Hadipurnomo, 2000. Berdasarkan hasil penelitian Altemeier dan Bottema 1991 dalam Rachman,et al 1996, menunjukkan bahwa kebijakan ini juga lebih mampu mendorong produksi, adopsi teknologi pemupukan maupun penyerapan tenaga kerja daripada kebijakan subsidi pupuk. Namun kebijakan ini menjadi tidak relevan lagi dalam era globalisasi yang menghendaki penghapusan kebijakan non tarif, dimana kebijakan kuota termasuk kebijakan non tarif. c. Kebijakan Tarif Impor Kedelai Upaya pemerintah dalam memenuhi kebutuhan bahan baku industri merupakan awal munculnya kebijakan impor kedelai di Indonesia pada pertengahan dasawarsa 1980-an. Perbandingan antara impor dan produksi kedelai dalam negeri mencapai rata-rata 45 persen per tahun yang merupakan angka tertinggi dibanding dengan dasawarsa 1970-an dan 1990-an Rachman, et al, 1996. Selain melakukan impor kedelai, untuk memenuhi permintaan di dalam negeri, pemerintah juga terus mengupayakan untuk meningkatkan produksi kedelai dalam negeri. Hal ini tentunya untuk mengurangi ketergantungan terhadap kedelai impor, karena dengan meningkatnya produksi kedelai dalam negeri dapat digunakan sebagai impor substitution pengganti kedelai impor dalam industri yang menggunakan kedelai sebagai bahan baku produksi. Kebijakan penggunaan tarif impor kedelai dapat dipakai sebagai alternatif untuk melindungi produsen kedelai di dalam negeri. Dengan tingkat tarif bea masuk tertentu akan dapat dibentuk tingkat harga yang tidak akan menyaingi harga kedelai lokal. Strategi ini sejalan dengan era tarifikasi yang dikehendaki dalam globalisasi perdagangan untuk menggantikan segala bentuk kebijakan non tarif. Selama ini pemerintah menerapkan kebijaksanaan pengaturan tataniaga untuk melindungi produsen dalam negeri. BULOG diserahi tugas untuk melaksanakan kebijaksanaan tersebut dengan dukungan penuh. Tingkat tarif bea masuk kedelai impor perlu diterapkan agar dapat memberikan tingkat proteksi yang diperlukan untuk melindungi produsen kedelai di dalam negeri. Tarif impor kedelai yang berlaku pada tahun 1983-1993 adalah sebesar sepuluh persen, kemudian pada tahun 1994-1996 tarif diturunkan menjadi lima persen, dimana Indonesia telah meratifikasi kesepakatan WTO melalui UU No.71994, konsekuensinya adalah Indonesia dituntut untuk segera melakukan penyesuaian kebijaksanaan pertanian dan kebijaksanaan perdagangannya. Bentuk penyesuaian tersebut antara lain adalah penurunan tarif impor produk pertanian dan pengurangan subsidi input pertanian. Berdasarkan Keputusan Menteri No.444KMK.011998, sejak tahun 1998-2003 tarif yang berlaku untuk impor kedelai adalah 0 persen, sesuai dengan kesepakatan IMF yang tertuang dalam LOI Letter of Intent, dimana Indonesia wajib sepenuhnya mematuhi ketentuan yang lebih berat dari ketentuan WTO, seperti penghapusan monopoli impor kedelai oleh Bulog dan penurunan tarif bea masuk setinggi-tingginya lima persen. Alasan pemerintah menetapkan tarif rendah adalah untuk memenuhi kebutuhan kedelai di dalam negeri, namun setelah mngevaluasi dampak tarif terhadap petani dalam negeri, dimana bea masuk nol persen sangat merugikan petani, maka pada tahun 2004 pemerintah menetapkan untuk menaikkan tarif impor kedelai menjadi sepuluh persen. Direncanakan tarif tersebut akan berlaku sampai dengan tahun 2010 Deptan, 2005. Dengan berubahnya struktur proteksi akibat kebijakan baru yang diambil maka kemungkinan besar akan terjadi perubahan struktur produksi di tingkat petani. Harga yang menurun akibat rendahnya tarif impor mungkin akan mempengaruhi keuntungan dan daya saing usahatani. Apabila selama dilindungi dengan mekanisme tarif, organisasi produksi telah ditata sedemikian rupa dengan tujuan yang sesuai dengan prinsip proteksi, maka pengurangan tarif tidak akan banyak mempengaruhi struktur produksi komoditas tersebut di dalam negeri. Namun sebaliknya bila selama diproteksi, kesempatan tersebut tidak dimanfaatkan untuk memperkuat daya saing, maka pengurangan tarif impor akan dapat menghancurkan produksi dalam negeri.

2.4. Kajian Penelitian Terdahulu