Sosialisasi dan Kekerasan Simbolik “Anak Itik” (Studi Kasus di Desa Bogak Kabupaten Batubara)

(1)

LAMPIRAN

Gambar 1. Nelayan, ABK dan “anak itik” sedang membongkar hasil laut.


(2)

Gambar 3. ABK dan “Anak itik” sedang merajut jaring.


(3)

Gambar 5. Acim Beel beserta keluarga.


(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

(10)

No……

PENGANTAR

Penelitian SKRIPSI dengan judul “FENOMENA KEKERASAN SIMBOLIK DAN SOSIALISASI “ANAK ITIK””. Studi ini murni untuk penelitian semata. Bila informan tidak ingin namanya dicantumkan, akan tetap dihargai. Karena itu, kejujuran dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan sangat dibutuhkan. TERIMA KASIH.

“Anak Itik”

PROFIL RESPONDEN

1. Nama narasumber:... 2. Apa agama anda?

3. Berapa usia anda?

4. Apa pendidikan terakhir anda? 5. Berapa pendapatan anda?

6. Apa pekerjaan yang sering anda lakukan? 7. Apa suku anda?

KEKERASAN SIMBOLIK 1. Apa saja jenis pekerjaan yang anda kerjakan?

2. Apkah ada pekerjaan yang dikerjakan secara berkelompok dan secara sendiri-sendiri?

3. Bagaimana caranya anda diupah? 4. Mengapa anda dipekerjakan?

5. Bagaimana awal mula anda dipekerjakan?

6. Apakah anda pernah menjadi anak buah kapal (ABK)? Mengapa?

7. Apa yang akan dilakukan toke atau nelayan jika anda bermain ketika bekerja?


(11)

8. Apa yang akan dilakukan toke atau nelayan jika anda mengalami kecelakaan kerja?

9. Apakah ada jaminan keselamatan kepada anda? Mengapa? 10.Apakah anda bekerja diluar jam sekolah?

11.Apakah anda selalu diawasi ketika bekerja?

12.Menurut anda, apakah toke atau nelayan percaya sepenuhnya kepada anda? 13.Apakah keselamatan kerja anda dijamin oleh toke atau nelayan yang

mempekerjakan anda?

14. Apakah anda senang bekerja sebagai “anak itik”? 15.Seberapa baik toke atau nelayan kepada anda?

16.Menurut anda, kenapa toke atau nelayan mahu mempekerjakan anda? 17. Apakah anda merasa pernah mendapatkan kekerasan seperti dimarahi,

ditekan ataupun di remehkan, diolok-olok dan diejek?

18.Apakah anda pernah mendapat kekerasan fisik seperti dipukul, dijewer dan lain-lain?

SOSIALISASI “ANAK ITIK”

1. Apakah anda tahu orang-orang tua yang dahulu menjadi “anak itik”? 2. Siapa yang menyerukan anda untuk menjadi “anak itik”?

3. Apakah anda mendapat ilmu tentang laut selama menjadi “anak itik”? 4. Apakah hubungan anda dengan teman-teman semakin baik ketika menjadi

“anak itik”? Mengapa?

5. Apa cita-cita anda setelah dewasa nanti?

6. Apakah semua atau sebagian toke dan nelayan di sini adalah mantan “anak itik”?

7. Bagaiaman para nelayan atau toke yang mempekerjakan anda mengajari anda bekerja?

8. Berapa banyak teman anda yang bekerja sebagai “anak itik”? 9. Bagaimana orang tua anda mendorong anda menjadi “anak itik”?

10.Apakah anda dipaksa oleh teman oleh orang tua atau saudara untuk menjadi “anak itik”?


(12)

11.Diusia berapa anda pertama kali tertarik dan terjun menjadi “anak itik”? 12.Nilai-nilai apa yang diajarkan orang tua, toke ataupun teman untuk

melakukan pekerjaan menjadi “anak itik”?

13.Bagaimana pengaruh teman-teman terhadap motivasi anda menjadi “anak itik”?

14.Apa sangsi sosial jika anak-anak tidak menjadi “anak itik”?

15.Apa reward sosial terhadap anda ketika anda memilih menjadi “anak itik”?

SOSIAL EKONOMI “ANAK ITIK” 1. Bagaimana kondisi perekonomian keluarga anda? 2. Apakah anda bersekolah?

3. Apakah anda memiliki teman yang bukan “anak itik”? Mana yang lebih banyak, “anak itik” atau bukan?


(13)

No……

PENGANTAR

Penelitian SKRIPSI dengan judul “FENOMENA KEKERASAN SIMBOLIK DAN SOSIALISASI “ANAK ITIK””. Studi ini murni untuk penelitian semata. Bila informan tidak ingin namanya dicantumkan, akan tetap dihargai. Karena itu, kejujuran dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan sangat dibutuhkan. TERIMA KASIH.

Mantan “Anak Itik”

PROFIL RESPONDEN

1. Nama narasumber:... 2. Apa agama anda?

3. Berapa usia anda?

4. Apa pendidikan terkahir anda? 5. Berapa pendapatan anda? 6. Apa pekerjaan anda? 7. Apa suku anda?

KEKERASAN SIMBOLIK 1. Apa saja jenis pekerjaan yang “anak itik” kerjakan?

2. Apkah ada pekerjaan yang dikerjakan secara berkelompok dan secara sendiri-sendiri?

3. Bagaimana caranya “anak itik” diupah? 4. Mengapa “anak itik” dipekerjakan?

5. Bagaimana awal mula “anak itik” dipekerjakan?

6. Apakah “anak itik” pernah menjadi anak buah kapal (ABK)? Mengapa? 7. Apa yang akan dilakukan toke atau nelayan jika “anak itik” bermain ketika


(14)

8. Apa yang akan dilakukan toke atau nelayan jika “anak itik” mengalami kecelakaan kerja?

9. Apakah ada jaminan keselamatan kepada “anak itik”? Mengapa? 10. Apakah “anak itik” bekerja diluar jam sekolah?

11. Apakah “anak itik” selalu diawasi ketika bekerja?

12. Menurut anda, apakah toke atau nelayan percaya sepenuhnya kepada “anak itik”?

13. Apakah keselamatan kerja “anak itik” dijamin oleh toke atau nelayan yang mempekerjakan “anak itik”?

14. Apakah anda senang bekerja sebagai “anak itik”? 15.Seberapa baik toke atau nelayan kepada “anak itik”?

16. Menurut anda, kenapa toke atau nelayan mahu mempekerjakan “anak itik”? 17.Apakah anda merasa pernah mendapatkan kekerasan seperti dimarahi,

ditekan ataupun di remehkan, diolok-olok dan diejek?

18.Apakah anda pernah mendapat kekerasan fisik seperti dipukul, dijewer dan lain-lain?

SOSIALISASI “ANAK ITIK”

1. Apakah anda tahu orang-orang tua yang dahulu menjadi “anak itik”? 2. Siapa yang menyerukan anda untuk menjadi “anak itik”?

3. Apakah anda mendapat ilmu tentang laut selama menjadi “anak itik”? 4. Apakah hubungan anda dengan teman-teman semakin baik ketika menjadi

“anak itik”? Mengapa?

5. Apa cita-cita anda sewaktu masih kecil?

6. Apakah semua atau sebagian toke dan nelayan di sini adalah mantan “anak itik”?

7. Bagaiaman para nelayan atau toke yang mempekerjakan “anak itik” mengajari “anak itik” bekerja?

8. Berapa banyak teman anda yang bekerja sebagai “anak itik”? 9. Bagaimana orang tua anda mendorong anda menjadi “anak itik”?


(15)

10.Apakah anda dipaksa oleh teman oleh orang tua atau saudara untuk menjadi “anak itik”?

11. Diusia berapa anda pertama kali tertarik dan terjun menjadi “anak itik”? 12.Nilai-nilai apa yang diajarkan orang tua, toke ataupun teman untuk

melakukan pekerjaan menjadi “anak itik”?

13.Bagaimana pengaruh teman-teman terhadap motivasi anda menjadi “anak itik”?

14.Apa sangsi sosial jika anak-anak tidak menjadi “anak itik”?

15.Apa reward sosial terhadap anda ketika anda memilih menjadi “anak itik”? SOSIAL EKONOMI “ANAK ITIK”

1. Bagaimana kondisi perekonomian keluarga anda sewaktu menjadi “anak itik”?

2. Apakah anda bersekolah ketika menjadi “anak itik”?

3. Apakah anda memiliki teman yang bukan “anak itik”? Mana yang lebih banyak, “anak itik” atau bukan?


(16)

No……

PENGANTAR

Penelitian SKRIPSI dengan judul “FENOMENA KEKERASAN SIMBOLIK DAN SOSIALISASI “ANAK ITIK””. Studi ini murni untuk penelitian semata. Bila informan tidak ingin namanya dicantumkan, akan tetap dihargai. Karena itu, kejujuran dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan sangat dibutuhkan. TERIMA KASIH.

Nelayan atau Toke

PROFIL RESPONDEN

1. Nama narasumber:... 2. Apa agama anda?

3. Berapa usia anda?

4. Apa pendidikan terakhir anda? 5. Berapa pendapatan anda perbulan? 6. Apa pekerjaan anda?

7. Apa suku anda?

KEKERASAN SIMBOLIK

1. Apa saja jenis pekerjaan yang dikerjakan oleh “anak itik”?

2. Apakah ada pembagian pekerjaan yang dikerjakan secar individu atau bersama-sama?

3. Bagaimana sistem upah “anak itik”?

4. Mengapa anda mempekerjakan “anak itik”?

5. Bagaimana awal mula anda mempekerjakan “anakitik”?

6. Apakah “anak itik” juga diikutsertakan menjadi ABK (Anak Buah Kapal)? Jelaskan?

7. Apa yang akan anda lakukan jika “anak itik” bermain ketika bekerja? 8. Apa yang akan anda lakukan jika “anak itik” mengalami kecelakaan kerja?


(17)

9. Apakah ada jaminan keselamatan kepada “anak itik”? 10. Apakah “anak itik” bekerja diluar jam sekolah?

11. Apakah anda mengawasi “anak itik” ketika dia bekerja? Mengapa? 12. Apakah anda percaya sepenuhnya kepada “anak itik”? Mengapa? 13. Apakah anda senang mempekerjakan “anak itik”? Mengapa? 14.Apakah anda selalu menggunakan jasa “anak itik”?

15.Seberapa bagus hubungan anda dengan “anak itik”, karena mereka masih berusia anak-anak?

16.Pilihlah jawaban yang tersedia dalam tabel berikut: Seandainya

saya harus menjadikan/me-milih seseorang sebagai:

Maka berturut-turut saya akan memilih seseorang dengan kriteria.

Usia Kekera-batan Kebutu-han ekonomi Kemauan-nya Kemampuan-nya Lain-nya “Anak itik” ABK

SOSIALISASI “ANAK ITIK”

1. Apakah “anak itik” tetap dipekerjakan secara turun temurun dari generasi ke generasi?

2. Apakah anak-anak harus menjadi “anak itik” untuk menjadi individu yang sukses di masyarakat? Mengapa?

3. Apakah anak-anak harus diajarkan tentang laut? Mengapa?

4. Apakah pengajaran tersebut harus melalui bekerja sebagai “anak itik”? 5. Apakah anda mengharapkan “anak itik” menjadi nelayan? Mengapa? 6. Bagaimana masa kanak-kanak nelayan saat ini, apakah semuanya adalah

mantan “anak itik”?

7. Bagaiaman para nelayan atau toke yang mempekerjakan “anak itik” mengajari “anak itik” bekerja?


(18)

SOSIAL EKONOMI “ANAK ITIK”

1. Bagaimana kondisi perekonomian keluarga “anak itik” yang anda pekerjakan?

2. Apakah “anak itik” yang bekerja pada anda adalah anak yang sekolah? 3. Menurut anda, apakah para “anak itik” memiliki banyak teman

dibandingkan yang bukan “anak itik”? Mengapa?

4. Apakah anda juga mempekerjakan anak dari keluarga yang memiliki perekonomian menengah atas sebagai “anak itik”?


(19)

No……

PENGANTAR

Penelitian SKRIPSI dengan judul “FENOMENA KEKERASAN SIMBOLIK DAN SOSIALISASI “ANAK ITIK””. Studi ini murni untuk penelitian semata. Bila informan tidak ingin namanya dicantumkan, akan tetap dihargai. Karena itu, kejujuran dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan sangat dibutuhkan. TERIMA KASIH.

Orang Tua “Anak Itik”

PROFIL RESPONDEN

8. Nama narasumber:... 9. Apa agama anda?

10.Berapa usia anda?

11.Apa pendidikan terakhir anda? 12.Berapa pendapatan anda perbulan? 13.Apa pekerjaan anda?

14.Apa suku anda?

KEKERASAN SIMBOLIK

19. Apa saja jenis pekerjaan yang dikerjakan oleh “anak itik”? 20. Bagaimana sistem upah “anak itik”?

21. Mengapa anda mengizinkan anak anda menjadi “anak itik”? 22. Apakah anda mempekerjakan “anak itik”?

23. Bagaimana awal mula anak anda menjadi “anak itik”?

24.Apakah anda juga diikutsertakan menjadi ABK (Anak Buah Kapal)? Mengapa?

25. Apa yang akan dilakukan jika anak anda yang bekerja sebagai “anak itik” bermain ketika bekerja?


(20)

27.Apakah ada jaminan keselamatan kepada anak anda?

28. Apakah anak anda yang bekerja sebagai “anak itik” bersekolah? 29. Apakah anda mengawasi anak anda bekerja sebagai “anak itik”?

30.Apakah anda percaya sepenuhnya kepada anak anda yang bekerja sebagai “anak itik”?

31.Seberapa bagus hubungan toke atau nelayan dengan anak anda yang bekerja sebagai “anak itik”, karena mereka masih berusia anak-anak? 32.Apakah anda merasa ada kekerasan simbolik terhadap anak anda seperti

perlakuan diremehkan, dibentak, dijewer dan diperintahkan kerja tidak sesuai dengan kemampuan fisik mereka?

33.Apakah anda merasa ada kekerasan fisik terhadap anak anda dari toke, ataupun sesama teman mereka?

SOSIALISASI “ANAK ITIK”

16. Bagaimana “anak itik” tetap dipekerjakan secara turun temurun?

17.Apakah anak-anak harus menjadi “anak itik” untuk menjadi individu yang sukses di masyarakat? Mengapa?

18. Apakah anak anda harus diajarkan tentang laut melalui “anak itik”? 19. Apakah menurut anda anak anda yang bekerja sebagai “anak itik” lebih

mudah bergaul di masyarakat? Mengapa?

20. Apakah anda mengharapkan anak anda yang bekerja sebagai “anak itik” menjadi nelayan?

21.Apakah anak-anak di desa ini harus mengerti tentang laut? 22. Berapa banyak anak anda yang bekerja sebagai “anak itik”?

SOSIAL EKONOMI “ANAK ITIK” 5. Berapa pengeluaran anda perbulan?

6. Menurut anda, apakah para “anak itik” memiliki banyak teman dibandingkan yang bukan “anak itik”? Mengapa?


(21)

DAFTAR PUSTAKA

_______, (2009), Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Baru, Jakarta, Pustaka Phoenix.

Adam, Mohammad & Fikri Hakin, (2015), Ekspor Perikanan RI Masuk Peringkat Kelima, Http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/584824-ekspor-perikanan-ri-masuk-peringkat-kelima-di-dunia, diakses pada 28 Agustus 2015.

Brinkerhoff, David B, dkk, (1995), Essentials of Sociology: Third Edition, Lincoln, West Publishing Company.

Bungin, Burhan, (2007), Penelitian Kualitatif, Jakarta, Kencana.

Endrawati, Netty, (2011), Faktor Penyebab Anak Bekerja Dan Upaya Pencegahannya (Study Pada Pekerja Anak Sektor Informal Di Kota Kediri), Jurnal Ilmu Hukum Refleksi Hukum Edisi April 2011.

Ernaningsih, Wahyu, (2012), 20 Hak Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Jurnal Ilmiah Pusat Studi Wanita UNSRI, Vol. 3, No. 1. UNSRI.

Hannselin, James M., (2006), Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi, Jakarta, Gelora Aksara Pertama.

Jerkins, Richard, (2005), Membaca Pikiran Pierre Bourdieu, Yogyakarta, Kreasi Wacana.

Munirob, Siti Mumun, (2011), Psikologi Keberlanjutan Sekolah Pekerja Anak Di Sektor Batik, Jurnal Penelitian Vol. 8 No. 2.

Munirob, Siti Mumun, (2013), Sekolah Ideal Pekerja Anak: Ekspektasi Dan Model Sekolah Bagi Pekerja Anak Di Pekalongan, Jurnal Penelitian Vol. 10 No.1.

Nainggolan, Lukman Hakim, (2005), Masalah Perlindungan Hukum Terhadap Anak Di Indonesia, Jurnal Equality Volume 10 No. 2.

Nasution, Arif, dkk, (2008), Metode Penelitian, Medan, FISIP USU Press. Poloma, Margaret M, (2010), Sosiologi Kontemporer. Jakarta, Rajawali Pers. Ritzer, George & Barry, Smart, (2014), Handbook Teori Sosial, Jakarta, Nusa

Media.

Ritzer, George & Douglas, J. Goodman, (2010), Teori Sosiologi Modern, Jakarta, Kencana.

Robi, Rizkianto, Istiqlaliyah Muflikhati & Neti Hermawati, (2013), Nilai Ekonomi Anak, Motivasi dan Self-Esteem Pekerja Anak. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen, Vol.6, No. 3. IPB: Bogor.

Rochatun, Isti, dkk, (2012), Eksploitasi Anak Jalanan Sebagai Pengemis Di Kawasan Simpang Lima Semarang, Unnes Civic Education Journal 1 (1). Sugiyono, (2008), Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, Bandung,

Alfabeta.

Wahyuni, Lilik, (2008), Kekuasaan Simbolik Dalam Wacana Politik Di Media Cetak, Jurnal Kajian Linguistik dan Sastra Vol. 20, No. 2, Malang, PBSI-IKIP Budi Utomo.

Wirarta, Made, (2005), Metodologi Penelitian Sosial Ekonomi, Yogyakarta, Penerbit Andi.


(22)

Yin, Robert K., (2014), Studi Kasus: Desain & Metode, Jakarta, Rajawali Pers.

Sumber Internet:

Http://www.batubarakab.go.id/, diakses pada 03 Oktober 2015.

Statistik.kkp.go.id/index.php/arsip/file/37/kpda11_ok_r06_v02.pdf, diakses pada 28 Agustus 2015.

Demartoto, Argyo, (2013), Teori Konstruksi Sosial dari Peter L. Berger dan

Thomas Luckman, diakses dari

http://argyo.staff.uns.ac.id/2013/04/10/teori-konstruksi-sosial-dari-peter-l-berger-dan-thomas-luckman/ pada 19 Oktober 2015.

Sumber Lain:

UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.


(23)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan melakukan pendekatan studi kasus. Menurut Creswell (dalam Pambudi, 2014), metode kualitatif adalah metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan oleh sejumlah individu atau sekelompok orang. Menurut Somantri (dalam Mustofa, 2013), peneltian kualitatif sangat memperhatikan proses, peristiwa, dan otentisitas. Nilai peneliti bersifat eksplisit dalam situasi yang terbatas dan melibatkan subyek dengan jumlah yang relatif sedikit. Peneliti kualitatif biasanya terlibat dalam interaksi dengan realitas yang ditelitinya. Peneliti kualitatif secara intens menjalin interaksi dengan obyek penelitiannya. Peneliti memilih pendekatan studi kasus karena penelitian yang memiliki tujuan untuk menggambarkan bagaimana fenomena yang sedang terjadi. Selain itu, peneliti tidak banyak ikut berpartisipasi demi menjaga keautentikan fenomena sosial yang ada (dalam hal ini adalah “anak itik”) (Yin, 2014).

Sebelum melakukan penelitian langsung, peneliti terlebih dahulu mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan dalam penelitian ini seperti halnya mengumpulkan referensi yang berhubungan dengan penelitian ini dalam bentuk jurnal, penelitian terdahulu, hasil sekripsi, serta hal-hal lain yang dapat menambah wawasan peneliti sebelum melakukan penelitian lapangan.


(24)

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kawasan pesisir tepatnya Desa Bogak, Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batubara, Sumatera Utara. Pemilihan lokasi penelitian di Desa Bogak di dasarkan pada pra observasi yang dilakukan oleh peneliti tentang kearifan lokal pada masyarakat pesisir. Terdapat sebuah pelabuhan di Kecamatan Tanjung Tiram yang bernama Pelabuhan Tanjung Tiram atau masyarakat setempat lebih sering menyebutnya dengan “Bom”. Di kawasan pelabuhan tersebut masih banyak terdapat desa lain seperti Desa Bagan Arya dan Desa Pahlawan. Namun desa-desa tersebut merupakan hasil pemekaran dari Desa Bogak sehingga secara budaya dan beberapa informan kunci masih banyak yang tinggal di desa tersebut. Keberadaan “anak itik” dapat diamati di pelabuhan Tanjung Tiram tersebut, kemudian berbagai fenomena pekerja anak yang lain selain membantu nelayan (“anak itik”) juga banyak terdapat di Desa Bogak, namun dalam penelitian ini peneliti hanya fokus kepada “anak itik”.

3.3. Unit Analisis dan Informan 3.3.1. Unit analisis

Unit analisis adalah hal-hal yang diperhitungkan menjadi subjek dari keseluruhan unsur yang menjadi fokus penelitian (Bungin, 2007). Dalam penelitian ini, yang menjadi unit analisis adalah anak-anak yang menjadi “anak itik”, nelayan yang memakai jasa “anak itik”, orang-orang dewasa yang merupakan mantan “anak itik”, dan orang tua dari “anak itik”. Dari keempat unit


(25)

analisis tersebut, yang menjadi informan kunci adalah anak-anak yang menghabiskan waktunya menjadi “anak itik”. Pemilihan informan didasarkan pada karakteristik yang dibutuhkan dalam penelitian ini.

3.3.2. Informan

Informan merupakan subjek yang memahami permasalahan peneliti sebagai pelaku maupun orang yang memahami permasalahan penelitian (Bungin, 2007). Adapun yang menjadi informan adalah:

1. Anak-anak yang menjadi “anak itik” dengan alasan apapun.

2. Nelayan yang memakai jasa “anak itik” untuk membantunya. Mulai dari membersihkan perahu atau kapal, membersihkan jaring, dan bahkan ikut ke laut.

3. Orang-orang tua yang pernah menjadi “anak itik” dan menyadari bahwa hal tersebut merupakan bagian dari budaya setempat atau kearifan lokal. 4. Orang tua dari “anak itik”.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengungkap tujuan penelitian diperlukan beberapa teknik pengumpulan data agar data yang didapat sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan sebelumnya. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data ini adalah:


(26)

3.4.1. Observasi

Dalam penelitian kualitatif, peneliti merupakan alat (instrumen) pengumpul data utama, karena peneliti adalah manusia dan hanya manusia yang dapat berhubungan dengan informannya atau objek lainnya, serta mampu memahami kaitan kenyataan-kenyataan di lapangan. Dalam penelitian ini peneliti juga berperan serta dalam pengamatan atau participant observation (Maleong, 2007), meskipun peneliti tidak menjadi “anak itik”.

Metode yang diterapkan dalam peneilitian adalah menggunakan metode observasi serta observasi partisipatif pasif. Dimana metode observasi merupakan suatu pencatatan hasil penelitian yang bukan hanya mencatat tetapi juga mengadakan pertimbangan kemudian mengadakan penilaian ke dalam suatu skala bertingkat. Dengan melaksanakan observasi partisipatif pasif berarti peneliti ikut terjun dan melakukan kegiatan sesuai tema yang menjadi objek penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti ikut dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh “anak itik” guna mendapatkan data yang lebih akurat. Observasi paling disukai oleh peneliti yang mencoba untuk mengurai hasil lapangan menjadi uraian pada laporan penelitian yang telah dilakukan pada tempat objek kajian penelitian.

Teknik pengumpulan data yang digunakan pertama kali adalah pra observasi. Teknik pra observasi adalah kegiatan yang pertama sekali dilakukan dari semua peneliti. Kali ini penelitian ini melakukan pra observasi yang dilakukan sebelum peneliti terjun langsung ke lapangan. Kegiatan yang dilakukan seminggu sebelum penelitian dilakukan dengan tujuan untuk meninjau lokasi, mengetahui bagaimana medan penelitian yang akan peneliti teliti. Pada tahap ini


(27)

peneliti melakukan teknik pra penelitian berikutnya yaitu mempersiapkan perlengkapan yang dibutuhkan dalam penelitian seperti catatan, alat tulis, kamera, maupun literatur yang berhubungan dengan kajian penelitian ini.

3.4.2. Wawancara mendalam

Teknik selanjutnya adalah teknik wawancara mendalam. Teknik wawancara adalah teknik yang dilakukan dengan percakapan dengan maksud untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan peneliti. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (informan) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2000). Wawancara dalam suatu penelitian yang bertujuan mengumpulkan keterangan tentang berbagai informasi kehidupan masyarakat serta berbagai hal yang menyangkut terhadap data yang diketahui oleh segelintir orang yang dalam penelitian disebut informan.

Teknik wawancara yang peneliti gunakan adalah teknik wawancara terstruktur dimana draft pertanyaan telah peneliti siapkan untuk mempermudahkan peneliti ketika sedang mewawancarai informan. Draft pertanyaan tersebut dipersiapkan bertujuan agar pertanyaan yang akan ditanyakan terstruktur dan meminimalkan pertanyaan yang tidak diperlukan dalam penelitian, terlebih agar pewawancara tidak lupa dengan apa yang harusnya ditanyakan kembali mengingat daya keterbatasan ingatan manusia terbatas.


(28)

3.4.3. Dokumentasi

Dalam penelitian ini, peneliti juga melaksanakan metode dokumentasi yang dilakukan dengan cara mencari data tentang hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya. Moleong (2004) mendefinisikan dokumen sebagai setiap bahan tertulis ataupun film, yang tidak dipersiapkan karena adanya permintaan seorang penyidik.

3.4.4. Penghayatan

Suatu teknik pengumpulan data melalu pendalaman bangunan berfikir dari responden. Teknik ini juga berupaya memahami kesadaran warga masyarakat berdasarkan logika kultur, di mana responden merupakan anggotanya. Hal tersebut dikarenakan narasumber (responden) memiliki pola perilaku dan sikap yang berbeda sesuai dengan latar belakang yang dimiliki.

3.5. Jenis Data dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dua jenis data. Jenis data tersebut adalah data text dan data image. Data text yaitu data yang berbentuk alfabet maupun angka numerik, dimana data text yang berbentuk alfabet merupakan data yang menjelaskan tentang keadaan, serta hal-hal yang menyangkut kedalam penelitian ini. Sedangkan data text yang berbentuk angka numerik adalah untuk menjelaskan data berupa angka tentang jumlah masyarakat


(29)

serta segala hal yang dapat dijelaskan dengan menggunakan data numerik atau yang biasa dikenal dengan data angka.

Jenis data kedua adalah data image. Data image yaitu data yang memberikan informasi secara spesifik mengenai keadaan tertentu melalui foto, diagram, dan sejenisnya (Fauzi, 2001). Data image dalam penelitian ini yaitu data penduduk menurut BPS (Badan Pusat Statistik), data kependudukan dari kepala desa, maupun hasil penelitian terdahulu.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang peneliti dapat langsung dari lapangan yang menjadi data penelitian. Sedangkan data yang kedua adalah data sekunder. Dimana data sekunder adalah data yang bersifat tidak langsung, tetapi memiliki fungsi sebagai salah satu aspek pendukung bagi keabsahan penelitian. Data ini berupa sumber-sumber atau referensi tertulis yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini dilakukan dengan penelitian kepustakaan dan pencatatan dokumen, yaitu dengan mengumpulkan hal-hal yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan dan mengumpulkan data dan mengambil informasi dari buku-buku referensi, dokumen, majalah, dan jurnal.

Data sekunder lainnya berasal dari hasil penelusuran data online merupakan tata cara melakukan penelusuran data melalui media online seperti internet atau media jaringan lainnya yang menyediakan fasilitas online, sehingga memungkinkan peneliti dapat memanfaatkan data. Informasi online yang berupa


(30)

data maupun informasi teori, secepat atau semudah mungkin dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis (Bungin, 2005).

3.6. Interpretasi Data

Dalam penelitian ini, peneliti dapat mengumpulkan data melalui hasil wawancara, observasi dan observasi partisipatif pasif. Semua data yang diperoleh pada umumnya masih dalam bentuk catatan lapangan, dokumentasi resmi dalam bentuk foto, maupun dalam bentuk rekaman. Setelah data tersebut dibaca, dipelajari dan ditelaah. Maka langkah selanjutnya adalah mengadakan reduksi data dengan cara abstarksi. Abstraksi merupakan rangkuman yang terperinci dan merujuk pada inti temuan data dengan cara menelaah pernyataan-pernyataan yang diperlukan agar tetap berada pada fokus penelitian.Setelah itu data tersebut disusun dan dikategorisasikan serta diinterpretasikan secara kualitatif sesuai metode penelitian yang telah ditetapkan.

3.7. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana fenomena kekerasan simbolik serta menerangkan bagaimana sosialisasi yang dirasakan oleh “anak itik” di Desa Bogak. Untuk membahas hal tersebut, peneliti menggunakan landasan teori berupa teori kekerasan simbolik dan teori sosialisasi. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa “anak itik” adalah buruh yang bekerja untuk mendapatkan upah dan oleh karenanya, fenomena “anak itik” dapat juga dilihat dari sudut pandang perburuhan, khususnya buruh anak-anak. Tetapi dalam penelitian ini,


(31)

peneliti hanya berfokus pada kekerasan simbolik dan sosialisasi yang dirasakan oleh “anak itik” saja.

Dalam pengumpulan data, peneliti mengalami beberapa kesulitan. Untuk dokumentasi, peneliti tidak banyak mendapatkan gambar atau foto dari narasumber. Hal tersebut disebabkan oleh narasumber sendiri yang tidak ingin dirinya untuk difoto. Kemudian daripada itu, penelitian ini juga membutuhkan penelitian lanjutan agar pembahasan tentang “anak itik” di Desa Bogak semakin kaya dan kompleks. Menurut peneliti, “anak itik” adalah salah satu contoh fenomena sosial yang merupakan paradox antara hukum positif dengan budaya atau kearifan lokal.


(32)

BAB IV

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.1. Gambaran Tangkahan1 dan Pelabuhan di Desa Bogak

Kabupaten Batubara adalah salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten Batubara terletak di tepi pantai Selat Malaka, sekitar 175 km selatan ibu Kota Medan. Batas wilayah utara Kabupaten Batubara adalah Kabupaten Serdang Bedagai dan Selat Malaka, batas selatan adalah Kabupaten Asahan dan Kabupaten Simalungun, batas barat adalah Dolok Batunanggar (Kabupaten Simalungun) dan Tebing Tinggi (Kabupaten Serdang Bedagai) serta batas timur adalah Air Joman (Kabupaten Asahan) dan Selat Malaka (http://www.batubarakab.go.id/).

Desa Bogak merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batubara yang berbatasan langsung dengan laut Selat Malaka, sehingga Desa Bogak merupakan desa pesisir dengan bentangan laut sebagai lahan untuk mencari nafkah bagi masyarakat yang tinggal di desa tersebut. Dalam rangka mendukung mata pencaharian masyarkat dari sektor laut, berbagai fasilitas, sarana dan prasarana dibangun untuk keperluan mencari nafkah. Adanya pasar untuk menjual hasil laut atau yang lebih dikenal dengan TPI (Tempat Penampungan Ikan), kemudian ada juga pangkalan berbagai angkutan transportasi

1

Tangkahan adalah pelabuhan kecil yang berada di pinggiran sungai sebagai tempat kapal atau sampan ditambatkan.


(33)

daratu maupun laut, serta beberapa dermaga atau tangkahan sebagai tempat nelayan untuk menambatkan perahu atau kapal mereka.

Masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir, pada umumnya memiliki satu pelabuhan besar dan beberapa tangkahan atau dermaga kecil yang terletak di pinggiran sungai yang ada di wilayah tersebut. Pelabuhan Tanjung Tiram merupakan pelabuhan terbesar di Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batubara yang terletak di Desa Bogak. Berbagai aktivitas kelautan ada di Pelabuhan Tanjung Tiram, mulai dari transportasi, melaut, rekreasi dan juga pasar ada di pelabuhan tersebut.

Di Desa Bogak tidak hanya terdapat pelabuhan sebagai tempat aktivitas kelautan terjadi, tetapi juga ada yang disebut sebagai tangkahan. Tangkahan merupakan pelabuhan tempat berkumpulnya nelayan serta pekerja turunan lainnya (seperti: pedagang, bengkel kapal, ABK (Anak Buah Kapal), “anak itik” dan lain sebagainya) yang dihasilkan oleh adanya laut dalam skala kecil. Terdapat empat tangkahan yang didirikan masyarakat di Desa Bogak. Masing-masing tangkahan terletak di pinggiran sungai di berbagai sudut desa maupun di tengah Desa Bogak.

Selain tempat berkumpulnya nelayan dan pekerja-pekerja turunan, tangkahan dijadikan sebagai tempat penambatan kapal dan sampan bagi nelayan atau ojek perahu yang ada di Desa Bogak. Tangkahan juga dibangun dengan tujuan untuk mengurangi kepadatan di Pelabuhan Tanjung Tiram serta untuk mendekatkan kapal atau sampan kepada rumah warga.

Bongkar muatan yang dilakukan oleh nelayan sepulangnya dari melaut tidak hanya dilakukan di pelabuhan pusat (Pelabuhan Tanjung Tiram), tetapi juga


(34)

dilakukan di tangkahan-tangakahan. Pembongkaran muatan yang berisi hasil laut biasanya langsung dibeli oleh toke, pengumpul besar, atau masyarakat sebagai konsumen langsung.

Tangkahan-tangkahan yang ada di Desa Bogak dijadikan sebagai tempat bagi nelayan serta ojek perahu untuk membersihkan kapal atau sampan, mempersiapkan persediaan keperluan kapal dan lain sebagainya. Pelabuhan pusat dan tangkahan memiliki berbagai perbedaan yang signifikan selain dari jumlah kapal atau sampan yang bisa ditambatkan. Nelayan atau ojek perahu tidak membersihkan kapal atau sampan mereka di pelabuhan pusat dengan alasan akan lebih praktis membersihkan di tangkahan daripada di pelabuhan.

Penambatan kapal atau sampan di tangkahan senantiasa ditentukan dari pasang surutnya air di sungai. Kapal atau sampan tidak akan bisa melewati sungai jika kedalaman air tidak mencukupi. Setelah kapal atau sampan ditambatkan di tangkahan, nelayan dan tukang ojek perahu akan membiarkan kapal atau sampan mereka kandas di tepi sungai dikarenakan surutnya air. Hal tersebut dilakukan agar kapal atau sampan mereka tidak terbawa arus sungai atau mudah untuk diberikan maintenance (servis berkala).

Adanya tangkahan dan pelabuhan membutuhkan berbagai pekerjaan untuk memenuhi berbagai kebutuhan yang ada di tangkahan dan pelabuhan. Perbedaan tangkahan dan pelabuhan terlihat jelas dari komposisi pekerja yang ada di tangkahan dan pelabuhan. Pelabuhan memiliki komposisi pekerja yang lebih kompleks dibandingkan dengan tangkahan. Pasar atau TPI senantiasa berada dekat dengan pelabuhan dan jauh dari tangkahan, sehingga berbagai pekerjaan


(35)

penunjang seperti transportasi, pedagang asongan dan grosir banyak terdapat di sekitar pelabuhan. Sementara itu lapangan pekerjaan di tangkahan tidak sekompleks atau selengkap di pelabuhan, karena lokasinya yang jauh dari keramaian dan tidak begitu strategis untuk didirikan pusat perbelanjaan seperti pasar. Sebagian besar masyarakat akan lebih memilih untuk membeli hasil laut di pasar daripada di tangkahan karena harga dan tidak banyak pilihan dalam membeli hasil laut.

4.2. Gambaran Pekerja di Tangkahan Desa Bogak

Tangkahan merupakan pelabuhan-pelabuhan kecil yang berada di Desa Bogak. Berbeda dengan pelabuhan pusat, kompleksitas atau komposisi pekerja yang ada di tangkahan tidak sebanyak yang ada di pelabuhan pusat. Banyaknya pekerja yang ada di pelabuhan pusat disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut, yaitu:

1. Letaknya dekat dengan pasar.

2. Berbatasan langsung dengan desa lain, seperti; Desa Bagan Aria, Desa Bagan Seberang, dan Desa Lima Laras.

3. Pangkalan kapal-kapal besar untuk penyeberangan pulau. 4. Ruang terbuka untuk rekreasi.

5. Titik awal keberangkatan untuk berbagai destinasi wisata, seperti; Pantai Bunga, Pulau Berhala, Pulau Salahnama, Pulau Pandang, dan lain sebagainya.


(36)

Faktor-faktor yang telah disebutkan di atas mengakibatkan pekerjaan yang dulunya tidak ada, kemudian menjadi ada dan dibutuhkan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat yang ada di sekitar pelabuhan. Berbagai infrastruktur dan sarana yang ada merupakan hasil turunan dari adanya pelabuhan tersebut. Infrastruktur dan sarana yang muncul akibat adanya pelabuhan tentunya memerlukan tenaga kerja untuk menjaga keberlangsungan pelabuhan pusat. Dalam hal ini, tidak hanya masyarakat desa sekitaran pelabuhan saja yang diberikan keuntungan, tetapi juga berbagai elemen masyarakat yang datang dari berbagai wilayah yang menjadikan Pelabuhan Tanjung Tiram sebagai sumber ekonomi bagi mereka.

Berbeda halnya dengan tangkahan yang ada di Desa Bogak. Faktor-faktor yang dimiliki Pelabuhan Tanjung Tiram seperti yang telah disebutkan di atas tidak sedemikian rupa dimiliki oleh tangkahan. Sebagaimana dengan fungsi tangkahan sebagai berikut, yaitu:

1. Tempat kapal atau sampan yang berukuran sedang dan kecil ditambatkan. 2. Sebagai tempat alternatif untuk pembongkaran muatan hasil laut jika

pelabuhan padat.

3. Letaknya yang dekat dengan rumah warga, sehingga warga lebih memilih untuk menambatkan kapal atau sampan mereka dekat dengan rumah mereka.

Adanya tangkahan menimbulkan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat untuk menjaga keberlangsungan dari tangkahan tersebut. Meskipun lapangan pekerjaan yang ada di tangkahan tidak sebanyak yang ada di Pelabuhan Tanjung


(37)

Tiram, lapangan pekerjaan yang ada di tangkahan tidak serta merta ada di pelabuhan dan begitu juga sebaliknya.

Masyarakat senantiasa dapat mencari kesempatan untuk mencari keuntungan dari berbagai situasi, tidak hanya di pelabuhan saja tetapi juga di tangkahan. Pada umumnya masyarakat yang menjadikan tangkahan sebagai sumber ekonomi mereka adalah masyarakat yang tinggal di sekitar tangkahan tersebut. Berbagai kedai dan bengkel untuk keperluan nelayan dan ojek perahu berdiri dekat dengan tangkahan untuk memudahkan nelayan dan ojek perahu.

Lapangan pekerjaan yang ada di tangkahan tidak hanya bergerak di sektor barang saja, tetapi juga di sektor jasa. Hal itu dibuktikan dengan adanya berbagai pekerja sektor jasa yang menawarkan jasanya untuk masyarakat dan pekerja lain yang ada di tangkahan. Masyarakat senantiasa bergerak secara dinamis atau dengan kata lain akan selalu mengalami perubahan (Berger dalam Demartoto, 2013). Seiring berjalannya waktu, ada saja lapangan pekerjaan baru yang muncul dari hasil interaksi antar masyarakat.

Masyarakat yang bekerja mencari nafkah melalui hasil laut dapat digolongkan kedalam 4 jenis pekerjaan, yaitu; juragan, nelayan, ABK (Anak Buah Kapal), dan “anak itik”. Masing-masing pekerjaan tersebut memiliki job desc yang dibutuhkan oleh jenis pekerjaan lainnya. Jaringan job desc dari keempat pekerjaan tersebut dapat dilihat pada bagan berikut:


(38)

Bagan 3.1. Jaringan Job Desc Para Pekerja.

4.2.1. Juragan / toke / “tekong”

Dalam strata pekerjaan yang ada di tangkahan dan pelabuhan. Toke/ juragan berada pada tingkatan paling atas, karena kepemilikan modalnya yang tinggi. Dikarenakan kepemilikan modalnya yang besar, toke/ juragan juga memiliki penghasilan yang paling besar dari nelayan, ABK dan “anak itik”, yaitu sekitar Rp. 3.000.000,- sampai Rp. 5.000.000,- perbulan. Kepemilikan modal yang besar tersebut dapat dibuktikan dengan banyaknya kapal dan cara kerja dari toke/ juragan itu sendiri. Di Desa Bogak, toke/ juragan biasa disebut dengan “tekong”.

“Tekong” bekerja sebagai pemborong hasil laut yang didapatkan oleh nelayan. Dengan bermodalkan kapal dan alat tangkap, “tekong” memekerjakan nelayan untuk menggunakan kapal dan alat tangkap miliknya dengan kesepakatan hasil laut akan dibeli oleh “tekong”. Seorang “tekong” bisa memiliki lebih dari satu kapal dan alat tangkap untuk digunakan oleh nelayan. Dengan kontrak yang


(39)

dibuat bersama dengan nelayan, “tekong” dapat memberikan harga terhadap hasil laut yang didapat oleh nelayan dengan sesukanya. Nelayan lain yang tidak menggunakan kapal dan alat tangkap yang disediakan oleh “tekong” juga dapat menjual hasil lautnya kepada toke atau “tekong”.

Kesepakatan antara nelayan dan “tekong” merupakan hasil negosiasi antar kedua belah pihak tersebut. Pihak “tekong” akan senantiasa membeli dengan harga murah, sedangkan nelayan akan berusaha agar nilai jual dari hasil lautnya dapat dibayar tinggi. “Tekong” merupakan penyalur hasil laut yang didapatkan oleh nelayan kepada konsumen langsung atau pasar. Oleh karena itu, “tekong” berusaha agar ketika di pasar, harga ikan dan hasil laut tidak begitu tinggi dan dapat dibeli oleh konsumen.

4.2.2. Nelayan

Nelayan merupakan pekerja dengan strata kedua setelah juragan atau “tekong”. Kedudukan kedua setelah “tekong” dikarenakan posisi nelayan adalah pemimpin kedua setelah “tekong”, baik ketika berada di pelabuhan, tangkahan, atau ketika melaut. Posisi tersebut didapatkan nelayan ketika nelayan tesebut menggunakan peralatan yang digunakan oleh “tekong”.

Nelayan sendiri terbagi atas beberapa jenis, yaitu:

1. Nelayan “tekong”: nelayan “tekong” yaitu nelayan yang bekerja di bawah perintah “tekong”. Nelayan “tekong” dan “tekong” memiliki kesepakatan bersama dalam bagi hasil. Nelayan “tekong” tidak memiliki peralatan melaut sendiri, oleh karena itu nelayan “tekong” menggunakan peralatan


(40)

yang disediakan oleh “tekong” untuk melaut (kapal dan alat tangkap). Pendapatan nelayan “tekong” adalah 2 “bagi”2

dari hasil tangkapan ketika mereka melaut. Kapal yang digunakan pun juga bervariasi, ada yang berukuran besar dengan muatan 15 orang (nelayan dan ABK), yang berukuran sedang dengan muatan 6 orang, atau yang berukuran kecil dengan muatan 2 orang.

2. Nelayan perorangan: nelayan perorangan adalah nelayan mandiri yang bekerja di luar kendali “tekong” atau toke. Dengan memanfaatkan modal sendiri, nelayan perorangan pergi melaut menggunakan kapal dan alat tangkap miliknya tanpa ada kesepakatan antara nelayan perorangan dengan “tekong” atau juragan. Ada juga nelayan perorangan yang merangkap sebagai toke atau pembeli hasil tangkapan nelayan. Hasil yang diterima oleh nelayan perorangan adalah 4 “bagi”, karena asumsi bahwa nelayan perorangan tersebut yang akan menanggung segala biaya apabila kapal atau jarring telah rusak. Nelayan perorangan juga memiliki ABK yang membantunya, sesuai dengan ukuran kapal yang dia gunakan. Masing-masing nelayan perorangan mememiliki ukuran kapal yang berbeda sesuai dengan modal yang mereka miliki. Ada yang berukruan besar, sedang dan kecil.

2

“Bagi” adalah pendapatan yang diterima oleh masing-masing pihak yang mencari nafkah dari hasil laut. Hasil laut yang telah di jual, kemudian kurangkan dengan biaya operasional kapal. Hasil bersih yang telah dipotong biaya operasional itula yang akan dibagikan kepada “tekong”, nelayan,

ABK dan “anak itik”. Sebagai contoh, di kapal terdapat seorang nelayan dan 3 orang ABK. Maka

hasil tangkapan akan dibagi menjadi 7 bagian, yaitu 2 bagian untuk nelayan ABK masing-masing


(41)

Nelayan yang menggunakan kapal dengan ukuran sedang dan besar, tidak bisa melaut sendirian tanpa bantuan dari anak kapal atau anak buah kapal (ABK). Nelayan memekerjakan ABK untuk memudahkan pekerjaannya dalam berbagai hal ketika berada di laut atau di pelabuhan. Dengan demikian, hasil laut yang didapatkan oleh nelayan yang menggunakan jasa ABK akan dibagikan sesuai dengan kesepakatan bersama.

4.2.3. ABK (Anak Buah Kapal)

ABK atau biasa juga disebut dengan anak sampan merupakan pekerja yang membantu nelayan, baik ketika melaut ataupun tidak. Pada umumnya ABK dipekerjakan oleh nelayan yang menggunakan kapal berukuran besar dan sedang. Karena berbagai pekerjaan yang harus tidak dapat diselesaikan oleh nelayan jika dikerjakan sendirian. Pekerjaan yang dikerjakan oleh ABK juga dikerjakan oleh nelayan, seperti; menjaring ikan, mengemudikan kapal, membuat jaring, memperbaiki kapal dan lain sebagainya.

Berdasarkan data lapangan, sebagian besar masyarakat Desa Bogak menggantungkan hidup mereka dari hasil laut dengan berbagai jenis pekerjaan, ada yang menjadi juragan, nelayan, pedagang, ABK dan lain-lain. Pekerjaan Anak Buah Kapal (ABK) merupakan pekerja terbanyak yang menggantungkan hidup mereka dari melaut. Jika setiap kapal besar menggunakan jasa 10 sampai 15 orang ABK dan kapal sedang 4 sampai 6 orang ABK, sedangkan di Desa Bogak terdapat begitu banyak kapal-kapal nelayan untuk melaut, maka dapat dilogikakan bahwa ABK adalah pekerja terbanyak yang mencari nafkah di laut.


(42)

Penghasilan yang didapat ABK dari pekerjaannya dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi laut sebagaimana yang dialami oleh nelayan dan juga “tekong”. Meskipun demikian, pendapatan ABK adalah 1 “bagi” dari hasil laut. Ada juga yang telah dikontrak dengan bayaran tertentu untuk sekali melaut, banyak atau tidaknya hasil laut, ABK tetap mendapatkan upah sesuai dengan kesepakatan.

Pekerjaan yang dikerjakan ABK di kapal tentunya berbeda-beda. Nelayan yang bertugas sebagai pemimpin di kapal ketika melaut, sedangkan ABK dibagi-bagi sesuai dengan posisi mereka masing-masing. Ada yang bertugas di penebar jaring, ada yang bertugas sebagai wakil nelayan yang bekerja di depan kapal dengan tanggung jawab mengarahkan kapal dimana ikan berada, dan lain sebagainya.

4.2.4. “Anak itik”

“Anak itik” merupakan bagian dari lingkungan pekerja yang ada di pelabuhan dan tangkahan. “Anak itik” bekerja sesuai dengan perintah dari juragan atau nelayan yang memekerjakan mereka. Pekerjaan mereka dimulai ketika kapal atau sampan sedang berlabuh atau sedang ditambatkan di pelabuhan atau di tangkahan. Sehingga, sebagian besar waktu mereka dihabiskan di pelabuhan dan di tangkahan.

Sebagian besar “anak itik” adalah pekerja anak yang berusia 18-15 tahun, dengan tujuan “anak itik”-lah yang akan melanjutkan kearifan lokal masyarakat pesisir di Desa Bogak sebagai nelayan atau pelaut. Meskipun ada juga “anak itik”


(43)

yang berusia lebih dari 18 tahun, bahkan sudah berumah tangga. Nelayan ataupun “tekong” yang ada di Desa Bogak akan lebih memilih untuk memekerjakan anak -anak agar bisa mereka didik nantinya.

Seiring dengan perubahan waktu dan bertambahnya kebutuhan, upah “anak itik” juga berubah-ubah. Menurut data lapangan, pada tahun 1970-an “anak itik” diberi upah Rp. 100,- untuk sekali bekerja. Sedangkan sekarang “anak itik” diupah sama dengan ABK, yaitu 1 “bagi”. Persamaan upah antara “anak itik” dengan ABK juga dipengaruhi oleh asumsi bahwa pekerjaan “anak itik” juga semakin berat, dan hanya dikerjakan oleh satu “anak itik” saja untuk satu kapal.

Meskipun kebanyakan “anak itik” adalah pekerja anak, tetapi “anak itik” merasa senang bisa bekerja sebagai “anak itik”. Hal tersebut dikarenakan mereka merasa bisa menjadi orang yang mandiri dan dapat membantu orang tua untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Perasaan senang tersebut juga didukung oleh keadaan kerja yang dibangun oleh juragan atau nelayan yang selalu bersikap baik terhadap “anak itik” yang mereka pekerjakan.

4.3. Profil Informan

4.3.1. Profil informan nelayan dan “tekong” di Desa Bogak

Nama : Acim Beel

Usia : 64 tahun

Pendidikan terakhir : Tamat SD (Sekolah Dasar) Penghasilan : Rp 2.000.000,- perbulan


(44)

Pekerjaan : Nelayan

Acim Beel merupakan nelayan yang juga merangkap sekaligus “tekong” atau toke di pelabuhan Tanjung Tiram, Desa Bogak. Masyarakat Desa Bogak mengenal Acim Beel dengan panggilan Apak Acim. Selain bekerja menjadi nelayan dan “tekong”, Acim Beel juga bekerja sebagai peternak itik.

Masyarakat Desa Bogak mengenal Acim Beel sebagai salah satu tokoh masyarakat yang disegani. Penobatan sebagai tokoh masyarakat tersebut dikarenakan Acim Beel merupakan penduduk yang sudah berdomisili di Desa Bogak secara turun temurun sejak Desa Bogak dibuka oleh keluarganya terdahulu. Acim Beel dimata para pekerjanya (ABK dan “anak itik”) adalah sosok yang bertanggungjawab. Perlakuan yang baik dari Acim Beel terhadap pekerjanya ditunjukkan dengan keramahan, menanggung biaya kecelakaan kerja dan lain sebagainya. Lama Acim Beel bekerja sebagai nelayan telah menghasilkan mantan-mantan “anak itik” yang sekarang telah beranjak dewasa dan tidak sedikit yang menjadi sukses, salah satunya adalah Jafar Sidik.

Anak-anak biasanya datang sendiri untuk meminta pekerjaan kepada Acim Beel untuk menjadi “anak itik”. Bagi Acim Beel, yang terpenting dari menjadi “anak itik” adalah kejujuran dan asal pandai menghidupkan mesin saja. Kemudian Acim Beel akan dengan senang hati untuk mengajarkan hal-hal baik kepada “anak itik” yang bekerja kepadanya tersebut.


(45)

Nama : Ariel

Usia : 27 tahun

Pendidikan terakhir : Tamat SD (Sekolah Dasar)

Penghasilan : Rp 35.000,- sampai Rp 100.000,- perhari

Etnis : Melayu

Pekerjaan : Nelayan

Ariel merupakan anak pertama dari Acim Beel yang bekerja sebagai nelayan di Desa Bogak. Kapal yang dimiliki oleh Ariel adalah kapal berukuran besar dengan muatan maksimal 15 orang. Sehari-hari, Ariel pergi melaut bersama dengan Anak Buah Kapal dan komando dari “tekong”. Meski memiliki kapal sendiri, Ariel tetap bekerja dibawah perintah dari “tekong” karena suatu kontrak kerja dimana hasil laut akan dibeli oleh “tekong”.

Selain melaut, Ariel beserta nelayan lainnya mengisi waktu mereka dengan memerbaiki jaring atau alat tangkap mereka yang rusak. Dalam hal ini, nelayan biasanya tidak bekerja sendirian. Ukuran jaring yang besar membutuhkan tenaga yang banyak untuk memerbaikinya agar cepat selesai. Ariel biasa menggunakan jasa “anak itik” untuk membantunya dalam hal merajut jaring atau memasang pemberat saja.

4.3.2. Profil informan “anak itik” di Desa Bogak

Nama : Bayu Saputra

Usia : 17 tahun


(46)

Penghasilan : Rp 20.000,- perhari

Etnis : Melayu

Pekerjaan : “Anak Itik”

Bayu Saputra adalah salah satu “anak itik” yang bekerja pada Acim Beel. Sehari-hari Bayu Saputra menghabiskan waktunya bersama para nelayan dan ABK di pelabuhan untuk bekerja. Bayu merasa senang dengan pekerjaannya sebagai “anak itik”. Dengan bermodalkan kejujuran dan kemampuannya dalam menghidupkan mesin, Acim Beel memekerjakan Bayu sejak dia berusia 7 tahun.

Tidak ada pekerjaan sampingan lain yang dikerjakan oleh Bayu selain menjadi “anak itik”. Bayu dipercaya Acim Beel untuk menjaga kapal miliknya bersama-sama dengan “anak itik” lainnya yang bekerja di kapal nelayan lain. Bagi Bayu Saputra, pekerjaan “anak itik” adalah pekerjaan yang menyenangkan dan dapat mendorong cita-citanya untuk menjadi “tekong” ketika dia sudah dewasa kelak.

Nama : Gunawan (Gugun)

Usia : 17 tahun

Pendidikan terakhir : Tamat SMP

Penghasilan : Rp 20.000,- perhari

Etnis : Melayu

Pekerjaan : “Anak Itik”

Gunawan atau biasa dipanggil Gugun merupakan salah satu “anak itik” yang ada di Desa Bogak. Gugun tidak bekerja berpatokan pada satu nelayan saja,


(47)

dia bekerja dengan membantu nelayan-nelayan yang ada di pelabuhan. Biasanya Gugun bekerja sebagai tukang suruh bagi nelayan atau siapapun yang ada di pelabuhan. Gugun sudah bekerja sebagai “anak itik” sejah dia berusia 10 tahun.

Keluarga Gugun cukup mampu untuk membiayai pendidikan gugun, sehingga Gugun merasa tidak perlu untuk bekerja sampai menjaga kapal atau sampan di malam hari seperti yang dikerjakan oleh Bayu. Bagi Gugun, pekerjaan “anak itik” adalah pekerja yang dapat mendewasakan dirinya. Melalui pekerjaan “anak itik”, Gugun bisa menambah pertemanannya dengan masyarakat yang lebih luas lagi dan menambah uang saku untuk dirinya sendiri.

Nama : Ipin

Usia : 17 tahun

Pendidikan terakhir : Tamat SD (Sekolah Dasar) Penghasilan : Rp 20.000,- perhari

Etnis : Melayu

Pekerjaan : “Anak Itik”

Ipin merupakan anak dari Peem yang bekerja sebagai “anak itik”. Sehari -hari Ipin bekerja di pelabuhan dengan membantu nelayan atau tukang di gudang. Dengan penghasilan Rp 20.000,- perhari, Ipin merasa mendapatkan banyak kepercayaan diri dibandingkan dengan teman sebayanya yang tidak bekerja. Keluarga Ipin yang hidup di bawah garis kemiskinan, mengharuskan Ipin untuk putus sekolah dan membantu meringankan beban ekonomi keluarganya.


(48)

Ipin merupakan anak yang pemalu dan sangat enggan untuk didokumentasikan dalam penelitian. Meskipun demikian, pekerjaannya sebagai “anak itik” membawanya pada pergaulan yang luas bersama para nelayan dan pekerja lainnya yang ada di pelabuhan.

4.3.4. Profil informan orang tua “anak itik” di Desa Bogak

Nama : Irwan

Usia : 60 tahun

Pendidikan terakhir : Tamat SD (Sekolah Dasar) Penghasilan : Rp. 2.000.000,- perbulan

Etnis : Melayu

Pekerjaan : Nelayan

Irwan adalah salah satu nelayan yang ada di Desa Bogak. Lebih kurang sudah 40 tahun Irwan bekerja sebagai nelayan. Irwan memiliki 4 orang anak, 2 di antaranya adalah mantan “anak itik” yang sekarang sudah bekerja sebagai pegawai swasta di Kota Medan.

Bagi Irwan, “anak itik” adalah proses yang baik yang bisa dilalui oleh anak-anak di Desa Bogak untuk menuju pendewasaan diri. Irwan merasa bahwa generasi mudah yang ada di Desa Bogak sekarang sudah terancam moral dan akhlaknya. Hal tersebut dikarenakan banyaknya pengaruh negatif yang masuk ke Desa Bogak, seperti: narkoba, judi dan perzinahan. Generasi terdahulu yang telah dididik melalui pekerjaan “anak itik” menghasilkan individu yang baik dan matang. Meskipun demikian, Irwan tidak memaksakan anaknya untuk bekerja


(49)

sebagai “anak itik” tetapi dia merasa senang dengan anaknya karena tidak terpengaruh oleh hal-hal negatif yang sekarang berkembang di Desa Bogak.

Nama : Ucok

Usia : 60 tahun

Pendidikan terakhir : Tamat SD (Sekolah Dasar) Penghasilan : Rp. 2.000.000,- perbulan

Etnis : Melayu

Pekerjaan : Nelayan

Ucok merupakan salah satu orang tua yang mengizinkan anaknya untuk bekerja sebagai “anak itik” di Pelabuhan Tanjung Tiram. Ucok merasa tidak ada alasan baginya untuk melarang anak-anaknya dalam mencari jati diri mereka sendiri. Meskipun Ucok merasa mampu untuk mencukupi kebutuhan keluarga, Ucok tidak merasa akan mendapatkan rasa malu jikalau ternyata anaknya bekerja sebagai “anak itik” di Desa Bogak.

Nama : Peem

Usia : 60 tahun

Pendidikan terakhir : Tamat SD (Sekolah Dasar) Penghasilan : Rp. 1.000.000,- perbulan

Etnis : Melayu


(50)

Peem adalah orang tua dari Ipin, yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan. Peem hanya menggunakan perahu kecil tanpa mesin yang hanya bermuatan 2 orang saja beserta alat tangkapnya. Penghasilan Peem hanya mampu untuk mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari keluarganya saja. Tidak ada larangan dari Peem kepada anak-anaknya untuk bekerja sebagai apapun, sejauh itu masih halal dan tidak merusak.

4.3.5. Profil informan mantan “anak itik” di Desa Bogak

Nama : Erwan Efendi

Usia : 53 tahun

Pendidikan terakhir : S-3

Penghasilan : Rp. 2.000.000,- perbulan

Etnis : Melayu

Pekerjaan : Wiraswasta

Erwan adalah mantan “anak itik” yang sekarang sudah bekerja sebagai wartawan di salah satu media massa di Kota Medan. Pekerjaan “anak itik” sudah dikerjakan oleh Erwan sejak berusia 7 tahun dan berhenti sampai dia tamat SLTP (Sekolah Lanjunt Tingkat Pertama). Kemudian melanjutkan pendidikannya hinggak ke jenjang S-3 di Kota Medan.

Menurut Erwan, “anak itik” adalah budaya masyarakat pesisir, khususnya masyarakat Desa Bogak yang harus dilestarikan. Hal tersebut dikarenakan “anak itik” akan mendapatkan banyak pelajaran yang tidak didapatkan dari pendidikan formal lainnya. Selama Erwan bekerja sebagai “anak itik”, Erwan tidak pernah


(51)

mendapatkan kekerasan dalam bentuk apapun. Para nelayan dan “tekong” yang memekerjakannya dulu selalu bersikap baik dan terus-menerus mengajarkan hal-hal baik yang sampai sekarang melekat dalam diri Erwan.

Nama : Jafar Sidik

Usia : 38 tahun

Pendidikan terakhir : Tamat SD (Sekolah Dasar) Penghasilan : Rp. 2.000.000,- perbulan

Etnis : Melayu

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Jafar Sidik adalah mantan “anak itik” yang bekerja pada Acim Beel. Awal mula Jafar Sidik bekerja sebagai “anak itik” adalah saat dia berusia 8 tahun. Ketika itu Acim Beel mengajak Jafar Sidik untuk bekerja sebagai “anak itik” di salah satu kapal milik Acim Beel. Pekerjaan “anak itik” dikerjakan oleh Jafar Sidik sampai dia tamat SLTP (Sekolah Lanjut Tingkat Pertama) dan kemudian melanjutkan pendidikannya di Kota Medan.

Menurut Jafar Sidik, “anak itik” bukan hanya sekedar pekerjaan yang dikerjakan oleh anak-anak yang ada di Desa Bogak. “Anak itik” adalah wadah yang sangat bagus dan efektif untuk meningkatkan daya juang generasi muda. Jafar Sidik mengakui banyak hal baik yang didapatkannya ketika dia bekerja sebagai “anak itik” dulu. Hal-hal baik tersebut tetap dibawa olehnya hingga saat ini dan akan menjadi pelajaran yang berharga bagi diri Jafar Sidik.


(52)

4.4. Profil “Anak Itik” Di Masyarakat Pesisir Desa Bogak

Salah satu pekerjaan yang ada di pelabuhan dan tangkahan adalah “anak itik”. Usia “anak itik” yang masih tergolong anak-anak (15-18 tahun) dimaksudkan sebagai bentuk sosialisasi laut terhadap generasi berikutnya dari generasi sebelumnya. Untuk lebih memahami lebih dalam lagi mengenai profil “anak itik”, berikut ini adalah penjelasannya.

4.4.1. Komposisi

Sebagaimana pekerjaan lainnya, pekerjaan “anak itik” juga memiliki penghasilan yang dianggap besar bagi masyarakat Desa Bogak. Nelayan akan selalu membutuhkan jasa “anak itik” ketika kapal atau sampan mereka sedang ditambatkan, sehingga pekerjaan “anak itik” juga diminati oleh berbagai kalangan usia.

Bagi nelayan, kriteria yang paling penting bagi seseorang jika ingin menjadi “anak itik” adalah mereka harus bisa menghidupkan mesin kapal. Dengan kriteria tersebut, “anak itik” tidak hanya dikerjakan oleh orang-orang dengan ekonomi menengah kebawah saja, anak-anak dan remaja juga ada yang menjadi “anak itik” dengan alasan hanya untuk menambah penghasilan.

Komposisi “anak itik” yang ada di pelabuhan dan tangkahan di Desa Bogak adalah anak-anak (15-18 tahun) dan remaja baik sudah menikah atau belum menikah (18-25 tahun) serta dari berbagai kalangan kelas ekonomi. Dengan kriteria pekerjaan yang dianggap mudah, “anak itik” dipilih sebagai


(53)

pekerjaan oleh anak-anak dan pemuda yang ada di Desa Bogak untuk membuat mereka bisa mandiri.

4.4.2. Jenis kelamin

Pekerjaan “anak itik” hanya dikerjakan oleh laki-laki saja. Bahkan semua pekerja (“tekong”, nelayan dan ABK) adalah laki-laki. Masyarakat Desa Bogak memiliki pandangan bahwa yang pelaut hanya boleh dilakukan oleh kaum laki-laki saja. Hal itu dikarenakan berbagai resiko yang akan dihadapi dan kemampuan laki-laki dianggap lebih tangguh dan cekatan ketika berada di laut.

Bedasarkan data lapangan, masyarakat Desa Bogak adalah masyarakat yang patriakat, ditambah lagi masyarakat Desa Bogak adalah masyarakat pesisir yang sebagian besar penduduknya mencari nafkah dari laut. Masyarakat Desa Bogak beranggapan bahwa laut merupakan tempat yang memiliki banyak berkah dan juga penuh dengan mara bahaya. Sehingga dibutuhkan keahlian khusus untuk mencari nafkah di laut, dan masyarakat Desa Bogak percaya bahwa hanya laki-laki saja yang bisa melaut. Oleh karena itu, pekerjaan “anak itik” hanya dikerjakan oleh laki-laki saja.

4.4.3. Usia

“Anak itik” merupakan salah satu jenis pekerjaan yang memiliki penghasilan yang dianggap besar bagi masyarakat Desa Bogak. Menurut data yang diperoleh peneliti, pada era 1970-an “anak itik” hanya dikerjakan oleh anak -anak saja. Seiring dengan perkembangan zaman dan adanya penambahan mesin


(54)

pada kapal dan sampan pada era 1980-an, komposisi usia pekerja “anak itik” semakin bertambah. Semula yang hanya anak-anak saja, kemudian berkembang hingga penduduk yang berusia 20 tahun lebih juga bekerja sebagai “anak itik”.

Peneliti menemukan masih banyaknya anak-anak yang bekerja sebagai “anak itik” dengan berbagai alasan. Meskipun demikian, penghasilan “anak itik” yang ditentukan oleh berapa banyaknya kapal yang ditangani akan menentukan seberapa besar pendapatan yang akan diterima oleh “anak itik” tersebut dianggap dapat menghidupi keluarga, sehingga banyak juga kepala keluarga yang bekerja sebagai “anak itik”.

4.4.4. Pendidikan

Kriteria kemampuan yang dibutuhkan “anak itik” dianggap tidak sulit bagi masyarakat Desa Bogak mengakibatkan “anak itik” tidak begitu memikirkan bagaimana untuk menambah keterampilan mereka tentang hal lainnya lagi. Hal tersebut diperkuat dengan anggapan bahwa “anak itik” hanya membutuhkan kemampuan untuk menjadi pelaut atau nelayan saja tanpa mempertimbangkan pendidikan formal seperti sekolah.

Berdasarkan data lapangan, hampir seluruh anak-anak yang bekerja sebagai “anak itik” berhenti bersekolah (tamat SD dan belum tamat SD) pada tingkat SD (Sekolah Dasar) dan memilih untuk menjadi “anak itik” dan kemudian bercita-cita untuk menjadi “tekong” ketika mereka sudah dewasa kelak. Peneliti


(55)

menemukan bahwa “anak itik” lebih menikmati dirinya bekerja menjadi “anak itik” yang dianggap sudah pasti mendapatkan uang, daripada harus bersekolah.

Meskipun demikian, menurut data lapangan tidak semua “anak itik” di Desa Bogak tidak memperdulikan pendidikan. Mantan “anak itik” yang saat ini sudah berusia 30 sampai 50 tahun telah banyak yang sukses dalam bidangnya masing-masing, namun ada juga yang tetap berada pada garis kemiskinan. Ada yang telah menjadi akademisi hingga bergelar Doktor, “tekong”, Pegawai Negeri Sipil (PNS), wiraswasta dan lain sebagainya.

4.5. Kondisi Sosial Ekonomi “Anak Itik” Pesisir

Sebagaimana pekerja lainnya, “anak itik” juga termasuk buruh yang bekerja kepada nelayan atau “tekong” dan kemudian dibayar dengan uang sesuai dengan apa yang telah disepakati. Pekerjaan “anak itik” akan terus ada selama kapal-kapal dan sampan milik nelayan atau “tekong” ditambatkan. Dengan demikian, penghasilan yang didapat oleh “anak itik” akan selau ada jika “anak itik” bekerja terus-menerus tanpa kenal lelah.

Pekerjaan “anak itik” dapat dibagi menjadi 2 periode, yaitu ketika kapal ditambatkan dan ketika kapal melaut. Umumnya, “anak itik” hanya bekerja untuk satu kapal atau sampan saja, tetapi ada juga “anak itik” yang bekerja lebih dari 1 kapal atau sampan. Masing-masing periode sangat berpengaruh dengan aktivitas yang dikerjakan oleh “anak itik”, dari mulai pendapatan hingga pengeluaran “anak itik” tersebut.


(56)

4.5.1. Aktivitas “anak itik” ketika kapal melaut

Pada periode dimana nelayan pergi melaut, sebagian besar “anak itik” akan beristirahat dan bermain bersama teman-teman mereka. Pemanfaatan waktu luang ini dimaksudkan untuk menghabiskan uang yang mereka dapatkan setelah mereka bekerja. Permainan yang mereka mainkan biasanya adalah permainan online yang ada di warnet (warung internet) dan playstation yang ada di Desa Bogak.

Berbeda halnya jika “anak itik” ingin ikut melaut bersama dengan ABK dan nelayan. “Anak itik” juga diperbolehkan ikut melaut bersama dengan nelayan dan ABK jika dalam satu kapal tersebut kekurangan ABK. Dalam satu kapal besar biasanya dibutuhkan ABK minimal 10 orang. Apabila ABK hanya ada 9 maka “anak itik” diperbolehkan ikut untuk memenuhi kapasitas kapal tersebut. Pada saat “anak itik” ikut melaut, maka predikatnya telah berubah menjadi ABK (Anak Buah Kapal) juga. Berbeda dengan ABK, “anak itik” akan menerima upah 2x lipat dati ABK atau 2 bagi, dikarenakan pekerjaan mereka sebagai “anak itik” dan ABK. Seperti yang diungkapkan oleh Acim Beel (64 tahun) sebagai berikut:

“Dalam 1 kapal itu ada 15 orang, “anak itik” ini bisa dibawa. Nah, kalau dia ikut, otomatis dia dapat 2 bagi. Karenakan dia tadi sudah kerja jadi “anak itik” terus ikut juga kelaut jadi ABK.” (Wawancara dengan Acim Beel (64 tahun)).

Pekerjaan “anak itik” yang dikerjakan oleh anak-anak di Desa Bogak tidak ada yang melarang, selama mereka tetap berlaku jujur dan mempunyai kemampuan yang dibutuhkan oleh nelayan dan “tekong” untuk dipekerjakan. Hal tersebut juga berlaku jika mereka mempunya kemampuan untuk menjadi seorang ABK (Anak Buah Kapal).


(57)

Beberapa “anak itik” bisa juga bekerja di kapal atau sampan lain sebagai sambilan untuk menunggu kapal nelayan yang menjadi tuannya kembali pulang. Ketika mereka bekerja di kapal atau sampan yang sedang berlabuh sembari menunggu nelayan tuan kembali, upahnya berbeda dengan yang diberikan oleh nelayan tuannya. Biasanya mereka akan diberi pekerjaan yang relatif ringan dan tidak memakan waktu lama untuk menyelesaikannya, seperti membeli persediaan makanan, minyak, membersihkan jaring dan lain sebagainya. Sedangkan upah yang mereka terima dari bekerja sambilan tersebut adalah Rp 5.000,- sampai Rp 15.000,-. Seperti yang diungkapkan oleh Bayu Saputra (17 tahun) sebagai berkut:

“Biasanya tunggu di sini (pelabuhan), sambil kerja sama nelayan lain, buat beli-beli minyak, makan, membersihkan jaring dan banyak juga yang lain. Tapi mengerjakannya sambil nunggu nelayan yang memekerjakan saya pulang. Jadi kerjanya gak begitu banyak. Upahya pun tidak banyak-banyak, kadang Rp 5.000,- atau paling banyak Rp 15.000,-.” (Wawancara dengan Bayu Saputra (17 tahun)).

4.5.2. Aktivitas “anak itik” ketika kapal berlabuh

Sebagai salah satu pekerja yang ada di pelabuhan dan tangkahan, “anak itik” sudah mengetahui kapan kapal akan melaut dan kapan kapal akan pulang atau berlabuh. Kebiasaan dan jadwal yang sudah diketahui “anak itik” tersebut mengharuskan “anak itik” untuk selalu siap sedia di pelabuhan, sehingga apabila nelayan tuan yang memekerjakan “anak itik” pulang, maka “anak itik” tersebut harus segera menanggungjawabi kapal atau sampan milik nelayan tersebut.

“Anak itik” tidak dapat menanggungjawabi kapal atau sampan milik nelayan lain dalam waktu yang bersamaan. Nelayan atau “tekong” yang


(58)

memekerjakan “anak itik” sudah memberikan tanggungjawab penuh terhadap “anak itik” untuk menjaga kapal atau sampan mereka. Pekerjaan “anak itik” ketika kapal atau sampan milik nelayan berlabuh bagi masyarakat Desa Bogak adalah pekerjaan “anak itik” yang sebenarnya. Berbagai kebutuhan kapal dipenuhi oleh “anak itik”. Mulai dari mengisi minyak, membeli persediaan makanan, membersihkan kapal, membeli es, memasang tenda dan hal lainnya yang diperintahkan oleh nelayan atau “tekong” kepada “anak itik”.

Kapal atau sampan milik nelayan biasanya ditambatkan di tangkahan dengan tujuan agar lebih dekat dengan rumah. Penambatan kapal atau sampan tersebut dapat dilakukan apabila air telah pasang dan memungkinkan untuk kapal atau sampan bisa melewati sungai untuk sampai di tangkahan dimana kapal atau sampan ditambat. Nelayan atau ABK yang ada di kapal biasanya akan segera pulang untuk beristirahat dan kapal akan dititipkan kepada “anak itik”, sehingga “anak itik” lah yang akan membawa kapal atau sampan tersebut ke tangkahan dengan menunggu air pasang untuk bisa membawa kapal atau sampan. Seperti yang dijelaskan oleh Bayu Saputra (17 tahun) berikut:

“Apa sajalah yang dikerjakan, mencuci boat, isi minyak, membeli es, pasang tenda, jaga malam juga. Kalau airnya pasang, kapal dimasukkan ke tangkahan. Ya kalau sudah begitu, saya tunggu sampai air pasang, supaya bisa dimasukkan kapalnya.” (Wawancara dengan Bayu Saputra (17 tahun)).

Ketika “anak itik” sedang bekerja di kapal atau sampan milik nelayan atau “tekong” tuannya, upah yang diterima “anak itik” adalah sama dengan upah yang diberikan kepada ABK, yaitu 1 bagi. Bagian dari hasil penjualan hasil laut itu bisa berubah-ubah sesuai dengan harga pasar dan banyaknya tangkapan yang didapat.


(59)

Dalam sehari, 1 bagi bisa seharga Rp 20.000,- atau bisa sampai Rp 35.000,-. Seperti yang dikatakan oleh Bayu Saputra (17 tahun) berikut:

“Gak tentu juga berapa upahnya, yang penting 1 bagi. Biasanya 1 bagi itu Rp 20.000,- dan kadang bisa sampai Rp 35.000,-.” (Wawancara dengan Bayu Saputra (17 tahun)).

Hal serupa juga dikatakan oleh nelayan, yaitu Acim Beel (64 tahun): “Untuk upah “anak itik” ini sama dengan upah Anak Buah Kapal, sama-sama 1 bagi. Tergantung berapa dapat hasil jualnya. Kadang Rp 20.000,- atau bisa juga Rp. 35.000,-.” (Wawancara dengan Acim Beel (64 tahun)).

Berbeda dengan ABK, “anak itik” bisa mendapat penghasilan yang lebih banyak. Penghasilan tambahan bisa didapatkannya jika “anak itik” juga ikut melaut atau bekerja sambilan menjadi “anak itik” nelayan lain sambil menunggu nelayan tuan pulang. Dari penghasilan yang didapat oleh “anak itik” tersebut, “anak itik” merasa bisa menjadi individu yang mandiri dengan adanya uang yang didapat dari hasil keringatnya sendiri.

4.6. “Anak Itik” Sebagai Bagian Dari Masyarakat Pesisir

Masyarakat adalah sebuah sistem yang memiliki berbagai unsur yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya (Poloma, 2010). “Anak itik” juga merupakan salah satu unsur yang terdapat pada masyarakat pesisir Desa Bogak. Sebagai salah satu unsur dalam sebuah sistem, “anak itik” mempunyai pengaruh yang besar dalam masyarakat Desa Bogak.

Eksistensi “anak itik” ada disetiap generasi pada masyarakat Desa Bogak. Belum ada literatur pasti yang menyebutkan kapan “anak itik” ada di Desa Bogak


(60)

tetapi berdasarkan data lapangan, “anak itik” sudah ada sejak dulu. Desa Bogak yang mayoritas masyarakatnya mencari nafkah dari hasil laut senantiasa bekerja sama satu dengan yang lain. Dalam hal ini, berbagai pekerjaan memiliki hubungan yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan, begitu juga dengan “anak itik”.

Masyarakat Desa Bogak merupakan masyarakat dengan latar belakang Etnis Melayu. Berdasarkan data lapangan, Etnis Melayu yang ada di Desa Bogak merupakan pelaut yang handal. Disertai dengan adanya ornament-ornamen Melayu di Desa Bogak seperti istana kerajaan Limalaras memperkuat asumsi bahwa Etnis Melayu adalah suku penduduk asli di kawasan Kecamatan Tanjung Tiram, termasuk juga Desa Bogak.

Sosialisasi “anak itik” sudah berlangsung sejak turun temurun di masyarakat Desa Bogak. Anak-anak di Desa Bogak harus diperkenalkan dengan laut agar kebudayaan dan tradisi di masyarakat tersebut tetap terjaga dan dilestarikan. “Anak itik” yang merupakan bagian dari kearifan lokal masyarakat Desa Bogak dianggap penting untuk diajarkan kepada generasi penerus.

Sejak usia dini, anak-anak di Desa Bogak biasanya akan bermain di dekat sungai. Sudah menjadi pemandangan umum untuk melihat anak-anak di Desa Bogak beranang dan bermain air di sungai yang ada di Desa Bogak, lokasi tempat mereka berenang tentunya adalah lokasi yang aman untuk mereka. Disekitar mereka, biasanya ada nelayan yang sedang merajut jaring atau sekedar menservis kapal atau sampannya.


(61)

Pengajaran tentang laut sudah diajarkan sejak dini oleh masyarakat Desa Bogak dengan membiarkan anak-anak mengeksplorasi alam sekitar mereka yang sebagian besar adalah perairan dan laut. Kemudian secara perlahan, bagi anak-anak yang berminat akan diajak untuk menjadi “anak itik” dan kemudian bekerja kepada nelayan atau “tekong”.

4.6.1. “Anak itik” dalam keluarga

Keluarga adalah kelopok terkecil dalam masyarakat. Segala bentuk kebudayaan serta adat istiadat yang ada di masyarakat, disosialisasikan secara efektif oleh keluarga. Keefektifan sosialisasi tersebut dikarenakan keluarga adalah arena pertama bagi individu untuk berinteraksi.

Masyarakat Desa Bogak sangat menghormati adat istiadat yang ada pada masyarakat mereka. Meskipun sudah banyak etnis pendatang yang ada di Desa Bogak, tetapi kearifan lokal seperti “anak itik” tetap dilestarikan oleh masyarakat. Hal tersebut dikarenakan “anak itik” merupakan media yang sangat efektif bagi anak-anak untuk dapat berkembang menjadi individu yang dewasa menurut masyarakat Desa Bogak. Berdasarkan asumsi bahwa “anak itik” adalah proses pendewasaan diri bagi anak-anak di Desa Bogak, maka masyarakat senantiasa menjaga dan mensosialisasikan “anak itik” secara turun temurun, baik dari lingkungan keluarga ataupun lingkungan di luar keluarga.

Melalui keluarga, “anak itik” di Desa Bogak disosialisasikan dan diajarkan secara turun temurun. Dalam satu keluarga nelayan di Desa Bogak, jika ayahnya seorang nelayan, maka anak laki-lakinya akan ada yang mengikuti jejak ayahnya


(62)

untuk menjadi nelayan. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa faktor seorang anak untuk bekerja bermacam-macam, tetapi untuk pekerjaan “anak itik” sedikit berbeda. Perbedaan tersebut dikarenakan “anak itik” adalah salah satu kebudayaan dan kearifan lokal di masyarakat pesisir Desa Bogak.

Sebagai bagian dari keluarga, seorang anak akan diperlakukan sebagaimana mestinya oleh orang tua mereka. Seorang anak akan diberikan perhatian lebih, serta ditanggungjawabi segala kebutuhannya. Hal serupa juga dialami oleh anak-anak yang bekerja sebagai “anak itik”. Kedua orang tua serta sanak keluarganya akan memberikan perhatian dan segala kebutuhannya akan dipenuhi. Anak-anak yang bekerja sebagai “anak itik” tidak dibedakan oleh kedua orang tua mereka dengan anak yang lainnya.

Masyarakat memberikan perlakuan baik kepada anak-anak yang bekerja sebagai “anak itik”. Perlakuan baik tersebut dikarenakan anak-anak yang bekerja sebagai “anak itik” adalah pekerja yang membantu nelayan dan “tekong” untuk meningkatkan hasil laut. Sebenarnya tidak ada perlakuan berbeda kepada anak-anak lain, baik yang bekerja sebagai “anak-anak itik” ataupun bukan. Masyarakat akan memberikan nilai dan perlakuan tersendiri sesuai dengan status dan atribut yang melekat pada diri individu.

Sebagaimana dengan pekerja lainnya, setiap pekerja akan mendapatkan perlakuan berbeda dalam ruang yang berbeda. Perlakuan “anak itik” di keluarga berbeda dengan perlakuan masyarakat luas kepada “anak itik”. Di sekolah anak -anak yang bekerja sebagai “-anak itik” tidak mendapat perbedaan perlakuan apapun dengan anak-anak lainnya.


(63)

4.6.2. “Anak itik” dalam lingkungan kerja masyarakat pesisir

Pekerja-pekerja yang ada dalam sistem sosial masyarakat Desa Bogak memiliki peran dan fungsinya masing-masing. Hubungan antara pekerja satu dengan yang lainnya berjalan dengan baik meskipun tetap ada persaingan. Hal tersebut juga dirasakan oleh anak-anak yang bekerja sebagai “anak itik”. “Anak itik” diperlakukan sebagaimana mestinya seperti pekerja lainnya.

Dalam lingkungan kerja, “anak itik” berada pada strata terendah dikarenakan pengalaman, upah yang diterima serta komposisi usianya. Oleh karena itu, tidak jarang ABK (Anak Buah Kapal) juga sering meminta tolong kepada “anak itik” untuk membeli sesuatu atau hanya sekedar orang yang diperintah (“disuruh-suruh). Meskipun demikian, hal tersebut dianggap sebagai hal yang biasa bagi masyarakat Desa Bogak, khususnya anak-anak yang bekerja sebagai “anak itik”.

Sosialisasi “anak itik” di lingkungan kerja merupakan sosialisasi kedua terefektif menurut data lapangan. Hal tersebut ditegaskan oleh orang tua “anak itik”, yaitu Irwan (60 tahun):

“Memang kalau di rumah, apa-apa diajarkan. Selain itu, “anak itik” ini kan akan banyak lebih tau lagi kalau dia sendiri yang merasakan.” (Wawancara dengan Irwan (60 tahun)).

Hal serupa juga dinyatakan oleh mantan “anak itik”, yaitu Erwan (53 tahun):

“Ya namanya keluarga, semua kan diajarkan. Tapi kalau tentang laut, kita lebih bisa memahami ketika kita terjun langsung.” (Wawancara dengan Erwan (53 tahun)).

Lingkungan kerja dapat menjadi media sosialisasi efektif kedua setelah keluarga bagi anak-anak yang bekerja sebagai “anak itik” tentang laut.


(64)

Keefektifan tersebut dikarenakan anak-anak yang bekerja sebagai “anak itik” akan merasakan langsung bagaimana berhadapan dengan laut sebagai bagian dari pekerjaannya. Selain itu, berbagai pembicaraan serta pembelajaran yang diberikan oleh pekerja lain seperti nelayan, “tekong” dan ABK tidak terlepas dari bagaimana menjadi seorang pelaut yang handal.

4.7. Hak dan Kewajiban “Anak Itik”

“Anak itik” merupakan salah satu pekerjaan yang ada di Desa Bogak. Pekerjaan “anak itik” berbeda dengan pekerja pada umumnya. Perbedaan tersebut terletak pada komposisi pekerjanya yang memekerjakan anak-anak sebagai “anak itik”. Meskipun terdapat perbedaan usia yang signifikan dari sesame “anak itik”, hak dan kewajiban “anak itik” tetaplah sama. Nelayan dan “tekong” tidak membeda-bedakan mana “anak itik” yang sudah berusia 18 tahun keatas atau mana “anak itik” yang berusia 18 tahun kebawah. Bagi nelayan dan “tekong” yang terpenting adalah “anak itik” haruslah bertanggungjawab terhadap pekerjaan mereka.

Pekerjaan “anak itik” bagi masyarakat Desa Bogak juga merupakan pilihan. Keputusan untuk menjadi “anak itik” sepenuhnya berada pada pekerja tersebut, baik itu anak-anak ataupun orang dewasa. Tidak ada paksaan dari siapapun bagi anak-anak atau orang dewasa untuk bekerja sebagai “anak itik”. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa sesekali nelayan atau “tekong” meminta orang untuk menjadi “anak itik”, tetapi keputusan itu kembali kepada si pekerja, apakah dia menerimanya atau tidak menerimanya.


(65)

Hukum positif membedakan hak dan kewajiban manusia berdasarkan usia. HAM anak-anak serta HAM orang dewasa berbeda antar satu sama lain. Dalam masyarakat perbedaan itu semakin terlihat jelas dikarenakan berbagai tuntutan yang diberikan masyarakat kepada orang yang semakin beranjak dewasa. Sedangkan untuk anak-anak tidak ada tuntutan kepada mereka untuk bekerja atau memenuhi kebutuhan ekonomi, karena mereka masih ditanggungjawabi oleh orang tua atau masyarakat setempat.

4.7.1. HAM “anak itik”

“Anak itik” banyak diisi oleh anak-anak sebagai pekerjanya dengan tujuan untuk mensosialisasikan laut terhadap generasi penerus. Hak pekerja adalah mendapat upah yang layak serta jaminan social dan keselamatan kerja dari yang memekerjakan mereka (UU No. 13 tahun 2003). Sedangkan hak anak-anak menurut UU No. 23 tahun 2002 pasal 11 menyebutkan bahwa:

“Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.”

Sebagaimana yang dijelaskan oleh UU No. 23 tahun 2002 pasal 11 di atas. Anak-anak harus bergaul dengan anak sebayanya, baik itu bermain, berekreasi dan berkreasi dengan tujuan agar sosialisasi yang diterima oleh anak-anak sesuai dengan usianya. Sedangkan “anak itik” yang banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja, sangat jarang untuk bergaul dengan anak sebayanya. Meskipun ada waktu untuk beristirahat, teapi “anak itik” lebih memilih untuk bermain


(66)

permainan online atau playstation yang disewa di Desa Bogak daripada berkumpul dengan teman sebayanya.

Anak-anak haruslah memeroleh pendidikan yang layak, yaitu pendidikan formal 12 tahun (SD, SMP dan SMA) sebagaimana yang akan diberlakukan sesuai dengan revisi UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Tuntutan pekerjaan “anak itik” yang harus selalu siap sedia ketiak nelayan pulang mengakibatkan waktunya habis dan lebih memilih untuk tidak melanjutkan sekolah dengan alasan lebih mudah mendapatkan uang. Sebagaimana yang dikatakan oleh Bayu Saputra (17 tahun) ketika ditanya apakah ingin melanjutkan sekolah lagi atau tidak:

“Tidak, kan lebih enak kerja saja. Bisa dapat uang dan lebih enak aja.” (Wawancara dengan Bayu Saputra (17 tahun)).

Selanjutnya dalam UU yang sama pasal 2 menyebutkan bahwa pendapat anak haruslah dihargai, maka apapun pendapat yang dikatakan oleh anak haruslah didengarkan dan dihargai. Meskipun demikian, anak-anak sebagaimana anggota masyarakat akan mendapatkan pengaruh dari berbagai pihak yang akan mengubah pola pikir serta keputusannya. Anak-anak belum memiliki cukup pengalaman dan pengetahuan yang luas untuk memutuskan mana yang terbaik bagi dirinya. Oleh karena itu, di sinilah peran masyarakat khususnya orang tua untuk memberikan yang terbaik untuk anak.

“Anak itik” sebagai pekerja anak tentu saja bertentangan dengan hak-hak mereka sebagai anak-anak. Masa anak-anak yang harusnya dihabiskan dengan bermain dan berkespresi sebagaimana anak-anak pada umumnya tetapi dihabiskan


(1)

iv 6. Penghargaan yang tertinggi saya berikan untuk kedua orang tua tercinta yaitu untuk Buya dan mamak, Dr. Erwan Efendi, M.A. dan Sumiati yang telah merawat serta mendidik saya dengan sepenuh hati. Akhirnya inilah persembahan yang dapat saya berikan sebagai tanda ucapan terimakasih dan tanda bakti saya kepada kedua orang tua.

7. Saya ucapkan terimakasih kepada saudara-saudari saya yaitu Yusmar Alkholidi Effendi, Sri Rahmadaniyati Effendi dan Khoiria Zulhijjah Effendi atas segala dukungannya kepada saya.

8. Terkhusus untuk teman terbaik saya yaitu Anita Syafitri, terimakasih atas waktu, semangat, pengorbanan dan segala kebaikannya dalam membantu saya terutama dalam menyelesaikan skripsi ini. Serta kepada sahabat-sahabat saya yang selalu ada yaitu Ayub Purnomo, Laila Ulfa, Putria Mawaddah dan May Pratiwi Purba.

9. Kepada teman baik saya yaitu Tim pengabdian Herliza, Ernita, Ismi, Novi. Sahabat Ganbare, Fishclub, dan adik-adik Frekuensi. Tak lupa pula saya ucapkan trimakasih kepada sahabat saya di seluruh Indonesia yaitu sahabat OBL, U-Gen, PHBD, GYC, DreamMaker atas motivasi yang sangat besar kepada saya. Serta seluruh teman-teman seangkatan yaitu Sosiologi 2011 yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Terima kasih atas kasih sayang, serta motivasi yang sangat luar biasa untuk saya.

10.Terakhir saya ucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian lapangan yaitu kepada seluruh informan baik di Batubara ataupun yang berada di Medan. Terimakasih banyak atas waktu dan kesediaan untuk diwawancarai guna menyelesaikan penelitian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan keterbatasan, untuk itu penulis mengharapkan masukan dan saran-saran yang sifatnya membangun demi kebaikan tulisan ini. Demikianlah yang dapat penulis sampaikan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, dan akhir kata dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima


(2)

kasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Medan, 29 Desember 2015 Penulis

Ahmad Yasser Effendi NIM. 110901051


(3)

vi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR BAGAN ... ix

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitan... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

1.5. Definisi Konsep ... 8

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA... 10

2.1. Proses Sosialisasi Menuju Masyarakat ... 10

2.2. Kekerasan Simbolis Dalam Pandangan Pierre Bourdieu ... 12

2.3. Pekerja Anak-anak ... 15

BAB III : METODE PENELITIAN ... 18

3.1. Jenis Penelitian ... 18

3.2. Lokasi Penelitian ... 19

3.3. Unit Analisis dan Informan ... 19

3.3.1. Unit analisis ... 19

3.3.2. Informan ... 20

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 20

3.4.1. Observasi ... 21

3.4.2. Wawancara mendalam ... 22

3.4.3. Dokumentasi ... 23

3.4.4. Penghayatan ... 23

3.5. Jenis Data dan Sumber Data ... 23

3.6. Interpretasi Data ... 25

3.7. Keterbatasan Penelitian ... 25

BAB IV : DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN ... 27

4.1. Gambaran Tangkahan dan Pelabuhan di Desa Bogak ... 27

4.2. Gambaran Pekerja di Tangkahan Desa Bogak ... 30

4.2.1. Juragan / toke / “tekong” ... 33

4.2.2. Nelayan ... 34

4.2.3. ABK (Anak Buah Kapal) ... 36

4.2.4. “Anak Itik” ... 37

4.3. Profil Informan ... 38


(4)

4.3.1. Profil informan nelayan dan “tekong” di Desa Bogak ... 38

4.3.2. Profil informan “anak itik” di Desa Bogak ... 40

4.3.3. Profil informan orang tua “anak itik” di Desa Bogak ... 43

4.3.4. Profil informan mantan “anak itik” di Desa Bogak ... 45

4.4. Profil “Anak Itik” Pesisir ... 47

4.4.1. Komposisi ... 47

4.4.2. Jenis Kelamin ... 48

4.4.3. Usia ... 48

4.4.4. Pendidikan ... 49

4.5. Kondisi Sosial Ekonomi “Anak Itik” Pesisir ... 50

4.5.1. Aktivitas Ketika Kapal Melaut ... 51

4.5.2. Aktivitas Ketika Kapal Berlabuh ... 52

4.6. “Anak Itik” Sebagai Bagian Dari Masyarakat Pesisir... 54

4.6.1. “Anak itik” dalam keluarga pesisir ... 56

4.6.2. “Anak Itik” dalam Lingkungan Kerja Pesisir ... 58

4.7. Hak dan Kewajiban “Anak Itik” ... 59

4.7.1. HAM “anak itik” ... 60

4.7.2. Kewajiban “anak itik” sebagai pekerja anak... 63

4.7.3. Kesadaran akan hak dan kewajiban “anak itik” ... 64

4.8. Sosialisasi Kekerasan Simbolik pada Masyarakat Pesisir ... 67

BAB V : PENUTUP ... 69

5.1. Kesimpulan ... 69

5.2. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 74


(5)

viii DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Data Pekerja Anak Berdasarkan Faktor Penyebab ... 3


(6)

DAFTAR BAGAN