Pengelolaan Sumber Daya Laut (Studi Deskrifip Terhadap Nelayan di Desa Bogak Kec. Tanjung Tiram Kab. Batubara)

(1)

LAMPIRAN

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : M. Yusuf Pekerjaan : Nelayan Jenis Kelamin : Laki-laki

2. Nama : H. Ibrahim Pekerjaan : Nelayan Jenis Kelamin : Laki-laki

3. Nama : Sarbaini Pekerjaan : Nelayan Jenis Kelamin : Laki-laki

4. Nama : Sulaiman Pekerjaan : Nelayan Jenis Kelamin : Laki-laki

5. Nama : JM (disamarkan) Pekerjaan : Nelayan


(2)

DOKUMENTASI PENELITIAN


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E dan Evi Liviawaty. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius, Jakarta.

Agus Budi Wibowo, dkk. 2000. Sistem pengetahuan kenelayanan pada masyarakat nelayan Aceh besar, Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh.

Bono. B. P. dan Pulungun. M. S., 2010, Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif, Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Effendi, dan W Oktariza, 2006. Manajemen Agribisnis Perikanan. Jakarta. Evy, Ratna. 2001. Usaha Perikanan Di Indonesia. Jakarta: Mutiara Sumber. Hilmanto, Rudi. 2010. Etnoekologi. Bandar Lampung: Universitas Lampung, Heroepoetri, Arimbi. 2001. Tak Ada Tempat bagi Rakyat, diterbitkan atas

kerjasama YLBHI, E-Law Indonesia, RACA Institute dan Penerbit Kreasi Wacana Yogyakarta.

Husni, Lah. 1997. Butir-butir adat Melayu Pesisir Sumatera Timur. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.

Kasimin, Arman. Istiadat Perkawinan Melayu. 1989. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia.

Keesing, Roger M. Antropologi Budaya Jilid I, Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Erlangga. 1989.

Keraf, S. A., 2002, Etika Lingkungan. Pn. Buku Kompas, Jakarta.

Koentjaraningrat. “Metode-metode Penelitian Masyarakat”, Jakarta Gramedia. 1985.

Koentjaraningrat. ” Sejarah Teori Antropologi 1. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press). 1987.


(4)

Nababan, 2003, Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat Adat, Tantangan dan Peluang, http://dte.gn.org…/makalah_ttg_psda_ berb-ma_di_pplh ipb.htm.

Osman, Mohd. Taib. 1998. Bunga Rampai Kebudayaan Melayu. Kuala Lumpur: Pendidikan Kementrian Malaysia.

Purwanto, Heri. 2010. Kebudayaan dan Lingkungan dalam persepektif antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sinar, Tuanku Lukman dan Syaifuddin, Wan. 2002. Kebudayaan Melayu Sumatera Timur. Medan: USU press.

Spredley, James. “Metode Etnografi”. Jogjakarta: Tiara Wacana. 1980

Sumaatmadja, Nursi. 1998. “Manusia Dalam Konteks Sosial, Budaya, Dan Lingkungan Hidup. Bandung”. Cv Alfabeta.

Syaifuddin, Wan. 2005. Mantera dan Upacara Ritual Masyarakat Melayu Pesisir Timur di Sumatera Utara: Kajian Tentang Fungsi dan Nilai-nilai Budaya (Disertasi). Pulau Pinang: Universiti Sains Malaysia.

Syaifuddin, Wan. 2014. Menjulang Tradisi Etnik. Medan: USU press

Tohir M., 2002, Penelitian Sosial Budaya dari Memahami ke Melakukan dan Memuliskan. UNDP, Semarang.

Wiranata, I Gede A.B “Antropologi Budaya”. Bandung : Penerbit Citra Aditya Bakti. 2011.


(5)

Jurnal/Tesis/Artikel/Skripsi

Waridin

Pengaruh Motivasi Kerja, Kepuasan Kerja, Budaya Organisasi dan Kepemimpinan terhadap Kinerja Pegawai, EKOBIS, Vol 7. No 2, Hal. 197-209. 2007

Lubis, Nurhayati.

Analisis Semiotik dalam upacara ritual jamuan laut di Jaring Halus. Medan, 2008 : (Tesis)

Nurma Ali Ridwan M. Ag.

landasan kelilmuan kearifan lokal. (jurnal Studi islan dan budaya, volume 5, nomor 1, juni 2007)

Hendrik, 2013. Peranan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Dalam Pemasaran Ikan Hasil Tangkapan Nelayan Di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Kec. Tanjung Beringin Kab.Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara. Jurnal Terubuk, 41 (1): 102-108

Bambang Pramudyanto

Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan di Wilayah Pesisir.(Lokal karya Regional Ikatan Widyaiswara Indonesia (IWI) Provinsi Banten tanggal 10 – 11 November 2014 di Patra Jasa Anyer Beach Resort, Serang)

Risnowati dan Irmayanti Meliono

Ritual Petik Laut pada Masyarakat Nelayan Sendang Biru, Malang: Sebuah telaah Budaya Bahari (Internasional Conference ICSSIS, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI Kampus Depok, 18-19 Juli 2011)

Stefanus Stanis, Dkk

Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut Melalui pemberdayaan kearifan lokal di kabupaten lembata Propinsi nusa tenggara timur.(Jurnal Pasir Laut, Vol.69 2, No.2, Januari 2007)

Agus, R. dan Dewi, G. 2013. Strategi Pengembangan Investasi Di Sekitar Pelabuhan Perikanan Tipe B Di Jawa Barat, Jurnal Akuatika 4 (1): 89-101

Bahtiar

Kearifan Lokal Orang Bajo dalam Pengelolaan Sumber Daya Laut. (Jurnal Seni Budaya, Volume 27, Nomor 2, Juli 2012)

Indra Surya Darma

Lembaga pengolahan sumberdaya pesisir dan laut. (Skripsi Fisip USU, Medan, 2008)


(6)

Melva Dumaria Sirait dan Agus Purwoko.

Kajian resiko usaha pengolahan ikan teri di desa Pagurawan, kecamatan medang deras, kabubapaten Batubara, provinsi sumatera utara. Jurnal AGRISEP Vol. 11 No. 2, September 2012, Hal: 187– 196 | 187

Sumber Lain

Undang-undang republik indonesia Nomor 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup(PDF)

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Statistik Potensi Desa Provinsi Sumatera Utara 2011. Jakarta.

________________________. 2012. Statistik Indonesia Tahun 2012. Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. 2013. Sumatera Utara Dalam Angka 2013. Medan.

[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Batu Bara. 2013. Batu Bara Dalam Angka 2013. Lima Puluh.

[Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi Sumatera Utara. 2005.

Keputusan Gubernur Nomor No. 136/3240.K; Tentang Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Propinsi Sumatera Utara Tahun 2005-2010. (tidak dipublikasikan). Medan.

________________________. Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007; Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. (tidak dipublikasikan). Medan.

[Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Batu Bara. 2011. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Batu Bara 2011-2031. Lima Puluh. Farhan aziz lubis “Pengertian Kearifan Lokal”


(7)

BAB III

NELAYAN DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAUT YANG DILAKUKAN

3.1 Klasifikasi Nelayan

Masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir mayoritas bermata pencaharian sebagai Nelayan, begitu juga dengan nelayan pada masyarakat Kecamatan Tanjung Tiram di Desa Bogak. Nelayan yang ada di Desa Bogak dengan data yang didapat di lapangan ada dua kategori Nelayan, yaitu terdiri dari Nelayan tradisional dan Nelayan Modern.

Nelayan tradisional merupakan nelayan yang pada umunya menggunakan alat tangkap tradisional dan sederhana. Modal yang digunakan usaha relatif kecil dan cara penangkapan yang relatif sederhana. Dalam kehidupan sehari-hari, nelayan tradisional lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri. Walaupun ada juga beberapa nelayan tradisional yang menjual hasil tangkapan ke masyarakat atau ke TPI (Tempat Pelelangan Ikan).

. Sementara itu Nelayan Modern merupakan nelayan yang menggunakan alat tangkap yang berteknologi tinggi seperti penggunaan alat tangkap skala besar, dengan menggunakan mesin bantu untuk menarik jaring ikan, dan juga mesin kapal yang cukup besar untuk menambah luas jelajah dari kapal. Modal usaha yang dikeluarkan cukup besar dan Nelayan Modern tersebut lebih berorientasi kepada penjualan ikan ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan penjualan ke luar wilayah Kabupaten Batu Bara.


(8)

3.2. Nelayan Tradisional

Nelayan tradisional yang ada di Desa Bogak adalah nelayan yang merupakan warga asli yang bertempat tinggal di Desa Bogak. Peralatan–peralatan yang digunakan Nelayan Tradisional di Desa Bogak cukup sederhana walaupun sudah banyak nelayan di Desa Bogak menggunakan mesin untuk menggerakan perahu dalam bentuk sederhana. Bapak Yusuf menjelaskan kapal yang digunakan Nelayan Tradisional ukuran kecil. Kapal Nelayan Tradisional yang di gunakan di Desa Bogak terbagi dua yaitu, Kapal yang sudah menggunakan mesin dan kapal yang tidak menggunakan mesin yang digerakan dengan tenaga dayung nelayan itu sendiri.

Peralatan yang digunakan pada Nelayan Tradisional di Desa Bogak terdiri dari beberapa alat seperti Sondong, Jaring Udang, Tombak, dan Kapal

• Sondong

Sondong merupakan alat tangkap yang digunakan oleh para nelayan di Desa Bogak dan sekitarnya untuk menangkap berbagai jenis ikan yang berukuran kecil (spo). Alat tangkap Sondong ini terdiri dari gala9 yang memiliki panjang mencapai 5 meter, dan jaring yang panjangnya mencapai 4 meter, yang berbentuk kantung. Penggunakan alat ini biasanya dipasangkan pada bagian sisi kiri dan kanan kapal. Wilayah penangkapan ikan yang memakai alat tangkap Sondong biasanya hanya mencakup wilayah pinggiran pantai dengan kedalaman air laut sepinggang orang dewasa.


(9)

• Tombak

Beberapa nelayan tradisional di Desa Bogak sampai sekarang masih ada yang memakai alat tangkap Tombak sebagai alat untuk mencari ikan. Biasanya ukuran tombak mencapai 2 meter, dengan mata tombak berfariasi, ada yang berjumlah 1 mata, 2 mata dan 3 mata. Penggunaan tombak biasanya hanya dilakukan oleh para nelayan ataupun anak-anak ketika air sedang surut.

• Kapal Sondong dan Tombak

Kapal yang digunakan juga hanya memiliki ukuran kecil dengan panjang sekitar 7 meter, tinggi 1 meter, lebar 2 meter, dengan muatan maksimal mencapai 100 Kg. Mesin Diesel ukuran kecil yang dipakai pada kapal dengan silinder tunggal atau piston 1 terkhusus pada alat Sondong dan pada Kapal Tombak menggunakan tenaga dayung.

• Jaring Udang

Alat tangkap berjenis Jaring Udang yang ada di wilayah Desa Bogak biasanya memiliki panjang mencapai 350 meter, lebar 1,5 meter, dengan kedalaman penyebaran jaring 1,5 meter di dalam laut. Penggunaan Jaring Udang dilakukan dengan cara di bentangkan di dalam laut menghadap belakang kapal.

Ada pun jenis tangkapan yang didapatkan pada jaring udang, yaitu Udang Kelong, Udang Swallo, Udang Batu, Udang Kotak, Sotong, Kepiting Bencong atau Kepiting Laut, Ikan Lidah, Ikan Kepala Batu, Ikan Senangin, Ikan Tenggiri dan Ikan Sanggai.


(10)

• Kapal Jaring Udang

Kapal yang digunakan juga hanya memiliki ukuran kecil dengan panjang sekita 7 meter, tinggi 2 meter, lebar 3 meter, dengan muatan maksimal mencapai 200 Kg. Mesin yang dipakai pada kapal juga hanya mesin dompeng yang memiliki 1 piston.

Dengan alat-alat yang digunakan cukup sederhana proses penangkapan ikan pun tidak dapat berlangsung lama dan jarak yang relatif tidak begitu jauh.

3.2.1 Tahap Persiapan Nelayan Tradisional untuk melaut

Kegiatan Nelayan Tradisional yang dilakukan dalam aktifitas melaut adalah meliputi persiapan kapal dan peralatan yang akan digunakan untuk melaut. Dalam persiapan kapal sendiri Nelayan Tradisional.

Ada pun persiapan yang akan Nelayan Tradisional dilakukan sebagai berikut :

• Membersikan bagian dalam kapal dan mengecek bagaimana keadaan kapal apakah ada kebocoran pada bagian kapal.

• Kemudian memeriksa peralatan alat tangkap seperti jaring yang akan digunakan dengan melihat keadaan jaring apakah ada kerusakan pada jaring atau tidak, jika terdapat kerusakan pada jaring maka nelayan akan memperbaiki jaring udang. Namun, jika kerusakan dilihat cukup parah maka nelayan akan membatalakan kegiatan melautnya untuk memperbaiki jaring udang yang rusak tersebut.


(11)

Seperti yang dijelaskan oleh Bapak Sarbaini sebagai Nelayan Tradisional

“kalau kita tahapan sebelum melautnya ya meluat keadaan perlengkapan bisa di pakai atau tidak rusak apa gak. Kapalnya juga dilihat keadaannya layak gak buat melaut ya itu kita cek semua. Ya kalau ada yang rusak perbaiki dulu la, gak mungkin dibawa aja susah nanti pas uda melautnya”

Semua hal yang dilakukan oleh Nelayan Tradisional tersebut dilakukan agar dalam setiap kegiatan untuk melaut tidak sia-sia dengan adanya kerusakan pada peralatan penangkapan ikan.

3.2.2 Permodalan Nelayan Tradisional

Modal merupakan hal penting dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut, yang bertujuan sebagai acuan awal untuk mendapatkan keutungan dalam kegiatan penangkapan ikan. modal yang dimaksudkan dalam Nelayan Tradisional yaitu dari segi peralatan untuk penangkapan ikan. Peralatan Nelayan Tradisional sebagian besar merupakan alat tangkap sewaan, dan terkadang juga kapal merupakan kapal sewaan. Dengan adanya penyewaan alat tangkap tersebut tentu saja mempermudah nelayan untuk yang tidak memiliki alat untuk melaut. Namun, juga ini menjadi pengurangan pendapatan nelayan yang menggunakan alat sewaan tersebut. sistem pembayaran alat penangkap tersebut adalah sistem bulanan, jika nelayan yang menyewa ingin memperpanjang pemakaian alat maka setiap bulannya nelayan harus membayar dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemilik alat. Hal ini juga dikatan oleh Bapak Yusuf

“... Nelayan Tradisional disini kebanyakan make jaring sewaan kadang – kadang pun kapalnya nyewa, tp kalau itu jarang. Kalau yang nyewa ini harga sewannya diluar dari perawatan jadi selama makai nelayan yang punya tanggung jawab. Bayarnya sebulan sekali la...”


(12)

Di luar dari pembayaran sewa alat, kerusakan alat yang digunakan oleh nelayan merupakan tanggung jawab penyewa, begitu juga dengan perawatan alat tangkapnya, sama dengan halnya pada penyewaan kapal. Namun, pada penyewaan kapal nelayan tradisional di Desa Bogak sangat jarang, bahkan hampir tidak ada lagi Nelayan Tradisional yang menyewa kapal. Hal ini dikarenakan hampir semua Nelayan Tradisional sudah memiliki kapal sendiri untuk melakukan aktifitas melautnya. Dengan demikian, Nelayan Tradisional yang menggunakan jasa penyewaan alat tangkap akan memotong keuntungannya dari hasil melaut. Seperti yang diutarakan Bapak Sarbaini

“kalau alat-alat yang di sewa macam saya gini ya gitu untungnya jadi kurang mau beli modalnya belum ada tapi bersyukurlah masih punya kapal sendiri . . .”

3.3. Nelayan Modern

Peralatan yang digunakan Nelayan Modern di Desa Bogak menggunakan kapal berukuran besar. Kapal nelayan ini sudah menggunakan tenaga mesin sebagai penggerak, dengan ukuran kapal yang besar nelayan dapat memuat tangkapan ikan lebih besar. Dengan ukuran yang besar tersebut membutuhkan beberapa orang untuk melakukan penangkapan ikan dan hal ini yang membuat kapal nelayan ini membutuhkan pekerja. Pekerja yang ikut dalam kapal ini merupakan nelayan yang tidak memiliki kapal dikenal sebagai Nelayan Buruh dengan kata lain mereka melaut dengan menggunakan kapal milik orang lain yaitu


(13)

Toke kapal(pemilik kapal). Toke kapal akan menyerahakan semua pekarangan10 kapal kepada Tekong(Nahkoda) dan anak buah kapal yang berkerja dengannya. Nelayan Buruh di Desa Bogak Tidak semua merupakan asli penduduk desa tersebut namun ada juga yang datang dari luar desa.

Bapak JM menjelaskan Nelayan Modern tentu saja menggunakan kapal yang sudah dilengkapi dengan mesin bertenaga tinggi dengan daya muat kapal lebih besar, yaitu dengan daya muat mencapai 30 sampai 40 ton. Daya muat kapal yang besar banyak digunakan Nelayan Modern di Desa Bogak di memiliki 3 jenis ukuran kapal. Kapal yang pertama, dengan panjang 20 meter, lebar 4 meter, tinggi 5 - 6 meter yang dihitung dari titik terendah kapal sampai titik tertingginya pada badan kapal. Ukuran kapal kedua, memiliki ukuran panjang 30 meter, memiliki lebar 6 meter, dan tinggi mencapai 8 meter dan yang ketiga panjangnya sama 30 meter, lebar 6 meter, namun tingginya hanya 6 meter.

Secara lanjut bapak JM juga menjelaskan bahwa :

“. . . Kalau orang disini nelayan modern pasti uda ada lah mesin kapalnya ukuran kapalnya aja uda besar – besar ada yang panjang 20 sampe 30 meter, lebar 4 sampe 6 meter, tinggi 5 sampe 6 meter gak kayak kapal nelayan tradisional kecil muatanya sikit . . .”

Bapak JM juga memberitahu peneliti bahwa peralatan yang digunakan oleh para Nelayan Modern di Desa Bogak diantaranya adalah sebagai berikut :

10

Pekarangan adalah merupakan isitilah untuk semua seisi kapal yang ada misalnya alat tangkap dan perlengakapan lainnya yang ada di dalam kapal


(14)

• Jaring Gembung

Alat tangkap Jaring Gembung memiliki ukuran mata jaring sebesar 2 Inci dengan jumlah mata berkisar antara 1000 – 1200 mata (lubang jaring). Panjang bentangan jaring mencapai 45 meter dengan kedalaman 10 meter – 40 meter. Penebaran Jaring Gembung ini dilakukan pada wilayah perbatasan (Lin) di sekitaran pulau berhala dan biasanya nelayan akan membiarkan jering selama 3 jam di dalam laut. Teknik penebaran Jaring Gembung tersebut dilakukan dengan cara membentangkan jaring secara memanjang di perairan.

• Kapal Jaring Gembung

Ukuran kapal yang digunakan dengan panjang 20 meter, lebar 4 meter, tinggi 5 - 6 meter dihitung titik terendah kapal sampai titik tertingginya dengan mutan mencapai 2 - 3 ton. Mesin yang digunakan untuk kapal yang menggunakan Jaring Gembung tersebut biasanya mengacu pada merek mesin yang dipakai, diantaranya Syanghai, Donghai, Sjuju, dengan tenaga yang dihitung berdasarkan jumlah piston yaitu 2, 3, 4 dan 8 piston (semua kapal).

Ada pun jenis ikan yang ditangkap oleh nelayan yang menggunakan alat tangkap Jaring Gembung yaitu Ikan Gembung, Ikan Tenggiri, Ikan Parang– parang, Ikan Selar, Ikan Hiu (berukuran kecil), IkanTongkol, Ikan Selar Tumong dan Ikan Tamban


(15)

Foto 1 :Bentuk kapal yang menggunakan jaring gembung sedang tidak beroprasi

• Pukat teri

Pukat Teri yang digunakan oleh nelayan di Desa Bogak memiliki ukuran kedalaman mencapai 270 meter atau 180 depak (cara ukur nelayan dengan membentangkan tangan seukuran orang dewasa), panjang bentangan 270 meter, ukuran lubang jaring yang digunakan 1 mm, kepala paku 5 inci, kepala paku 1,5 inci. Cara penggunakan Pukat Teri ini adalah dengan cara dibentangkan dengan membentuk satu lingkaran penuh. Kemudian, jarring ditarik pada satu sisi untuk memperkecil ukuran lingkaran yang bertujuan untuk menangkap ikan yang ada di dalam jaring tersebut. Wilayah tangkap biasanya di sekitaran Pulau Pandan, Pulau Salanama, dan Pulau Berhala dengan jarak tempuh sekitar 3 jam (dalam satuan hitungan nelayan di Desa Bogak)


(16)

• Kapal Pukat Teri

Kapal yang digunakan oleh nelayan yang menggunakan alat tangkap Pukat Teri memiliki 2 jenis yang dibedakan berdasarkan ukuran. Kapal yang pertama memiliki ukuran panjang 30 meter, memiliki lebar 6 meter, dan tinggi mencapai 8 meter, dimana total muatan kapal ini bisa mencapai 30 ton ikan dalam sekali angkut. Kapal yang kedua ukurannya lebih kecil yakni panjangnya sama 30 meter, lebar 6 meter, namun tingginya hanya 6 meter, dan hanya mampu memuat ikan maksimal 15 ton.

• Kotak Fiber

Kotak Fiber adalah merupakan wadah untuk menyimpan hasil tangkapan sementara sebelum sampai di tempat transaksi penjualan hasil tangkapan. Dengan muatan setiap wadahnya bisa diisi dengan berat 10 Kg per satu fiber.

• Pecahan Es Balok

Pecahan es balok ini digunakan untuk mengdinginkan ikan di dalam wadah(fiber) yang bertujuan untuk memperlambat pembusukan ikan dan tetap menyegerkan kondisi tangkapan.

• Penerangan

Alat penerangan ini tidak hanya digunakan untuk penerang saja namun juga digunakan sebagai alat pemancing ikan yang membuat ikan tertarik untuk kepermukaan laut, sehingga ikan akan mudah masuk kedalam jaring


(17)

Ada pun jenis ikan yang biasanya didapat oleh para nelayan yang menggunakan Pukat Teri di Desa Bogak diantaranya adalah Ikan Gembung, Ikan Tenggiri, Ikan Parang–Parang, Ikan Selar, Ikan Hiu (berukuran kecil), Ikan Tongkol, Ikan Selar Tumong, Ikan Tamban, Teri Kacang, Ikan Teri Bepot (ukuranya sedikit lebih kecil dari teri kacang), Udang Kecepi/Terasi dan Ikan Teri Nasi.

3.3.1 Tahapan Persiapan Nelayan Modern untuk Melaut

Sebelum nelayan modern melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut Nelayan Modern memiliki tahapan yang akan dilakukan.

Adapun beberapa hal yang harus dilakukan sebelum melakukan penangkapan ikan yang dijelaskan oleh Bapak Khidir yaitu:

• Membersihkan kapal meliputi bagian dalam kapal yang sebelumnya sudah digunakan untuk tempat menampung hasil tangkapan

• Memeriksa keadaan kapal dan mesin

• Memeriksa keadaan alat tangkap hingga dapat dipastikan keadaannya telah benar-benar siap untuk dipakai melaut.

• Persiapan lain yang dilakukan adalah mengisi bahan bakar, mempersiapkan pecahan es balok yang digunakan untuk mendinginkan hasil tangkapan

• Serta mempersiapkan bahan makanan selama melaut. Adapun perlengkapan lain yang dibawa seperti tenda, alat penerang, fiber, derigen, ember, pisau, periuk, dan lain-lain.


(18)

Sama seperti halnya Nelayan Tradisional yang memalukan tahapan persiapan sebelum melakukan penangkapan. Hal ini bertujuan untuk menambah efektifitas dalam kegiatan melaut seperti mempersiapkan pecahan es balok yang akan digunakan. Hal ini dilakukan ketika ikan tertangkap maka es-es tersbut tinggal disatukan saja dengan ikan dalam wadah fiber yang ada.

3.3.2 Permodalan Nelayan Modern

Pada Nelayan Modern permodalan sangat berbeda sekali dibandingkan dengan Nelayan Tradisional. Hal ini dikarenakan semua modal yang ada tergantung kepada Toke atau pemilik kapal, sebab semua Nelayan Modern di Desa Bogak merupakan anak buah kapal (ABK) yang artinya nelayan yang tidak memiliki kapal. Mereka hanya memliki peran sebegai pekerja yang melaut dengan menggunakan kapal yang tentu saja bukan milik mereka sendiri. Alat tangkap yang digunakan juga merupakan milik Toke, dan tidak hanya alat tangkap saja, tetapi kebutuhan pangan selama melaut anak buah kapal juga ditanggung oleh Toke.

Ada juga beberapa Toke yang melakukan hubungan transaksi dengan Pemilik modal untuk membeli pesanan berapa banyak ikan yang akan di beli. Ada pun sistem pembagian hasil yang dilakukan antara Toke dengan Anak Buah Kapal seperti ini dari segi waktu melaut dan modal akan ditentukan Toke. Jumlah anak buah kapal dalam satu kapal biasanya terdapat lima sampai sepuluh orang anak buah kapal. Dalam pembagian keuntungan hasil melaut antara Toke dengan anak buah kapal tersebut menerapkan sistem bagi hasil.


(19)

Contohnya, Ketika ikan tangkapan berjumlah 200 Kg sampai ke pelabuhan, maka toke akan menjual ikan kepada orang yang mau membeli ikan (pemilik modal) dengan harga Rp. 20.000/Kg, dengan komposisi jika dijual 200 Kg dengan anak buah kapal sebanyak 10 orang. Dengan ketentuan pembagian untuk anak buah kapal dihargai dengan Rp. 15.000/Kg

200 Kg x Rp. 20.000 = 4.000.000

Toke menentukan harga untuk anak buah kapal dengan 15.000/Kg. Hasil dari penjumlaan Rp. 15.000/Kg x 200 Kg = Rp. 3.000.000, dimana total tersebut adalah jumlah uang untuk nantinya akan dipotong dengan biaya keperluan selama melaut, dan sisanya baru dibagikan kepada anak buah kapal sebagai gaji mereka.

Dari total hasil Rp. 3.000.000 tersebut maka toke akan menguranginya lagi untuk membayar keperluan selama melaut sebesar Rp. 800.000. sehingga sisa dari keuntungan yang akan dibagikan kepada anak buah kapal adalah Rp. 2.200.000 dan dibagikan kepada 10 orang anak buah kapal, maka satu orang anak buah kapal mendapatkan upah sebanyak Rp. 220.000/orang. Sementara itu Toke sebagai pemilik kapal mengantongi keuntungan Rp. 1000.000.

3.3.2.1. Anak Buah Kapal (ABK) dan Toke

Anak buah kapal (ABK) sebagai orang yang hanya mempunyai sumber daya tenaga kerja harus bekerja pada Toke (pemilik kapal dan peralatan tangkap) yang terkadang juga berperan sebagai Tekong (nahkoda kapal) dengan pendapatan yang diperoleh dengan sistem bagi hasil dari seluruh hasil tangkapan setelah dikurangi biaya-biaya operasional. Nelayan di daerah Desa Bogak ini umumnya menggunakan Pukat Teri dan Jaring Udang untuk menangkap ikan dan udang.


(20)

Nelayan biasanya berangkat melaut dari pukul 3 pagi sampai pukul 5 sore biasanya sekali melaut nelayan dapat memperoleh 5 - 20 Kg Udang/Kepiting yang dijual dalam keadaan segar kepada pengepul. Tangkapan Udang Kelong dan Swallow rata-rata diperoleh sekali melaut Rp. 200.000 – Rp. 800.000. Setelah dikurangi biaya-biaya, penjualan hasil tangkapan langsung dibagi (biasanya dibagi 7) dan toke mendapat 2-3 bagian dan setiap nelayan buruh mendapat 1 bagian.

3.3.2.2. Ketergantungan Anak Buah Kapal (ABK) Terhadap Toke

Ketergantungan anak buah kapal terhadap Toke sebenarnya diakibatkan berbagai hal yang saling berhubungan, seperti mata rantai pancing yang mereka pakai di laut. Rendahnya pendapatan mengakibatkan hasil yang diperoleh oleh anak buah kapal sekali melaut hanya dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari yang kadang-kadang juga tidak dapat memenuhi. Hal ini membuat anak buah kapal harus berhutang. Di sisi lain ketergantungan anak buah kapal yang sangat tinggi terhadap Tekong, juga disebabkan kondisi alam pesisir yang sulit untuk mengembangkan usaha di sektor lainnya. Secara terpaksa para anak buah kapal menjadi satu-satunya pekerjaan yang bisa digeluti, dan akhirnya ketergantungan terhadap Toke pun tidak dapat dihindari.

Sementara itu beberapa hambatan yang dialami oleh para nelayan diantaranya adalah :

1. Tantangan Alam

Tantangan alam yang dihadapi nelayan antara lain pasang, angin dan gelombang laut. Ketiga kondisi ini mengakibatkan nelayan tidak dapat melaut.


(21)

Jika terjadi demikian, dalam satu hari itu sama sekali anak buah kapal tidak memperoleh apa-apa. Terpaksa jalan satu-satunya adalah kembali berhutang, baik pada Toke maupun kepada pemilik warung yang menjual kebutuhan.

2. Toke Sering Tidak Melaut

Toke sering tidak melaut disebabkan antara lain karena mesin kapal rusak, kapal bocor, jaring rusak/dicuri orang. Masalah ini adalah masalah yang paling sering dihadapi oleh Toke dan secara langsung juga pasti berimbas kepada anak buah kapalnya. Hal ini sering terjadi, bahkan ketika sudah berada di tengah laut, mengakibatkan mereka harus kembali ke darat tanpa memperoleh hasil sedikitpun. Hal yang lebih parahnya lagi adalah seringnya Toke malas untuk melaut karena ketika mempertimbangkan kondisi cuaca nantinya hasil tangkapan juga akan sedikit, padahal biaya operasional yang harus dikeluarkan sangat besar terutama untuk bahan bakar yang digunakan pada mesin kapal.

3.3.2.3. Upaya Mengatasi Masalah Yang Dihadapi Anak Buah Kapal (ABK)

Upaya-upaya yang dilakukan nelayan buruh untuk mengatasi masalah- masalah yang dihadapinya :

1. Memutus Ketergantungan Terhadap Toke

Ketergantungan anak buah kapal terhadap Toke sebenarnya karena tidak ada pilihan lain sebagai mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini merupakan akibat dari rendahnya pendidikan, dan kondisi alam yang tidak memungkinkan untuk mengembangkan usaha lain. Upaya yang harus dilakukan


(22)

oleh para anak buah kapal untuk mengatasi masalah ketergantungan terhadap Toke ini adalah dengan cara menghemat uang yang ada, dan sangat ditekankan agar anak buah kapal untuk mencari penghasilan tambahan seperti dengan menjadi tukang ojek (angkutan sepeda motor yang hasilnya juga tidak terlalu banyak membantu akibat mahalnya harga bahan bakar minyak.

2. Melakukan Kegiatan Bermanfaat Ketika Tidak Melaut

Tantangan-tantangan alam yang dihadapi nelayan ini sebenarnya tidak dapat dikendalikan. Jika terjadi pasang laut, gelombang besar dan angin laut yang keras para nelayan tidak akan melaut karena akan sangat membahayakan keselamatan. Waktu-waktu tidak kelaut seperti ini, diisi oleh anak buah kapal dengan bekerja untuk memperbaiki jaring /pukat yang koyak, memperbaiki mesin dan kapal yang rusak.

3. Mengatasi Toke Yang Sering Tidak Melaut

Masalah ini sebenarnya adalah masalah yang paling sering terjadi, apalagi sejak naiknya harga bahan bakar minyak sebagai salah satu perlengkapan yang harus ada untuk melaut. Karena untuk sekali melaut akan menghabiskan kira-kira 80 liter minyak tanah. Minyak tanah ini juga adalah sebagai pengganti solar yang harganya lebih tinggi lagi dari minyak tanah. Toke terpaksa harus menanggung resiko mesin mudah rusak dengan adanya penggantian bahan bakar ini.

Disamping bahan bakar minyak, Toke juga harus menyediakan perlengkapan lain seperti jaring/pukat yang siap pakai, mesin dengan kondisi baik yang juga akan menghabiskan banyak biaya. Sementara itu hasil yang akan diperoleh juga tidak pasti dan tidak sebanding dengan biaya operasional. Anak


(23)

buah kapal harus mensiasati hal tersebut dengan mencari juragan lain yang akan berangkat melaut apabila Toke yang biasa mereka tumpangi tidak berangkat. Anak buah kapal yang menumpang seperti ini biasanya akan diikutkan juga dalam pembagian hasil tangkapan.

3.4. Pengetahuan Mengenai Waktu Melaut

Nelayan di Desa Bogak baik tradisional maupun modern bergantung pada keadaan angin dan cuaca. Walaupun kapal tangkap yang dipakai menggunakan mesin besar, tetapi nelayan tersebut juga harus menyesuaikan dengan keadaan angin atau cuaca. Waktu untuk melaut pada masyarakat nelayan modern dan tradisional di Desa Bogak dimulai pada pagi sekitar pukul 05.00 WIB, dan kembali pada siang hari sekitar pukul 12.30 WIB, dan terkadang juga pada sore hari sekitar pukul 16.00 WIB. Waktu kembali ke darat ini tergantung pada jumlah hasil tangkapan yang didapat.

Bapak Yusuf yang merupakan salah satu nelayan yang masih beroperasi di laut Desa Bogak. Beliau menuturkan salah satu hal yang menjadi kendala terbesar baik bagi Nelayan Tradisional maupun Nelayan Modern dalam kegiatan melaut adalah cuaca yang saat ini tidak menentu. Beliau menjelaskan bahwa faktor angin dan cuaca mempengaruhi kegiatan melautnya sebanyak 80% sementara 30% lebih ke faktor non teknis seperti ketersediaan bahan bakar.

“. . . Kalau saya sebagai nelayan itu enggak tentu melautnya, nelayan tradisional yang pakai mesin atau tidak sama saja, hanya jarak melaut saja yang membuat beda. Kalau kita sembarangan melaut tanpa memperhatikan keadaan cuaca, bisa-bisa nelayan


(24)

terseret arus dan dibawa sampai ke tengah laut sana. Jadi kalau ditotal itu hampi 80% lah angin itu berpengaruh untuk kegiatan melaut baik bagi Nelayan Modern dan Nelayan Tradisional seperti saya . . .”

Pengetahuan tentang membaca angin dan juga cuaca merupakan pengetahuan yang dimiliki oleh bapak Yusuf sejak turun-temurun. Bapak Yusuf menuturkan bahwa pengetahuan membaca angin dan cuaca didapatnya dari ayahnya yang juga dulu merupakan seorang nelayan.

Bapak Sulaiman yang juga merupakan nelayan di Desa Bogak sudah sejak umur 8 tahun ikut memancing di laut bersama ayahnya, sehingga dalam kegiatan menangkap ikan tersebut terkadang ayahnya mengajarkannya bagaimana membaca arah angina, dan juga melihat cuaca mana yang paling bagus untuk berangkat melaut.

“... Kalau kemampuan membaca angin dan juga cuaca itu mungkin hampir sama ya dengan nelayan lainnya, dalam arti kata diturunkan dari bapak-bapak kami dulu. Karena seperti saya ini kan pergi melaut itu udah sejak saya masih kecil, itu sekitar umur 8 tahun. Di kapal itu lah orangtua kami sering mengajarkan kami bagaimana teknik memancing yang baik dan juga mengajarkan kapan waktu pulang, cuacanya yang seperti apa yang paling bagus untuk melaut, semuanya diajarkan turun-temurun ....”

Beberapa pengetahuan lainnya yang dimiliki oleh para nelayan di Desa Bogak dalam menentukan kapan waktunya untuk pergi melaut adalah sebagai berikut :

• Menentukan cuaca dengan cara melihat keadaan bulan pada malam hari. Jika keadaan bulan terlihat separuh dan diikuti dengan adanya


(25)

awan atau kabut di sekitar bulan, maka cuaca esok hari tidak akan bagus untuk para nelayan pergi melaut.

• Namun, jika pada saat malam hari bentuk bulan terlihat separuh dan tidak memiliki awan dank abut di sekitarnya, maka cuaca pada esok hari bagus untuk para nelayan pergi melaut

• Ketika ada yang melihat Alip (kilatan petir) pada saat sore hari menjelang malam, di sekitaran pesisir sebelah barat daya mengarah ke utara makan cuaca pada esok hari tidak bagus untuk melaut.

• Bila terdengar suara burung camar yang saling bersautan di sekitaran pesisir/pantai pada malam hari maka keadaan esok hari akan ada angin kencang, dan sangat bahaya bagi para nelayan pergi melaut.

Nelayan Modern di Desa Bogak juga memiliki pengetahuan yang sama dengan Nelayan Tradisional dalam membaca waktu untuk melaut. Kendala yang dialami oleh Nelayan Modern juga sama dengan Nelayan Tradisional yaitu keadaan angin atau cuaca. Namun, dengan keadaan tertentu pada saat cuara kurang bagus, Nelayan Modern masih dapat beroperasi karena kapal mereka yang relaitif besar dan memiliki mesin yang kuat dibanding kapal milik Nelayan Tradisional. Waktu keberangkatan melaut Nelayan Modern juga ditentukan dengan pasang surut air laut, lama waktu melaut yang dilakukan Nelayan Modern berlangsung satu sampai tiga hari dan ada juga beberapa Nelayan Modern sampai seminggu atau tujuh hari.

Bapak JM menuturkan lamanya melaut pada Nelayan Modern tergantung pengoperasian alat yang digunakan karena penggunakan pukat teri memiliki


(26)

tingkat produksi yang lebih tinggi dalam sekali pengoprasian bisa memakan waktu dua jam lebih.

“ . . . ya ada yang bisa satu malam bahkan sampe seminggu yang sampe seminggu itu karena mereka menggunakan alat tangkap pukat teri sama jaring gembung pengoprasiannya pun dalam penggunaannya bisa memakan waktu 2 jam . . . ”

Di sisi lain juga Nelayan Modern dengan jangka waktu yang lama saat melaut tentu saja untuk mencari keuntungan yang banyak dengan memaksimalkan muatan kapal yang mereka gunakan cukup besar. Bapak JM juga menjelaskan kepada peneliti tanda-tanda seperti apa saja yang terjadi di laut ketika ikan sedang ada mauapun ikan sedang tidak ada.

Adapun tanda-tanda tersebut adalah sebagai berikut :

• Ketika air laut berwarna normal (biru laut) maka di daerah tangkapan tersebut jumlah ikan masih sedikit.

• Kertika air laut berwarna keruh maka fenomena tersebut menandakan bahwa di daerah tersebut tidak terdapat ikan

• Ketika air laut berwarna seperti hijau daun padi muda) maka di wilayah tersebut banyak terdapat ikan.

• Apabila terdapat buih-buih (seperti buih sabun) pada air laut ketika terjadi air pasang di sekitaran pantai, maka fenomena tersebut menggambarkan bahwa ikan di laut sedang melimpah jumlahnya. • Apabila curah hujan cukup baik pada siang maupun malam hari, hal itu


(27)

Pengetahuan tersebut sudah ada sejak lama pada nelayan di Desa Bogak dan di terapkan sampai sekarang. Karena nelayan di Desa Bogak merasa lebih mudah untuk mencari ikan dengan menerapkan pengetahuan-pengetahuan tersebut dan mudah untuk dipelajari oleh para nelayan yang ada. Seperti yang di ungkapkan oleh seorang nelayan yang bernama bapak Sarbini yang merupakan salah seorang nelayan di Desa Bogak

“...kalau saya si lebih enak ya apa ya bilangnya? Ya lebih bagus la kalau nerapkan itu tentu la ya kita sambil nunggu-ngunggu ada tanda itu kan ngasi renggang waktu untuk ikan berkembang biak kan gitu. Jadi pengetahuan kayak gitu ya harus di pertahankan. Terlebih lagi gampang untuk belajarnya langsung aja ikut kelaut...”

Dengan adanya pengetahuan tersebut maka pelestarian ikan dilaut akan berjalan secara tidak langsung dengan dilakukannya pengetahuan tersebut yang di sebabkan nelayan memberikan jarak waktu menangkap ikan dengan menunggu tanda-tanda yang ada tersebut. dalam hal lain lagi pengetahuan yang melihat keberadaan ikan sudah banyak atau belum berkaitan langsung dengan kegiatan Ritual Jamu Laut. Jika mereka para nelayan sering melakukan pengankapan ikan sebelum tanda-tanda tersebut terlihat maka mereka akan dianggap seraka terhadap alam. Sanksi bagi nelayan yang sering melakukan hal tersebut berupa pembayaran kutipan uang untuk pelaksanaan ritual tersebut berbeda jumlahnya dari nelayan-nelayan lainnya.


(28)

3.5. Wilayah Tangkapan Ikan

Daerah operasi dan jumlah trip daerah operasi penangkapan (fishing ground) di laut berkembang dari perairan dekat pantai hingga laut lepas. Terdapat zona penangkapan sesuai dengan kondisi armada penangkapan menurut Surat Keputusan Menteri Pertanian tahun 1999, yakni jalur I hingga jalur III (Effendi dan Oktariza, 2006).

Tabel 11. Daerah Operasi Penangkapan Ikan di Indonesia Yang Dibedakan Berdasarkan Jarak Dari Pantai.

Jalur Penangkapan Jarak Dari Pantai Peruntukan

Jalur 1 0 – 3 mil

3 – 6 mil

Perahu nelayan tradisional dan perahu tanpa motor

Perahu motor <5 GT

Jalur 2 6 – 12 mil Perahu motor <60 GT Jalur 3 12 – 200 mil Perahu motor <200 GT

Sumber : SK Menteri Pertanian No. 192 Tahun 1999

Berdasarkan data di lapangan, penerapan peraturan tersebut tidak lah terealisasi ke level nelayan. Hal ini terjadi karena para nelayan memiliki aturannya sendiri dalam menentukan zona tangkapan, yaitu bukan berdasarkan jenis perahu, melainkan berdasarkan jenis alat tangkap. Pembagian lokasi penangkapan ikan yang berdasarkan alat tangkap adalah sebagai berikut :


(29)

Tabel 12: Pembagian Lokasi Penangkapan Ikan Menurut Alat Tangkap Tradsisional di Desa Bogak

NO Jenis Alat Tangkap Jarak Wilayah Tangkapan

1 Sondong 200 m – 500 m

dari bibir pantai

Wilayah Pinggiran pantai

2 Tombak 500 m – 1 km Wilayah Pinggiran

pantai

3. Jaring Udang 2 Km – 5 Km Wilayah lepas pantai

Sumber : Hasil Pengolahan Data Lapangan. Tahun 2016

Berdasarkan tabel diatas terlihat nelayan yang menggunakan alat-alat Sondong, Tombak dan Jaring Udang memiliki jarak tempuh lokasi wilayah penangkapan tidak terlalu jauh. Jika dilihat pada jarak terjauh alat yang digunakan oleh Nelayan Tradisional adalah Jaring Udang dan yang terdekat adalah Tombak

Tabel 13: Pembagian Lokasi Penangkapan Ikan Menurut Alat Tangkap Modern di Desa Bogak

NO Jenis Alat Tangkap Jarak Wilayah Tangkapan 1. Pukat Teri 40 Km – 70 Km Wilayah sekitar pulau

Berhala

2. Jaring gembung 15 Km – 40 Km Wilayah sekitar pulau salanama dan pulau pandan

Sumber : Hasil Pengolahan Data Lapangan. Tahun 2016

Berdasarkan tabel diatas terlihat nelayan yang menggunakan alat-alat Pukat Teri dan Jaring Gembung memiliki jarak tempuh lokasi wilayah penangkapan jauh. Jika dilihat pada jarak terjauh alat yang digunakan oleh Nelayan Modern adalah Pukat Teri dan yang terdekat adalah Jaring Gembung.


(30)

Jika dilihat pada keseluruhan tabel diatas menjelaskan bahwa nelayan di Desa Bogak dalam menentukan wilayah tangkapan ikan berdasarkan jenis alat tangkap yang digunakan. Sondong dalam tabel tersebut merupakan alat yang memiliki jarak terdekat pada wilayah tangkap dari garis pantai yaitu sekitar 200 m sampai 500 m karena alat tangkap tersebut digunakan pada air yang dangkal. Pukat teri dalam tabel tersebut menunjukan jarak wilayah tangkap dari garis pantai yang paling jauh dari kesemua alat yang ada, yaitu sekitar 40 Km sampai 70 Km dengan wilayah tangkap disekitar Pulau Berhala.

Peraturan yang dibuat oleh nelayan di desa bogak itu merupakan kesepakatan bersama dalam menentukan wilaya tangkap ikan. Jika ada nelayan yang melanggar peraturan yang ada maka nelayan akan mendapatkan sangsi, yaitu menghentikan kegiatan penangkapan ikan selama seminggu terhadap nelayan yang melanggal. Peraturan ini tentu saja sangat menguntungkan bagi para nelayan terutama nelayan tradisional karena terkadang nelayan-nelayan yang berkapasitas besar atau modern menurunkan alat tangkapannya dibawah minimal jarak wilayah tangkapan. Hal ini tentu saja akan mengurangi hasil tangkapan bagi nelayan tradisional yang jarak wilayah tangkapnya tidak begitu jauh.

3.6. Pengolahan Hasil Tangkapan

3.6.1. Proses Penyortiran Ikan

Proses penyortiran hasil tangkapan memiliki tujuan untuk memisahakan menurut jenis dan kualitas tangkapan yang didapat dengan penyortiran tersebut maka dengan cara tersebut nelayan akan dapat menentukan mana yang akan


(31)

dijual, diolah dan konsumsi sendiri. Penyortiran yang dilakukan oleh Nelayan Tradisional dan Nelayan Tradisional yaitu memisahakan ikan – ikan yang akan dijual langsung, diolah terlebih dahulu yaitu pengasinan dan dikonsumsi sendiri(Nelayan Tradisional) dan juga memisahakan ikan yang rusak akibat saat melakukan penairkan alat tangkap ikan, namun hal seperti itu jarang terjadi. Kemudian ikan–ikan yang sudah dilakukan penyortiran yang sudah dikemas dalam fiber (wadah ikan) ini dilakukan pada saat dikapan dan masih dalam perjalanan, selanjutnya nelayan akan menjual sebagian hasil tangkapnya di TPI (Tempat Pelelangan Ikan) yang ada di Pelabuhan Tanjung Tiram atau biasa masyarakatnya menyebut dengan nama Pelabuhan Bom

Dalam kegiatan jual beli, banyak sekali para nelayan yang menjual hasil tangkapannya langsung ke TPI (Tempat Pelelangan Ikan). Kebanyakan para nelayan dengan kapal berukuran besar akan menjual langsung hasil tangkapannya ke TPI agar langsung mendapatkan hasilnya secara cepat. Sebagian besar masyarakat sekitar ikut membeli di tempat pelelangan ikan tersebut dengan tujuan memperoleh ikan yang benar–benar masih segar.

Dalam kegiatan jual beli di TPI ini juga melibatkan para toke-toke kapal dan juga para pengepul ikan. Biasanya para pengepul ini akan melakukan kegiatan transaksi jual beli di TPI. Prosesnya dimulai dari bersandarnya kapal melakukan penyortiran ikan, memasukan ikan ke dalam fiber, kemudian mengeluarkan ikan dari dalam kapal, dibawa ke TPI sesuai dengan jenis ikan dan ukurannya. Para pengepul biasanya membeli ikan-ikan tersebut untuk dijualkan kembali ke daerah-daerah di sekitar Kabupaten Batu Bara dan ada juga yang mebawanya keluar dari daerah sekitar bahkan keluar dari daerah Kabupaten Batu Bara.


(32)

3.6.2. Pembuatan Ikan Asin

Kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh ikan telah dirasakan sangat menghambat usaha pemasaran hasil perikanan. Bahkan tidak jarang menimbulkan kerugian besar, terutama pada saat produksi ikan melimpah. Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan daya simpan, dan daya awet produk perikanan pada pascapanen melalui proses pengolahan maupun pengawetan. Proses pengolahan dan pengawetan ikan merupakan salah satu bagian penting dari mata rantai industri perikanan (Afrianto, 1989).

Industri kecil hasil laut mempunyai peran yang sangat penting karena memberi nilai tambah melalui proses penanganan dan pengolahan, peningkatan pendapatan masyarakat, penyerapan tenaga kerja serta peningkatan pendapatan daerah itu sendiri. Disamping itu industri kecil hasil laut yang merupakan kegiatan yang memanfaatkan bahan baku dari sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources) sehingga merangsang usaha nelayan, tidak menggunakan bahan baku impor dan memiliki peluang pasar domestik maupun ekspor.

Industri kecil diharapkan akan membuka lapangan kerja sehingga dapat mengatasi masalah pengangguran. Dengan berkembangnya industri kecil diharapkan serapan tenaga kerja semakin meningkat diikuti dengan meningkatnya pendapatan keluarga. Akan tetapi industri kecil masih tetap memiliki masalah yang berkaitan dalam perkembangannya, misalnya modal, bahan baku, tenaga kerja, pengangkutan (transportasi) dan pemasaran (Sumaatmadja, 1998).

Pengolahan industri kecil yang cukup besar dan melibatkan masyarakat desa pantai di wilayah pesisir diharapkan peranannya dalam pengembangan


(33)

wilayah. Pengembangan tersebut akan tercermin dari peningkatan pendapatan masyarakat desa pantai serta mendorong penyerapan tenaga kerja dan kesempatan berusaha. Kebijakan umum pembangunan kelautan dan perikanan adalah diantaranya mengembangkan dan memperkokoh usaha penanganan dan pengelola serta pemasaran hasil perikanan.

Kebijakan itu diambil dalam rangka mencapai tujuan pembangunan kelautan dan perikanan sesuai UU Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan Pasal 3 yang bertujuan untuk:

i. Meningkatkan taraf hidup nelayan dan pembudidaya ikan kecil, ii. Meningkatkan penerimaan devisa negara,

iii. Mendorong perluasan dan kesempatan kerja,

iv. Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan, v. Mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan,

vi. Meningkatkan prduktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing, vii. Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan

ikan,

viii. Mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan lingkungan sumberdaya ikan secara optimal, serta

ix. Menjamin kelestarian sumberdaya ikan dan lahan pemudidayaan ikan dan tataruang.

Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah dalam peningkatan produksi serta pembenahan dalam ketersediaan bahan baku, pelatihan pelaku usaha kerja, penyediaan modal kerja dalam berbagai bentuk skim kredit, kebijakan pendampingan, dan usaha perlindungan. Begitu juga dengan Kabupaten Batubara yang memiliki jumlah perusahaan industri besar, sedang, dan kecil berjumlah 31 perusahaan (BPS, 2012).


(34)

Industri di Kabupaten Batubara saat ini berkembang dengan sangat pesat, hal ini dapat terlihat dari banyaknya variasi industri yang ada di Kabupaten Batubara di antaranya yaitu industri belacan, industri anyaman bambu, industri tahu, industri ikan asin dan sebagainya. Dalam industri pengolahan ikan asin sangatlah mendukung dalam proses berkembangnya perindustrian Kabupaten Batubara tertama di Desa Bogak. Untuk menjaga suatu produk yang dihasilkan oleh suatu industri agar tetap disukai oleh pelanggan, maka produk yang dihasilkan harus selalu dijaga kualitasnya. Salah satu teknik dalam menjaga kualitas suatu produk ikan asin adalah dengan melalui proses penggaraman dan pengeringan ikan.

Desa Bogak merupakan salah satu daerah yang memiliki industri ikan asin yang di lakukan oleh beberapa pengusaha pengasinan ikan. Industri kecil di desa ini memberikan andil besar dalam menciptakan lapangan pekerjaan dan peningkatan pendapatan keluaraga namun masih mengalami kurangnya pembinaan, dan masih kurangnya modal karena akses terhadap sumber–sumber keuangan sangat terbatas. Untuk itu digunakan faktor–faktor produksi belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu perlu dikaji keadaan faktor–faktor industri dan karakteristik tenaga kerja industri ikan asin di Desa Bogak.

A. Peralatan Usaha Pengolahan Ikan Asin

Peralatan yang digunakan dalam proses produksi ikan asin secara umum adalah peralatan yang sederhana dan merupakan milik pribadi sehingga produsen


(35)

ikan asin tidak perlu menyewa peralatan. Peralatan yang digunakan antara lain sebagai berikut :

1. Pisau Alat ini digunakan untuk membelah ikan yang akan diasinkan.

2. Ember ikan, Alat ini digunakan pada saat pencucian. Ikan yang telah dibelah/digarami kemudian dicuci dengan menggunakan ember yang telah diisi air.

3. Keranjang ikan, alat ini digunakan untuk menampung ikan yang telah dicuci bersih.

4. Bak rendam, alat ini digunakan untuk merendam ikan yang digarami. Alat ini merupakan wadah yang terbuat dari kayu.

5. Blong/drum plastic, alat ini digunakan untuk mengangkut ikan segar dari TPI atau dapat juga digunakan untuk merendam ikan yang digarami.

6. Widig, alat ini terbuat dari anyaman bambu yang digunakan untuk menjemur ikan yang telah digarami. Alat ini berukuran sekitar 150 cm x 70 cm.

B. Proses Produksi Ikan Asin

Kegiatan produksi usaha pengolahan ikan asin di Kabupaten Batubara merupakan kegiatan usaha yang dilakukan setiap hari. Bahan baku utama dalam usaha pengolahan ikan asin adalah ikan segar yang diperoleh dengan cara membeli di TPI (Tempat Pelelangan Ikan) dan langsung diperoleh dari Nelayan


(36)

yang habis melaut. Jenis ikan yang banyak diasinkan di Desa Bogak ini adalah Ikan Gembung, Ikan pari dan Ikan Pertakus.

Bahan baku yang digunakan harus berupa ikan segar karena hal ini akan mempengaruhi kualitas produksi ikan asin. Dalam proses kegiatan produksi ikan asin ini juga di pengaruhi dengan hasil tangkapan nelayan. Jika hal ini terjadi kegiatan produksi ikan asin akan dikurangi sambil menunggu hasil tangkapan nelayan kembali normal. Usaha pengolahan ikan asin di Kabupaten Batu Bara khususnya di desa Bogak dilakukan secara alami yaitu menggunakan sinar matahari dalam proses pengeringan.

Langkah-langkah dalam proses produksi ikan asin dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Ikan segar yang telah dibeli kemudian dibelah, dibersihkan isi perutnya dan dibuang kepalanya. Akan tetapi, ada juga jenis ikan yang tidak perlu dibelah seperti Gembung yang berukuran kecil. Proses pembelahan ikan sangat memerlukan keterampilan agar diperoleh bentuk ikan asin yang baik dan menarik secara penampakan visual, yaitu yang menghasilkan hasil belahan ikan yang rapi dan contohnya seperti pada Ikan Pari, yang dapat dibentuk menyerupai bunga sehingga lebih menarik.

2. Ikan yang telah dibelah kemudian dicuci dengan air bersih untuk menghilangkan sisa-sisa isi perut atau kotoran yang lain.

3. Proses selanjutnya adalah penggaraman. Ikan digarami dan direndam dalam bak rendam selama kurang lebih tiga hari. Jumlah garam yang


(37)

digunakan adalah sepertiga dari berat ikan. Pada saat perendaman sebaiknya ikan ditata rapi agar ikan yang dibelah tidak kembali menutup.

4. Setelah kurang lebih 3 hari ikan direndam, ikan dicuci kembali dengan air bersih agar tidak ada sisa-sisa garam yang menempel pada ikan. Pencucian dilakukan dengan cara ikat disikat dan dibilas dengan air. Perlakuan ini dilakukan kurang lebih selama tiga kali berturut-turut karena diharapkan ikan benar-benar telah bersih.

5. Ikan yang telah bersih dicuci, kemudian ditata rapi di atas bilah, lalu dijemur selama 1-2 hari. Jika ikan asin telah kering, ikan asin dapat dikemas agar dapat langsung dijual.

3.6.3. Pengolahan Ikan Teri

Salah satu komoditi sumberdaya perikanan yang dikenal di Indonesia adalah ikan teri (Stolephorus sp.). Menurut Ningsih11

Usaha pengolahan ikan teri banyak dilakukan di Indonesia karena mempunyai prospek untuk dikembangkan yang didukung oleh masih tersedianya

, ikan teri adalah salah satu jenis ikan yang paling populer di kalangan penduduk Indonesia. Ikan teri adalah semua jenis ikan dari marga Stolephorus sp. dari anak suku Engraulinae. Terdapat beberapa jenis ikan teri, antara lain: ikan teri nasi, ikan teri kacang, dan ikan teri gepeng sebagai produk olahan ikan.

11

Melva Dumaria Sirait dan Agus Purwoko. Kajian resiko usaha pengolahan ikan teri di desa Pagurawan, kecamatan medang deras, kabubapaten Batu Bara, Provinsi Sumatera Utara. (Jurnal AGRISEP Vol. 11 No. 2, September 2012, Hal: 187– 196 | 187)


(38)

sumber daya ikan teri, tingginya tingkat permintaan, serta banyaknya industri rumah tangga pengolah ikan teri yang dilakukan oleh pengusaha yang memiliki para pekerja yang juga tinggal Desa Bogak, Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batu Bara, Provinsi Sumatera Utara. Di Desa Bogak juga merupakan salah satu daerah penghasil ikan olahan, termasuk ikan teri. Ikan teri tersebut merupakan spesies ikan yang selalu tertangkap hampir sepanjang tahun dengan rata-rata hasil produksi tangkapannya paling tinggi dibandingkan spesies lainnya.

Produk olahan ikan teri dari daerah ini cukup populer dan telah memasuki pasar berbagai daerah di Pulau Sumatera Utara. Kegiatan pengolahan ikan teri di Desa Bogak telah cukup lama dilakukan diiringi dengan pengolahan ikan asin. Para pengusaha ikan teri ini selalu berusaha agar usahanya dapat memberikan pendapatan (keuntungan) yang besar dan mempunyai tingkat resiko yang sekecil-kecilnya. Menurut Antoni dalam Karmini12

Maryam dan Suprapti

, resiko adalah peluang dimana hasil sesungguhnya bisa berbeda dengan hasil yang diharapkan.

13

12

Melva Dumaria Sirait dan Agus Purwoko. Kajian resiko usaha pengolahan ikan teri di desa Pagurawan, kecamatan medang deras, kabubapaten Batubara, provinsi sumatera utara. (Jurnal AGRISEP Vol. 11 No. 2, September 2012, Hal: 187– 196 | 187)

13

Melva Dumaria Sirait dan Agus Purwoko. Kajian resiko usaha pengolahan ikan teri di desa Pagurawan, kecamatan medang deras, kabubapaten Batubara, provinsi sumatera utara. (Jurnal AGRISEP Vol. 11 No. 2, September 2012, Hal: 187– 196 | 187)

menyatakan bahwa sumber resiko yang penting di sektor pertanian, termasuk perikanan laut, adalah fluktuasi hasil produksi dan harga. Istilah resiko banyak digunakan dalam konteks pengambilan keputusan, karena resiko diartikan sebagai peluang akan terjadinya suatu kejadian buruk akibat suatu tindakan. Makin tinggi tingkat ketidakpastian suatu kejadian, makin tinggi pula resiko yang disebabkan oleh pengambilan keputusan itu. Dengan


(39)

demikian, identifikasi sumber resiko sangat penting dalam proses pengambilan keputusan.

Masalah pengolahan dapat juga ditemukan pada usaha pengolahan ikan teri yang dilakukan di Desa Bogak. Berbagai masalah yang dialami pengolah ikan teri yaitu rentannya kerusakan (pembusukan) terhadap ikan teri yang baru ditangkap sebagai akibat pengaruh fisik, proses kimiawi dan mikrobiologi. Apabila ikan tidak segera dilakukan pengolahan maka dapat mengakibatkan kerugian terhadap usaha ini, maka nelayan berinisiatif melakukan tahap awal dalam pengolahan. Pengolahan yang dilakukan adalah ketika ikan teri telah ditangkap maka langsung dimasukan dalam perebusan yang ada pada kapal dan sesampainya di penampungan dilakukan pengeringan. Resiko lainnya adalah waktu penyimpanan ikan teri yang sudah kering. Ikan teri tidak boleh disimpan terlalu lama karena akan berpengaruh pada kualitasnya, yakni akan menguning apabila disimpan terlalu lama.

Lama penyimpanan maksimal ikan teri hanya sekitar satu bulan saja. Resiko usaha pengolahan ikan teri di Desa Bogak dalam penelitian ini berhubungan dengan pendapatan pengusaha ikan teri setiap minggunya, dimana data yang digunakan adalah data selama tiga minggu.

Usaha pengolahan ikan teri di Desa Bogak merupakan kondisi usaha pengolahan ikan teri secara menyeluruh yang dikaitkan dengan pemilihan dan pengadaan bahan baku beserta harganya, proses produksi, pengadaan modal dan biaya-biaya yang dikeluarkan, produksi ikan teri beserta harganya, dan wilayah pemasarannya. Bahan baku ikan teri diperoleh dari nelayan dan/atau pedagang


(40)

pengumpul ikan segar. Banyak sedikitnya bahan baku yang akan diolah bergantung pada musim.

Musim ikan teri terjadi pada musim kemarau, sedangkan jika musim penghujan ikan teri hasil tangkapan nelayan lebih sedikit jika dibandingkan musim kemarau. Apabila bahan baku banyak maka produksi ikan teri akan tinggi, sebaliknya apabila bahan baku susah diperoleh maka produksi ikan teri menjadi rendah. Dengan demikian, ketersediaan jumlah bahan baku mempengaruhi harganya. Harga bahan baku sangat stabil selama 3 minggu pengamatan, dimana selisih harga tertinggi dengan harga terendah sebesar Rp. 1.000,00/kg untuk setiap jenis bahan baku pengolahan ikan teri, seperti disajikan pada Tabel 13.

Tabel 14 : Harga dan Jenis Ikan Teri

No. Jenis Bahan Baku Harga Terendah Harga Tertinggi Perminggu

1 2 3 4

Ikan teri nasi Ikan teri gepeng Ikan teri kacang Terasi 30.000 24.000 12.000 8.000 31.000 25.000 13.000 9.000 30.500 24.500 12.500 8.500 Sumber: Data Lapangan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa para pengusaha ikan teri rata-rata memiliki modal sendiri dalam menjalankan usahanya. Modal yang dimiliki digunakan untuk pengadaan bahan baku dan biaya-biaya produksi yang harus dikeluarkan pengolah ikan teri. Pola biaya yang dikaji adalah biaya produksi yang terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel.

Hampir seluruh biaya yang dikeluarkan oleh pengusaha ikan teri merupakan biaya bahan baku. Biaya bahan baku merupakan biaya paling besar (82,17%) dari seluruh biaya yang harus dikeluarkan, kemudian disusul biaya


(41)

bahan baku yang rusak sebesar 7,31% dan biaya bahan penolong sebesar 5,94%. Biaya bahan penolong terdiri atas: garam, es batu, dan kantong plasik. Hal ini mengindikasikan bahwa usaha pengolahan ikan teri sangat bergantung pada ketersediaan bahan bakunya.

Hasil dari proses pengolahan ikan teri di daerah penelitian terdiri atas: ikan teri nasi (teri kasar, teri sedang, dan teri halus), ikan teri gepeng, ikan teri kasar, dan Terasi sebagai produk sampingan. Ikan teri nasi merupakan produk utama yakni 170,52 kg atau 44,4% dari total produk yang diolah setiap minggunya, sedangkan produk cumi kecil hanya 1,4% saja. Sama halnya dengan harga bahan baku, selama 3 minggu pengamatan harga produk olahan ikan teri sangat stabil, dimana selisih harga tertinggi dengan harga terendah sebesar Rp. 1.000,00/kg untuk setiap jenis jenis ikan teri dan cumi kecil sebagai produk sampingan. Hal ini memberikan indikasi bahwa resiko harga pada usaha pengolahan ikan teri di Pagurawan hampir tidak terjadi selama penelitian. Pola pemasaran pada usaha pengolahan ikan teri mencakup wilayah pemasaran dan harga. Harga terdiri dari harga beli bahan baku dan harga jual hasil produksi.

3.7. Pemasaran

Pemarasan hasil tangkapan tentu saja menjadi hal yang penting bagi para nelayan Tradisional dan Nelayan Modern Di daerah Desa Bogak terdapat sebuah tempat pelelangan ikan tepatnya di Pelabuhan Tanjung Tiram. Tempat pelelangan ini sangat membantu bagi nelayan yang ingin menjual ikannya masih segar–segar tentunya.


(42)

3.7.1. Nelayan Tradisional

Pemasaran Hasil tangkapan Nelayan Tradisional di Kabupaten Batu Bara dilakukan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Pembeli biasanya ada yang datang langsung ke Tempat Pelelangan Ikan, baik yang sudah berlangganan maupun yang belum berlangganan. Hal tersebut menguntungkan bagi para konsumen atau pembeli karena ikan yang di dapat masih keadaan segar dan tidak terlalu lama di dalam wadah es Selain itu. Ada pun wilayah pemasaran tangkapan yang di dapat oleh Nelayan Tradisional ini hanya sekitaran Desa Bogak saja. Seluruh konsumen membeli dengan datang langsung ke Tempat Pelelangan Ikan, dan penjual yang terkadang Nelayan Tradisional itu sendiri dan ada juga beberapa orang yang membeli ikan dari Nelayan Tradisional dan menjualnya kembali dengan harga sedikit lebih tinggi juga akan memenuhi lokasi di sekitaran Pelabuhan Tanjuang Tiram di Desa Bogak. Selain itu, Keuntungannya dengan berjualan di dekat pelabuhan adalah dengan terjaminnya kesegaran ikan karena hasil itangkapan ikan akan langsung dibongkar di Tempat Pelelangan Ikan. Hal ini juga di jelaskan oleh bapak Yusuf

“di sini orang kita nelayan yang tradisional kalau jual ikan itu gak la jauh-jauh daerah sini saja itu. Ya kadang yang jual ikan di dekat-dekat pelabuhan itu nelayan sendiri tapi jarang. Banyaknya ya orang memang jualan ikan la yang beli-beli dari nelayan tradisional...”


(43)

3.7.2. Nelayan Modern

Pemasaran hasil tangkapan Nelayan Modern yang di lakukan di Kabupaten Batu Bara dilakukan tentu jauh berbeda dengan pemasaran yang dilakukan oleh Nelayan Tradisional. Nelayan Modern melakukan pemasaran melalui pemilik modal. Bapak Khidir mengungkapkan pemasaran hasil tangkapan Nelayan Modern

“ kalau nelayan yang kapal besar ini Nelayan Modern la. Itu hasilnya yang nampung pemilik modal la maksudnya yang mau beli hasil tangkapan yang dan biasanya pun pemilik modal ini pesan sama toke kapal baru la orang itu melaut...”

Pemilik modal ini merupakan orang yang langsung berhubungan dengan Toke pemilik kapal dan pemilik modal yang membeli hasil tangkapan yang ada. Kemudian dari pemilik modal semua hasil tangkapan akan di pasarkan kembali keberbagai daerah Kecamatan Tanjung Tiram bahkan hingga keluar kabupaten Batubara dan wilayah–wilayah tersebut adalah Kisaran, Tebing Tinggi, Pemantang Siantar, Lubuk Pakam, Tanjung Merawa, Medan dan Pekan Baru.

3.8. Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Desa Bogak

Tempat Pelelangan Ikan di Desa Bogak dibentuk dan didirikan oleh pemerintah dan masyarakat Desa Bogak untuk menjual hasil tangkapan ikan. Keberadaan pelelangan ikan sangat dibutuhkan untuk dijadikan sebagai wadah transaksi jual beli secara terbuka bagi masyarakat walau keadaan Tempat Pelelangan Ikan sekarang kondisinya kurang terawat. Untuk menjalankan


(44)

tugasnya, maka pengelola dan masyarakat pengguna pelelangan membutuhkan adanya jaminan kelancaran dan ketertiban penyelenggaraan dalam proses transaksi yang dilakukan di pelelangan.

Menggali potensi daerah dilakukan secara benar-benar berdasarkan potensi yang dimiliki, tidak sekadar mengejar target semata dan hanya mengandalkan lompatan-lompatan secara kuantitatif semata Menggali potensi daerah merupakan suatu proses untuk menciptakan kemandirian daerah dan masyarakat. Sebagaimana ditegaskan Amiruddin (2013: 48) bahwa kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam kapasitasnya, diharapkan memiliki akses serta ikut menentukan arah dan tujuan masa depannya sendiri.

Salah satu pelayanan jasa penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi Kabupaten Batu Bara yang berada di pesisir Pantai Sumatera Utara, adalah Tempat Pelelangan Ikan yang telah lama menjadi sumber penghasilan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Sebagaimana Lijan (2008:5) mengatakan bahwa pelayanan publik diartikan pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.

Fungsi pokok Tempat Pelelangan Ikan secara spesifik adalah sebagai prasarana pendukung aktivitas nelayan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut, penanganan dan pengolahan hasil ikan tangkapan dan pemasaran bagi ikan hasil tangkapannya serta sebagai tempat untuk melakukan pengawasan kapal ikan. Berdasarkan fungsi itu, maka tujuan dan sasaran yang hendak dicapai oleh


(45)

Tempat Pelelangan Ikan ini adalah dengan pelayanan yang diberikan diharapkan produktivitas penjualan hasil tangkapan nelayan akan meningkat.

Tempat Pelelangan Ikan sebagai sarana satu kesatuan dari wilayah perairan, juga wilayah daratan dan sarana-sarana yang ada di basis penangkapan, baik alamiah maupun buatan. Selain itu, Tempat Pelelangan Ikan di Desa Bogak merupakan pusat pengembangan ekonomi perikanan baik dilihat dari aspek produksi, pengolahan maupun pemasarannya. Keberadaan Tempat Pelelangan Ikan dapat memberikan kontribusi untuk meningkatkan produksi ikan pemasukan devisa, membuka lapangan kerja dan peningkatan pendapatan, peningkatan penyediaan ikan segar dan peningkatan pendapatan pemerintah lokal. Selain itu, pelabuhan perikanan juga mempunyai peranan penting dengan segala fasilitasnya sebagai penunjang bagi nelayan.

Tempat Pelelangan Ikan di Desa Bogak merupakan salah satu pusat pembongkaran dan tempat transaksi hasil tangkapan di Kabupaten Batu Bara. Selain itu, tempat pelelangan ikan merupakan pusat pengembangan ekonomi perikanan ditinjau dari aspek produksi, pengolahan, dan pemasaran, baik berskala lokal, nasional maupun internasional.

3.9. Tempat Pelelangan Ikan sebagai Wadah Transaksi

Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Desa Bogak merupakan tempat pelelangan ikan yang dianggap keberadaannya sudah tua dan dibangun sebelum terbentuknya Kabupaten Batu Bara. Tempat Pelelangan Ikan di Desa Bogak


(46)

dalam operasionalnya didukung oleh sarana dan prasarana, di antaranya adalah pelabuhan dan bangunan secara fisik

. Foto 2: tempat transaksinya hasil tangkapann

Sejak awal pendirian, Tempat Pelelangan Ikan Desa Bogak berawal dari fenomena yang berkembang dengan banyaknya perahu yang parkir di sungai yang menghubungkan antara daratan dan lautan. Keberadaan pelabuhan itulah yang menjadikan nelayan semakin ramai memarkirkan perahunya dan sekaligus menjual hasil tangkapannya.

Agus Ruswandi dan Dewi Gartikastrategi (2013) mengatakan bahwa Keberadaan pelabuhan bagi komunitas nelayan, merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan agar dapat memasarkan hasil tangkapannya pada wilayah di mana mereka bermukim. Berdasarkan temuan di lapangan sebagian besar


(47)

nelayan yang memasarkan hasil tangkapannya adalah nelayan yang bermukim di sekitar Desa Bogak, walaupun ada beberapa nelayan yang berasal dari luar Kecamatan.

Keberadaan Tempat Pelelangan Ikan merupakan sarana yang sangat menguntungkan bagi nelayan yang tidak memiliki ikatan kontrak dengan Toke. Lain halnya bagi nelayan yang memiliki ikatan kontrak dengan pemilik modal, maka mekanisme penjualan hasil tangkapannya sepenuhnya diatur oleh pemilik modal. Bagi nelayan ikatan pemilik modal telah memberikan modal awal dan sisanya akan di berikan kembali setelah hasil tangkapan didapat.


(48)

BAB IV

RITUAL JAMU LAUT DI KABUPATEN BATUBARA

4.1Asal Usul Tradisi Jamu Laut

Ritual Jamu Laut merupakan salah satu jenis upacara tolak bala atau juga menunjukan rasa syukur yang terdapat pada masyarakat Pesisir, di beberapa wilayah di Provinsi Sumatera Utara. Ritual ini sudah berlangsung sejak lama dan masih dilestarikan hingga saat ini namun diselaraskan dengan ajaran agama Islam yang dianut sebagian besar masyarakat Pesisir di Kabupaten Batu Bara.

Setiap Masyarakat pesisir di berbagai daerah di Provinsi Sumatera Utara memiliki upacara ritual yang masih dipercayai oleh masyarakatnya dan dihubungkan dengan kepercayaan yang bersifat gaib. Dan ini juga terdapat pada masyarakat Pesisir di sekitaran kawasan wisata Pantai bunga di desa Bogak Kabupaten Batu Bara memiliki sebuah Ritual yang ada sejak lama. Ritual ini masih dilakukan oleh masyarakat Pesisir di Kabupaten Batu Bara

Pelaksanaan Ritual yang kerap dibayangkan sebagai upacara yang bersifat keramat karena para pendukungnya mengikuti dengan khidmat dan meyakininya sebagai sesuatu yang bersifat magis. Dalam upacara adat disertai dengan berbagai perasaan dan perlengkapan simbolis. Terdapat pula rangkaian perangkat lambang-lambang yang berupa benda atau materi, kegiatan fisik, hubungan tertentu, kejadian-kejadian, isyarat-isyarat, dan berbagai situasi tertentu dalam proses pelaksanaannya (Syaifuddin, 2005)


(49)

Salah satu Ritual masyarakat Pesisir di Kabupaten Batu Bara adalah Ritual Jamu Laut yang termasuk dalam jenis upacara tolak bala. Ritual ini bertujuan untuk memberikan persembahan kepada para penunggu laut atau yang dikenal dengan sebutan Mambang Laut. Ritual Jamu Laut berasal dari masyarakat Melayu lama yang terus hidup sesuai dengan perkembangan kepercayaan masyarakat pesisir itu sendiri.

Kepercayaan atau upacara ini mempunyai asal yang sama dengan asal nenek moyang dari berbagai suku-suku di Nusantara yakni dari Asia dan kawasan Indo-China yang datang sekitar ratusan tahun yang lalu. Upacara atau ritual Jamu Laut diselenggarakan agar kaum nelayan yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya laut mendapat berkah dalam penghidupannya (Tengku Luckman Sinar dalam

Dengan kata lain, Ritual Jamu Laut adalah suatu upacara tolak bala atau selamatan yang berhubungan dengan kehidupan di laut. Dalam pelaksanaan Ritual Jamu Laut terdapat tahap perjamuan makan yang ditujukan kepada penghuni laut yang menguasai laut dan kaum nelayan percaya bahwa itu akan mendatangkan keselamatan dan berkah.

Koentjaraningrat juga menyatakan bahwa para nelayan merupakan kelompok yang intensif menggunakan metode ilmu gaib dalam melakukan pekerjaannya. Hal ini disebabkan lebih banyak tantangan yang dihadapi di laut dibandingkan dengan di darat (Koentjaraningrat, 1985)

Para nelayan mempercayai bahwa seluruh lautan dikuasai oleh makhluk halus, yaitu Mambang Laut terdiri dari 4 penguasa yang bersemayam di 4 penjuru


(50)

mata angin. Masing-masing penguasa laut itu dikenal dengan nama: Datuk Panglima Merah, Datuk Panglima Hitam, Datuk Panglima Kuning dan Datuk Panglima Putih atau Syeh-Syeh. Ada pun fungsi keempat penguni laut tersebut sebagai berikut:

1. Datuk panglima kuning sebagai Raja laut. 2. Datuk Panglima Hitam sebagai Panglima Laut.

3. Datuk Panglima Merah sebagai Pendamping Raja dan Panglima. 4. Datuk Panglima Putih sebagai Penasehat Raja dan Panglima Laut.

Sebagai titik tengah dari empat arah kekuasaan penguasa laut, ditentukan dengan melihat pertemuan dua arus laut dan juga merupakan peletakan sesaji Jamu Laut. Peletakan atau tempat menurunkan sesaji Jamu Laut ini sebelumnya telah ditentukan melalui musyawarah antara nelayan, utusan pemerintah daerah, dan pawang laut.

Orang yang paling berpengaruh dalam pelaksanaan Ritual Jamu Laut adalah pawang laut, yakni orang yang diyakini mempunyai kekuatan magis dan mampu menguasi penghuni laut. Pawang laut berperan penting dalam kehidupan masyarakat pesisir dan menjadi tumpuan nelayan untuk berkomunikasi dengan roh-roh gaib yang menguasai laut. Para nelayan percaya bahwa makhluk halus akan murka jika ada yang melanggar pantangan. Masyarakat Pesisir bahwa gangguan makhluk halus laut hanya dapat diselesaikan oleh pawang laut.

Dengan di selaraskannya Ritual Jamu Laut dengan ajaran agama Islam masuk dan berkembang di wilayah Desa Bogak tersebut. Ritual Jamu Laut tidak terlalu lekat dengan ritual memohon berkah dan perlindungan kepada makhluk


(51)

gaib penunggu laut, melainkan sebagai media permohonan dan wujud syukur kepada Allah SWT. Namun, disisi lain masyrakat sekitar tetap mempercayai bahwa mahluk gain pengunggu laut itu tetap ada.

Ritual Jamu Laut yang ada di Desa Bogak pertama kali yang membawakan adalah Suku Melayu yang ada di Kabupaten Batu Bara sampai sekarang dan sudah diikuti Suku Bangsa lainnya yaitu suku Jawa dan Suku Banjar terutama yang berkerja sebagai nelayan yang ada di Kabupaten Batu Bara yang dilaksanakan di Desa Bogak Kecamatan Tanjung Tiram Kabupaten Batu Bara.

4.2 Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Ritual Jamu Laut idealnya dilaksanakan 4 tahun sekali, namun itu bukan hal yang wajib, biasanya disesuaikan dengan datangnya "isyarat" (biasanya berupa mimpi seperti hilangnya seorang nelayan) yang dialami oleh pawang laut dan terakhir kali ritual tersebut dilaksanakan pada tahun 2011. Masyarakat lokal meyakini bahwa "isyarat" itu akan datang mengikuti keadaan masyarakat, misalnya ketika perolehan ikan dirasakan mulai berkurang. Bapak Yusuf(65 tahun) merupakan salah nelayan di Kecamatan Tanjung Tiram yang selalu mengikuti Ritual Jamu Laut di Desa Bogak Kabupaten Batu Bara. Menurut bapak Yusuf saat ini Ritual Jamu Laut sudah tidak dilakukan secara tetap dalam 3 tahun sekali. Saat ini Jamu Laut hanya diadakan pada saat-saat penting terkait dengan aktifitas melaut para nelayan.


(52)

Lebih lanjut bapak Yusuf mengatakan dalam wawancaranya :

“ . . . Awalnya karena kami merasa ada aja halangan pada saat melaut atau kejadian kejadian yang kalau orang bilang tumbal yang nelayan itu jatuh la yang hilang anak buah lagi lagi tidur bisa uda gak ada la uda gitu yang nelayan banyak merugi dengan hasil yang didapat saat melaut jadi kami masyrakat disini membuat lah jamu laut itu prinsipnya si sama kayak kenduri yang biasa ada kenduri kenduri rumahan la gtu tau kan . . .”

Ketentuan waktu pelaksanaan Ritual jamu Laut ditentukan oleh kesepakatan antara pawang laut, utusan pemerintah daerah, masyarakat, tokoh agama, dan anggota masyarakat lainnya pastinya juga para Nelayan. Ritual Jamu Laut biasanya berlangsung seharian saja. Sedangkan tempat penyelenggaraan Ritual Jamu Laut bagi masyarakat Pesisir di kabuapaten Batubara dapat dikategorikan menjadi beberapa bagian. Pertama, kawasan yang diperuntukkan untuk tahap persiapan penyelenggaraan, yaitu ruangan dari rumah atau ruang balai desa untuk bermusyawarah. Kedua, tempat yang diperuntukkan bagi seluruh peserta upacara, yaitu di pinggir laut atau pantai dalam jarak sekitar 300 meter menuju ke tengah laut. Ketiga, kawasan yang diperuntukkan dan dikuasai oleh pawang laut guna keperluan penyampaian persembahan, di sekitaran wilayah sekitar Pantai Bunga, Di desa Bogak Kecamatan Tanjung Tiram Kabupaten Batubara.

Sementara untuk sumber pendanaannya sendiri Ritual Jamu Laut berasal dari dana-dana para Nelayan, Nelayan Buruh. Pengusaha, Pemerintah dan Para Toke. Menurut bapak Yusuf besaran dana sumbangan biasanya tidak ditentukan.


(53)

Namun bagi para Toke Kapal akan dikenakan biaya menyesuaikan banyaknya kapal yang dimiliki.

Lebih lanjut bapak Yusuf mengatakan dalam wawancara sebagai berikut :

“ . . . Pengusaha itu mengeluarkan dana berapa dana satu kapal satu kapal 100 ribu kalau 2 kapan 200 ribu kalau 500 ribu kalau 2 sejuta. Dikumpulkan uang itu berapa banyak kapal itu . . .“

4.3 Peralatan dan Bahan

Upacara Jamu Laut memerlukan bahan-bahan dan peralatan yang akan dipersembahkan kepada penunggu laut. Sesaji atau perlengkapan itu disebut sebagai Ramuan Jamu Laut. Benda-benda yang akan dipersembahkan mengandung makna tertentu serta disesuaikan dengan adat istiadat dan kepentingan sosial-budaya masyarakat setempat. Persembahan Ramuan Jamu Laut terdiri dari :

• Satu piring beras puti

Makna satu piring beras putih adalah untuk persembahan kepada penguasa dilautan. Beras putih tersebut menandakan niat baik para nelayan yang hendak melakukan Upacara Jamu Laut.

• Satu piring beras kuning

Beras kuning merupakan simbol kemakmuran pada masyarakat Melayu. Masyarakat yang melakukan Upacara Jamu Laut memberikan satu piring beras kuning untuk meminta berkah dan kemakmuran pada hasil laut yang ditangkap kepada penguasa laut.


(54)

• Satu piring beras hitam

Beras hitam meupakan simbol untuk pengusiran nasib sial yang selama ini dialami oleh para nelayan. Nasib sial yang sering dialami oleh para nelayan diharapkan akan berkurang dengan diberikannya sesajen tersebut.

• Pisang

Sebagai jajanan untuk dimakan oleh para warga masyarakat yang menghadiri Upacara Jamu Laut tersebut. Pisang tersebut juga akan dihanyutkan ke laut sebagai persembahan kepada penguasa di laut. • Boroti (popcorn yang dihaluskan)

Sebagai bubuk yang akan ditaburkan di lautan, dengan tujuan untuk mendinginkan suasana yang sedang kacau di lautan.

• Satu talam bunga rampai

Satu talam bunga rampai ini terdiri dari beberapa jenis bunga yang dikumpulkan dalam satu wadah. Fungsi bunga rampai ini adalah sebagai penghargaan kepada para makhluk gaib di laut. Banyaknya jenis bunga rampai tersebut juga menandakan harapan dari para nelayan.

• Limau purut dan limau pagar.

Sebgai pelengkap dalam berbagai macam kumpulan sesajen. Fungsinya sebagai tambahan wewangian dalam upacara Jamu Laut.


(55)

Kemenyan telah dipercaya sejak dahulu sebagai wewangian para raja. Kemenyan pada acara Jamu Laut diperuntukan untuk memanggil roh-roh yang ada di laut. Tepung tawar sebagai syukuran atas keselamatan setiap warga yang pergi ke laut.

• Kain lima warna untuk bendera, yaitu warna kuning, putih, hitam, biru, dan hijau. Sebagai penanda lokasi tempat para penghuni laut yaitu Datuk Panglima kuning, Datuk Panglima Hitam, Datuk Panglima Merah dan Datuk Panglima Putih atau Syeh-Syeh.

• Seekor kerbau, bisa juga kambing

Sebagai sesajen inti untuk penguasa di laut. Bagian yang terpenting untuk disajikan adalah bagian dari kepala kerbau atau kambing.

Para pembuat sesaji biasanya ibu-ibu dengan dibantu oleh para anak buah kapal. Pembuatan sesajen biasanya dilakukan di lokasi acara Jamu Laut dilaksanakan dan dipimpin oleh ketua adat. Waktu membuat sesajen juga akan disesuaikan dengan kapan waktunya air surut. Apabila perkiraan air akan surut pada pukul 12.00 maka para ibu-ibu akan mulai memasak sesajen pada pukul 06.00 pagi.

Bapak H. Ibrahim (67 tahun) merupakan salah seorang yang dipercaya masyarakat untuk pemotongan hewan yang ada di Desa Bogak mengatakan bahwa:

“ . . . Yang membuat sesajinya anak buah kapal lah ada juga perempuan omak-omak itu. Pembuatannya hari itu juga pada acara jamu laut akan dimulai, misal kata ini akan surut air bilang la jam 12, kira-kira jam 6 pagi sudah mulai masak macam kita pesta la sebagian masak ini sebagiannya lagi masak ini. Mana aja itu ini


(56)

untuk jamu dan mana yang untuk dibagi-bagi ke anak yatim. Jadi kalau untuk kelaut biasanya tulang-tulang kerbau itu di antar untuk kelaut semua itu dengan sesaji yang lainnya. . . “

4.4Pihak-Pihak Yang Terlibat Dalam Ritual Jamu Laut

Banyak sekali pihak-pihak dari warga masyarakat yang terlibat dalam Ritual Jamu Laut tersebut. Mulai dari ibu-ibu, para tekong (Nahkoda Kapal), anak buah kapal, Pawang Laut, dan para muda mudi. Sementara itu untuk urusan memotong kerbau panitia menyerahkan proses penyembelihan kepada orang yang memang sudah ahli untuk menyembelih hewan. Toke Kapal akan mengumpulkan para anak buah kapalnya untuk membantu prosesi Ritual Jamu Laut tersebut. Anak buah kapal tersebut bekerja untuk membuat sesajen, dan juga membawa sesajen ke laut untuk setelahnya dihanyutkan. Sementara Nelayan dan Pengusaha berposisi sebagai penyandang dana untuk Ritual Jamu Laut tersebut.

Lebih lanjut kembali bapak Yusuf menjelaskan sebagai berikut :

“ . . . Yang terlibat pas pelaksanaan itu tadi la anak buah kapal tekong, kalau yang motong kerbau itu harus orang pandai lah ya orang khusus yang memotong kerbau ini tak ada hal khusus yang didalam masyarakat dia sudah biasa dan dipercaya untuk memotong seperti halnya hewan kurban pada umunya. . .”

Sementara itu Pawang Laut merupakan orang penting yang akan memimpin prosesi Ritual Jamu Laut tersebut. Pawang Laut adalah orang yang menentukan tanggal dan waktu yang tepat untuk melakukan Jamu Laut. Biasanya seorang Pawang Laut berusia di atas 50 tahun. Selain itu dalam jalannya acara Jamu Laut Pawang Laut bertugas untuk membacakan doa-doa untuk dipanjatkan kepada roh-roh yang ada di lautan. Pawang Laut disini sudah pasti beragama


(57)

Islam karena masyarakat yang melaksanakan ini memang semuanya adalah orang Islam. Baca-bacaan atau do’a yang dipanjatkan pun biasanya doa - doa yang berasal dari ayat-ayat suci Al-Quran.

“Pawang Laut itu tugasnya laut dibaca-bacanya memantau keadaan laut seperti apa menentukan waktu pelepasan sesaji. Pawang laut juga ada tugasnya tidak hanya menaikan sesaji namun juga menurunkan sesaji yang akan dibuang ke laut sebelum melakukan pembuangan pawang laut akan membaca doa “ini persembahan kami semoga doa kami bersama meminta murah rezeki dan jauhkan bala”. Doa yang di bawakan ya doa arwah junjungan itu uda itu sama dia kutub itu maksudnya doa pintu kahba dibaca sana itu. Kalau yang bawa doa itu yang memang khusus seperti itu aja kerjaan dia, macam imam masjid yang biasa membawakan doa-doa saat kenduri pada umumnya lah, dan yang pastinya dia bisa membawakan doa arwah junjungan itu. Tujuan doa itu terutama menjauhkan bala kemuadian meminta selamat, rezeki itu yang datang dari Allah. Doa arwah junjungan itu dari arwah Rasull sampai sahabat rasull sampai syeh syeh dan kemudian di tuju kepada para wali Allah itu doa.”

Ada pun syarat-syarat untuk menjadi seorang Pawang Laut untuk jalannya 1. Memiliki keturunan syeh dari garis keturunan keluarga

2. Dituakan oleh masyarakat setempat

3. Memiliki ilmu khusus yang dapat berkominikasi dengan para Datuk yang ada.

4. Mampu membawakan Ayat suci Al-Quran terutama doa Arwah Junjungan.

Kalau tugas Toke Kapal ini mengumpulkan anak buah kapal untuk ikut melaksanakan acara jamu laut ini. Dan juga pastinya tekong ini lah juru mudinya untuk membawa sesaji yang akan di buang ke laut sebagai tanda pengormatan kepada penghuni - penghuni laut tersebut.


(58)

4.5 Pelaksanaan Upacara

Pelaksanaan Ritual Jamu Laut menganut cara dan syarat yang berbeda-beda di masing-masing daerah pesisir karena tergantung pada permintaan pawang laut. Dalam Ritual Jamu Laut masyarakat Pesisir di Kabupaten Batu Bara yang dilangsungkan di Pantai Bunga, di desa Bogak Kecamatan Tanjung Tiram. Ritual Jamu Laut masyarakat Pesisir di Pantai Bunga, baik secara kepercayaaan maupun secara kultur, menimbulkan fenomena sosial dari masyarakat dengan dominasi suku Melayu Pesisir tersebut sebagai komunitas pendukung.

Ritual Jamu Laut yang dilaksanakan tepatnya di Desa Bogak Kecamatan Tanjung Tiram kabupaten Batubara terdiri dari 6 (enam) tahapan diluar dari persiapan sesaji. Masing - masing tahapan merupakan pokok utama dari seluruh rangkaian penyelenggaraan Ritual yang diadakan. Keenam tahapan tersebut tersusun secara berurutan sedemikian rupa, yaitu:

(1) Pemancangan Bendera empat tempat, empat warna, (2) Penyembelihan hewan,

(3) Barjanji (ikrar) dan doah (berdoa) atau kenduri, (4) Mengantar Persembahan

(5) Pengumuman pantangan Melaut, dan (6) Membagi Makanan

Tata urutan Ritual Jamu Laut yang diawali pasti dengan mempersiapkan sesaji yang dibutuhkan, ketika sudah siap maka semua pihak yang terlibat mengikuti kenduri yang dilaksakan di pantai tempat lokasi pelepasan jamu laut.


(59)

Dalam sesaji itu sebagian dibawa sebagian untuk dikuburkan, yang dikuburkan biasanya adalah darah dan jerohan kerbau atau kambing, serta kotorannya juga dikuburkan. Sementara itu bagian kerbau atau kambing yang akan dibawa ke laut adalah tulang belulang dan kepala hewan yang di sembelih.

Alasan mengapa masyarakat lebih memilih kenapa tulang yang dilarung dilaut adalah karena jika yang dibuang adalah daging maka akan mubajir. Persembahan daging biasanya hanya diberikan sedikit saja, selebihnya akan dibagi-bagikan ke anak-anak yatim dan yang kurang mampu. Lebih lanjut bapak Yusuf mengatakan dalam wawancara :

“ . . . untuk apa dikasi daging, kalau cuma dibuang ke laut, berarti kan mubajir. Daging yang ada dalam sesaji itu paling ada hanya 1 setengah kilo aja . . .”

Posisi tulang tulang itu di susun dengan menyerupai bentuk kerbau. Hal ini ditujukan sebagai penghormtan kepada penghuni laut, dimana didalamnya juga termasuk bunga rampai, sirih dan darah. Pisang pulut dan Boroti akan ditabur secara keliling di atas wadah yang membawa sesaji dimana hal ini semua merupakan bentuk kehormatan kepada roh yang ada di laut. Sementara itu pisang yang banyak tadi akan dibuang juga sebagian ke laut, tujuannya juga untuk menghormati penghuni lautan.

Sebelum keberangkatan warga membawa sesajen, terlebih dahulu masyarakat akan melaksanakan tahlilan untuk memanjatkan do’a agar acara berjalan dengan lancar. Hal ini dijelaskan oleh bapak Yusuf sebagai berikut :


(1)

proses melaut, sistem pengetahuan tentang melaut, sistem bagi hasil dan pengolaan hasil tangkapan.

Bab IV deskripsi mengenai kegiatan masyarakat nelayan yang ada di Desa Bogak, yaitu tradisi yang dilakukan dalam kurun waktu 4 tahun sekali dengan sebutan Ritual Jamu Laut yang dilaksanakan sebagai penghormatan penghuni laut dan sebagai rasa syukur.

Bab V memuat kesimpulan terkait dengan aktifitas penangkapan ikan di laut dan tradisi yang ada di Desa Bogak, Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batu Bara dalam melestarikan ekosistem laut.

Sebagai penutup dari penulisan skripsi ini, dilampirkan pula daftar pustaka sebagai penunjang dalam penulisan termasuk juga sumber-sumber lainnya.

Penulis telah mencurahkan segala kemampuan, tenaga, pikiran, serta juga waktu dalam penyelesaian skripsi ini. Namun penulis menyadari masih banyak kekurangannya. Dengan kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dari para pembaca. Harapan dari penulis, agar skripsi ini dapat berguna bagi seluruh pembacanya.

Medan, Juni 2016 Penulis


(2)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ORIGINALITAS ... iii

ABSTRAK ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ... v

RIWAYAT HIDUP ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR FOTO ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Tinjauan Pustaka ... 7

1.3 Rumusan Masalah ... 15

1.4 Tujuan dan Manfaat ... 16

1.5 Metode Penelitian ... 16

1.5.1 Observasi ... 16

1.5.2 Wawancara ... 16

1.5.3 Analisi Data ... 18

1.6 Lokasi Penelitian ... 19

1.7 Pengalaman Penelitian ... 19

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 2.1 Kondisi Geografis Kabupaten Batubara ... 31

2.1.2 Kelerengan ... 33

2.1.3 Ketinggian Lahan ... 33

2.1.4 Klimatologi ... 34

2.1.5 Hidrologi ... 34

2.2 Penggunaan Tanah ... 35

2.3 Kependudukan ... 36

2.3.1 Laju Pertumbuhan Penduduk ... 37

2.3.2 Distribusi Kepadatan Penduduk ... 38

2.3.3 Sex Ratio ... 38

2.4 Kelembagaan Pemerintahan ... 39

2.5 Kegiatan Perekonomian Masyarakat ... 40

2.5.1 Pertanian Tanaman Pangan ... 40

2.5.2 Tanaman hortikultura ... 42

2.5.3 Daerah penangkapan ikan ... 42

2.5.4 Budidaya Laut ... 43

2.6 Persebaran Mata Pencaharian Sebagai Nelayan Pada Wilayah Kabupaten Batu Bara ... 44


(3)

2.7 Kecamatan Tanjung Tiram ... 46

2.8 Desa Bogak ... 47

2.8.2 Mata Pencaharian ... 48

2.8.3 Sarana dan Prasarana di Desa Bogak ... 48

BAB III NELAYAN DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAUT YANG DILAKUKAN... 3.1 Klasifikasi Nelayan ... 50

3.2 Nelayan Tradisional ... 51

3.2.1 Tahap Persiapan Nelayan Tradisional untuk Melaut ... 53

3.2.2 Permodalan Nelayan Tradisional ... 54

3.3 Nelayan Modern ... 55

3.3.1 Tahap Persiapan Nelayan Modern untuk Melaut ... 60

3.3.2 Permodalan Nelayan Modern ... 61

3.3.2.1 Anak Buah Kapal (ABK) dan Toke ... 62

3.3.2.2 Ketergantungan Anak Buah Kapal (ABK) Terhadap Toke ... 63

3.3.2.3 Upaya Mengatasi Masalah Yang Dihadapi Anak Buah Kapal (ABK) ... 64

3.4 Pengetahuan Mengenai Waktu Melaut ... 66

3.5 Wilayah Tangkapan Ikan ... 71

3.6 Pengolahan Hasil Tangkapan ... 73

3.6.1 Proses Penyortiran ... 73

3.6.2 Pembuatan Ikan Asin ... 75

3.6.3 Pengolahan Ikan Teri ... 80

3.7 Pemasaran ... 84

3.7.1 Nelayan Tradisional ... 85

3.7.2 Nelayan Modern ... 86

3.8 Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Desa Bogak ... 86

3.9 Tempat Pelelangan Ikan sebagai Wadah Transaksi ... 88

BAB IV TRADISI JAMU LAUT DI KABUPATEN BATUBARA ... 4.1 Asal Usul Tradisi Jamu Laut ... 91

4.2 Waktu dan Tempat Pelaksanaan ... 94

4.3 Peralatan dan bahan ... 96

4.4 Pihak-Pihak Yang Terlibat Dalam Upacara Jamu Laut ... 99

4.5 Pelaksanaan Upacara ... 101

4.6 Pantangan dan Larangan ... 108

4.7 Nilai-Nilai dalam Upacara Jamu Laut ... 109

4.7.1 Gotong Royong ... 110


(4)

BAB V Kesimpulan dan Saran ... Daftar Pustaka

Lampiran

Daftar informan


(5)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Luas Wilayah di Kabupaten Batu Bara Tahun 2009.

Tabel 2. Jenis dan Luas Penggunaan Lahan Di Kabupaten Batu Bara Tahun 2009.

Tabel 3. Perkembangan Jumlah Penduduk Di Kabupaten Batu Bara Tahun 2009.

Tabel 4. Laju Pertumbuhan Penduduk Di Kabupaten Batu Bara Tahun 2009 Tabel 5. Kepadatan Penduduk di Kabupaten Batu Bara Tahun 2009.

Tabel 6. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Kabupaten Batu Bara Tahun 2009.

Tabel 7. Luas Daerah Penangkapan Ikan Menurut Kecamatan Kabupaten Batu Bara Tahun 2008.

Tabel 8. Produksi Olahan Hasil Laut Kabupaten Batu Bara (Ton) Tahun 2009 Tabel 9. Jumlah Penduduk di Sektor Perikanan dan Kelautan Kabupaten Batu

Bara Tahun 2008.

Tabel 10. Jumlah Penduduk Nelayan dan Jenis Pekerjaan Sektor Perikanan dan Kelautan Kabupaten Batu Bara Tahun 2008.

Tabel 11. Daerah Operasi Penangkapan Ikan di Indonesia Yang Dibedakan Berdasarkan Jarak Dari Pantai

Tabel 12. Pembagian Lokasi Penangkapan Ikan Menurut Alat Tangkap Tradsisional di Desa Bogak

Tabel 13 Pembagian Lokasi Penangkapan Ikan Menurut Alat Tangkap Modern di Desa Bogak


(6)

DAFTAR FOTO

Foto 1 Bentuk kapal yang menggunakan jaring gembung sedang tidak beroprasi.