Sosialisasi dan Kekerasan Simbolik “Anak Itik” (Studi Kasus di Desa Bogak Kabupaten Batubara)

(1)

SOSIALISASI DAN KEKERASAN SIMBOLIK

“ANAK ITIK”

(Studi Kasus di Desa Bogak Kabupaten Batubara)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Ahmad Yasser Effendi

110901051

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

ABSTRAK

Desa Bogak merupakan wilayah pesisir yang sebagian besar masyarakatnya bekerja mencari nafkah dari hasil laut. Berbagai pekerjaan dapat dilakukan oleh warga masyarakat untuk mendapatkan nafkah. “Anak itik” adalah pekerjaan yang didominasi oleh anak-anak yang ada di Desa Bogak dan sudah disosialisasikan secara turun temurun. Sebagaimana anak-anak pada umumnya, mereka banyak menghabiskan waktu untuk bermain bersama teman-temannya dan menyelesaikan pendidikan mereka sebagai hak yang harus mereka terima. Berbeda dengan “anak itik”, sebagian besar hak mereka sebagai anak-anak tidak diberikan oleh masyarakat, namun hal itu tidak disadari oleh mereka ataupun masyarakat. Hal yang demikian itu disebut juga sebagai kekerasan simbolik, yaitu kekerasan yang tidak disadari karena berbagai simbol yang menutupinya.

Proses sosialisasi yang dilakukan oleh masyarakat Desa Bogak dapat dilihat dari pandangan Bringkerhoof, dkk (1995). Bringkerhoff mengatakan bahwa sosialisasi adalah proses penanaman nilai kepada individu secara simultan oleh masyarakat agar individu tersebut siap untuk menjadi bagian dari masyarakat. Selanjutnya, kekerasan simbolik juga merupakan bagian yang ikut disosialisasikan bersamaan dengan “anak itik” di Desa bogak. Menurut Bourdieu (dalam Jenkins, 2004), kekerasan simbolis adalah pemaksaan sistem simbolisme dan makna (misalnya kebudayaan) terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal itu dialami sebagai sesuatu yang sah.

Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi bagaimana sosialisasi yang diberikan masyarakat Desa Bogak terhadap “anak itik” sehingga terus bertahan disetiap generasi, serta untuk mengetahui bagaimana kekerasan simbolik yang dirasakan oleh “anak itik”. Metode yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif agar data yang didapat lebih mendalam. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara mendalam, dokumentasi dan penghayatan,

Peneliti menemukan bahwa anak-anak yang bekerja sebagai “anak itik” tidak menyadari kekerasan atau ketidakterpenuhinya hak-hak mereka sebagai anak, baik yang harus dipenuhi oleh keluarga atau juga masyarakat. “Anak itik” merupakan salah satu kearifan lokal yang ada di Desa Bogak. Bagi masyarakat Desa Bogak, “anak itik” adalah proses bagi anak-anak di Desa Bogak untuk menuju pribadi yang dewasa. Oleh karena itu, “anak itik” dianggap sebagai budaya yang harus dilesatrikan dan harus selalu disosialisasikan secara turun temurun dari generasi ke generasi.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan penulisan

skripsi ini yang berjudul “Sosialisasi Dan Kekerasan Simbolik “Anak Itik” (Studi

Kasus Di Desa Bogak Kabupaten Batubara)”. Penulisan skripsi ini disusun

sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa dukungan dari berbagai pihak, skripsi ini tidak akan terselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dengan sepenuh hati, baik berupa ide, kritikan, saran, dukungan semangat, doa, bantuan moril maupun materil sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu.

Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan yang tulus dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Yaitu kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si selaku Ketua Departemen Sosiologi. 3. Kepada Bapak Dr. Sismudjito, M.Si selaku Dosen Pembimbing saya. 4. Kepada seluruh dosen yang telah memberikan ilmu yang sangat berharga

selama saya kuliah di Sosiologi terlebih kepada Ibu Harmona Daulay, S.Sos, M.Si. Terimakasih atas ilmu, pelajaran berharga dan yang terpenting atas waktu yang diberikan kepada saya untuk diskusi serta berbagi pengalamannya. Sedikit banyak sangat membantu saya dalam membuka wawasan dan pola berpikir saya. Terimakasih.

5. Kepada seluruh staff dan pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, terutama Kak Fenni Khairifa, Kak Betty, Bang Abel, dan PD III FISIP USU Bapak Drs. Edward, M.Si yang selalu membantu saya mengurus keperluan administrasi guna untuk kepentingan kuliah maupun kepentingan kompetisi.


(4)

6. Penghargaan yang tertinggi saya berikan untuk kedua orang tua tercinta yaitu untuk Buya dan mamak, Dr. Erwan Efendi, M.A. dan Sumiati yang telah merawat serta mendidik saya dengan sepenuh hati. Akhirnya inilah persembahan yang dapat saya berikan sebagai tanda ucapan terimakasih dan tanda bakti saya kepada kedua orang tua.

7. Saya ucapkan terimakasih kepada saudara-saudari saya yaitu Yusmar Alkholidi Effendi, Sri Rahmadaniyati Effendi dan Khoiria Zulhijjah Effendi atas segala dukungannya kepada saya.

8. Terkhusus untuk teman terbaik saya yaitu Anita Syafitri, terimakasih atas waktu, semangat, pengorbanan dan segala kebaikannya dalam membantu saya terutama dalam menyelesaikan skripsi ini. Serta kepada sahabat-sahabat saya yang selalu ada yaitu Ayub Purnomo, Laila Ulfa, Putria Mawaddah dan May Pratiwi Purba.

9. Kepada teman baik saya yaitu Tim pengabdian Herliza, Ernita, Ismi, Novi. Sahabat Ganbare, Fishclub, dan adik-adik Frekuensi. Tak lupa pula saya ucapkan trimakasih kepada sahabat saya di seluruh Indonesia yaitu sahabat OBL, U-Gen, PHBD, GYC, DreamMaker atas motivasi yang sangat besar kepada saya. Serta seluruh teman-teman seangkatan yaitu Sosiologi 2011 yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Terima kasih atas kasih sayang, serta motivasi yang sangat luar biasa untuk saya.

10.Terakhir saya ucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian lapangan yaitu kepada seluruh informan baik di Batubara ataupun yang berada di Medan. Terimakasih banyak atas waktu dan kesediaan untuk diwawancarai guna menyelesaikan penelitian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan keterbatasan, untuk itu penulis mengharapkan masukan dan saran-saran yang sifatnya membangun demi kebaikan tulisan ini. Demikianlah yang dapat penulis sampaikan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, dan akhir kata dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima


(5)

kasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Medan, 29 Desember 2015 Penulis

Ahmad Yasser Effendi NIM. 110901051


(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR BAGAN ... ix

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitan... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

1.5. Definisi Konsep ... 8

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA... 10

2.1. Proses Sosialisasi Menuju Masyarakat ... 10

2.2. Kekerasan Simbolis Dalam Pandangan Pierre Bourdieu ... 12

2.3. Pekerja Anak-anak ... 15

BAB III : METODE PENELITIAN ... 18

3.1. Jenis Penelitian ... 18

3.2. Lokasi Penelitian ... 19

3.3. Unit Analisis dan Informan ... 19

3.3.1. Unit analisis ... 19

3.3.2. Informan ... 20

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 20

3.4.1. Observasi ... 21

3.4.2. Wawancara mendalam ... 22

3.4.3. Dokumentasi ... 23

3.4.4. Penghayatan ... 23

3.5. Jenis Data dan Sumber Data ... 23

3.6. Interpretasi Data ... 25

3.7. Keterbatasan Penelitian ... 25

BAB IV : DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN ... 27

4.1. Gambaran Tangkahan dan Pelabuhan di Desa Bogak ... 27

4.2. Gambaran Pekerja di Tangkahan Desa Bogak ... 30

4.2.1. Juragan / toke / “tekong” ... 33

4.2.2. Nelayan ... 34

4.2.3. ABK (Anak Buah Kapal) ... 36

4.2.4. “Anak Itik” ... 37


(7)

4.3.1. Profil informan nelayan dan “tekong” di Desa Bogak ... 38

4.3.2. Profil informan “anak itik” di Desa Bogak ... 40

4.3.3. Profil informan orang tua “anak itik” di Desa Bogak ... 43

4.3.4. Profil informan mantan “anak itik” di Desa Bogak ... 45

4.4. Profil “Anak Itik” Pesisir ... 47

4.4.1. Komposisi ... 47

4.4.2. Jenis Kelamin ... 48

4.4.3. Usia ... 48

4.4.4. Pendidikan ... 49

4.5. Kondisi Sosial Ekonomi “Anak Itik” Pesisir ... 50

4.5.1. Aktivitas Ketika Kapal Melaut ... 51

4.5.2. Aktivitas Ketika Kapal Berlabuh ... 52

4.6. “Anak Itik” Sebagai Bagian Dari Masyarakat Pesisir... 54

4.6.1. “Anak itik” dalam keluarga pesisir ... 56

4.6.2. “Anak Itik” dalam Lingkungan Kerja Pesisir ... 58

4.7. Hak dan Kewajiban “Anak Itik” ... 59

4.7.1. HAM “anak itik” ... 60

4.7.2. Kewajiban “anak itik” sebagai pekerja anak... 63

4.7.3. Kesadaran akan hak dan kewajiban “anak itik” ... 64

4.8. Sosialisasi Kekerasan Simbolik pada Masyarakat Pesisir ... 67

BAB V : PENUTUP ... 69

5.1. Kesimpulan ... 69

5.2. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 74


(8)

DAFTAR TABEL


(9)

DAFTAR BAGAN


(10)

ABSTRAK

Desa Bogak merupakan wilayah pesisir yang sebagian besar masyarakatnya bekerja mencari nafkah dari hasil laut. Berbagai pekerjaan dapat dilakukan oleh warga masyarakat untuk mendapatkan nafkah. “Anak itik” adalah pekerjaan yang didominasi oleh anak-anak yang ada di Desa Bogak dan sudah disosialisasikan secara turun temurun. Sebagaimana anak-anak pada umumnya, mereka banyak menghabiskan waktu untuk bermain bersama teman-temannya dan menyelesaikan pendidikan mereka sebagai hak yang harus mereka terima. Berbeda dengan “anak itik”, sebagian besar hak mereka sebagai anak-anak tidak diberikan oleh masyarakat, namun hal itu tidak disadari oleh mereka ataupun masyarakat. Hal yang demikian itu disebut juga sebagai kekerasan simbolik, yaitu kekerasan yang tidak disadari karena berbagai simbol yang menutupinya.

Proses sosialisasi yang dilakukan oleh masyarakat Desa Bogak dapat dilihat dari pandangan Bringkerhoof, dkk (1995). Bringkerhoff mengatakan bahwa sosialisasi adalah proses penanaman nilai kepada individu secara simultan oleh masyarakat agar individu tersebut siap untuk menjadi bagian dari masyarakat. Selanjutnya, kekerasan simbolik juga merupakan bagian yang ikut disosialisasikan bersamaan dengan “anak itik” di Desa bogak. Menurut Bourdieu (dalam Jenkins, 2004), kekerasan simbolis adalah pemaksaan sistem simbolisme dan makna (misalnya kebudayaan) terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal itu dialami sebagai sesuatu yang sah.

Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi bagaimana sosialisasi yang diberikan masyarakat Desa Bogak terhadap “anak itik” sehingga terus bertahan disetiap generasi, serta untuk mengetahui bagaimana kekerasan simbolik yang dirasakan oleh “anak itik”. Metode yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif agar data yang didapat lebih mendalam. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara mendalam, dokumentasi dan penghayatan,

Peneliti menemukan bahwa anak-anak yang bekerja sebagai “anak itik” tidak menyadari kekerasan atau ketidakterpenuhinya hak-hak mereka sebagai anak, baik yang harus dipenuhi oleh keluarga atau juga masyarakat. “Anak itik” merupakan salah satu kearifan lokal yang ada di Desa Bogak. Bagi masyarakat Desa Bogak, “anak itik” adalah proses bagi anak-anak di Desa Bogak untuk menuju pribadi yang dewasa. Oleh karena itu, “anak itik” dianggap sebagai budaya yang harus dilesatrikan dan harus selalu disosialisasikan secara turun temurun dari generasi ke generasi.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara maritim dengan luas laut seluas 64,85% dari luas wilayah Indonesia atau 3.544.743,9 km² (Kementerian Kelauatan dan Perikanan, 2011). Dengan demikian, Indonesia dapat dikatakan sebagai produsen hasil kelautan terbesar nomor 5 di dunia (Adam, 2015). Sehingga dalam menunjang produksi yang sedemikian rupa, industri kelautan membutuhkan tenaga kerja yang tinggi.

Dalam memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja di dunia maritim, pelaku-pelaku produksi tidak hanya memanfaatkan usia-usia produktif (15-60 tahun) saja, namun pelaku-pelaku produksi juga menyerap tenaga kerja yang masih berusia sekolah atau kanak-kanak. Seperti fenomena yang terjadi pada Desa Bogak. Para nelayan tidak hanya membutuhkan orang-orang dewasa saja, namun mereka juga memakai tenaga anak-anak untuk membantu pekerjaan mereka.

Desa Bogak memiliki jumlah penduduk sebanyak 4.974 orang. Jumlah penduduk tersebut jika diklasifikasikan berdasarkan jenis kelamin adalah 2.478 laki-laki dan 2.495 perempuan dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 1251 KK. Berdasarkan data yang ditemukan di kantor kepala desa bahwa terdapat 579 KK penduduk miskin dan yang mendapat kartu sehat sebanyak 550 jiwa (Kantor Kepala Desa, 2013).


(12)

Mayoritas pekerjaan penduduknya adalah nelayan dengan presentase 90% dari total penduduk. Masyarakat tersebut mayoritas memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah dikarenakan perekonomian mereka sebagian besar bergerak disektor nelayan yang pendapatannya dipengaruhi dari hasil penangkapan ikan serta sangat dipengaruhi oleh keadaan alam. Hal ini dibuktikan oleh data kependudukan desa tahun 2013 bahwa pendapatan perkapita masyarakat setempat hanya mencapai rata-rata 35 ribu/hari. Tentu saja pendapatan tersebut masih tergolong rendah jika harus memenuhi biaya kehidupan sehari-hari seperti makan, pendidikan, serta biaya hidup lainnya. Sehingga pendidikan anak-anak yang ada di desa tersebut sangat rendah, bahkan sebagian dari mereka harus putus sekolah karena lebih mementingkan membantu orang tua daripada melanjutkan pendidikan.

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak). Anak merupakan tunas bangsa yang merupakan generasi penerus di masa depan. Dalam diri seorang anak terdapat hak-hak manusia seutuhnya. Berbeda dengan kategori dewasa, anak-anak memiliki hak-hak lebih daripada kewajibannya.

Ada berbagai faktor yang menyebabkan seorang anak menjadi pekerja atau buruh. Menurut Endrawati (2011) ada beberapa faktor yang mempengaruhi anak-anak menjadi pekerja di sektor informal adalah sebagai berikut:


(13)

Tabel 1.1

Data Pekerja Anak Berdasarkan Faktor Penyebab

NO Faktor Penyebab Bekerja Jumlah Pekerja Anak

Prosentasi

1 Diajak Teman 22 44%

2 Orang tua 8 16%

3 Diajak tetangga 7 14%

4 Ikut-ikutan / coba-coba 13 26%

N 50 100%

(Sumber: Endrawati, 2011)

Data di atas menunjukkan bahwa sebagian besar anak-anak yang bekerja di sektor informal dikarenakan ajakan dari teman bermain. Hal tersebut menunjukkan bahwa pekerja anak-anak tersebut banyak menghabiskan waktu bersama dengan teman sebaya mereka. Dalam hal ini, mereka banyak mengganti waktu bermain mereka menjadi waktu bekerja.

Masa kanak-kanak yang seyogyanya diisi dengan masa bermain dan belajar bersama teman dan mengembangkan kreatifitasnya setinggi tingginya. Hal tersebut merupakan hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam UUD 1945 pasal 28A sampai 28J, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak pasal 16 dan Undang-Undang Perlindungan aanak No. 23 Tahun 2002 Bab III pasal 4 sampai pasal 19 mengenai Hak Anak.

Di perdesaan maupun di perkotaan, perlakuan terhadap individu dipicu dengan adanya status sosial dan kelas. Perlakuan masyarakat terhadap kelompok atau individu yang memiliki status sosial dan kelas sosial yang lebih tinggi tentunya berbeda dengan yang lebih rendah. Perbedaan tersebut diimplementasikan melalui berbagai bentuk simbol dan sikap masyarakat. Berbagai kebiasaan serta adat istiadat yang ada di perkotaan maupun di perdesaan


(14)

banyak menggambarkan perbedaan status. Bahkan tidak jarang ada individu yang diberikan julukan atau predikat oleh masyarakat sesuai dengan status serta prestise yang ada pada individu tersebut.

Masyarakat perdesaan maupun masyarakat perkotaan memiliki nilai serta norma yang berlaku untuk menjaga keseimbangan sistem masyarakat. Nilai serta norma yang ada antara masyarakat perdesaan dengan perkotaan berbeda satu sama lain. Seperti yang telah dijelaskan di atas, antara perdesaan dengan perkotaan memiliki perbedaan yang krusial pada sistem solidaritasnya.

Seiring dengan keanekaragaman budaya di desa dan kota seperti yang telah dijelaskan di atas. Masyarakat memiliki istilah tersendiri untuk individu yang memiliki predikat serta prestise tertentu dalam masyarakat. Di kota-kota besar seperti di Medan, Jakarta dan Bandung, masyarakat menyebut anak-anak yang hidup di kelas menengah atas dan tinggal dengan kekayaan yang melimpah

dari orang tuanya biasa disebut sebagai “anak gedongan”. Berbeda dengan

masyarakat perdesaan, khususnya masyarakat pesisir di beberapa daerah seperti di Desa Bogak, Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batubara. Masyarakat memberikan julukan “anak itik” kepada anak-anak yang membantu nelayan.

Fenomena “anak itik” tersebut merujuk pada pekerja anak-anak. “Anak

itik” biasanya membantu nelayan dalam hal membersihkan kapal dan jaring, bahkan tidak jarang “anak itik” juga ikut melaut bersama nelayan untuk mencari

ikan atau hasil laut lainnya. Dengan kata lain, “anak itik” merupakan pekerja di


(15)

“Anak itik” di Desa Bogak merupakan bagian dari budaya yang ada di

Desa Bogak. “Anak itik” juga merupakan bentuk sosialisasi pendewasaan dari masyarakat melalui ranah pekerjaan dengan harapan nantinya para pekerja anak

tersebut menjadi individu yang sukses dan mandiri. Dengan kata lain, “anak itik”

merupakan bagian dari kearifan lokal yang ada di Desa Bogak.

Selain itu, faktor ekonomi dari keluarga serta kebutuhan tenaga kerja dari nelayan yang ada sering kali mengakibatkan hak-hak anak tereksploitasi dikarenakan pekerjaan mereka. Tidak hanya dari orang yang mempekerjakan mereka saja, namun juga pihak keluarga sendiri mengabaikan hak-hak anak tersebut untuk dapat bermain dan menghabiskan waktu bersama teman-teman sebaya mereka. Hukum perlindungan hak asasi manusia khususnya anak-anak telah ditetapkan, fenomena di masyarakat baik di perkotaan maupun di desa masih banyak yang mengabaikan aturan-aturan tersebut. Lebih jauh lagi, fenomena tersebut nampaknya telah menjadi kebiasaan tersendiri di beberapa daerah.

Sebagai contoh adalah masyarakat di Desa Bogak, Kabupaten Batubara. “Anak itik” merupakan manifestasi dari pekerja anak di desa pesisir tersebut.

Pekerja anak merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM terhadap anak. Menurut UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, usia yang digolongkan sebagai anak-anak adalah usia 18 tahun kebawah. Kemudian lebih lanjut dalam pasal 4 dijelaskan bahwa setiap anak berhak mendapatkan kehidupan yang layak sesuai dengan usia mereka. Kenyataan yang terjadi pada pekerja anak adalah hal yang tidak sesuai dengan undang-undang tersebut. Jika ditelaah lebih


(16)

jauh lagi, “anak itik” merupakan pekerja anak yang dilarang dalam hukum positif dan tentunya melanggar undang-undang tersebut.

“Anak itik” di Desa Bogak dipekerjakan oleh toke dan nelayan untuk

membantu mereka dalam berbagai jenis pekerjaan dari yang sulit hingga yang mudah seperti mengutip ikan di sampan. Terjadi perubahan konsep pada “anak

itik” di Desa Bogak ketika mereka ikut melaut bersama nelayan. Ketika mereka

ikut melaut maka mereka dikategorikan sebagai anak buah kapal (ABK). Maka

ketika “anak itik” berada di kapal dan ikut melaut bersama nelayan, pekerjaan yang mereka lakukan tentu berbeda dari hanya sekedar membersihkan kapal di pelabuhan.

Fenomena “anak itik” yang ada di Desa Bogak merupakan bentuk nyata

dari mutualisme antara eksploitasi industrial dan kearifan lokal yang ada pada masyarakat tersebut. Orang-orang yang mempekerjakan mereka tidak jarang adalah orang tua mereka sendiri yang bekerja sebagai nelayan. Adanya keinginan

“anak itik” untuk membantu orang tua mengakibatkan “anak itik” ikut membantu nelayan dengan banyak mengabaikan hak-hak mereka serta memenuhi keinginan masyarakat sebagai salah satu bentuk kearifan lokal diri bagi mereka. Lebih jauh lagi, kearifan lokal tersebut bertentangan dengan hukum positif yang ada, dikarenakan hak-hak anak yang tidak dipenuhi oleh keluarga maupun masyarakat.

Hal tersebut adalah salah satu dari bentuk kekerasan simbolis yang

dirasakan oleh “anak itik” di desa tersebut. Secara tidak sadar “anak itik” telah


(17)

hak-hak mereka, serta korban dari mutualisme antara eksploitasi masyarakat industri dengan kearifan lokal. Pengabaian hak-hak mereka yang tidak mereka sadari dengan jelas merupakan kekerasan simbolis yang dialami oleh pekerja anak di Desa Bogak tersebut.

1.2. Perumusan Masalah

Penelitian ini berfokus pada fenomena sosial, dimana anak-anak yang seharusnya mengisi waktu mereka dengan bermain dan berkreatifitas bersama teman-teman sebaya. Ada sebuah kearifan lokal yang mengikat mereka secara

implisit untuk menjadi “anak itik” sebagai fase pertumbuhan untuk menjadi orang

yang sukses nantinya. Sedangkan pada dasarnya, anak-anak dilarang dipekerjakan karena melanggar hak asasi. Maka peneliti menyimpulkan perumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah sosialiasi “anak itik” yang dilakukan oleh keluarga dan toke mereka?

2. Bagaimanakah kekerasan simbolik yang terjadi pada “anak itik” di Desa Bogak?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana sosialisasi “anak itik” yang dilakukan oleh keluarga dan toke mereka.


(18)

2. Untuk mengetahui bagaimana kekerasan simbolik yang terjadi pada “anak

itik” di Desa Bogak.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat teoritis: penelitian ini diharapkan dapat menawarkan wacana baru dalam studi anak dan pengembangan ilmu pengetahuan secara umum, khususnya dalam bidang ilmu sosiologi keluarga.

Manfaat praktis: penelitian ini diharapkan akan memberikan solusi pada fenomena sosial yang terkait hak-hak anak agar terwujud masyarakat yang lebih peka terhadap hak-hak asasi manusia, terutama anak-anak. Fenomena yang dimaksud adalah adanya paradoks antara hukum positif dengan kearifan lokal yang ada pada masyarakat. Kemudian penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi lembaga pemerintahan kedepannya dalam menetapkan hukum dan mengambil kebijakan.

1.5. Definisi Konsep

Beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini dipaparkan sebagai berikut:

1. “Anak itik”

“Anak itik” merupakan anak-anak yang berusia dibawah 18 tahun (UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 1) yang mendapat upah dari toke atau nelayan yang mempekerjakan mereka untuk berbagai keperluan di areal pelabuhan, seperti membersihkan kapal, mengangkat ikan, ikut melaut, dan


(19)

membersihkan jaring. Dalam penelitian ini, anak-anak adalah orang laki-laki atau perempuan yang berusia 6-18 tahun.

2. Eksploitasi

Eksploitasi merupakan perlakuan yang memanfaatkan daya guna dari individu /kelompok penguasa terhadap individu /kelopok yang dikuasai dengan maksud mencari keuntungan.

3. Kearifan Lokal

Kearifan lokal adalah gagasan-gagasan, nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.

4. Nelayan

Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan operasi penangkapan ikan di perairan umum. Nelayan dibedakan menjadi dua, yaitu nelayan “tekong” dan nelayan perorangan.

5. Toke/ “tekong”/ juragan

Toke merupakan pemilik dari sampan atau kapal, baik bekerja sendiri maupun memiliki pekerja dengan tujuan untuk mencari keuntungan dan sebagai pengumpul hasil laut dari nelayan yang bekerja kepadanya.


(20)

BAB II

TINJAUA PUSTAKA

2.1. Proses Sosialisasi Menuju Masyarakat

Sosialisasi adalah proses penanaman nilai pada individu dari masyarakat secara simultan dengan tujuan agar individu tesebut siap untuk mnejadi bagian dari struktur sosial. Sosialisasi dibutuhkan manusia sebagai proses untuk mempelajari peran dan statusnya di masyarakat.

“Socialization is the process of learning the roles, statuses, and values necessary for participation in social institutions. Socialization is a lifelong process. It begins with learning the norms and roles of our family and our subculture and making these part of our self-concept. As we grow older and join new groups and assume new roles, we learn new norms and redefine our self-consept (Brinkerhoff, dkk: 1995).”

Artinya sosialisasi adalah proses pembelajaran tentang peran, status, dan nilai-nilai penting untuk dapat berpartisipasi dalam institusi sosial. Sosialisasi merupakan proses yang memakan waktu seumur hidup. Hal ini dimulai dengan mempelajari norma-norma dan peran-peran di keluarga dan masyarakat, kemudian menjadikannya sebagai bagian dari konsep diri. Semakin kita tumbuh dewasa dan masuk kedalam kelompok yang baru dan memperoleh peran baru, kita mempelajari norma-norma baru dan mendefenisikannya kembali menjadi bagian dari konsep diri kita.


(21)

Pertama, Primary Socialization (sosialisasi primer): sosialisasi pada anak usia dini merupakan sosialisasi primer. Masa ini meruapan tahapan yang paling penting dalam proses sosialisasi. Pada masa ini, anak-anak mengembangkan kepribadian dan konsep dirinya, berkembangnya kemampuan berhasan serta mereka dihadapkan kepada dunia sosial yang penuh dengan peran, nilai-nilai, dan norma. Pada tahapan ini, Mead (dalam Ritzer, 2010) membagi tahapan sosialisasi primer menjadi 2 tahapan, yaitu:

1. Tahap bermain (play stage). Dalam tahap ini anak-anak akan mengambil sikap orang lain tertentu untuk dijadikan sikapnya sendiri.

2. Tahap Permainan (game stage). Pada tahap play stage, anak mengambil peran orang lain yang berlainan, sedangkan dalam tahap ini anak harus mengambil peran orang lain mana pun yang terlibat dalam permainan. Lebih lanjut, peran yang berlainan ini harus mempunyai hubungan nyata satu sama lain.

3. Generelize other (orang lain yang digeneralisir). Generelize other

merupakan sikap seluruh komunitas. Kemampuan untuk mengambil peran umum orang lain adalah penting bagi diri: “sepanjang dia mengambil sikap kelompok sosial terorganisasi di mana ia berada, melakukan aktivitas sosial kooperatif atau aktivitas yang dilakukan kelompok, maka barulah dia bisa mengembangkan diri secara penuh.

Kedua, Anticipatory Socialization (sosialisasi antisipatoris). Tipe ini adalah proses pembelajaran akan peran untuk mempersiapkan individu pada peran


(22)

yang akan diperolehnya di masa yang akan datang. Semakin bertambahnya usia, individu akan mengganti perannya yang lama dengan yang baru. Dikarenakan sosialisasi ini, kebanyakan orang akan mempersiapkan diri untuk bertanggungjawab atas apa yang akan mereka hadapi nantinya, baik itu sebagai orang tua, pekerja, atau dokter.

Ketiga, Resocialization (resosialisasi). Tipe ini diperoleh ketika individu meninggalkan konsep diri dan cara hidupnya untuk secara radikal memperoleh

yang baru. perubahan “social behavior”, nilai-nilai, dan konsep diri yang diperoleh dari pengalaman seumur hidup merupakan hal yang sulit, dan hanya sebagian orang saja yang mampu menjalaninya.

Agen sosialisasi juga merupakan faktor penting dalam proses sosialisasi. Setiap tahapannya memiliki agen-agen tersendiri yang sangat berperan penting dalam proses sosialisasi. Brinkerhoff, dkk (1995) membagi agen sosialisasi menjadi 6, yaitu; keluarga, sekolah, teman sebaya, media massa, agama, dan tempat bekerja.

2.2. Kekerasan Simbolis Dalam Pandangan Pierre Bourdieu

Kekerasan simbolis merupakan suatu perlakuan dominasi kultural dan sosial yang berlangsung secara tidak sadar (unconscious) dalam kehidupan masyarakat yang meliputi tindakan diskriminasi terhadal kelompok/ ras/ suku/ gender tertentu. Menurut Bourdieu (dalam Jenkins, 2004), kekerasan simbolis


(23)

adalah pemaksaan sistem simbolisme dan makna (misalnya kebudayaan) terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal itu dialami sebagai sesuatu yang sah.

Kekerasan simbolik dapat terjadi akibat legitimasi yang meneguhkan relasi kekuasaan yang menyebabkan pemaksaan tersebut berhasil. Selama dia diterima sebagai sesuatu yang sah, maka kebudayaan memperkuat kekerasan simbolis tersebut melalui relasi kekuasaan. Hal itu dapat diraih melalui suatu proses salah mengerti (misunderstanding), yaitu suatu proses yang relasi kekuasaan tidak dipersepsikan secara objektif tetapi tetap saja menjadikan kekuasaan tersebut absah bagi pemeluknya.

Menurut Jerkins (2004) Inti penggunaan kekerasan simbolis adalah

„tindakan pedagogis‟. Ini adalah pemaksaan arbitraritas budaya, yang di dalamnya

terdapat tiga mode, yaitu:

1. Pendidikan yang tersebar luas (diffuse education), yang terjadi dalam interaksi dengan anggota bangunan sosial (satu contoh mungkin adalah kelompok umur informal).

2. Pendidikan keluarga, yang berbicara untuk dirinya sendiri.

3. Pendidikan institusional (misalnya ritual inisiasi, di satu sisi atau sekolah, di sisi yang lain.)

Tindakan pedagogis, ketika mereproduksi kebudayaan dalam segala kesmrawutannya, juga mereproduksi relasi kekuasaan yang menjamin


(24)

keberlangsungannya. Tindakan pedagogis mencerminkan kepentingan kelompok atau kelas dominan, yang cenderung mereproduksi distribusi modal kultural secara tidak meratan antar kelompok atau kelas yang hidup dalam satu ruang sosial, sehingga mereproduksi struktur sosial.

Penanaman nilai yang bersifat dominan dari satu kelompok kepada kelompok lain memerlukan tindakan pedagogis yang simultan. Tindakan pedagogis tersebut memerlukan otoritas sebagai prasyarat keberhasilannya. Menurut Jerkins (2004), otoritas ini adalah suatu kekuasaan yang berubah-ubah untuk bertindak, tanpa disadari oleh pelaku dan para penganutnya sebagai sesuatu yang legitimate. Adanya legitimasi ini memungkinkan suatu tindakan pedagogis untuk beroperasi. Semua bentuk donimasi harus mendapakan pengakuan atau diterima sebagai sebuah legitimitas (Wahyuni, 2008).

Kekerasan simbolik pada dasarnya merupakan bentuk lain dari kekuasaan simbolik yang dirujuk oleh Bourdieu. Hal itu merujuk pada kekerasan simbolik yang memerlukan kekuasaan yang dapat mendesak kelompok yang dikuasai agar menerima ideologi yang ditanamkannya dan “memaksakannya” agar menjadi legitim dengan menyembunyikan hubungan kekuasaan yang mendasari kekuasaannya. Di area simbolik inilah pertarungan kelas terjadi. Gejala ini dapat diamati pada fenomena pekerja anak di Desa Bogak Kec. Tanjung Tiram Kab. Batubara yang berisi perlakuan dominasi secara simbolis dari hubungan senior-junior pada masyarakat nelayan.


(25)

2.3. Pekerja Anak-Anak

Hasil penelitian Endrawati (2011) pada pekerja anak di sektor informal di

Kota Kediri yang berjudul “Faktor Penyebab Anak Bekerja Dan Upaya

Pencegahannya” menyebutkan bahwa ada 6 faktor penyebab anak bekerja, yaitu:

1. Faktor ekonomi

Faktor ekonomi merupakan landasan utama bagi pekerja anak. Dengan asumsi awal bahwa penghasilan mereka dapat membantu perekonomian keluarga dan dapat meringankan beban orang tua. Hasil penelitian Netty Endarwati pada pekerja anak di sektor informal tersebut menyebutkan bahwa sebagian besar dari pekerja anak tersebut berasal dari keluarga yang tidak atau kurang mampu secara ekonomi.

2. Faktor orang tua

Selain ekonomi, faktor lainnya adalah orang tua atau keluarga. Hal tersebut dikarenakan keluarga adalah komunitas pertama yang membentuk karakter anak.Lebih jauh lagi, keluarga merupakan tempat di mana anak dapat memperoleh hak-hak dasar mereka sebagai seorang anak dari kedua orang tua mereka. Dalam sebuah keluarga, orang tua mempunyai tanggung jawab kepada anaknya. Maka dalam hal ini, orang tua mempunyai andil dalam memberikan izin kepada anak tentang apa yang akan dilakukan oleh anak tersebut.

3. Faktor budaya (kebiasaan)

Masyarakat memiliki norma-norma yang berlaku sebagai aturan dalam menjalankan sistem yang ada. Seorang anak akan mendapatkan nilai lebih dari


(26)

masyarakat dengan membantu keluarga dan masyarakat sekitar. Semakin besar kontribusi yang diberikan oleh anak tersebut, maka semakin tinggi statusnya di mata keluarga dan juga di masyarakat.

4. Kemauan sendiri (kemandirian)

Kemampuan untuk dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan dapat mengelola keuangan secara otonomi akan memberikan kepuasan tersendiri bagi pekerja, terutama anak-anak. Anak-anak akan merasa sangat senang jika mereka bisa membeli apa yang mereka inginkan dengan menggunakan uang hasil kerja mereka. Maka kemandirian dalam hal finansial sejak usia dini merupakan dorongan bagi anak-anak untuk masuk dalam dunia industri.

5. Faktor lingkungan

Tidak sedikit dari anak-anak yang bekerja disebabkan oleh pengaruh lingkungan sosial di luar dari keluarga mereka seperti teman, tetangga, kerabat dan saudara. Melihat teman-temannya sukses dalam bekerja dan pekerjaan yang dilakukan menurut anak-anak yang bekerja dirasa tidak terlalu berat tetapi menghasilkan uang banyak, maka bagi anak-anak hal tersebut merupakan daya tarik tersendiri untuk ikut bekerja seperti yang dilakukan oleh teman-temannya itu.

6. Faktor hubungan keluarga

Di samping beberapa faktor anak bekerja, tidak dapat dipungkiri adanya faktor lain yang mendorong anak bekerja, yaitu dorongan atau ajakan dari sanak saudara. Pada umumnya faktor saudara atau kerabat ini dilatar belakangi oleh kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan, tetapi belum mencukupi kebutuhan


(27)

keluarga. Hal semacam ini yang membuat kerabat atau keluarga dekat menawarkan kepada anak mereka untuk ikut bekerja bersamanya dengan alasan untuk membantu ekonomi keluarga.


(28)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan melakukan pendekatan studi kasus. Menurut Creswell (dalam Pambudi, 2014), metode kualitatif adalah metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan oleh sejumlah individu atau sekelompok orang. Menurut Somantri (dalam Mustofa, 2013), peneltian kualitatif sangat memperhatikan proses, peristiwa, dan otentisitas. Nilai peneliti bersifat eksplisit dalam situasi yang terbatas dan melibatkan subyek dengan jumlah yang relatif sedikit. Peneliti kualitatif biasanya terlibat dalam interaksi dengan realitas yang ditelitinya. Peneliti kualitatif secara intens menjalin interaksi dengan obyek penelitiannya. Peneliti memilih pendekatan studi kasus karena penelitian yang memiliki tujuan untuk menggambarkan bagaimana fenomena yang sedang terjadi. Selain itu, peneliti tidak banyak ikut berpartisipasi demi menjaga keautentikan fenomena sosial yang

ada (dalam hal ini adalah “anak itik”) (Yin, 2014).

Sebelum melakukan penelitian langsung, peneliti terlebih dahulu mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan dalam penelitian ini seperti halnya mengumpulkan referensi yang berhubungan dengan penelitian ini dalam bentuk jurnal, penelitian terdahulu, hasil sekripsi, serta hal-hal lain yang dapat menambah wawasan peneliti sebelum melakukan penelitian lapangan.


(29)

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kawasan pesisir tepatnya Desa Bogak, Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batubara, Sumatera Utara. Pemilihan lokasi penelitian di Desa Bogak di dasarkan pada pra observasi yang dilakukan oleh peneliti tentang kearifan lokal pada masyarakat pesisir. Terdapat sebuah pelabuhan di Kecamatan Tanjung Tiram yang bernama Pelabuhan Tanjung Tiram

atau masyarakat setempat lebih sering menyebutnya dengan “Bom”. Di kawasan

pelabuhan tersebut masih banyak terdapat desa lain seperti Desa Bagan Arya dan Desa Pahlawan. Namun desa-desa tersebut merupakan hasil pemekaran dari Desa Bogak sehingga secara budaya dan beberapa informan kunci masih banyak yang tinggal di desa tersebut. Keberadaan “anak itik” dapat diamati di pelabuhan Tanjung Tiram tersebut, kemudian berbagai fenomena pekerja anak yang lain selain membantu nelayan (“anak itik”) juga banyak terdapat di Desa Bogak,

namun dalam penelitian ini peneliti hanya fokus kepada “anak itik”.

3.3. Unit Analisis dan Informan 3.3.1. Unit analisis

Unit analisis adalah hal-hal yang diperhitungkan menjadi subjek dari keseluruhan unsur yang menjadi fokus penelitian (Bungin, 2007). Dalam penelitian ini, yang menjadi unit analisis adalah anak-anak yang menjadi “anak

itik”, nelayan yang memakai jasa “anak itik”, orang-orang dewasa yang


(30)

analisis tersebut, yang menjadi informan kunci adalah anak-anak yang

menghabiskan waktunya menjadi “anak itik”. Pemilihan informan didasarkan pada karakteristik yang dibutuhkan dalam penelitian ini.

3.3.2. Informan

Informan merupakan subjek yang memahami permasalahan peneliti sebagai pelaku maupun orang yang memahami permasalahan penelitian (Bungin, 2007). Adapun yang menjadi informan adalah:

1. Anak-anak yang menjadi “anak itik” dengan alasan apapun.

2. Nelayan yang memakai jasa “anak itik” untuk membantunya. Mulai dari membersihkan perahu atau kapal, membersihkan jaring, dan bahkan ikut ke laut.

3. Orang-orang tua yang pernah menjadi “anak itik” dan menyadari bahwa hal tersebut merupakan bagian dari budaya setempat atau kearifan lokal.

4. Orang tua dari “anak itik”.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengungkap tujuan penelitian diperlukan beberapa teknik pengumpulan data agar data yang didapat sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan sebelumnya. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data ini adalah:


(31)

3.4.1. Observasi

Dalam penelitian kualitatif, peneliti merupakan alat (instrumen) pengumpul data utama, karena peneliti adalah manusia dan hanya manusia yang dapat berhubungan dengan informannya atau objek lainnya, serta mampu memahami kaitan kenyataan-kenyataan di lapangan. Dalam penelitian ini peneliti juga berperan serta dalam pengamatan atau participant observation (Maleong,

2007), meskipun peneliti tidak menjadi “anak itik”.

Metode yang diterapkan dalam peneilitian adalah menggunakan metode observasi serta observasi partisipatif pasif. Dimana metode observasi merupakan suatu pencatatan hasil penelitian yang bukan hanya mencatat tetapi juga mengadakan pertimbangan kemudian mengadakan penilaian ke dalam suatu skala bertingkat. Dengan melaksanakan observasi partisipatif pasif berarti peneliti ikut terjun dan melakukan kegiatan sesuai tema yang menjadi objek penelitian. Dalam

penelitian ini, peneliti ikut dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh “anak itik”

guna mendapatkan data yang lebih akurat. Observasi paling disukai oleh peneliti yang mencoba untuk mengurai hasil lapangan menjadi uraian pada laporan penelitian yang telah dilakukan pada tempat objek kajian penelitian.

Teknik pengumpulan data yang digunakan pertama kali adalah pra observasi. Teknik pra observasi adalah kegiatan yang pertama sekali dilakukan dari semua peneliti. Kali ini penelitian ini melakukan pra observasi yang dilakukan sebelum peneliti terjun langsung ke lapangan. Kegiatan yang dilakukan seminggu sebelum penelitian dilakukan dengan tujuan untuk meninjau lokasi, mengetahui bagaimana medan penelitian yang akan peneliti teliti. Pada tahap ini


(32)

peneliti melakukan teknik pra penelitian berikutnya yaitu mempersiapkan perlengkapan yang dibutuhkan dalam penelitian seperti catatan, alat tulis, kamera, maupun literatur yang berhubungan dengan kajian penelitian ini.

3.4.2. Wawancara mendalam

Teknik selanjutnya adalah teknik wawancara mendalam. Teknik wawancara adalah teknik yang dilakukan dengan percakapan dengan maksud untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan peneliti. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (informan) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2000). Wawancara dalam suatu penelitian yang bertujuan mengumpulkan keterangan tentang berbagai informasi kehidupan masyarakat serta berbagai hal yang menyangkut terhadap data yang diketahui oleh segelintir orang yang dalam penelitian disebut informan.

Teknik wawancara yang peneliti gunakan adalah teknik wawancara terstruktur dimana draft pertanyaan telah peneliti siapkan untuk mempermudahkan peneliti ketika sedang mewawancarai informan. Draft

pertanyaan tersebut dipersiapkan bertujuan agar pertanyaan yang akan ditanyakan terstruktur dan meminimalkan pertanyaan yang tidak diperlukan dalam penelitian, terlebih agar pewawancara tidak lupa dengan apa yang harusnya ditanyakan kembali mengingat daya keterbatasan ingatan manusia terbatas.


(33)

3.4.3. Dokumentasi

Dalam penelitian ini, peneliti juga melaksanakan metode dokumentasi yang dilakukan dengan cara mencari data tentang hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya. Moleong (2004) mendefinisikan dokumen sebagai setiap bahan tertulis ataupun film, yang tidak dipersiapkan karena adanya permintaan seorang penyidik.

3.4.4. Penghayatan

Suatu teknik pengumpulan data melalu pendalaman bangunan berfikir dari responden. Teknik ini juga berupaya memahami kesadaran warga masyarakat berdasarkan logika kultur, di mana responden merupakan anggotanya. Hal tersebut dikarenakan narasumber (responden) memiliki pola perilaku dan sikap yang berbeda sesuai dengan latar belakang yang dimiliki.

3.5. Jenis Data dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dua jenis data. Jenis data tersebut adalah data text dan data image. Data text yaitu data yang berbentuk alfabet maupun angka numerik, dimana data text yang berbentuk alfabet merupakan data yang menjelaskan tentang keadaan, serta hal-hal yang menyangkut kedalam penelitian ini. Sedangkan data text yang berbentuk angka numerik adalah untuk menjelaskan data berupa angka tentang jumlah masyarakat


(34)

serta segala hal yang dapat dijelaskan dengan menggunakan data numerik atau yang biasa dikenal dengan data angka.

Jenis data kedua adalah data image. Data image yaitu data yang memberikan informasi secara spesifik mengenai keadaan tertentu melalui foto, diagram, dan sejenisnya (Fauzi, 2001). Data image dalam penelitian ini yaitu data penduduk menurut BPS (Badan Pusat Statistik), data kependudukan dari kepala desa, maupun hasil penelitian terdahulu.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang peneliti dapat langsung dari lapangan yang menjadi data penelitian. Sedangkan data yang kedua adalah data sekunder. Dimana data sekunder adalah data yang bersifat tidak langsung, tetapi memiliki fungsi sebagai salah satu aspek pendukung bagi keabsahan penelitian. Data ini berupa sumber-sumber atau referensi tertulis yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini dilakukan dengan penelitian kepustakaan dan pencatatan dokumen, yaitu dengan mengumpulkan hal-hal yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan dan mengumpulkan data dan mengambil informasi dari buku-buku referensi, dokumen, majalah, dan jurnal.

Data sekunder lainnya berasal dari hasil penelusuran data online

merupakan tata cara melakukan penelusuran data melalui media online seperti internet atau media jaringan lainnya yang menyediakan fasilitas online, sehingga memungkinkan peneliti dapat memanfaatkan data. Informasi online yang berupa


(35)

data maupun informasi teori, secepat atau semudah mungkin dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis (Bungin, 2005).

3.6. Interpretasi Data

Dalam penelitian ini, peneliti dapat mengumpulkan data melalui hasil wawancara, observasi dan observasi partisipatif pasif. Semua data yang diperoleh pada umumnya masih dalam bentuk catatan lapangan, dokumentasi resmi dalam bentuk foto, maupun dalam bentuk rekaman. Setelah data tersebut dibaca, dipelajari dan ditelaah. Maka langkah selanjutnya adalah mengadakan reduksi data dengan cara abstarksi. Abstraksi merupakan rangkuman yang terperinci dan merujuk pada inti temuan data dengan cara menelaah pernyataan-pernyataan yang diperlukan agar tetap berada pada fokus penelitian.Setelah itu data tersebut disusun dan dikategorisasikan serta diinterpretasikan secara kualitatif sesuai metode penelitian yang telah ditetapkan.

3.7. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana fenomena kekerasan simbolik serta menerangkan bagaimana sosialisasi yang dirasakan oleh

“anak itik” di Desa Bogak. Untuk membahas hal tersebut, peneliti menggunakan

landasan teori berupa teori kekerasan simbolik dan teori sosialisasi. Memang tidak

dapat dipungkiri bahwa “anak itik” adalah buruh yang bekerja untuk mendapatkan upah dan oleh karenanya, fenomena “anak itik” dapat juga dilihat dari sudut


(36)

peneliti hanya berfokus pada kekerasan simbolik dan sosialisasi yang dirasakan

oleh “anak itik” saja.

Dalam pengumpulan data, peneliti mengalami beberapa kesulitan. Untuk dokumentasi, peneliti tidak banyak mendapatkan gambar atau foto dari narasumber. Hal tersebut disebabkan oleh narasumber sendiri yang tidak ingin dirinya untuk difoto. Kemudian daripada itu, penelitian ini juga membutuhkan

penelitian lanjutan agar pembahasan tentang “anak itik” di Desa Bogak semakin

kaya dan kompleks. Menurut peneliti, “anak itik” adalah salah satu contoh fenomena sosial yang merupakan paradox antara hukum positif dengan budaya atau kearifan lokal.


(37)

BAB IV

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.1. Gambaran Tangkahan1 dan Pelabuhan di Desa Bogak

Kabupaten Batubara adalah salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten Batubara terletak di tepi pantai Selat Malaka, sekitar 175 km selatan ibu Kota Medan. Batas wilayah utara Kabupaten Batubara adalah Kabupaten Serdang Bedagai dan Selat Malaka, batas selatan adalah Kabupaten Asahan dan Kabupaten Simalungun, batas barat adalah Dolok Batunanggar (Kabupaten Simalungun) dan Tebing Tinggi (Kabupaten Serdang Bedagai) serta batas timur adalah Air Joman (Kabupaten Asahan) dan Selat Malaka (http://www.batubarakab.go.id/).

Desa Bogak merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batubara yang berbatasan langsung dengan laut Selat Malaka, sehingga Desa Bogak merupakan desa pesisir dengan bentangan laut sebagai lahan untuk mencari nafkah bagi masyarakat yang tinggal di desa tersebut. Dalam rangka mendukung mata pencaharian masyarkat dari sektor laut, berbagai fasilitas, sarana dan prasarana dibangun untuk keperluan mencari nafkah. Adanya pasar untuk menjual hasil laut atau yang lebih dikenal dengan TPI (Tempat Penampungan Ikan), kemudian ada juga pangkalan berbagai angkutan transportasi

1

Tangkahan adalah pelabuhan kecil yang berada di pinggiran sungai sebagai tempat kapal atau sampan ditambatkan.


(38)

daratu maupun laut, serta beberapa dermaga atau tangkahan sebagai tempat nelayan untuk menambatkan perahu atau kapal mereka.

Masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir, pada umumnya memiliki satu pelabuhan besar dan beberapa tangkahan atau dermaga kecil yang terletak di pinggiran sungai yang ada di wilayah tersebut. Pelabuhan Tanjung Tiram merupakan pelabuhan terbesar di Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batubara yang terletak di Desa Bogak. Berbagai aktivitas kelautan ada di Pelabuhan Tanjung Tiram, mulai dari transportasi, melaut, rekreasi dan juga pasar ada di pelabuhan tersebut.

Di Desa Bogak tidak hanya terdapat pelabuhan sebagai tempat aktivitas kelautan terjadi, tetapi juga ada yang disebut sebagai tangkahan. Tangkahan merupakan pelabuhan tempat berkumpulnya nelayan serta pekerja turunan lainnya

(seperti: pedagang, bengkel kapal, ABK (Anak Buah Kapal), “anak itik” dan lain sebagainya) yang dihasilkan oleh adanya laut dalam skala kecil. Terdapat empat tangkahan yang didirikan masyarakat di Desa Bogak. Masing-masing tangkahan terletak di pinggiran sungai di berbagai sudut desa maupun di tengah Desa Bogak.

Selain tempat berkumpulnya nelayan dan pekerja-pekerja turunan, tangkahan dijadikan sebagai tempat penambatan kapal dan sampan bagi nelayan atau ojek perahu yang ada di Desa Bogak. Tangkahan juga dibangun dengan tujuan untuk mengurangi kepadatan di Pelabuhan Tanjung Tiram serta untuk mendekatkan kapal atau sampan kepada rumah warga.

Bongkar muatan yang dilakukan oleh nelayan sepulangnya dari melaut tidak hanya dilakukan di pelabuhan pusat (Pelabuhan Tanjung Tiram), tetapi juga


(39)

dilakukan di tangkahan-tangakahan. Pembongkaran muatan yang berisi hasil laut biasanya langsung dibeli oleh toke, pengumpul besar, atau masyarakat sebagai konsumen langsung.

Tangkahan-tangkahan yang ada di Desa Bogak dijadikan sebagai tempat bagi nelayan serta ojek perahu untuk membersihkan kapal atau sampan, mempersiapkan persediaan keperluan kapal dan lain sebagainya. Pelabuhan pusat dan tangkahan memiliki berbagai perbedaan yang signifikan selain dari jumlah kapal atau sampan yang bisa ditambatkan. Nelayan atau ojek perahu tidak membersihkan kapal atau sampan mereka di pelabuhan pusat dengan alasan akan lebih praktis membersihkan di tangkahan daripada di pelabuhan.

Penambatan kapal atau sampan di tangkahan senantiasa ditentukan dari pasang surutnya air di sungai. Kapal atau sampan tidak akan bisa melewati sungai jika kedalaman air tidak mencukupi. Setelah kapal atau sampan ditambatkan di tangkahan, nelayan dan tukang ojek perahu akan membiarkan kapal atau sampan mereka kandas di tepi sungai dikarenakan surutnya air. Hal tersebut dilakukan agar kapal atau sampan mereka tidak terbawa arus sungai atau mudah untuk diberikan maintenance (servis berkala).

Adanya tangkahan dan pelabuhan membutuhkan berbagai pekerjaan untuk memenuhi berbagai kebutuhan yang ada di tangkahan dan pelabuhan. Perbedaan tangkahan dan pelabuhan terlihat jelas dari komposisi pekerja yang ada di tangkahan dan pelabuhan. Pelabuhan memiliki komposisi pekerja yang lebih kompleks dibandingkan dengan tangkahan. Pasar atau TPI senantiasa berada dekat dengan pelabuhan dan jauh dari tangkahan, sehingga berbagai pekerjaan


(40)

penunjang seperti transportasi, pedagang asongan dan grosir banyak terdapat di sekitar pelabuhan. Sementara itu lapangan pekerjaan di tangkahan tidak sekompleks atau selengkap di pelabuhan, karena lokasinya yang jauh dari keramaian dan tidak begitu strategis untuk didirikan pusat perbelanjaan seperti pasar. Sebagian besar masyarakat akan lebih memilih untuk membeli hasil laut di pasar daripada di tangkahan karena harga dan tidak banyak pilihan dalam membeli hasil laut.

4.2. Gambaran Pekerja di Tangkahan Desa Bogak

Tangkahan merupakan pelabuhan-pelabuhan kecil yang berada di Desa Bogak. Berbeda dengan pelabuhan pusat, kompleksitas atau komposisi pekerja yang ada di tangkahan tidak sebanyak yang ada di pelabuhan pusat. Banyaknya pekerja yang ada di pelabuhan pusat disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut, yaitu:

1. Letaknya dekat dengan pasar.

2. Berbatasan langsung dengan desa lain, seperti; Desa Bagan Aria, Desa Bagan Seberang, dan Desa Lima Laras.

3. Pangkalan kapal-kapal besar untuk penyeberangan pulau. 4. Ruang terbuka untuk rekreasi.

5. Titik awal keberangkatan untuk berbagai destinasi wisata, seperti; Pantai Bunga, Pulau Berhala, Pulau Salahnama, Pulau Pandang, dan lain sebagainya.


(41)

Faktor-faktor yang telah disebutkan di atas mengakibatkan pekerjaan yang dulunya tidak ada, kemudian menjadi ada dan dibutuhkan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat yang ada di sekitar pelabuhan. Berbagai infrastruktur dan sarana yang ada merupakan hasil turunan dari adanya pelabuhan tersebut. Infrastruktur dan sarana yang muncul akibat adanya pelabuhan tentunya memerlukan tenaga kerja untuk menjaga keberlangsungan pelabuhan pusat. Dalam hal ini, tidak hanya masyarakat desa sekitaran pelabuhan saja yang diberikan keuntungan, tetapi juga berbagai elemen masyarakat yang datang dari berbagai wilayah yang menjadikan Pelabuhan Tanjung Tiram sebagai sumber ekonomi bagi mereka.

Berbeda halnya dengan tangkahan yang ada di Desa Bogak. Faktor-faktor yang dimiliki Pelabuhan Tanjung Tiram seperti yang telah disebutkan di atas tidak sedemikian rupa dimiliki oleh tangkahan. Sebagaimana dengan fungsi tangkahan sebagai berikut, yaitu:

1. Tempat kapal atau sampan yang berukuran sedang dan kecil ditambatkan. 2. Sebagai tempat alternatif untuk pembongkaran muatan hasil laut jika

pelabuhan padat.

3. Letaknya yang dekat dengan rumah warga, sehingga warga lebih memilih untuk menambatkan kapal atau sampan mereka dekat dengan rumah mereka.

Adanya tangkahan menimbulkan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat untuk menjaga keberlangsungan dari tangkahan tersebut. Meskipun lapangan pekerjaan yang ada di tangkahan tidak sebanyak yang ada di Pelabuhan Tanjung


(42)

Tiram, lapangan pekerjaan yang ada di tangkahan tidak serta merta ada di pelabuhan dan begitu juga sebaliknya.

Masyarakat senantiasa dapat mencari kesempatan untuk mencari keuntungan dari berbagai situasi, tidak hanya di pelabuhan saja tetapi juga di tangkahan. Pada umumnya masyarakat yang menjadikan tangkahan sebagai sumber ekonomi mereka adalah masyarakat yang tinggal di sekitar tangkahan tersebut. Berbagai kedai dan bengkel untuk keperluan nelayan dan ojek perahu berdiri dekat dengan tangkahan untuk memudahkan nelayan dan ojek perahu.

Lapangan pekerjaan yang ada di tangkahan tidak hanya bergerak di sektor barang saja, tetapi juga di sektor jasa. Hal itu dibuktikan dengan adanya berbagai pekerja sektor jasa yang menawarkan jasanya untuk masyarakat dan pekerja lain yang ada di tangkahan. Masyarakat senantiasa bergerak secara dinamis atau dengan kata lain akan selalu mengalami perubahan (Berger dalam Demartoto, 2013). Seiring berjalannya waktu, ada saja lapangan pekerjaan baru yang muncul dari hasil interaksi antar masyarakat.

Masyarakat yang bekerja mencari nafkah melalui hasil laut dapat digolongkan kedalam 4 jenis pekerjaan, yaitu; juragan, nelayan, ABK (Anak Buah

Kapal), dan “anak itik”. Masing-masing pekerjaan tersebut memiliki job desc

yang dibutuhkan oleh jenis pekerjaan lainnya. Jaringan job desc dari keempat pekerjaan tersebut dapat dilihat pada bagan berikut:


(43)

Bagan 3.1. Jaringan Job Desc Para Pekerja.

4.2.1. Juragan / toke / “tekong”

Dalam strata pekerjaan yang ada di tangkahan dan pelabuhan. Toke/ juragan berada pada tingkatan paling atas, karena kepemilikan modalnya yang tinggi. Dikarenakan kepemilikan modalnya yang besar, toke/ juragan juga memiliki penghasilan yang paling besar dari nelayan, ABK dan “anak itik”, yaitu sekitar Rp. 3.000.000,- sampai Rp. 5.000.000,- perbulan. Kepemilikan modal yang besar tersebut dapat dibuktikan dengan banyaknya kapal dan cara kerja dari toke/ juragan itu sendiri. Di Desa Bogak, toke/ juragan biasa disebut dengan

“tekong”.

“Tekong” bekerja sebagai pemborong hasil laut yang didapatkan oleh nelayan. Dengan bermodalkan kapal dan alat tangkap, “tekong” memekerjakan

nelayan untuk menggunakan kapal dan alat tangkap miliknya dengan kesepakatan hasil laut akan dibeli oleh “tekong”. Seorang “tekong” bisa memiliki lebih dari satu kapal dan alat tangkap untuk digunakan oleh nelayan. Dengan kontrak yang


(44)

dibuat bersama dengan nelayan, “tekong” dapat memberikan harga terhadap hasil

laut yang didapat oleh nelayan dengan sesukanya. Nelayan lain yang tidak

menggunakan kapal dan alat tangkap yang disediakan oleh “tekong” juga dapat menjual hasil lautnya kepada toke atau “tekong”.

Kesepakatan antara nelayan dan “tekong” merupakan hasil negosiasi antar

kedua belah pihak tersebut. Pihak “tekong” akan senantiasa membeli dengan harga murah, sedangkan nelayan akan berusaha agar nilai jual dari hasil lautnya

dapat dibayar tinggi. “Tekong” merupakan penyalur hasil laut yang didapatkan

oleh nelayan kepada konsumen langsung atau pasar. Oleh karena itu, “tekong” berusaha agar ketika di pasar, harga ikan dan hasil laut tidak begitu tinggi dan dapat dibeli oleh konsumen.

4.2.2. Nelayan

Nelayan merupakan pekerja dengan strata kedua setelah juragan atau

“tekong”. Kedudukan kedua setelah “tekong” dikarenakan posisi nelayan adalah pemimpin kedua setelah “tekong”, baik ketika berada di pelabuhan, tangkahan,

atau ketika melaut. Posisi tersebut didapatkan nelayan ketika nelayan tesebut

menggunakan peralatan yang digunakan oleh “tekong”. Nelayan sendiri terbagi atas beberapa jenis, yaitu:

1. Nelayan “tekong”: nelayan “tekong” yaitu nelayan yang bekerja di bawah

perintah “tekong”. Nelayan “tekong” dan “tekong” memiliki kesepakatan bersama dalam bagi hasil. Nelayan “tekong” tidak memiliki peralatan


(45)

yang disediakan oleh “tekong” untuk melaut (kapal dan alat tangkap). Pendapatan nelayan “tekong” adalah 2 “bagi”2

dari hasil tangkapan ketika mereka melaut. Kapal yang digunakan pun juga bervariasi, ada yang berukuran besar dengan muatan 15 orang (nelayan dan ABK), yang berukuran sedang dengan muatan 6 orang, atau yang berukuran kecil dengan muatan 2 orang.

2. Nelayan perorangan: nelayan perorangan adalah nelayan mandiri yang bekerja di luar kendali “tekong” atau toke. Dengan memanfaatkan modal sendiri, nelayan perorangan pergi melaut menggunakan kapal dan alat tangkap miliknya tanpa ada kesepakatan antara nelayan perorangan

dengan “tekong” atau juragan. Ada juga nelayan perorangan yang merangkap sebagai toke atau pembeli hasil tangkapan nelayan. Hasil yang

diterima oleh nelayan perorangan adalah 4 “bagi”, karena asumsi bahwa

nelayan perorangan tersebut yang akan menanggung segala biaya apabila kapal atau jarring telah rusak. Nelayan perorangan juga memiliki ABK yang membantunya, sesuai dengan ukuran kapal yang dia gunakan. Masing-masing nelayan perorangan mememiliki ukuran kapal yang berbeda sesuai dengan modal yang mereka miliki. Ada yang berukruan besar, sedang dan kecil.

2

“Bagi” adalah pendapatan yang diterima oleh masing-masing pihak yang mencari nafkah dari hasil laut. Hasil laut yang telah di jual, kemudian kurangkan dengan biaya operasional kapal. Hasil bersih yang telah dipotong biaya operasional itula yang akan dibagikan kepada “tekong”, nelayan, ABK dan “anak itik”. Sebagai contoh, di kapal terdapat seorang nelayan dan 3 orang ABK. Maka hasil tangkapan akan dibagi menjadi 7 bagian, yaitu 2 bagian untuk nelayan ABK masing-masing 1 “bagi” dan 2 “bagi” lagi untuk mesin dan jaring yang akan diserahkan kepada nelayan kembali.


(46)

Nelayan yang menggunakan kapal dengan ukuran sedang dan besar, tidak bisa melaut sendirian tanpa bantuan dari anak kapal atau anak buah kapal (ABK). Nelayan memekerjakan ABK untuk memudahkan pekerjaannya dalam berbagai hal ketika berada di laut atau di pelabuhan. Dengan demikian, hasil laut yang didapatkan oleh nelayan yang menggunakan jasa ABK akan dibagikan sesuai dengan kesepakatan bersama.

4.2.3. ABK (Anak Buah Kapal)

ABK atau biasa juga disebut dengan anak sampan merupakan pekerja yang membantu nelayan, baik ketika melaut ataupun tidak. Pada umumnya ABK dipekerjakan oleh nelayan yang menggunakan kapal berukuran besar dan sedang. Karena berbagai pekerjaan yang harus tidak dapat diselesaikan oleh nelayan jika dikerjakan sendirian. Pekerjaan yang dikerjakan oleh ABK juga dikerjakan oleh nelayan, seperti; menjaring ikan, mengemudikan kapal, membuat jaring, memperbaiki kapal dan lain sebagainya.

Berdasarkan data lapangan, sebagian besar masyarakat Desa Bogak menggantungkan hidup mereka dari hasil laut dengan berbagai jenis pekerjaan, ada yang menjadi juragan, nelayan, pedagang, ABK dan lain-lain. Pekerjaan Anak Buah Kapal (ABK) merupakan pekerja terbanyak yang menggantungkan hidup mereka dari melaut. Jika setiap kapal besar menggunakan jasa 10 sampai 15 orang ABK dan kapal sedang 4 sampai 6 orang ABK, sedangkan di Desa Bogak terdapat begitu banyak kapal-kapal nelayan untuk melaut, maka dapat dilogikakan bahwa ABK adalah pekerja terbanyak yang mencari nafkah di laut.


(47)

Penghasilan yang didapat ABK dari pekerjaannya dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi laut sebagaimana yang dialami oleh nelayan dan juga

“tekong”. Meskipun demikian, pendapatan ABK adalah 1 “bagi” dari hasil laut.

Ada juga yang telah dikontrak dengan bayaran tertentu untuk sekali melaut, banyak atau tidaknya hasil laut, ABK tetap mendapatkan upah sesuai dengan kesepakatan.

Pekerjaan yang dikerjakan ABK di kapal tentunya berbeda-beda. Nelayan yang bertugas sebagai pemimpin di kapal ketika melaut, sedangkan ABK dibagi-bagi sesuai dengan posisi mereka masing-masing. Ada yang bertugas di penebar jaring, ada yang bertugas sebagai wakil nelayan yang bekerja di depan kapal dengan tanggung jawab mengarahkan kapal dimana ikan berada, dan lain sebagainya.

4.2.4. “Anak itik”

“Anak itik” merupakan bagian dari lingkungan pekerja yang ada di

pelabuhan dan tangkahan. “Anak itik” bekerja sesuai dengan perintah dari juragan

atau nelayan yang memekerjakan mereka. Pekerjaan mereka dimulai ketika kapal atau sampan sedang berlabuh atau sedang ditambatkan di pelabuhan atau di tangkahan. Sehingga, sebagian besar waktu mereka dihabiskan di pelabuhan dan di tangkahan.

Sebagian besar “anak itik” adalah pekerja anak yang berusia 18-15 tahun,

dengan tujuan “anak itik”-lah yang akan melanjutkan kearifan lokal masyarakat pesisir di Desa Bogak sebagai nelayan atau pelaut. Meskipun ada juga “anak itik”


(48)

yang berusia lebih dari 18 tahun, bahkan sudah berumah tangga. Nelayan ataupun

“tekong” yang ada di Desa Bogak akan lebih memilih untuk memekerjakan anak

-anak agar bisa mereka didik nantinya.

Seiring dengan perubahan waktu dan bertambahnya kebutuhan, upah

“anak itik” juga berubah-ubah. Menurut data lapangan, pada tahun 1970-an “anak

itik” diberi upah Rp. 100,- untuk sekali bekerja. Sedangkan sekarang “anak itik” diupah sama dengan ABK, yaitu 1 “bagi”. Persamaan upah antara “anak itik”

dengan ABK juga dipengaruhi oleh asumsi bahwa pekerjaan “anak itik” juga semakin berat, dan hanya dikerjakan oleh satu “anak itik” saja untuk satu kapal.

Meskipun kebanyakan “anak itik” adalah pekerja anak, tetapi “anak itik” merasa senang bisa bekerja sebagai “anak itik”. Hal tersebut dikarenakan mereka

merasa bisa menjadi orang yang mandiri dan dapat membantu orang tua untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Perasaan senang tersebut juga didukung oleh keadaan kerja yang dibangun oleh juragan atau nelayan yang selalu bersikap baik

terhadap “anak itik” yang mereka pekerjakan.

4.3. Profil Informan

4.3.1. Profil informan nelayan dan “tekong” di Desa Bogak

Nama : Acim Beel

Usia : 64 tahun

Pendidikan terakhir : Tamat SD (Sekolah Dasar) Penghasilan : Rp 2.000.000,- perbulan


(49)

Pekerjaan : Nelayan

Acim Beel merupakan nelayan yang juga merangkap sekaligus “tekong”

atau toke di pelabuhan Tanjung Tiram, Desa Bogak. Masyarakat Desa Bogak mengenal Acim Beel dengan panggilan Apak Acim. Selain bekerja menjadi

nelayan dan “tekong”, Acim Beel juga bekerja sebagai peternak itik.

Masyarakat Desa Bogak mengenal Acim Beel sebagai salah satu tokoh masyarakat yang disegani. Penobatan sebagai tokoh masyarakat tersebut dikarenakan Acim Beel merupakan penduduk yang sudah berdomisili di Desa Bogak secara turun temurun sejak Desa Bogak dibuka oleh keluarganya

terdahulu. Acim Beel dimata para pekerjanya (ABK dan “anak itik”) adalah sosok

yang bertanggungjawab. Perlakuan yang baik dari Acim Beel terhadap pekerjanya ditunjukkan dengan keramahan, menanggung biaya kecelakaan kerja dan lain sebagainya. Lama Acim Beel bekerja sebagai nelayan telah menghasilkan mantan-mantan “anak itik” yang sekarang telah beranjak dewasa dan tidak sedikit yang menjadi sukses, salah satunya adalah Jafar Sidik.

Anak-anak biasanya datang sendiri untuk meminta pekerjaan kepada Acim

Beel untuk menjadi “anak itik”. Bagi Acim Beel, yang terpenting dari menjadi “anak itik” adalah kejujuran dan asal pandai menghidupkan mesin saja. Kemudian Acim Beel akan dengan senang hati untuk mengajarkan hal-hal baik kepada “anak


(50)

Nama : Ariel

Usia : 27 tahun

Pendidikan terakhir : Tamat SD (Sekolah Dasar)

Penghasilan : Rp 35.000,- sampai Rp 100.000,- perhari

Etnis : Melayu

Pekerjaan : Nelayan

Ariel merupakan anak pertama dari Acim Beel yang bekerja sebagai nelayan di Desa Bogak. Kapal yang dimiliki oleh Ariel adalah kapal berukuran besar dengan muatan maksimal 15 orang. Sehari-hari, Ariel pergi melaut bersama

dengan Anak Buah Kapal dan komando dari “tekong”. Meski memiliki kapal sendiri, Ariel tetap bekerja dibawah perintah dari “tekong” karena suatu kontrak kerja dimana hasil laut akan dibeli oleh “tekong”.

Selain melaut, Ariel beserta nelayan lainnya mengisi waktu mereka dengan memerbaiki jaring atau alat tangkap mereka yang rusak. Dalam hal ini, nelayan biasanya tidak bekerja sendirian. Ukuran jaring yang besar membutuhkan tenaga yang banyak untuk memerbaikinya agar cepat selesai. Ariel biasa

menggunakan jasa “anak itik” untuk membantunya dalam hal merajut jaring atau

memasang pemberat saja.

4.3.2. Profil informan “anak itik” di Desa Bogak

Nama : Bayu Saputra

Usia : 17 tahun


(51)

Penghasilan : Rp 20.000,- perhari

Etnis : Melayu

Pekerjaan : “Anak Itik”

Bayu Saputra adalah salah satu “anak itik” yang bekerja pada Acim Beel.

Sehari-hari Bayu Saputra menghabiskan waktunya bersama para nelayan dan ABK di pelabuhan untuk bekerja. Bayu merasa senang dengan pekerjaannya

sebagai “anak itik”. Dengan bermodalkan kejujuran dan kemampuannya dalam

menghidupkan mesin, Acim Beel memekerjakan Bayu sejak dia berusia 7 tahun. Tidak ada pekerjaan sampingan lain yang dikerjakan oleh Bayu selain

menjadi “anak itik”. Bayu dipercaya Acim Beel untuk menjaga kapal miliknya

bersama-sama dengan “anak itik” lainnya yang bekerja di kapal nelayan lain. Bagi

Bayu Saputra, pekerjaan “anak itik” adalah pekerjaan yang menyenangkan dan

dapat mendorong cita-citanya untuk menjadi “tekong” ketika dia sudah dewasa kelak.

Nama : Gunawan (Gugun)

Usia : 17 tahun

Pendidikan terakhir : Tamat SMP

Penghasilan : Rp 20.000,- perhari

Etnis : Melayu

Pekerjaan : “Anak Itik”

Gunawan atau biasa dipanggil Gugun merupakan salah satu “anak itik” yang ada di Desa Bogak. Gugun tidak bekerja berpatokan pada satu nelayan saja,


(52)

dia bekerja dengan membantu nelayan-nelayan yang ada di pelabuhan. Biasanya Gugun bekerja sebagai tukang suruh bagi nelayan atau siapapun yang ada di

pelabuhan. Gugun sudah bekerja sebagai “anak itik” sejah dia berusia 10 tahun.

Keluarga Gugun cukup mampu untuk membiayai pendidikan gugun, sehingga Gugun merasa tidak perlu untuk bekerja sampai menjaga kapal atau sampan di malam hari seperti yang dikerjakan oleh Bayu. Bagi Gugun, pekerjaan

“anak itik” adalah pekerja yang dapat mendewasakan dirinya. Melalui pekerjaan “anak itik”, Gugun bisa menambah pertemanannya dengan masyarakat yang lebih

luas lagi dan menambah uang saku untuk dirinya sendiri.

Nama : Ipin

Usia : 17 tahun

Pendidikan terakhir : Tamat SD (Sekolah Dasar)

Penghasilan : Rp 20.000,- perhari

Etnis : Melayu

Pekerjaan : “Anak Itik”

Ipin merupakan anak dari Peem yang bekerja sebagai “anak itik”. Sehari -hari Ipin bekerja di pelabuhan dengan membantu nelayan atau tukang di gudang. Dengan penghasilan Rp 20.000,- perhari, Ipin merasa mendapatkan banyak kepercayaan diri dibandingkan dengan teman sebayanya yang tidak bekerja. Keluarga Ipin yang hidup di bawah garis kemiskinan, mengharuskan Ipin untuk putus sekolah dan membantu meringankan beban ekonomi keluarganya.


(53)

Ipin merupakan anak yang pemalu dan sangat enggan untuk didokumentasikan dalam penelitian. Meskipun demikian, pekerjaannya sebagai

“anak itik” membawanya pada pergaulan yang luas bersama para nelayan dan pekerja lainnya yang ada di pelabuhan.

4.3.4. Profil informan orang tua “anak itik” di Desa Bogak

Nama : Irwan

Usia : 60 tahun

Pendidikan terakhir : Tamat SD (Sekolah Dasar) Penghasilan : Rp. 2.000.000,- perbulan

Etnis : Melayu

Pekerjaan : Nelayan

Irwan adalah salah satu nelayan yang ada di Desa Bogak. Lebih kurang sudah 40 tahun Irwan bekerja sebagai nelayan. Irwan memiliki 4 orang anak, 2 di

antaranya adalah mantan “anak itik” yang sekarang sudah bekerja sebagai pegawai swasta di Kota Medan.

Bagi Irwan, “anak itik” adalah proses yang baik yang bisa dilalui oleh

anak-anak di Desa Bogak untuk menuju pendewasaan diri. Irwan merasa bahwa generasi mudah yang ada di Desa Bogak sekarang sudah terancam moral dan akhlaknya. Hal tersebut dikarenakan banyaknya pengaruh negatif yang masuk ke Desa Bogak, seperti: narkoba, judi dan perzinahan. Generasi terdahulu yang telah

dididik melalui pekerjaan “anak itik” menghasilkan individu yang baik dan


(54)

sebagai “anak itik” tetapi dia merasa senang dengan anaknya karena tidak

terpengaruh oleh hal-hal negatif yang sekarang berkembang di Desa Bogak.

Nama : Ucok

Usia : 60 tahun

Pendidikan terakhir : Tamat SD (Sekolah Dasar) Penghasilan : Rp. 2.000.000,- perbulan

Etnis : Melayu

Pekerjaan : Nelayan

Ucok merupakan salah satu orang tua yang mengizinkan anaknya untuk

bekerja sebagai “anak itik” di Pelabuhan Tanjung Tiram. Ucok merasa tidak ada alasan baginya untuk melarang anak-anaknya dalam mencari jati diri mereka sendiri. Meskipun Ucok merasa mampu untuk mencukupi kebutuhan keluarga, Ucok tidak merasa akan mendapatkan rasa malu jikalau ternyata anaknya bekerja

sebagai “anak itik” di Desa Bogak.

Nama : Peem

Usia : 60 tahun

Pendidikan terakhir : Tamat SD (Sekolah Dasar) Penghasilan : Rp. 1.000.000,- perbulan

Etnis : Melayu


(55)

Peem adalah orang tua dari Ipin, yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan. Peem hanya menggunakan perahu kecil tanpa mesin yang hanya bermuatan 2 orang saja beserta alat tangkapnya. Penghasilan Peem hanya mampu untuk mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari keluarganya saja. Tidak ada larangan dari Peem kepada anak-anaknya untuk bekerja sebagai apapun, sejauh itu masih halal dan tidak merusak.

4.3.5. Profil informan mantan “anak itik” di Desa Bogak

Nama : Erwan Efendi

Usia : 53 tahun

Pendidikan terakhir : S-3

Penghasilan : Rp. 2.000.000,- perbulan

Etnis : Melayu

Pekerjaan : Wiraswasta

Erwan adalah mantan “anak itik” yang sekarang sudah bekerja sebagai wartawan di salah satu media massa di Kota Medan. Pekerjaan “anak itik” sudah

dikerjakan oleh Erwan sejak berusia 7 tahun dan berhenti sampai dia tamat SLTP (Sekolah Lanjunt Tingkat Pertama). Kemudian melanjutkan pendidikannya hinggak ke jenjang S-3 di Kota Medan.

Menurut Erwan, “anak itik” adalah budaya masyarakat pesisir, khususnya masyarakat Desa Bogak yang harus dilestarikan. Hal tersebut dikarenakan “anak itik” akan mendapatkan banyak pelajaran yang tidak didapatkan dari pendidikan


(56)

mendapatkan kekerasan dalam bentuk apapun. Para nelayan dan “tekong” yang

memekerjakannya dulu selalu bersikap baik dan terus-menerus mengajarkan hal-hal baik yang sampai sekarang melekat dalam diri Erwan.

Nama : Jafar Sidik

Usia : 38 tahun

Pendidikan terakhir : Tamat SD (Sekolah Dasar) Penghasilan : Rp. 2.000.000,- perbulan

Etnis : Melayu

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Jafar Sidik adalah mantan “anak itik” yang bekerja pada Acim Beel. Awal mula Jafar Sidik bekerja sebagai “anak itik” adalah saat dia berusia 8 tahun. Ketika itu Acim Beel mengajak Jafar Sidik untuk bekerja sebagai “anak itik” di

salah satu kapal milik Acim Beel. Pekerjaan “anak itik” dikerjakan oleh Jafar Sidik sampai dia tamat SLTP (Sekolah Lanjut Tingkat Pertama) dan kemudian melanjutkan pendidikannya di Kota Medan.

Menurut Jafar Sidik, “anak itik” bukan hanya sekedar pekerjaan yang

dikerjakan oleh anak-anak yang ada di Desa Bogak. “Anak itik” adalah wadah yang sangat bagus dan efektif untuk meningkatkan daya juang generasi muda. Jafar Sidik mengakui banyak hal baik yang didapatkannya ketika dia bekerja

sebagai “anak itik” dulu. Hal-hal baik tersebut tetap dibawa olehnya hingga saat ini dan akan menjadi pelajaran yang berharga bagi diri Jafar Sidik.


(57)

4.4. Profil “Anak Itik” Di Masyarakat Pesisir Desa Bogak

Salah satu pekerjaan yang ada di pelabuhan dan tangkahan adalah “anak itik”. Usia “anak itik” yang masih tergolong anak-anak (15-18 tahun) dimaksudkan sebagai bentuk sosialisasi laut terhadap generasi berikutnya dari generasi sebelumnya. Untuk lebih memahami lebih dalam lagi mengenai profil

“anak itik”, berikut ini adalah penjelasannya.

4.4.1. Komposisi

Sebagaimana pekerjaan lainnya, pekerjaan “anak itik” juga memiliki

penghasilan yang dianggap besar bagi masyarakat Desa Bogak. Nelayan akan

selalu membutuhkan jasa “anak itik” ketika kapal atau sampan mereka sedang

ditambatkan, sehingga pekerjaan “anak itik” juga diminati oleh berbagai kalangan usia.

Bagi nelayan, kriteria yang paling penting bagi seseorang jika ingin

menjadi “anak itik” adalah mereka harus bisa menghidupkan mesin kapal. Dengan kriteria tersebut, “anak itik” tidak hanya dikerjakan oleh orang-orang dengan ekonomi menengah kebawah saja, anak-anak dan remaja juga ada yang menjadi

“anak itik” dengan alasan hanya untuk menambah penghasilan.

Komposisi “anak itik” yang ada di pelabuhan dan tangkahan di Desa

Bogak adalah anak-anak (15-18 tahun) dan remaja baik sudah menikah atau belum menikah (18-25 tahun) serta dari berbagai kalangan kelas ekonomi.


(58)

pekerjaan oleh anak-anak dan pemuda yang ada di Desa Bogak untuk membuat mereka bisa mandiri.

4.4.2. Jenis kelamin

Pekerjaan “anak itik” hanya dikerjakan oleh laki-laki saja. Bahkan semua

pekerja (“tekong”, nelayan dan ABK) adalah laki-laki. Masyarakat Desa Bogak memiliki pandangan bahwa yang pelaut hanya boleh dilakukan oleh kaum laki-laki saja. Hal itu dikarenakan berbagai resiko yang akan dihadapi dan kemampuan laki-laki dianggap lebih tangguh dan cekatan ketika berada di laut.

Bedasarkan data lapangan, masyarakat Desa Bogak adalah masyarakat yang patriakat, ditambah lagi masyarakat Desa Bogak adalah masyarakat pesisir yang sebagian besar penduduknya mencari nafkah dari laut. Masyarakat Desa Bogak beranggapan bahwa laut merupakan tempat yang memiliki banyak berkah dan juga penuh dengan mara bahaya. Sehingga dibutuhkan keahlian khusus untuk mencari nafkah di laut, dan masyarakat Desa Bogak percaya bahwa hanya

laki-laki saja yang bisa melaut. Oleh karena itu, pekerjaan “anak itik” hanya

dikerjakan oleh laki-laki saja.

4.4.3. Usia

“Anak itik” merupakan salah satu jenis pekerjaan yang memiliki penghasilan yang dianggap besar bagi masyarakat Desa Bogak. Menurut data yang diperoleh peneliti, pada era 1970-an “anak itik” hanya dikerjakan oleh anak -anak saja. Seiring dengan perkembangan zaman dan adanya penambahan mesin


(1)

10.Apakah anda dipaksa oleh teman oleh orang tua atau saudara untuk menjadi “anak itik”?

11.Diusia berapa anda pertama kali tertarik dan terjun menjadi “anak itik”? 12.Nilai-nilai apa yang diajarkan orang tua, toke ataupun teman untuk

melakukan pekerjaan menjadi “anak itik”?

13.Bagaimana pengaruh teman-teman terhadap motivasi anda menjadi “anak itik”?

14.Apa sangsi sosial jika anak-anak tidak menjadi “anak itik”?

15.Apa reward sosial terhadap anda ketika anda memilih menjadi “anak itik”? SOSIAL EKONOMI “ANAK ITIK”

1. Bagaimana kondisi perekonomian keluarga anda sewaktu menjadi “anak itik”?

2. Apakah anda bersekolah ketika menjadi “anak itik”?

3. Apakah anda memiliki teman yang bukan “anak itik”? Mana yang lebih banyak, “anak itik” atau bukan?


(2)

No…… PENGANTAR

Penelitian SKRIPSI dengan judul “FENOMENA KEKERASAN SIMBOLIK DAN SOSIALISASI “ANAK ITIK””. Studi ini murni untuk penelitian semata. Bila informan tidak ingin namanya dicantumkan, akan tetap dihargai. Karena itu, kejujuran dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan sangat dibutuhkan. TERIMA KASIH.

Nelayan atau Toke

PROFIL RESPONDEN

1. Nama narasumber:... 2. Apa agama anda?

3. Berapa usia anda?

4. Apa pendidikan terakhir anda? 5. Berapa pendapatan anda perbulan? 6. Apa pekerjaan anda?

7. Apa suku anda?

KEKERASAN SIMBOLIK

1. Apa saja jenis pekerjaan yang dikerjakan oleh “anak itik”?

2. Apakah ada pembagian pekerjaan yang dikerjakan secar individu atau bersama-sama?

3. Bagaimana sistem upah “anak itik”?

4. Mengapa anda mempekerjakan “anak itik”?

5. Bagaimana awal mula anda mempekerjakan “anakitik”?

6. Apakah “anak itik” juga diikutsertakan menjadi ABK (Anak Buah Kapal)?

Jelaskan?

7. Apa yang akan anda lakukan jika “anak itik” bermain ketika bekerja? 8. Apa yang akan anda lakukan jika “anak itik” mengalami kecelakaan kerja?


(3)

9. Apakah ada jaminan keselamatan kepada “anak itik”? 10.Apakah “anak itik” bekerja diluar jam sekolah?

11.Apakah anda mengawasi “anak itik” ketika dia bekerja? Mengapa?

12.Apakah anda percaya sepenuhnya kepada “anak itik”? Mengapa?

13.Apakah anda senang mempekerjakan “anak itik”? Mengapa?

14.Apakah anda selalu menggunakan jasa “anak itik”?

15.Seberapa bagus hubungan anda dengan “anak itik”, karena mereka masih berusia anak-anak?

16.Pilihlah jawaban yang tersedia dalam tabel berikut: Seandainya

saya harus menjadikan/me-milih seseorang sebagai:

Maka berturut-turut saya akan memilih seseorang dengan kriteria.

Usia Kekera-batan Kebutu-han ekonomi Kemauan-nya Kemampuan-nya Lain-nya “Anak itik” ABK

SOSIALISASI “ANAK ITIK”

1. Apakah “anak itik” tetap dipekerjakan secara turun temurun dari generasi ke generasi?

2. Apakah anak-anak harus menjadi “anak itik” untuk menjadi individu yang sukses di masyarakat? Mengapa?

3. Apakah anak-anak harus diajarkan tentang laut? Mengapa?

4. Apakah pengajaran tersebut harus melalui bekerja sebagai “anak itik”?

5. Apakah anda mengharapkan “anak itik” menjadi nelayan? Mengapa?

6. Bagaimana masa kanak-kanak nelayan saat ini, apakah semuanya adalah mantan “anak itik”?

7. Bagaiaman para nelayan atau toke yang mempekerjakan “anak itik”

mengajari “anak itik” bekerja?


(4)

SOSIAL EKONOMI “ANAK ITIK”

1. Bagaimana kondisi perekonomian keluarga “anak itik” yang anda

pekerjakan?

2. Apakah “anak itik” yang bekerja pada anda adalah anak yang sekolah?

3. Menurut anda, apakah para “anak itik” memiliki banyak teman

dibandingkan yang bukan “anak itik”? Mengapa?

4. Apakah anda juga mempekerjakan anak dari keluarga yang memiliki perekonomian menengah atas sebagai “anak itik”?


(5)

No…… PENGANTAR

Penelitian SKRIPSI dengan judul “FENOMENA KEKERASAN SIMBOLIK DAN SOSIALISASI “ANAK ITIK””. Studi ini murni untuk penelitian semata. Bila informan tidak ingin namanya dicantumkan, akan tetap dihargai. Karena itu, kejujuran dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan sangat dibutuhkan. TERIMA KASIH.

Orang Tua “Anak Itik”

PROFIL RESPONDEN

8. Nama narasumber:... 9. Apa agama anda?

10.Berapa usia anda?

11.Apa pendidikan terakhir anda? 12.Berapa pendapatan anda perbulan? 13.Apa pekerjaan anda?

14.Apa suku anda?

KEKERASAN SIMBOLIK

19.Apa saja jenis pekerjaan yang dikerjakan oleh “anak itik”? 20.Bagaimana sistem upah “anak itik”?

21.Mengapa anda mengizinkan anak anda menjadi “anak itik”?

22.Apakah anda mempekerjakan “anak itik”?

23.Bagaimana awal mula anak anda menjadi “anak itik”?

24.Apakah anda juga diikutsertakan menjadi ABK (Anak Buah Kapal)? Mengapa?

25.Apa yang akan dilakukan jika anak anda yang bekerja sebagai “anak itik” bermain ketika bekerja?


(6)

27.Apakah ada jaminan keselamatan kepada anak anda?

28.Apakah anak anda yang bekerja sebagai “anak itik” bersekolah? 29.Apakah anda mengawasi anak anda bekerja sebagai “anak itik”?

30.Apakah anda percaya sepenuhnya kepada anak anda yang bekerja sebagai “anak itik”?

31.Seberapa bagus hubungan toke atau nelayan dengan anak anda yang bekerja sebagai “anak itik”, karena mereka masih berusia anak-anak? 32.Apakah anda merasa ada kekerasan simbolik terhadap anak anda seperti

perlakuan diremehkan, dibentak, dijewer dan diperintahkan kerja tidak sesuai dengan kemampuan fisik mereka?

33.Apakah anda merasa ada kekerasan fisik terhadap anak anda dari toke, ataupun sesama teman mereka?

SOSIALISASI “ANAK ITIK”

16.Bagaimana “anak itik” tetap dipekerjakan secara turun temurun?

17.Apakah anak-anak harus menjadi “anak itik” untuk menjadi individu yang sukses di masyarakat? Mengapa?

18.Apakah anak anda harus diajarkan tentang laut melalui “anak itik”? 19.Apakah menurut anda anak anda yang bekerja sebagai “anak itik” lebih

mudah bergaul di masyarakat? Mengapa?

20.Apakah anda mengharapkan anak anda yang bekerja sebagai “anak itik” menjadi nelayan?

21.Apakah anak-anak di desa ini harus mengerti tentang laut? 22.Berapa banyak anak anda yang bekerja sebagai “anak itik”?

SOSIAL EKONOMI “ANAK ITIK” 5. Berapa pengeluaran anda perbulan?

6. Menurut anda, apakah para “anak itik” memiliki banyak teman