Analisis Kausalitas dan Kointegrasi Antara Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia (Bi Rate) dengan Suku Bunga Bank Amerika Serikat (The Fed)

(1)

SKRIPSI

ANALISIS KAUSALITAS DAN KOINTEGRASI ANTARA

TINGKAT SUKU BUNGA BANK INDONESIA

(BI RATE) DENGAN SUKU BUNGA BANK

AMERIKA SERIKAT (THE FED)

OLEH

Lasma Melinda Siahaan

100501046

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN

DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Kausalitas dan Kointegrasi antara Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia (BI Rate) dengan Suku Bunga Bank Amerika Serikat (the Fed), dengan menggunakan data time series yaitu data bulanan selama periode waktu Januari 2008 sampai dengan Nopember 2013. Metode yang digunakan untuk menguji kausalitas adalah metode Granger’s Causality dan menguji kointegrasi adalah metode Johansen’s Multivariate Cointegration Test.

Hasil dari analisis data menunjukkan bahwa terdapat kointegrasi antara tingkat suku bunga Bank Indonesia (BI Rate) dengan suku bunga Bank Amerika Serikat (the Fed). Artinya, antara tingkat suku bunga Bank Indonesia (BI Rate) dengan suku bunga Bank Amerika Serikat (the Fed) memiliki hubungan keseimbangan jangka panjang.

Sedangkan dari hasil uji Granger Causality ditemukan adanya hubungan yang searah. Artinya hanya variabel tingkat suku bunga Bank Amerika Serikat (the Fed) yang mempengaruhi suku bunga Bank Indonesia (BI Rate), sedangkan suku bunga Bank Indonesia (BI Rate) tidak mempengaruhi tingkat suku bunga Bank Amerika Serikat (the Fed).

Kata Kunci : BI Rate, the Fed, Granger’s Causality, Johansen’s Multivariate Cointegration Test.


(3)

ABSTRACT

This study aims to analyze Causality and Cointegration among Interest Rates of Bank Indonesia (BI Rate) and the U.S. Interest Rate (the Fed), using time series data, that is a monthly data during the time period January 2008 to November 2013. The method used to test the causality is Granger's Causality method, and the method used to test cointegration is Johansen's Multivariate Cointegration Test.

The results of the analysis data shows that there is a cointegration between the Interest Rate of Bank Indonesia (BI Rate) and U.S. Interest Rate (the Fed). It means that between the Interest Rate of Bank Indonesia (BI Rate) and U.S. Interest Rate (the Fed) have a long-term equilibrium relationship.

While the results of the Granger Causality test found a direct relationship. It means that only variable of U.S. Interest Rate (the Fed) affects the Interest Rate of Bank Indonesia (BI Rate), while the Interest Rate of Bank Indonesia (BI Rate) does not affect the U.S. Interest Rate (the Fed).

Keywords : BI Rate, the Fed, Granger’s Causality, Johansen’s Multivariate Cointegration Test.


(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir yang harus ditempuh untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

Adapun judul skripsi ini adalah “Analisis Kausalitas dan Kointegrasi antara Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia (BI Rate) dengan Suku Bunga Bank Amerika Serikat (the Fed)”.

Dalam penulisan skripsi ini, Penulis mendapat banyak bantuan dari berbagai pihak, baik berupa dorongan semangat maupun sumbangan pemikiran. Oleh karena itu, pada kesempatan ini Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan bimbingan, yaitu:

1. Kepada kedua orang tua Penulis, Ayahanda Drs. Pintor Siahaan, M.Si dan Ibunda Rotua Hotmida br. Saragih yang telah banyak memberikan kasih sayang, dukungan, doa, semangat dan materi selama ini. Terima kasih yang tak terhingga Penulis ucapkan buat Adinda tersayang, Natasya Santa Elisabeth br. Siahaan dan Abangnda Penulis, Yoseph Parlindungan Siahaan, SH dan Bistok Hamonangan Siahaan, S.Sos. 2. Bapak Prof. Dr. Azhar Maksum, SE, M.Ec, Ak. selaku Dekan Fakultas


(5)

3. Bapak Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Sc, Ph.D selaku Ketua Program Studi S1 Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara dan Bapak Paidi Hidayat, SE, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S1 Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara dan Dosen Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dalam proses penulisan skripsi ini.

4. Ibu Dr. Murni Daulay, SE, M.Si selaku Dosen Pembanding I, dan Ibu Inggrita Gusti Sari Nasution, SE, M.Si selaku Dosen Pembanding II,

yang telah banyak memberikan masukan kepada Penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Dosen dan Pegawai Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, khususnya Departemen Ekonomi Pembangunan, yang telah memberikan ilmu dan perhatiannya kepada Penulis selama mengikuti perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu Penulis dalam penyelesaian skripsi ini tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan, untuk itu Penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk penyempurnaan penelitian selanjutnya.

Medan, Maret 2014


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Umum Suku Bunga ... 9

2.1.1 Pengertian Suku Bunga ... 11

2.1.2 Jenis-Jenis Suku Bunga ... 11

2.1.2.1 Suku Bunga Nominal ... 11

2.1.2.2 Suku Bunga Riil ... 12

2.1.3 Teori Tingkat Suku Bunga ... 14

2.1.3.1 Teori Klasik ... 14

2.1.3.2 Teori Keynes ... 16

2.1.3.3 Teori Paritas Tingkat Bunga ... 18

2.2 Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia (BI Rate) ... 20

2.2.1 Definisi ... 20

2.2.2 Fungsi ... 20

2.2.3 Jadwal Penetapan dan Penentuan ... 21

2.2.4 Besar Perubahan BI Rate ... 21

2.2.5 Mekanisme Bekerjanya Perubahan BI Rate ... 22

2.3 Tingkat Suku Bunga Bank Amerika Serikat (the Fed) ... 25

2.4 Kerangka Berpikir ... 27


(7)

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian ... 28

3.2 Batasan Operasional ... 28

3.3 Definisi Operasional ... 29

3.4 Jenis dan Sumber Data ... 29

3.5 Metode dan Pengumpulan Data ... 29

3.6 Teknik Analisis ... 30

3.6.1 Uji akar unit (unit root test) ... 30

3.6.2 Uji Kointegrasi (Cointegration Test) ... 33

3.6.3 Uji Kausalitas (Granger Causality Test) ... 36

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Perkembangan Kebijakan Moneter di Indonesia ... 39

4.1.1 Periode Pemerintahan Orde Lama ... 39

4.1.2 Masa Pemerintahan Orde Baru ... 40

4.1.3 Periode Setelah Krisis Ekonomi 1997 ... 41

4.1.4 Periode Setelah Krisis Finansial Global ... 42

4.2 Perkembangan Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia (BI Rate) ... 44

4.3 Perkembangan Suku Bunga Bank Amerika Serikat (the Fed) ... 49

4.4 Analisis dan Pembahasan ... 53

4.4.1 Hasil Uji akar unit (Unit root test) ... 53

4.4.2 Hasil Uji Kointegrasi (Cointegration Test) ... 55

4.4.3 Hasil Uji Kausalitas (Granger Causality Test) ... 56

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 60

5.2 Saran ... 60


(8)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Halaman

4.1 Kebijakan Moneter Seiring Waktu ... 43 4.2 Perkembangan Tingkat Suku Bunga Bank

Indonesia (BI Rate) dari Januari 2008 –

Nopember 2013 ...

44

4.3 Perkembangan Suku Bunga Bank Amerika Serikat Dari Januari 2008 – Nopember 2013 ...

50

4.4 Hasil Uji Stasioneritas Variabel BI Rate

dengan Intercept ...

53

4.5 Hasil Uji Stasioneritas Variabel Fed Rate

dengan Intercept ...

54

4.6 Hasil Uji Kointegrasi dengan Metode Johansen .... 55 4.7 Penentuan Lag Length ... 56 4.8 Hasil Uji Granger Causality ... 57


(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman

2.1 Hubungan antara Tingkat Bunga dengan

Kuantitas Uang ... 10 2.2 Keseimbangan Tingkat Bunga ... 15 2.3 Kurva Liquidity Preference ... 17 2.4 Mekanisme Bekerjanya BI Rate dalam

Mempengaruhi Inflasi ... 23 4.1 Perkembangan Suku Bunga Bank Indonesia

(BI Rate) Periode Waktu 2008 –

Nopember 2013 ... 49 4.2 Perkembangan the Fed Rate


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran Judul Halaman

1 Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia (BI

Rate) ... 64 2 Tingkat Suku Bunga Bank Amerika Serikat

(the Fed) ... 66 3 Hasil Uji Stasioneritas Variabel BI Rate

dengan Intercept ... 68 4 Hasil Uji Stasioneritas Variabel Fed Rate

dengan Intercept ... 69 5 Hasil Uji Kointegrasi dengan Metode

Johansen ... 70 6 Penentuan Lag Length ... 71 7 Hasil Uji Granger Causality ... 71


(11)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Kausalitas dan Kointegrasi antara Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia (BI Rate) dengan Suku Bunga Bank Amerika Serikat (the Fed), dengan menggunakan data time series yaitu data bulanan selama periode waktu Januari 2008 sampai dengan Nopember 2013. Metode yang digunakan untuk menguji kausalitas adalah metode Granger’s Causality dan menguji kointegrasi adalah metode Johansen’s Multivariate Cointegration Test.

Hasil dari analisis data menunjukkan bahwa terdapat kointegrasi antara tingkat suku bunga Bank Indonesia (BI Rate) dengan suku bunga Bank Amerika Serikat (the Fed). Artinya, antara tingkat suku bunga Bank Indonesia (BI Rate) dengan suku bunga Bank Amerika Serikat (the Fed) memiliki hubungan keseimbangan jangka panjang.

Sedangkan dari hasil uji Granger Causality ditemukan adanya hubungan yang searah. Artinya hanya variabel tingkat suku bunga Bank Amerika Serikat (the Fed) yang mempengaruhi suku bunga Bank Indonesia (BI Rate), sedangkan suku bunga Bank Indonesia (BI Rate) tidak mempengaruhi tingkat suku bunga Bank Amerika Serikat (the Fed).

Kata Kunci : BI Rate, the Fed, Granger’s Causality, Johansen’s Multivariate Cointegration Test.


(12)

ABSTRACT

This study aims to analyze Causality and Cointegration among Interest Rates of Bank Indonesia (BI Rate) and the U.S. Interest Rate (the Fed), using time series data, that is a monthly data during the time period January 2008 to November 2013. The method used to test the causality is Granger's Causality method, and the method used to test cointegration is Johansen's Multivariate Cointegration Test.

The results of the analysis data shows that there is a cointegration between the Interest Rate of Bank Indonesia (BI Rate) and U.S. Interest Rate (the Fed). It means that between the Interest Rate of Bank Indonesia (BI Rate) and U.S. Interest Rate (the Fed) have a long-term equilibrium relationship.

While the results of the Granger Causality test found a direct relationship. It means that only variable of U.S. Interest Rate (the Fed) affects the Interest Rate of Bank Indonesia (BI Rate), while the Interest Rate of Bank Indonesia (BI Rate) does not affect the U.S. Interest Rate (the Fed).

Keywords : BI Rate, the Fed, Granger’s Causality, Johansen’s Multivariate Cointegration Test.


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, dikatakan bahwa untuk memelihara kesinambungan pelaksanaan pembangunan nasional, pelaksanaan pembangunan ekonomi diarahkan kepada terwujudnya perekonomian nasional yang berpihak pada ekonomi kerakyatan, merata, mandiri, andal, berkeadilan dan mampu bersaing di kancah perekonomian internasional.

Guna mendukung terwujudnya perekonomian nasional tersebut dan sejalan dengan tantangan perkembangan dan pembangunan ekonomi yang semakin kompleks, sistem keuangan yang semakin maju serta perekonomian internasional yang semakin kompetitif dan terintegrasi, kebijakan moneter harus dititikberatkan pada upaya untuk memelihara stabilitas nilai rupiah.

Penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter yang efektif dan efisien diperlukan sistem keuangan yang sehat, transparan, terpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan yang didukung oleh sistem pembayaran yang lancar, cepat, tepat dan aman, serta pengaturan dan pengawasan bank yang memenuhi prinsip kehati-hatian. Sehingga diperlukan Bank Sentral yang memiliki kedudukan yang independen.

Bank Indonesia, sebagai Bank Sentral Republik Indonesia, merupakan lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah atau


(14)

pihak-pihak lainnya kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur di dalam undang-undang. Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.

Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia mempunyai tugas yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Dalam rangka melaksanakan tujuan tersebut, Bank Indonesia dilarang dan wajib menolak atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun.

Dalam menjalankan tugas menetapkan kebijakan moneter, Bank Indonesia berwenang untuk menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi yang ditetapkannya; dan melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara-cara yang tidak terbatas, seperti melalui operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum dan pengaturan kredit atau pembiayaan.

Anglingkusumo (2002) menyatakan bahwa komitmen yang tegas dan konsisten dalam menjaga kestabilan moneter akan meningkatkan kinerja kerangka kebijakan moneter yang diterapkan. Untuk menyempurnakan efektivitas kebijakan moneter dalam pengendalian inflasi ke depan, ia menyarankan diterapkannya strategi yang sarat informasi dalam kebijakan moneter seperti yang diterapkan oleh European Central Bank (ECB).

Strategi ini menitikberatkan pada dua pilar utama. Pilar pertama yaitu memberikan peran yang utama pada risiko uang terhadap inflasi seperti kelebihan


(15)

pertumbuhan uang diatas permintaanya, dan pilar kedua yaitu dikaitkan dengan teori-teori non-moneter atas inflasi seperti kaitan inflasi dengan kesenjangan output pada New Keynessian. Kedua pilar tersebut dikombinasikan dalam

memutuskan arah suku bunga ke depan yang diperlukan.

Dari segenap perangkat yang dimiliki Bank Indonesia, BI rate (suku bunga BI) merupakan salah satu yang kerap disebut dan muncul dalam pemberitaan. Suku bunga acuan ini pada satu sisi merupakan tanggapan atas sebuah situasi ekonomi, sementara di sisi lain juga seperti aba-aba yang menjadi pertanda akan seperti apa seluk beluk perekonomian nasional ditengah perekonomian global (Gerai Info Bank Indonesia, 2013).

Bagaimanapun juga, sinyal BI rate akan turut menentukan kemana dan secepat apa laju ekonomi Indonesia akan bergerak termasuk apakah target sasaran inflasi bakal tercapai. Jadi, BI rate adalah indikator keseimbangan. Karena itu, BI rate akan berubah kalau keseimbangan itu terganggu secara fundamental dan dampaknya jangka panjang. Selain penjaga keseimbangan, BI rate juga pemberi kepastian kepada pelaku usaha akan ekonomi ke depan.

Dalam rezim inflation targeting framework (ITF) yang dianut penuh mulai

Juli 2005, Bank Indonesia menetapkan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) berdasarkan sasaran tingkat inflasi yang dituju, sebagai panduan bagi pasar. BI rate merupakan policy rate, sebagai suku bunga acuan (benchmark). Dampak

BI rate terasa dalam implementasi operasi moneter yang dilakukan BI melalui pengelolaan likuiditas di pasar yaitu suku bunga pasar uang antarbank overnight


(16)

Pentingnya peranan suku bunga dalam menentukan kebijakan moneter di Indonesia diamati pula oleh Erawati dan Richard (2002). Dari hasil yang

diperoleh untuk jangka pendek, spread yang mampu menjelaskan ekspektasi inflasi adalah spread suku bunga deposito 12-1 bulan; spread deposito 12-3 bulan; spread deposito 12-6 bulan; spread deposito 6-1 bulan; dan spread deposito 6-3 bulan.

Sedangkan untuk jangka panjang hanya ada satu spread deposito yang dapat menjelaskan pergerakan ekspektasi inflasi, yaitu spread deposito 12-3 bulan. Karena itu, tingkat suku bunga menjadi penting, karena dapat digunakan untuk menganalisis ekspektasi inflasi.

Sejalan dengan itu, hasil penelitian dari Dwijayanthy dan Prima (2009) menyebutkan adanya korelasi yang cukup antara inflasi dan BI rate, karena pada praktiknya BI rate merupakan kebijakan dari Bank Indonesia sebagai dampak dari inflasi. Nilai BI Rate tergantung dari naik turunnya tingkat inflasi pada periode tertentu. Hal ini dilakukan guna menstabilkan nilai rupiah. Dengan demikian secara tidak langsung BI Rate mempengaruhi profitabilitas bank, karena dapat mempengaruhi nilai suku bunga pokok perbankan.

Dalam menentukan besar kecilnya BI rate, Bank Indonesia mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain selain didasarkan pada tingkat inflasi semata. Pertimbangan tersebut berasal dari faktor internal dan faktor eksternal yaitu kurs nilai tukar, selisih dengan suku bunga Amerika Serikat, peringkat surat hutang Indonesia, kondisi perekonomian negara dan faktor tidak tetap (Rudiyanto, 2011).


(17)

Kestabilan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, misalnya, akan dapat menentukan tingkat BI rate. Tingkat BI rate yang tinggi akan menyebabkan dana asing mengalir ke Indonesia dan sebaliknya tingkat BI rate yang rendah akan menyebabkan dana asing keluar dari Indonesia.

Berdasarkan penelitian Bjornland dan Havard (2006) yang menyatakan bahwa pentingnya peranan tingkat suku bunga dalam meramalkan nilai tukar atau exchange rate. Hal yang sama juga ditemukan oleh Sandra (2006). Hasil

penelitiannya membuktikan bahwa selisih tingkat suku bunga the Fed dengan BI rate dan jumlah uang beredar berpengaruh nyata terhadap nilai tukar rupiah.

Dan faktor eksternal yang sangat mempengaruhi besarnya tingkat BI rate adalah selisih dengan suku bunga Amerika Serikat (the Fed). Semakin besar selisihnya, maka akan semakin menarik pula negara Indonesia menjadi negara tujuan investasi. Dengan kata lain, apabila pemerintah AS menaikkan tingkat suku bunga (the Fed rate) sementara suku bunga Indonesia (BI rate) masih tetap, maka hal tersebut akan mengurangi daya tarik Indonesia sebagai negara tujuan investasi. Sejalan dengan hal tersebut, Prastowo (2008) dalam penelitiannya yang berjudul “Dampak BI rate terhadap Pasar Keuangan” menunjukkan hasil estimasi bahwa suku bunga deposito dan yield obligasi secara signifikan merespon

perubahan BI rate. Sementara untuk suku bunga pasar uang dan indeks harga saham tidak ditemukan adanya respon yang signifikan. Selain itu, level BI rate dan perbedaannya terhadap suku bunga luar negeri sangat berpengaruh bagi investor asing.


(18)

The Fed (Federal Reserve) mengawasi pasar saham dan dapat

mempengaruhi suku bunga dan aktivitas ekonomi bagi Indonesia. Saat ini hampir semua pasar saham termasuk di kawasan regional, mengamati dengan cermat perkembangan saham di Amerika Serikat. Apa yang dikatakan the Fed akan sangat diikuti oleh pasar. Pasar akan bereaksi cepat menyangkut rencana kebijakan the Fed, demikian pula dengan Indonesia.

Misgiyanti (2009), dalam penelitian berjudul “Pengaruh Suku Bunga Luar Negeri Fedearal Reserve (the Fed), Nilai Tukar Rupiah/ US $ dan Inflasi terhadap Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia periode 2006-2008”, menyatakan bahwa the Fed rate, nilai tukar dan inflasi mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia.

Hal yang sama juga ditemukan dalam hasil penelitian Antonio dkk (2013) yang menyatakan bahwa Fed rate berpengaruh signifikan terhadap pergerakan JII (Jakarta Islamic Index) dan FHSI (harga saham syariah). Fed berpengaruh negatif

dan signifikan terhadap pergerakan JII, namun pengaruh Fed terhadap FHSI berpengaruh positif dan signifikan.

Surbakti dan Lauw (2011) menemukan pula kesimpulan bahwa suku bunga

bank Amerika Serikat berpengaruh signifikan terhadap Jakarta Islamic Index

di Bursa Efek Indonesia. Penurunan suku bunga bank Sentral Amerika Serikat sebesar satu persen diprediksi akan meningkatkan Jakarta Islamic Index sebesar 89,795 point dengan asumsi tingkat non-farm payroll dan indeks NIKKEI 225


(19)

Sebagai dampak rencana tapering off Quantitative Easing yang dilakukan

oleh the Fed maka Bank Indonesia telah menaikkan BI rate dalam tiga bulan secara berturut-turut. BI rate yang semula berada di level 5,75 persen sejak Februari 2012 hingga Mei 2013 dinaikkan 25 basis poin (0,25 persen) pada Juni 2013 menjadi 6 persen. BI lalu kembali menaikkan BI rate pada bulan Juli sebesar 0,5 persen menjadi 6,5 persen. Pada bulan Agustus, awalnya otoritas moneter itu menahan BI rate, lalu diubah dalam rapat dewan gubernur bulanan tambahan pada akhir Agustus menjadi 7 persen (Ahniar, 2013).

Dalam Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia, 12 September 2013, BI memutuskan untuk kembali menaikkan BI rate sebesar 25 basis poin (bps) dari 7 persen menjadi 7,25 persen. Kebijakan tersebut merupakan yang keempat kali diambil oleh BI sejak Juni 2013 lalu. Angka BI rate 7,25 persen bukanlah angka tertinggi yang pernah dicapai BI rate. Tercatat, BI pernah menaikkan BI rate hingga ke level 12,75 persen pada 6 Desember 2005. Langkah tersebut diambil BI saat menghadapi gejolak ekonomi yang melanda sektor keuangan Indonesia pada tahun 2005 (Wiyanti, 2013).

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk menganalisis bagaimana Kausalitas antara Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia (BI Rate) dengan Suku Bunga Bank Amerika Serikat (the Fed).

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:


(20)

1. Apakah terdapat Kointegrasi antara Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia (BI Rate) dengan Suku Bunga Bank Amerika Serikat (the Fed).

2. Apakah terdapat hubungan Kausalitas antara Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia (BI Rate) dengan Suku Bunga Bank Amerika Serikat (the Fed).

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dijelaskan sebelumnya, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui Kointegrasi antara Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia (BI Rate) dengan Suku Bunga Bank Amerika Serikat (the Fed). 2. Untuk mengetahui hubungan Kausalitas antara Tingkat Suku Bunga

Bank Indonesia (BI Rate) dengan Suku Bunga Bank Amerika Serikat (the Fed).

1.4 Manfaat Penelitian

1. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dalam pengambilan keputusan mengenai tingkat suku bunga oleh lembaga yang berwenang yaitu Bank Indonesia.

2. Dapat digunakan sebagai bahan studi atau tambahan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa Fakultas Ekonomi, terutama Departemen Ekonomi Pembangunan yang ingin melakukan penelitian selanjutnya.

3. Untuk memberikan tambahan wawasan dan pengetahuan tentang tingkat suku bunga Bank Indonesia dan suku bunga bank Amerika Serikat.


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Umum Suku Bunga

Keynes berpendapat bahwa suku bunga itu adalah semata-mata gejala moneter, bunga itu adalah sebuah pembayaran untuk menggunakan uang. Karena tingkat bunga itu merupakan suatu gejala moneter, maka jelaslah bahwa teori moneter dengan bahagiannya teori tentang bunga menjadi suatu bagian penting dalam teori ekonomi umum, dan politik keuangan menjadi suatu bahagian yang utama dalam politik ekonomi umum (Manullang, 1962).

Bunga sebagai suatu gejala keuangan, tingkatnya ditentukan oleh permintaan kepada uang dan persediaan akan uang. Dengan kata lain, tingkat bunga itu ditentukan oleh dua faktor yakni faktor permintaan terhadap uang dan faktor penawaran akan uang. Faktor permintaan terhadap uang itu oleh Keynes disebut liquidity preference. Jadi, sesuai pendapat Keynes, bunga itu ditentukan

oleh liquidity preference dan jumlah uang.

Dalam suatu curve liquidity preference tertentu, bertambahnya jumlah

uang akan menyebabkan turunnya tingkat bunga. Dan sebaliknya, turunnya jumlah uang akan menyebabkan naiknya tingkat bunga. Selanjutnya, jika curve

liquidity preference mengalami perubahan maka dengan jumlah uang tertentu

akan menyebabkan naik turunnya tingkat bunga.

Semakin murah biaya peminjaman uang, semakin banyak uang yang akan diminta oleh rumah tangga dan dunia usaha. Semakin tinggi tingkat bunga


(22)

semakin besar persediaan dana yang dapat dipinjamkan. Tingkat keseimbangan dari bunga ditentukan oleh perpotongan dari permintaan (Dm) dan penawaran (Sm)

dana yang dapat dipinjamkan (Pass dkk, 1994).

Tingkat

Sm

Bunga

i Sm’

i’

Dm

Kuantitas Uang

0 Q1 Q2

Gambar 2.1

Hubungan antara Tingkat Bunga dengan Kuantitas Uang

Dalam teori, penguasaan moneter dapat mengawasi tingkat bunga dengan mengubah persediaan uang. Jika jumlah uang meningkat dari Sm ke Sm’ maka

akan menurunkan keseimbangan tingkat bunga dari i ke i1, dan melalui tingkat

bunga, menurunkan juga total pengeluaran dalam perekonomian.

Dengan demikian, secara sederhana suku bunga adalah harga uang. Suku bunga akan naik apabila jumlah uang sedikit dan permintaan terhadapnya besar. Sebaliknya, suku bunga akan turun bilamana jumlah uang besar dan permintaan terhadapnya sedikit.


(23)

2.1.1 Pengertian Suku Bunga

Menurut Kamus Lengkap Ekonomi (Pass dkk, 1994), yang dimaksud dengan tingkat bunga (interest rate) adalah jumlah tertentu bunga yang harus

dibayarkan peminjam kepada pemberi pinjaman atas sejumlah uang tertentu untuk membiayai konsumsi (consumption) dan investasi (investment).

Bagi dunia perbankan, tingkat bunga atau yang disebut dengan bunga bank dapat diartikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya. Bunga juga dapat diartikan sebagai harga yang harus dibayar kepada nasabah yang memiliki simpanan dengan yang harus dibayar oleh nasabah yang memperoleh pinjaman kepada bank (Kasmir, 2008).

2.1.2 Jenis-Jenis Suku Bunga

Secara umum, suku bunga dibedakan menjadi suku bunga nominal dan suku bunga riil.

2.1.2.1Suku Bunga Nominal

Suku bunga nominal dapat diartikan sebagai tingkat bunga yang harus dibayar oleh debitur kepada kreditur disamping pengembalian pinjaman pokoknya pada saaat jatuh tempo. Tingkat suku bunga yang terbentuk merupakan tingkat suku bunga yang disepakati oleh debitur dan kreditur. Tingkat bunga nominal ini sebenarnya adalah penjumlahan dari unsur-unsur tingkat bunga, yaitu tingkat bunga “murni” (pure interest rate), premi risiko (risk premium), biaya transaksi

(transaction costs), dan premi untuk inflasi yang diharapkan. Jadi:


(24)

dimana :

i = tingkat bunga nominal r = tingkat bunga murni Rp = premi risiko

Tc = biaya transaksi

Pi = premi inflasi

Jadi, tingkat bunga nominal (i) atau tingkat bunga yang tercatat di pasar berubah apabila unsur-unsurnya berubah (Boediono, 1985).

Collins secara sederhana mengartikan tingkat bunga nominal sebagai tingkat bunga yang dibayarkan pada suatu (loan) tanpa dilakukan suatu

penyesuaian terhadap akibat-akibat inflasi (Pass dkk, 1994).

2.1.2.2Suku Bunga Riil

Tingkat bunga riil adalah tingkat bunga nominal dikurangi laju inflasi yang terjadi selama periode yang sama. Bagi kreditur, tingkat bunga riil merupakan imbalan riil bagi pengorbanannya untuk menyerahkan penggunaan uangnya untuk jangka waktu tertentu. Bagi debitur, tingkat bunga riil merupakan beban riil atas penggunaan uang orang lain. Beban ini disebut “biaya (riil) dari kapital” atau real cost of capital bagi debitur tersebut, terutama apabila si debitur

adalah investor di bidang produksi barang-barang dan jasa (Boediono, 1985). Sebagai contoh, apabila seseorang meminjamkan uang Rp 1.000.000,00 selama setahun, dan selama itu terjadi laju inflasi sebesar 10%, maka dinilai dari daya belinya terhadap barang-barang, nilai uang tersebut telah turun menjadi (100% : 110%) x 1.000.000 dan hasilnya sekitar 909.000. Jadi, secara riil kreditur telah menanggung capital loss sebesar 1.000, meskipun uang 1.000.000


(25)

Oleh karena itu, kreditur harus memperhitungkan kemungkinan kerugian kapital ini dengan cara memperkirakan berapa persen penurunan nilai uang (yaitu berapa persen laju inflasi) yang akan terjadi selama uangnya dipinjamkan dan kemudian membebankannya pada debitur dalam bentuk tambahan persentase pada tingkat bunga yang harus dibayarnya.

Selain dua jenis suku bunga diatas, dalam kegiatan perbankan sehari-hari ada dua macam bunga yang diberikan kepada nasabahnya yaitu:

a. Bunga simpanan

Bunga simpanan adalah bunga yang diberikan sebagai rangsangan atau balas jasa bagi nasabah yang menyimpan uangnya di bank. Bunga simpanan merupakan harga yang harus dibayar bank kepada nasabahnya. Sebagai contoh jasa giro, bunga tabungan, dan bunga deposito.

b. Bunga pinjaman

Bunga pinjaman adalah bunga yang diberikan kepada para peminjam atau harga yang harus dibayar oleh nasabah peminjam kepada bank. Sebagai contoh bunga kredit.

Kedua macam bunga ini merupakan komponen utama faktor biaya dan pendapatan bagi bank. Bunga simpanan merupakan biaya dana yang harus dikeluarkan kepada nasabah sedangkan bunga pinjaman merupakan pendapatan yang diterima dari nasabah. Baik bunga simpanan maupun bunga pinjaman masing-masing saling mempengaruhi satu sama lainnya. Sebagai contoh,


(26)

seandainya bunga simpanan tinggi, maka secara otomatis bunga pinjaman juga terpengaruh ikut naik dan demikian pula sebaliknya (Kasmir, 2008).

2.1.3 Teori Tingkat Suku Bunga 2.1.3.1Teori Klasik

Teori tingkat bunga dari klasik ini adalah untuk menganalisis arus dari uang dalam suatu perekonomian moneter, misalnya melakukan analisis sebagai akibat dari perubahan tingkat bunga. Beberapa asumsi adalah:

a. Benar-benar terjadi subsitusi antara bentuk uang yang ditahan (cash on hand)

dengan surat berharga dari bank. b. Nilai tukar valuta asing tetap.

c. Asumsi pada skala perekonomian yang sempit.

d. Mekanisme pasar mendorong persaingan tingkat bunga (Waluya, 1993).

Menurut teori klasik, bunga adalah ”harga” yang terjadi di pasar dana investasi. Dalam suatu periode, ada anggota masyarakat yang menerima pendapatan melebihi apa yang mereka perlukan untuk kebutuhan konsumsinya selama periode tersebut. Mereka ini adalah kelompok “penabung”. Jumlah seluruh tabungan mereka membentuk suplai atau penawaran akan loanable funds

(Boediono, 1985).

Di lain pihak, ada anggota masyarakat yang membutuhkan dana, mungkin karena mereka ingin berkonsumsi lebih daripada pendapatan yang diterima selama periode tersebut, atau karena mereka adalah pengusaha yang memerlukan dana untuk operasi/ perluasan usahanya. Mereka ini adalah “investor” dan jumlah dari seluruh kebutuhan mereka akan dana membentuk permintaan akan loanable


(27)

funds. Selanjutnya, para penabung dan para investor ini bertemu di pasar loanable

funds, dan dari proses tawar-menawar antara mereka akhirnya akan dihasilkan

tingkat bunga kesepakatan atau keseimbangan.

Tingkat bunga dalam keadaan keseimbangan (artinya tidak ada dorongan untuk naik atau turun) akan tercapai apabila keinginan menabung masyarakat sama dengan keinginan pengusaha untuk melakukan investasi. Secara grafik keseimbangan tingkat bunga dapat digambarkan seperti dalam Gambar 2.2.

Tingkat bunga

Tabungan i1

i0 Investasi i

Investasi 0

S0 Jumlah uang yang ditabung

dan diinvestasikan

Gambar 2.2

Keseimbangan Tingkat Bunga

Keseimbangan tingkat bunga ada pada titik i0, dimana jumlah tabungan

sama dengan investasi. Apabila tingkat bunga diatas i0, jumlah tabungan melebihi


(28)

bersaing untuk meminjamkan dananya dan persaingan ini akan menekan tingkat bunga turun balik ke posisi i0.

Sebaliknya, apabila tingkat bunga dibawah i0, para pengusaha akan saling

bersaing untuk memperoleh dana yang relatif jumlahnya lebih kecil. Persaingan ini akan mendorong tingkat bunga naik lagi ke i0. Jadi, menurut kaum klasik

tingkat bunga itu merupakan hasil interaksi antara tabungan (S) dan investasi atau Investment (Nopirin, 1992).

2.1.3.2Teori Keynes

Menurut Keynes, tingkat bunga merupakan suatu fenomena moneter. Artinya, tingkat bunga ditentukan oleh penawaran dan permintaan akan uang (ditentukan dalam pasar uang). Uang akan mempengaruhi kegiatan ekonomi (GNP), sepanjang uang ini mempengaruhi tingkat bunga. Perubahan tingkat bunga selanjutnya akan mempengaruhi keinginan untuk mengadakan investasi dan dengan demikian akan mempengaruhi GNP. Sedang menurut klasik, uang hanyalah mempengaruhi harga barang (Nopirin, 1992).

Teori Keynes juga mengatakan bahwa ada tiga motif mengapa orang menghendaki memegang uang tunai. Ketiga motif tersebut adalah transaction

motive, precautionary motive dan speculative motive. Tiga motif inilah yang

merupakan sumber timbulnya “permintaan akan uang” yang dikenal dengan nama “liquidity preference” (Manullang, 1977).

Permintaan akan uang, yang oleh Keynes disebut dengan “liquidity


(29)

mengukur jumlah dan permintaan uang dengan sumbu vertikal untuk tingkat bunga.

Tingkat bunga

Jumlah uang

ieq

Liquidity preference

Jumlah uang yang ditabung

dan diinvestasikan

Gambar 2.3

Kurva Liquidity Preference

Permintaan akan uang mempunyai hubungan negatif dengan tingkat bunga. Keynes menyatakan bahwa masyarakat mempunyai keyakinan adanya suatu tingkat bunga yang normal. Apabila tingkat bunga turun dibawah tingkat normal, makin banyak orang yakin bahwa tingkat bunga akan kembali ke tingkat normal (jadi mereka yakin bahwa tingkat bunga akan naik di waktu yang akan datang).

Jika mereka memegang surat berharga pada waktu tingkat bunga naik, mereka akan menderita kerugian. Mereka akan menghindari kerugian ini dengan mengurangi surat berharga yang dipegangnya dan dengan sendirinya menambah


(30)

uang kas yang dipegang, pada waktu tingkat bunga naik hubungan ini disebut motif spekulasi permintaan uang.

Selain itu, menurut Keynes, makin tinggi tingkat bunga maka makin tinggi pula ongkos memegang uang kas (dalam bentuk tingkat bunga yang tidak diperoleh karena kekayaan dinyatakan dalam bentuk uang kas) sehingga keinginan memegang uang kas juga menurun. Sebaliknya, apabila tingkat bunga turun berarti ongkos memegang uang kas juga makin rendah sehingga permintaan akan uang kas naik (Nopirin, 1992).

2.1.3.3Teori Paritas Tingkat Bunga

Teori paritas tingkat bunga adalah salah satu teori yang penting mengenai penentuan tingkat bunga dalam sistem devisa bebas (yaitu apabila penduduk masing-masing negara bebas memperjualbelikan devisa). Teori ini pada dasarnya menyatakan bahwa:

“Dalam sistem devisa bebas tingkat bunga di negara satu akan cenderung sama dengan tingkat bunga di negara lain, setelah diperhitungkan perkiraan mengenai laju depresiasi mata uang negara yang satu terhadap negara yang lain.”

atau secara aljabar,

in≈ if + E*

dimana:

in = tingkat bunga (nominal) didalam negeri

if = tingkat bunga (nominal) diluar negeri

E* = laju depresiasi mata uang dalam negeri terhadap mata uang asing yang diperkirakan akan terjadi.


(31)

Jadi, apabila tingkat bunga di Amerika Serikat untuk, katakan, pinjaman jangka 6 bulan adalah 10% per tahun, dan selama 6 bulan mendatang kurs dollar AS terhadap rupiah diperkirakan meningkat dengan 4% (atau 8% apabila dinyatakan dalam laju per tahun), maka tingkat bunga untuk pinjaman jangka 6 bulan di Indonesia akan cenderung sama dengan 10% + 8% = 18% per tahun.

Hal ini terjadi apabila tingkat bunga yang berlaku di dalam negeri (untuk pinjaman 6 bulan tersebut) lebih rendah daripada 18% per tahun, maka akan lebih menguntungkan bagi pemilik dana untuk meminjamkan uangnya di Amerika Serikat (dollar) dan menerima imbalan 10% per tahun tanpa harus menanggung kerugian kapital berupa penurunan nilai mata uang rupiah sebesar 8% per tahun. Dana akan mengalir ke Amerika Serikat dan ini akan mengurangi tersedianya dana (rupiah) di dalam negeri, dan selanjutnya akan mendorong tingkat bunga di dalam negeri untuk naik mendekati 18% per tahun.

Sebaliknya, apabila tingkat bunga di dalam negeri ternyata lebih tinggi dari 18% per tahun (katakanlah 20%), maka akan lebih menguntungkan bagi orang Amerika Serikat untuk menukarkan dollarnya menjadi rupiah dan selanjutnya meminjamkannya di Indonesia dengan bunga 20% per tahun.

Meskipun seandainya perkiraan bahwa nilai rupiah akan turun 8% per tahun benar-benar terjadi, ia masih menerima imbalan 20% - 8% = 12% per tahun (dinyatakan dalam dollar). Jadi akan ada aliran dana (dollar) masuk ke Indonesia, sehingga suplai dana (rupiah) di Indonesia meningkat dan ini cenderung akan menurunkan tingkat bunga di dalam negeri sampai mendekati 18% per tahun.


(32)

Perlu dicatat bahwa dalam praktek ada “biaya transaksi” untuk memindahkan dana dari dan ke luar negeri. Oleh sebab itu, teori paritas tingkat bunga ini akan lebih tepat apabila berbunyi: bahwa tingkat bunga antara dua negara cenderung sama, setelah dikoreksi dengan laju depresiasi yang diperkirakan dari mata uang negara satu terhadap mata uang negara lain dan “biaya transaksi” ( biaya memindahkan dana).

Dalam sistem devisa bebas, “biaya transaksi tersebut rendah, tetapi dalam sistem devisa yang kurang bebas, biaya tersebut bisa tinggi. Oleh sebab itu, dalam sistem devisa yang tidak bebas, ada kemungkinan tingkat bunga di dalam negeri sangat berbeda dengan tingkat bunga di luar negeri, meskipun telah dikoreksi dengan laju depresiasi yang diperkirakan (Boediono, 1985).

2.2 Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia (BI rate) 2.2.1 Definisi

BI Rate adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh bank Indonesia dan diumumkan

kepada publik (Bank Indonesia, 2012).

2.2.2 Fungsi

BI Rate diumumkan oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia setiap Rapat Dewan Gubernur bulanan dan diimplementasikan pada operasi moneter yang dilakukan Bank Indonesia melalui pengelolaan likuiditas (liquidity management)

di pasar uang untuk mencapai sasaran operasional kebijakan moneter.

Sasaran operasional kebijakan moneter dicerminkan pada perkembangan suku bunga Pasar Uang Antar Bank Overnight (PUAB O/N). Pergerakan di suku


(33)

bunga PUAB ini diharapkan akan diikuti oleh perkembangan di suku bunga deposito, dan pada gilirannya suku bunga kredit perbankan.

Dengan mempertimbangkan pula faktor-faktor lain dalam perekonomian, Bank Indonesia pada umumnya akan menaikkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan melampaui sasaran yang telah ditetapkan, sebaliknya Bank Indonesia akan menurunkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan berada di bawah sasaran yang telah ditetapkan.

2.2.3 Jadwal Penetapan dan Penentuan

 Penetapan respons (stance) kebijakan moneter dilakukan setiap bulan melalui mekanisme RDG Bulanan dengan cakupan materi bulanan.

 Respon kebijakan moneter (BI Rate) ditetapkan berlaku sampai dengan RDG berikutnya

 Penetapan respon kebijakan moneter (BI Rate) dilakukan dengan memperhatikan efek tunda kebijakan moneter (lag of monetary policy)

dalam memengaruhi inflasi.

 Dalam hal terjadi perkembangan di luar prakiraan semula, penetapan stance Kebijakan Moneter dapat dilakukan sebelum RDG Bulanan melalui RDG Mingguan.

2.2.4 Besar Perubahan BI Rate

Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam perubahan BI Rate (secara konsisten dan bertahap dalam kelipatan 25 basis poin (bps). Dalam kondisi untuk menunjukkan intensi Bank Indonesia yang lebih besar terhadap pencapaian


(34)

sasaran inflasi, maka perubahan BI Rate dapat dilakukan lebih dari 25 bps dalam kelipatan 25 bps.

2.2.5 Mekanisme Bekerjanya Perubahan BI Rate

Tujuan akhir kebijakan moneter adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Untuk mencapai tujuan itu, Bank Indonesia menetapkan suku bunga kebijakan atau BI rate sebagai instrumen kebijakan utama untuk mempengaruhi kegiatan perekonomian dengan tujuan akhir pencapaian inflasi.

Namun jalur atau transmisi dari keputusan BI rate sampai dengan pencapaian sasaran inflasi tersebut sangat kompleks dan memerlukan waktu (time

lag). Mekanisme bekerjanya perubahan BI rate sampai mempengaruhi inflasi

tersebut sering disebut sebagai mekanisme transmisi kebijakan moneter. Mekanisme ini menggambarkan tindakan Bank Indonesia melalui perubahan-perubahan instrumen moneter dan target operasionalnya mempengaruhi berbagai variable ekonomi dan keuangan sebelum akhirnya berpengaruh ke tujuan akhir inflasi.

Mekanisme tersebut terjadi melalui interaksi antara Bank Sentral, perbankan dan sektor keuangan, serta sektor riil. Perubahan BI Rate mempengaruhi inflasi melalui berbagai jalur, diantaranya jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga aset, dan jalur ekspektasi. Gambar 2.4 akan menjelaskan bagaimana BI rate bekerja hingga dapat mempengaruhi tingkat inflasi di Indonesia.


(35)

Sumber: Bank Indonesia

Gambar 2.4

Mekanisme Bekerjanya BI Rate dalam Mempengaruhi Inflasi

Pada jalur suku bunga, perubahan BI Rate mempengaruhi suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan. Apabila perekonomian sedang mengalami kelesuan, Bank Indonesia dapat menggunakan kebijakan moneter yang ekspansif melalui penurunan suku bunga untuk mendorong aktifitas ekonomi. Penurunan suku bunga BI Rate menurunkan suku bunga kredit sehingga permintaan akan kredit dari perusahaan dan rumah tangga akan meningkat.


(36)

Penurunan suku bunga kredit juga akan menurunkan biaya modal perusahaan untuk melakukan investasi. Ini semua akan meningkatkan aktifitas konsumsi dan investasi sehingga aktifitas perekonomian semakin bergairah. Sebaliknya, apabila tekanan inflasi mengalami kenaikan, Bank Indonesia merespon dengan menaikkan suku bunga BI Rate untuk mengerem aktifitas perekonomian yang terlalu cepat sehingga mengurangi tekanan inflasi.

Perubahan suku bunga BI Rate mempengaruhi perekonomian makro melalui perubahan harga aset. Kenaikan suku bunga akan menurunkan harga aset seperti saham dan obligasi sehingga mengurangi kekayaan individu dan perusahaan yang pada gilirannya mengurangi kemampuan mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi seperti konsumsi dan investasi.

Perubahan suku bunga BI Rate juga dapat mempengaruhi nilai tukar. Mekanisme ini sering juga disebut jalur nilai tukar. Kenaikan BI Rate, sebagai contoh, akan mendorong kenaikan selisih antara suku bunga di Indonesia dengan suku bunga luar negeri. Dengan melebarnya selisih suku bunga tersebut mendorong investor asing untuk menanamkan modal ke dalam instrumen-instrumen keuangan di Indonesia seperti SBI karena mereka akan mendapatkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi. Aliran modal masuk asing ini pada gilirannya akan mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah. Apresiasi Rupiah mengakibatkan harga barang impor lebih murah dan barang ekspor kita di luar negeri menjadi lebih mahal atau kurang kompetitif sehingga akan mendorong impor dan mengurangi ekspor. Turunya net ekspor ini akan berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi dan kegiatan perekonomian.


(37)

Dampak perubahan suku bunga kepada kegiatan ekonomi juga mempengaruhi ekspektasi publik akan inflasi (jalur ekspektasi). Penurunan suku bunga yang diperkirakan akan mendorong aktifitas ekonomi dan pada akhirnya inflasi mendorong pekerja untuk mengantisipasi kenaikan inflasi dengan meminta upah yang lebih tinggi. Upah ini pada akhirnya akan dibebankan oleh produsen kepada konsumen melalui kenaikan harga.

2.3 Tingkat Suku Bunga Bank Amerika Serikat (the Fed)

Sebelumnya tidak ada sistem bank sentral di Amerika Serikat sampai tahun 1913. Namun, hal itu berubah dengan dibuatnya Undang-Undang Federal Reserve tahun 1913. Semenjak saat itu, Federal Reserve menjadi bank sentral Amerika Serikat. Pada awalnya, the Fed hanya sebuah institusi Pemerintah federal di Amerika Serikat. Pada perkembangannya, the Fed menjadi organisasi swasta yang dikuasai oleh beberapa orang kaya.

Ada dua belas bank-bank regional Sistem Federal Reserve di seluruh Amerika Serikat. Federal Reserve System, seperti bank sentral pada umumnya,

yang tujuannya mengatasi inflasi. Pada awalnya, bank sentral bertindak sebagai lender of resort, Pemerintah sebagai institusi yang berdiri siap untuk mem-bail

out segala permasalahan perbankan. Fed selalu berusaha untuk terus beradaptasi

pada berbagai kebijakan moneter, dalam upaya memerangi tekanan inflasi dan deflasi yang membawa akibat perubahan dalam perekonomian domestik dan global. (Yeager, 1984).

Lantas, bagaimana the Fed dapat mempengaruhi tingkat suku bunga? Seperti halnya bank-bank komersial pada umumnya, the Federal reserve


(38)

memberikan pinjaman dana. Namun perbedaannya adalah “klien” the Fed bukan masyarakat umum, melainkan bank-bank komersial. The Fed pada dasarnya mengambil keuntungan dari biaya bunga pinjaman atas pinjaman yang dilakukan oleh pihak bank lain. Ini disebut tingkat diskonto.

Bank atau pemberi pinjaman kemudian meminjamkan uang ke konsumen atau peminjam suku bunga utama mereka. Implikasinya jelas: semakin tinggi tingkat diskonto the Fed pada biaya bank, semakin tinggi tingkat suku bunga utama akan diberikan kepada peminjam sebab bank harus memenuhi persyaratan minimum yang diinstruksikan oleh the Fed.

Banyak orang berpikir bahwa ketika mendengar ketua Federal Reserve membuat perubahan kebijakan moneter dengan Tingkat Perdana, secara otomatis mempengaruhi tingkat suku bunga. Tidak demikian. Kenaikan tarif Perdana atau penurunannya dapat mempengaruhi Garis Depan Kredit Ekuitas (HELOC), tetapi tidak akan mempengaruhi tingkat suku bunga. Suku bunga juga berfluktuasi dengan program pinjaman yang tersedia untuk para peminjam.

Jadi, suku bunga secara jangka pendek langsung berdampak pada valuta asing dan secara jangka panjang akan berdampak pada harga biaya dalam masyarakat secara umum (SFTEAM, 2013).

Di Indonesia, suku bunga dalam negeri selain dipengaruhi oleh inflasi, juga dipengaruhi oleh suku bunga the Fed. Penurunan dan peningkatan suku bunga BI akan sejalan dengan perubahan yang terjadi pada tingkat suku bunga the Fed.


(39)

2.4 Kerangka Berpikir

Pada penulisan proposal skripsi ini, penulis menjelaskan variabel-variabel yang saling mempengaruhi dalam bentuk gambar kerangka berpikir dan variabel-variabel lain yang dimaksud.

Untuk lebih memperjelas kerangka berpikir tersebut, maka penulis membuat gambar seperti yang terlihat di dalam skema di bawah ini dimana gambar tersebut menjelaskan adanya hubungan dua arah antara suku bunga Bank Indonesia (BI rate) dengan suku bunga Bank Amerika Serikat.

2.5 Hipotesis

Dalam melakukan analisis terlebih dahulu harus ditentukan hipotesis yang digunakan. Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap permasalahan yang menjadi objek penelitian, yang kebenarannya masih perlu dikaji dan diteliti melalui data yang terkumpul kemudian diolah dan diuji secara empiris. Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka hipotesis penelitiannya adalah sebagai berikut:

a. Terdapat Kointegrasi antara Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia (BI rate) dengan suku bunga Bank Amerika Serikat (the Fed).

b. Terdapat Kausalitas antara Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia (BI rate) dengan suku bunga Bank Amerika Serikat (the Fed).

The Fed (X) BI rate


(40)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Dalam penelitian kuantitatif, proses analisis memiliki maksud umum meringkas dan menghubungkan data. Pada analisis data kuantitatif, maka pengolahan data merupakan kegiatan pendahuluan yang meliputi tahap editing dan coding

(pembuatan kode), penyederhanaan data dan mengode data (Suyanto dkk, 2005).

3.2 Batasan Operasional

Batasan operasional penelitian ini mencakup hubungan antara suku bunga Bank Indonesia (BI Rate) dengan suku bunga Amerika Serikat (the Fed). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data suku bunga Bank Indonesia (BI Rate) dan suku bunga Amerika Serikat (the Fed) yang dibatasi pada data rata-rata setiap bulan (data bulanan) selama periode waktu antara tahun 2008-2013. Alasan pemilihan periode tahun yang digunakan adalah untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat sesuai dengan keadaan sekarang ini. Pemilihan data bulanan adalah untuk menghindari bias yang terjadi akibat kepanikan pasar dalam merespon suatu informasi, sehingga dengan penggunaan data bulanan diharapkan dapat memperoleh hasil yang lebih akurat.


(41)

3.3 Definisi Operasional

a. Tingkat Bunga BI (BI rate) adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh bank Indonesia dan dihitung dalam satuan persen (%).

b. Tingkat Bunga Amerika Serikat (the Fed) merupakan piranti moneter bank sentral Amerika Serikat untuk mempengaruhi jumlah uang beredar dan dihitung dalam satuan persen (%).

3.4 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam bentuk time series yang bersifat kuantitatif, yaitu berupa data bulanan dalam

bentuk angka dalam kurun waktu 2008-2013 (6 tahun). Sumber data diperoleh dari Bank Indonesia, situs resmi Bank Amerika Serikat, jurnal-jurnal ilmiah, hasil penelitian dan sumber bacaan lainnya yang berkaitan dengan variabel-variabel yang digunakan untuk keperluan penelitian ini.

3.5 Metode dan Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data yang telah tersedia dan tidak perlu dikumpulkan lagi melalui pengamatan langsung maupun wawancara. Data-data sekunder yang digunakan adalah data-data yang berhubungan langsung dengan penelitian yang dilaksanakan.

Data-data yang diperlukan dikumpulkan dengan melakukan non-participant

observation, yaitu dengan men-download situs resmi Bank Indonesia


(42)

mencatat dan mengkopi data laporan keuangan Bank Indonesia yang merupakan financial report dari berbagai literatur pendukung lainnya serta melakukan studi

pustaka yang berkaitan dengan penelitian ini.

Selain itu, sebagai referensi dalam penelitian, dibutuhkan juga studi pustaka yang memadai seperti literatur-literatur ilmiah, jurnal ilmiah, buku panduan dari sumber lain yang dapat diakui sebagai literatur yang layak untuk dijadikan acuan.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan melakukan pencatatan langsung berupa data seri waktu (time series) yaitu dari tahun 2000

hingga 2012 yang diperoleh dari laporan tahunan Bank Indonesia dan Bank Amerika Serikat.

3.6 Teknik Analisis

Sebelum dilakukan estimasi melalui metode Cointegration Test dan

Granger Causality Test, maka terlebih dahulu dilakukan langkah-langkah berikut:

3.6.1 Uji akar unit (Unit root test)

Untuk menguji cointegration, maka perlu melakukan uji akar unit (Unit

root test). Uji akar unit ini digunakan untuk melihat apakah data yang diamati

stasioner atau tidak stasioner. Test ini sebenarnya hanya merupakan pelengkap dari analisis VAR, mengingat tujuan utama VAR adalah untuk menilai adanya hubungan timbal balik diantara variabel-variabel yang diamati dan bukan test untuk data.

Akan tetapi, apabila data yang diamati adalah stasioner maka hal ini akan meningkatkan akurasi dari analisis VAR. Tujuan dari test ini adalah untuk menyelidiki hipotesis berikut:


(43)

Ha : “terdapat hubungan jangka panjang antara suku bunga Bank Indonesia (BI rate) dengan suku bunga Bank Amerika Serikat (the Fed).”

Dalam statistik dan ekonometrik, uji akar unit yang biasa digunakan adalah uji Augmented Dickey-Fuller (ADF). Uji lain yang sama yaitu uji

Phillips-Perron (PP). Keduanya mengindikasikan keberadaan akar unit sebagai hipotesis

null. Perlu diketahui bahwa data yang stasioner adalah data yang bersifat flat, tidak mengandung komponen trend, dengan keragaman yang tetap, dan tidak terdapat fluktuasi periodik.

Untuk mengetahui adanya akar unit, maka perlu dilakukan pengujian Augmented Dickey-Fuller (ADF-test) sebagai berikut:

Jika variabel Yt sebagai variabel independen, maka akan diubah menjadi:

Yt = þ Yt-1 + t ………..……… (3.1)

dimana -1≤ þ ≤ 1 dan t adalah variabel gangguan yang bersifat random

atau stokastik dengan rata-rata nol, varian yang konstan dan tidak saling berhubungan. Jika koefisien þ=1 maka variabel Yt mempunyai akar unit, dalam

arti hipotesis diterima, yang bergerak secara random (random walk) tanpa trend

dimana varian Yt tidak stasioner. Hal ini menunjukkan bahwa Yt merupakan data

yang tidak stasioner karena memiliki akar unit. Untuk mengubah trend yang bersifat non-stasioner menjadi stasioner maka dilakukan uji orde pertama (first

difference)

ΔYt = (þ – 1) (Yt – Yt-1) ……….. (3.2)

Koefisien þakan bernilai nol, dan hipotesis akan ditolak sehingga model menjadi stasioner.


(44)

Hipotesis yang digunakan pada pengujian Augmented Dickey-Fuller

(ADF-test) adalah:

H0 b : þ = 0 (terdapat unit roots, variabel Y tidak stasioner)

H1 b : þ 0 (tidak terdapat unit roots, variabel Y stasioner)

Hipotesisnya adalah H0 mengandung arti bahwa terdapat akar-akar unit, H1

mengandung arti bahwa tidak terdapat akar-akar unit. Pengujian hipotesis statistik tersebut dilakukan dengan membandingkan ADFtest statistik hasil regresi dengan

tstatistik Mackinnon critical value 1 persen, 5 persen,10 persen. Bila ADFtest statistik

hitung lebih kecil daripada Mackinnon critical value, maka H0 diterima dan H1

ditolak, tidak cukup bukti untuk menolak hipotesis bahwa di dalam persamaan mengandung akar-akar unit, artinya data tidak stasioner. Sebaliknya, jika ADFtest statistik hitung lebih besar daripada Mackinnon critical value maka H0 ditolak dan H1

diterima, cukup bukti untuk menolak hipotesis nol bahwa didalam persamaan mengandung akar-akar unit, artinya data stasioner.

Dalam hal hasil ADFtest menunjukkan bahwa data time series yang diamati

tidak stasioner dalam bentuk level, maka perlu dilakukan transformasi melalui

proses differencing agar data menjadi stasioner. Cara differencing dilakukan

dengan cara mengurangi data tersebut dengan data periode data sebelumnya. Data dalam bentuk difference merupakan data yang telah diturunkan dengan periode

sebelumnya, dimana bentuk derajat pertama (first difference) dapat dinotasikan

dengan I(1) dengan fungsi:


(45)

Dengan demikian melalui differencing pertama (first difference) akan

diperoleh data selisih. Prosedur data ADF kemudian diaplikasikan kembali untuk menguji data first difference. Jika dari hasil uji ternyata data first difference telah

stasioner, maka dikatakan data time series tersebut terintegrasi pada derajat pertama I(1) untuk seluruh variabel. Tetapi jika data first difference tersebut

belum stasioner maka perlu dilakukan differencing yang kedua (second difference)

pada data tersebut untuk memperoleh data yang stasioner. Prosedur ini seterusnya dilakukan hingga diperoleh data yang stasioner. Uji ini dilakukan dengan program E-views versi 5.0.

3.6.2 Uji Kointegrasi (Cointegration Test)

Regresi dari dua variabel yang tidak stasioner akan menyebabkan timbulnya spurios regression sehingga proses differensiasi harus terlebih dahulu

dilakukan. Tetapi proses ini justru akan menghilangkan informasi hubungan jangka panjang yang mungkin terdapat di dalam variabel-variabel time series yang

diteliti dan hanya memberikan informasi mengenai hubungan jangka pendek time

series. Dan disinilah pentingnya konsep kointegrasi dimana konsep ini membantu

memberikan informasi mengenai hubungan jangka panjang yang ada dengan menggunakan time series non-stasioner.

Kointegrasi merupakan kombinasi hubungan linear dari variabel-variabel yang non-stasioner dan semua variabel tersebut harus terintegrasi pada orde atau derajat yang sama. Variabel-variabel yang terintegrasi akan menunjukkan bahwa variabel-variabel tersebut mempunyai trend stokhastik yang sama dan selanjutnya


(46)

Uji kointegrasi merupakan kelanjutan dari uji akar-akar unit dan uji derajat integrasi. Untuk melakukan uji kointegrasi, pertama-tama peneliti perlu mengamati perilaku data ekonomi runtun waktu yang akan digunakan. Ini berarti pengamat harus yakin terlebih dahulu apakah data yang akan digunakan stasioner atau tidak, yang antara lain dapat dilakukan dengan uji akar-akar unit dan uji integrasi. Apabila terjadi satu atau lebih variabel mempunyai derajat integrasi yang berbeda, maka variabel tersebut tidak dapat terkointegrasi (Engle dan Granger, 1987).

Dalam penelitian ini, pengujian kointegrasi menggunakan metode Johansen’s Multivariate Cointegration Test. Pendekatan multivariat Johansen

diawali dengan pendefinisian suatu vektor dari n potensial peubah endogen Zt. Zt

diasumsikan sebagai suatu sistem VAR yang tidak terestriksi dan memiliki sampai k-lags:

Zt = A1 Zt-1 + ………+ Ak Zt-k + Φ Dt + + εt ………..………… (3.4)

Dimana: A1 adalah n x n koefisien matriks, adalah konstanta, Dt adalah peubah

boneka musiman yang orthogonal terhadap konstanta dan εt diasumsikan

independen dan secara identik berdistribusi berdasarkan proses Gaussian.

Persamaan (3.4) dapat diformulasikan kembali ke dalam bentuk vector

error correction (VECM) dengan mengurangkan Zt-1 dari kedua sisi persamaan.

Δ Zt = Γ1Δ Zt-1 + …….. + Γk-1 Δ Zt-k+1 + Π Zt-k + Φ Dt + + εt ……... (3.5)

dimana, Γi = - (I - A1 -……- Ai ), (i = 1, … , k-1), dan Π = - (I - A1 - … - Ak).

Sistem persamaan yang terspesifikasi dalam persamaan (3.5) mengandung informasi baik penyesuaian jangka pendek maupun jangka panjang terhadap


(47)

perubahan Zt. Ranking Π, ditandai sebagai r, menentukan berapa banyak kombinasi linear Ztyang bersifat stasioner.

Jika r = N, maka semua peubah bersifat stasioner, sedangkan jika r = 0 sehingga Π = 0, maka tidak satupun kombinasi linear tersebut bersifat stasioner. Jika 0 < r < N, r vektor kointegrasi atau r kombinasi linear stasioner Zt akan

terjadi. Dalam kasus ini, Π dapat difaktorisasi, sehingga Π =

α

ß

dimana

α

merepresentasikan kecepatan penyesuaian terhadap disekuilibrium dan

ß

adalah matriks dari koefisien jangka panjang dan mengandung vektor kointegrasi. Penentuan berapa banyak vektor kointegrasi yang timbul di dalam

ß

, konsekuensinya mengarah pada pengujian kointegrasi.

Uji Kointegrasi bertujuan untuk mengetahui hubungan keseimbangan dalam jangka panjang antara tingkat suku bunga Bank Indonesia dengan tingkat suku bunga Bank Amerika Serikat dengan menggunakan Johansen test. Untuk

menentukan jumlah dari arah kointegrasi tersebut maka Johansen menyarankan untuk melakukan dua uji statistik yaitu uji trace (Trace test) dan uji maksimum

eigenvalue.

Uji statistik pertama adalah uji trace (Trace test, trace) yaitu menguji

hipotesis nol (null hypothesis) yang mensyaratkan bahwa jumlah dari arah

kointegrasi adalah kurang dari atau sama dengan þ dan uji ini dapat dilakukan sebagai berikut:

’


(48)

dimana r+1,…, n adalah nilai eigenvectors terkecil (p – r) . Null hypothesis yang

disepakati adalah jumlah dari arah kointegrasi sama dengan banyaknya r. dengan kata lain, jumlah vektor kointegrasi lebih kecil atau sama dengan r (≤ r), dimana r = 0,1,2, dan seterusnya.

Untuk uji statistik yang kedua adalah uji maksimum eigenvalue ( max)

yang dilakukan dengan formula sebagai berikut:

max (r, r + 1) = -T in(1 – r + 1) ……….. (3.7)

Uji berdasarkan pada uji null hypothesis bahwa terdapat r dari vektor

kointegrasi yang berlawanan (r + 1) dengan vektor kointegrasi. Untuk melihat hubungan kointegrasi tersebut maka dapat dilihat dari besarnya nilai Trace

statistik dan Max-eigen statistik dibandingkan dengan nilai critical value pada

kepercayaan (

α

)

sama dengan 5 persen.

3.6.3 Uji Kausalitas (Granger Causality Test)

Uji kausalitas dilakukan untuk mengetahui apakah suatu variabel endogen dapat diperlakukan sebagai variabel eksogen. Hal ini bermula dari ketidaktahuan pengaruh antar variabel. Jika ada dua variabel y dan z, maka apakah y

menyebabkan z atau z menyebabkan y atau berlaku keduanya atau tidak ada

hubungan keduanya. Variabel y menyebabkan variabel z artinya berapa banyak

nilai z pada periode sekarang dapat dijelaskan oleh nilai z pada periode

sebelumnya dan nilai y pada periode sebelumnya. Uji kausalitas dapat dilakukan

dengan berbagai metode diantaranya metode Granger’s Causality dan Error


(49)

Pada penelitian ini digunakan metode Granger’s Causality. Granger’s

Causality digunakan untuk menguji adanya hubungan kausalitas antara dua

variabel. Kekuatan prediksi (predictive power) dari informasi sebelumnya dapat

menunjukkan adanya hubungan kausalitas antara y dan z dalam jangka waktu

lama. Penggunaan jumlah lag atau efek tunda dianjurkan dalam waktu lebih lama,

sesuai dengan dugaan terjadinya kausalitas. Diharapkan hasil Granger’s Causality

ini dapat memberikan hasil yang menunjukkan adanya hubungan kausalitas dan arah pengaruh antara suku bunga Bank Indonesia (BI rate) dengan suku bunga Bank Amerika Serikat (the Fed).

Pengujian hubungan kausalitas dengan metode Granger’s Causality

dikembangkan oleh Granger. Model Granger’s Causality dinyatakan dalam

bentuk vektor autoregresi yang dinyatakan dalam persamaan berikut ini:

n n

Yt =

Σ

α

t

y

t-i +

Σ

ßj

Xt-j + 1t ; X  Y jika

ßj

> 0 …….………….... (3.8)

i=1 j=1

m m

Xt =

Σ

λ

t

y

t-i+

Σ

γj

Xt-j + 2t

;

Y  X jika

γj

> 0 ……...… (3.9)

i=1 j=1

keterangan :

Y = suku bunga Bank Indonesia

X = suku bunga Bank Amerika

1, 2 = error of term

Dimana 1, 2 adalah error of term yang diasumsikan tidak mengandung

korelasi serial dan m = n. Berdasarkan hasil regresi linear diatas, akan dihasilkan

empat kemungkinan mengenai nilai koefisien-koefisien regresi dari persamaan (3.8) dan (3.9) adalah sebagai berikut:


(50)

n s

1) Jika secara statistik

ß

j≠ 0 dan

γj

= 0,

j=1 j=1

maka terdapat kausalitas satu arah (unindirectional causality) dari Y ke X.

n s

2) Jika secara statistik

ß

j= 0 dan

γj

≠ 0,

j=1 j=1

maka terdapat kausalitas satu arah (unindirectional causality) dari X ke Y.

n s

3) Jika secara statistik

ß

j= 0 dan

γj

= 0,

j=1 j=1

maka X dan Y bebas antara satu dengan yang lainnya, artinya antara Y ke X tidak saling mempengaruhi (independence atau tidak signifikan) antara satu

dengan lainnya.

n s

4) Jika secara statistik

ß

j≠ 0 dan

γj

≠ 0,

j=1 j=1

maka terdapat kausalitas dua arah antara Y dan X atau terdapat hubungan kausalitas (feedback atau bilateral causality) antara satu dengan lainnya.


(51)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Perkembangan Kebijakan Moneter di Indonesia

Dalam perjalanannya, kebijakan moneter di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi politik dan ekonomi nasional dan juga global. Secara garis besar, sejarah perjalanan kebijakan tersebut dapat dibedakan menjadi: 1) periode pemerintahan Orde Lama; 2) periode pemerintahan Orde Baru; 3) periode setelah Krisis Moneter 1997; dan 4) periode setelah Krisis Finansial Global 2008.

4.1.1 Periode Pemerintahan Orde Lama

Pada tahun 1828, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan De Javasche Bank (DJB) sebagai bank sirkulasi yang bertugas mencetak dan mengedarkan uang. DJB kemudian diputuskan sebagai bank sentral pada penyerahan kedaulatan Indonesia pada pemerintah Republik Indonesia Serikat.

Kemudian, di tahun 1953, Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No. 11 Tahun 1953 tentang Pokok Bank Indonesia. Dua hal penting dari diberlakukannya undang-undang tersebut adalah (Bank Indonesia, 2007a):

1. Pendirian sebuah bank dengan nama “Bank Indonesia” sebagai pengganti DJB dan berfungsi sebagai bank sentral.

2. Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan Moneter, Direksi, dan Dewan Penasihat.

Prawiro (1998) mencatat bahwa pelaksanaan kebijakan moneter pada periode Orde Lama cenderung dipengaruhi oleh kondisi politik. Pemerintah Orde


(52)

Lama menerapkan kebijakan fiskal yang ekspansif yang berujung pada defisit anggaran pemerintah. Kebijakan fiskal yang ekspansif tersebut dipicu oleh pengeluaran militer, impor beras, subsidi, proyek Mercu Suar, dan Dana Bebas (Discretionary Funds).

Defisit anggaran tersebut kemudian dibiayai dengan pinjaman dari BI. Uang yang beredar meningkat tajam jauh melebihi kebutuhan riil perekonomian sehingga mendorong melambungnya harga. Akibatnya, inflasi menjadi tidak terkendali hingga mencapai 635% pada tahun 1966. Keadaaan ini dikenal dengan periode hiperinflasi. Ekonomi Indonesia dapat dikatakan mandeg, tidak tumbuh (PPSK BI, 2003).

4.1.2 Masa Pemerintahan Orde Baru

Pemerintah menerapkan kebijakan moneter yang agak paradoks, yaitu kebijakan uang ketat (termasuk kredit ketat) yang dibarengi dengan kebijakan kredit longgar pada jenis investasi yang diseleksi, seperti rehabilitasi dari fasilitas-fasilitas yang telah tersedia atau proyek-proyek yang memiliki potensi paling besar untuk memperluas kapasitas produksi negara.

Pemerintah mulai memberikan fleksibilitas di sektor perbankan dengan memberlakukan UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. Pada tahun 1974, dari sisi moneter, pemerintah mulai melaksanakan kebijakan kredit selektif. Hal ini dilakukan agar jumlah uang beredar tetap terkendali sehingga inflasi dapat tetap terjaga.

Kebijakan penting lainnya yang dilakukan oleh pemerintah di tahun 1983 adalah menempatkan rupiah dalam sistem crawling peg, yaitu sistem nilai tukar


(53)

mengambang dengan rentang fluktuasi yang diredam untuk memelihara nilai tukar yang stabil. Saat harga minyak kembali jatuh di tahun 1986, pemerintah mendevaluasi rupiah dengan penurunan nilai sebesar 31%. Cara ini mampu mengendalikan inflasi.

Rata-rata inflasi di bawah 7% sepanjang tahun 1986-1989 setelah devaluasi sebesar 31% merupakan pencapaian yang luar biasa. Faktor utama yang berperan dalam rendahnya inflasi adalah pengendalian ketat terhadap pasokan uang, pengendalian fiskal, dan koordinasi yang baik antara BI dan bank-bank negara lainnya.

4.1.3 Periode Setelah Krisis Ekonomi 1997

Kebijakan khusus yang dilakukan oleh Indonesia adalah dengan melakukan restrukturisasi sistem perbankan secara keseluruhan, termasuk restrukturisasi peran dan tugas bank sentral. Dengan tujuan agar BI lebih independen, pemerintah memberlakukan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai pengganti UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral.

Inti dari UU yang baru adalah bahwa kebijakan moneter harus dititikberatkan pada upaya untuk memelihara stabilitas nilai rupiah dan bahwa untuk menjamin keberhasilan tujuan memelihara stabilitas nilai rupiah diperlukan bank sentral yang memiliki kedudukan yang independen. Pengertian independensi menurut UU ini adalah BI bebas dari campur tangan pemerintah atau pihak-pihak lainnya dalam melaksanakan tugasnya.

Dalam perjalanannya, untuk menyesuaikan dengan perkembangan ekonomi global, UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia diamandemen


(54)

dengan UU No. 3 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Pokok dari amandemen tersebut adalah:

1. Pembentukan Dewan Supervisi untuk membantu DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasan di bidang tertentu terhadap BI.

2. BI dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban pemerintah, dalam hal suatu bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan.

3. Berkaitan dengan penyusunan RAPBN, BI diwajibkan untuk memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah mengenai RAPBN serta kebijakan lain yang berkaitan dengan tugas dan wewenang BI.

4. Pengawasan terhadap bank akan dilaksanakan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen yang akan dibentuk selambat-lambatnya pada tanggal 31 Desember 2010.

4.1.4 Periode Setelah Krisis Finansial Global

Kebijakan yang dilakukan oleh Indonesia sewaktu krisis tersebut adalah: a. BI rate diturunkan secara bertahap dari 8,75 persen pada awal semester I

2009 hingga 7 persen di akhir semester II 2009. Kemudian BI menghentikan pemotongan suku bunga, menjaganya tetap berada pada kisaran 6,5 persen sejak Agustus 2009.

b. BI melakukan kebijakan intervensi pasar valuta asing. Tujuannya adalah untuk menjaga kestabilan nilai tukar.


(55)

Tabel 4.1

Kebijakan Moneter Seiring Waktu

1959-1965 Inflasi tinggi, kebijakan moneter ketat menggunakan sistem pengendalian uang beredar (monetary targeting atau base money targeting). Kredit diawasi, terjadi devaluasi rupiah 74%, dari Rp 11,4 per 1 dolar AS menjadi Rp 45 per 1 dolar AS, sempat terjadi pembekuan deposito dan sanering.

1965 Inflasi masih sangat tinggi mencapai 594% karena belanja pemerintah melonjak drastis dan menipisnya pasokan barang. Target kebijakan moneter adalah menstabilkan ekonomi, dengan pengendalian devisa dan valuta asing, ada sanering lagi.

1966-1969 Era stabilisasi ekonomi, kebijakan moneter menggunakan pengendalian suku bunga (interest rate targeting) untuk meningkatkan pasokan likuiditas. Suku bunga pinjaman dan deposito dinaikkan, diterapkan giro wajib minimum 30%, pembatasan maksimal ekspansi perbankan, pelarangan pinjaman dan kredit impor jangka panjang untuk barang konsumsi.

1967-1983 Era stabilisasi ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi tinggi 6-7% yang diwarnai inflasi di bawah dua digit, kecuali di periode 1974-1978. Bauran kebijakan ekonomi mulai diterapkan, yaitu antara pengendalian suku bunga dan pengendalian uang beredar. Kredit dibatasi, ada pengaturan suku bunga. Berlaku sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating exchange rate, dengan multiple exchange rate system).

1986-1987 Kebijakan moneter mengarah pada pengendalian suku bunga (interest rate targeting).

1988-1990 Deregulasi atau liberalisasi perbankan lewat Pakto 1988 untuk mengatasi inflasi melalui penguatan struktur perbankan. Kebijakan moneter mengarah pada pengendalian nilai tukar (exchange rate targeting).

1990-1997 Ekspansi kredit bank terlampau besar dan tidak selektif membuat BI menerapkan kebijakan moneter ketat dengan menaikkan suku bunga. Kebijakan moneter masih mengarah pada pengendalian nilai tukar, menggunakan sistem nilai tukar mengambang yang lebih fleksibel. Bunga deposito pernah mencapai 27 persen, inflasi turun pada 1992.

1997-1998

Krisis ekonomi, inflasi tinggi, nilai tukar rupiah anjlok. Kebijakan moneter diperketat lewat suku bunga sangat tinggi. Nilai tukar sempat dipantau ketat dengan penerapan trading band dan beragam intervensi, tapi lalu kembali ke nilai tukar mengambang. Kebijakan moneter masih mengarah ke

pengendalian nilai tukar.

1999

Kebijakan moneter BI adalah mencegah hiperinflasi sehingga ekspansi moneter harus dihentikan lebih dulu. Tujuan utama, stabilisasi nilai tukar rupiah yang juga akan berdampak pada pengendalian inflasi. Kebijakan pengendalian uang beredar mulai ditinggalkan, mulai mengarah ke pengendalian harga (inflation targeting) dengan BI rate sebagai instrumen utama. Pengambilan keputusan di BI menjadi lebih forward looking, melalui rapat dewan gubernur. Strategi komunikasi menjadi lebih transparan, koordinasi dengan pemerintah lebih diperkuat terutama untuk mengatasi inflasi dari administered price dan volatile food. BI rate menjadi batas atas suku bunga deposito.

Juli 2005 Penerapan secara penuh kebijakan moneter dengan pengendalian harga (inflation targeting framework atau ITF). BI rate menjadi suku bunga acuan. Sumber : Gerai Info Bank Indonesia, Juli 2013


(56)

4.2 Perkembangan Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia (BI Rate)

Perkembangan suku bunga yang tidak wajar secara langsung akan dapat mengganggu perkembangan perekonomian suatu negara. Karena disatu sisi, suku bunga yang tinggi akan meningkatkan hasrat masyarakat untuk menabung sehingga jumlah dana perbankan akan meningkat. Sementara itu, di sisi lain suku bunga yang tinggi akan meningkatkan biaya yang dikeluarkan oleh dunia usaha sehingga mengakibatkan penurunan kegiatan produksi di dalam negeri. Menurunnya produksi pada gilirannya akan menurunkan pula kebutuhan dana oleh dunia usaha.

Pada tabel 4.2 di bawah ini dapat dilihat perkembangan tingkat suku bunga Bank Indonesia dari Januari 2008 sampai dengan Nopember 2013.

Tabel 4.2

Perkembangan Tingkat Suku Bunga

Bank Indonesia (BI Rate) Dari Januari 2008 – Nopember 2013

PERIODE 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Januari 8.00% 8.75% 6.50% 6.50% 6.00% 5.75%

Februari 8.00% 8.25% 6.50% 6.75% 5.75% 5.75%

Maret 8.00% 7.75% 6.50% 6.75% 5.75% 5.75%

April 8.00% 7.50% 6.50% 6.75% 5.75% 5.75%

Mei 8.25% 7.25% 6.50% 6.75% 5.75% 5.75%

Juni 8.50% 7.00% 6.50% 6.75% 5.75% 6.00%

Juli 8.75% 6.75% 6.50% 6.75% 5.75% 6.50%

Agustus 9.00% 6.50% 6.50% 6.75% 5.75% 7.00%

September 9.25% 6.50% 6.50% 6.75% 5.75% 7.25%

Oktober 9.50% 6.50% 6.50% 6.50% 5.75% 7.25%

November 9.50% 6.50% 6.50% 6.00% 5.75% 7.50%

Desember 9.25% 6.50% 6.50% 6.00% 5.75% Sumber : Bank Indonesia

Berdasarkan evaluasi yang dilakukan Bank Indonesia terhadap kondisi makroekonomi Indonesia tahun 2007, mengawali 2008, Bank Indonesia memutuskan untuk tetap mempertahankan BI Rate sebesar 8,00%. Kemudian pada 6 Mei 2008, memutuskan untuk menaikkan BI Rate sebesar 25 basis poin


(57)

atau 0,25% menjadi 8,25%. Keputusan tersebut diambil setelah mencermati dan mempertimbangkan perkembangan dan prospek ekonomi global, regional dan domestik.

Juni 2008, Bank Indonesia kembali menaikkan BI Rate ke tingkat 8,50%, Saat itu inflasi Mei 2008 memang naik menjadi 1,41%. Kenaikan harga BBM bersubsidi di akhir bulan memberi dampak yang signifikan pada peningkatan laju inflasi Mei 2008. Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 3 Juli 2008 silam, kembali memutuskan untuk menaikkan BI Rate sebesar 25 bps menjadi 8,75%. Langkah serupa juga dilakukan Bank Indonesia pada bulan Agustus 2008. Bank Indonesia memutuskan untuk kembali menaikkan BI Rate sebesar 25 bps menjadi 9,0%.

Lagi, pada September 2008, Bank Indonesia menaikkan suku bunganya menjadi 9,25%. Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 7 Oktober 2008 memutuskan untuk menaikkan BI Rate sebesar 25 bps menjadi 9.50%. Keputusan ini diambil setelah mencermati dan mempertimbangkan dengan seksama perkembangan keuangan dan ekonomi global akhir-akhir ini dan kemungkinan dampaknya terhadap perekonomian nasional.

Mengawali tahun 2009, Bank Indonesia dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada tanggal 7 Januari 2009, memutuskan untuk menurunkan BI Rate ke level 8,75%. Dalam beberapa bulan terakhir, tekanan inflasi di dalam negeri terus menurun sebagai akibat antara lain dari penurunan harga komoditi, pangan dan energi dunia, produksi pangan di dalam negeri yang sangat baik dalam tahun 2008, serta perlambatan permintaan agregat. Kemudian


(58)

pada 4 Maret 2009, Bank Indonesia memutuskan untuk menurunkan BI Rate sebesar 50 bps menjadi 7,75%.

Setelah mencermati dan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap perkembangan ekonomi dan keuangan di dalam dan luar negeri, Bank Indonesia pada 3 April 2009 memutuskan untuk menurunkan BI Rate sebesar 25 bps menjadi 7,50%. Pada Juni 2009, Bank Indonesia kembali memutuskan untuk menurunkan BI Rate sebesar 25 bps menjadi 7,00%. Di sisi harga, tekanan inflasi terus menurun didukung oleh penguatan Rupiah dan terjaganya harga-harga barang kebutuhan pokok.

Sampai dengan Juli 2009 tercatat bahwa Bank Indonesia secara bertahap terus menurunkan BI Rate hingga mencapai level 6,75%. Penurunan ini diharapkan akan dapat lebih memfasilitasi percepatan pemberian kredit ditengah-tengah stabilitas makro yang tetap terkendali dengan baik. Di sisi harga, tren penurunan inflasi masih berlanjut. Pada bulan Agustus 2009, Bank Indonesia kembali menurunkan BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 6,50%. Untuk pertama kalinya, Bank Indonesia mempertahankan BI Rate sebesar 6,50% selama 18 bulan.

Pada Januari 2011, Bank Indonesia masih mempertahankan BI Rate pada level 6,50%. Krisis utang yang terjadi di Eropa tidak memberikan dampak negatif terhadap kinerja perbankan nasional. Hal ini mengingat relatif kecilnya exposure

perbankan nasional terhadap perbankan di negara-negara Eropa. Pada 4 Februari 2011, Bank Indonesia menaikkan BI Rate menjadi 6,75%. Pada Oktober 2011, Bank Indonesia memutuskan untuk menurunkan BI Rate sebesar 25 basis poin


(59)

menjadi 6,50%. Keputusan ini bagaikan semilir angin segar di tengah gejolak pasar keuangan yang membuat pelaku pasar dalam dua bulan terakhir merasa tegang.

Penurunan BI Rate ini merupakan salah satu solusi untuk mengatasi ancaman perlambatan ekonomi nasional akibat krisis di Eropa dan Amerika Serikat (AS). Ketika ada kepastian bahwasanya BI Rate turun menjadi 6,50%, pasar seolah-olah seperti mendapat suntikan energi baru dan sekonyong-konyong situasi perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) menjadi semarak. Investor, baik asing maupun domestik, antusias memasuki pasar. Pada Selasa 11 Oktober 2011, IHSG BEI ditutup naik 80,669 poin (2,34%) ke posisi 3.531,753.

Pada bulan Nopember 2011 sampai dengan Januari 2012, Bank Indonesia menurunkan BI rate di level 6,00%. Penurunan BI Rate tersebut dimaksudkan untuk mengurangi dampak memburuknya prospek ekonomi global terhadap perekonomian Indonesia. Indikator produksi dan konsumsi negara-negara maju masih terus melambat, sementara pasar keuangan global masih cenderung volatile

meskipun sempat rebound. Sementara itu, kondisi pasar keuangan domestik

semakin stabil.

Sayangnya, Bank Indonesia seolah kembali dipaksa untuk menaikkan suku bunga acuannya. BI Rate di level 5,75% hanya mampu bertahan selama 16 bulan, sebelum akhirnya kembali naik sebanyak 25 basis poin pada 13 Juni 2013 menjadi 6,00%. Kebijakan tersebut merupakan bagian dari bauran kebijakan Bank Indonesia untuk secara pre-emptive merespons meningkatnya ekspektasi inflasi


(1)

Lampiran 2

Tingkat Suku Bunga Bank Amerika Serikat (the Fed)

Waktu Fed Rate

Januari 2008 3,94%

Februari 2008 2,98%

Maret 2008 2,61%

April 2008 2,28%

Mei 2008 1,98%

Juni 2008 2%

Juli 2008 2,01%

Agustus 2008 2%

September 2008 1,81%

Oktober 2008 0,97%

Nopember 2008 0,39%

Desember 2008 0,16%

Januari 2009 0,15%

Februari 2009 0,22%

Maret 2009 0,18%

April 2009 0,15%

Mei 2009 0,18%

Juni 2009 0,21%

Juli 2009 0,16%

Agustus 2009 0,16%

September 2009 0,15%

Oktober 2009 0,12%

Nopember 2009 0,12%

Desember 2009 0,12%

Januari 2010 0,11%

Februari 2010 0,13%

Maret 2010 0,16%

April 2010 0,20%

Mei 2010 0,20%

Juni 2010 0,18%


(2)

67

Mei 2011 0,09%

Juni 2011 0,09%

Juli 2011 0,07%

Agustus 2011 0,10%

September 2011 0,08%

Oktober 2011 0,07%

Nopember 2011 0,08%

Desember 2011 0,07%

Januari 2012 0,08%

Februari 2012 0,10%

Maret 20012 0,13%

April 2012 0,14%

Mei 2012 0,16%

Juni 2012 0,16%

Juli 2012 0,16%

Agustus 2012 0,13%

September 2012 0,14%

Oktober 2012 0,16%

Nopember 2012 0,16%

Desember 2012 0,16%

Januari 2013 0,14%

Februari 2013 0,15%

Maret 2013 0,14%

April 2013 0,15%

Mei 2013 0,11%

Juni 2013 0,09%

Juli 2013 0,09%

Agustus 2013 0,08%

September 2013 0,08%

Oktober 2013 0,09%

Nopember 2013 0.09%


(3)

Lampiran 3

Hasil Uji Stasioneritas Variabel BI Rate dengan Intercept

Null Hypothesis: D(BI) has a unit root

Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.959081 0.0439 Test critical values: 1% level -3.528515

5% level -2.904198 10% level -2.589562 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(BI,2)

Method: Least Squares Date: 01/20/14 Time: 21:22

Sample (adjusted): 2008M03 2013M11 Included observations: 69 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

D(BI(-1)) -0.243617 0.082329 -2.959081 0.0043 C 0.000975 0.015866 0.061465 0.9512 R-squared 0.115583 Mean dependent var 0.003623

Adjusted R-squared 0.102383 S.D. dependent var 0.138882 S.E. of regression 0.131580 Akaike info criterion -1.189842 Sum squared resid 1.159996 Schwarz criterion -1.125086 Log likelihood 43.04956 F-statistic 8.756162 Durbin-Watson stat 1.747976 Prob(F-statistic) 0.004262


(4)

69

Hasil Uji Stasioneritas Variabel Fed Rate dengan Intercept

Null Hypothesis: D(FED) has a unit root

Exogenous: Constant

Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.324484 0.0009 Test critical values: 1% level -3.530030

5% level -2.904848 10% level -2.589907 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(FED,2)

Method: Least Squares Date: 01/20/14 Time: 21:25

Sample (adjusted): 2008M04 2013M11 Included observations: 68 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. D(FED(-1)) -0.372566 0.086153 -4.324484 0.0001 D(FED(-1),2) 0.174408 0.092588 1.883709 0.0641

C -0.012881 0.012775 -1.008261 0.3171 R-squared 0.238404 Mean dependent var 0.005441

Adjusted R-squared 0.214970 S.D. dependent var 0.112720 S.E. of regression 0.099872 Akaike info criterion -1.726740 Sum squared resid 0.648337 Schwarz criterion -1.628821 Log likelihood 61.70917 F-statistic 10.17353 Durbin-Watson stat 1.753366 Prob(F-statistic) 0.000143


(5)

Lampiran 5

Hasil Uji Kointegrasi dengan Metode Johansen

Sample (adjusted): 2008M04 2013M11

Included observations: 68 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend Series: BI FED

Lags interval (in first differences): 1 to 2 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)

Hypothesized Trace 0.05 No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**

None * 0.329156 36.47902 15.49471 0.0000 At most 1 * 0.128237 9.332156 3.841466 0.0023 Trace test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level

* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)

Hypothesized Max-Eigen 0.05 No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**

None * 0.329156 27.14686 14.26460 0.0003 At most 1 * 0.128237 9.332156 3.841466 0.0023 Max-eigenvalue test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level

**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I):

BI FED

-0.358746 2.314003 1.416813 -0.638947

Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha):

D(BI) 0.052034 -0.031740 D(FED) -0.044656 -0.020389


(6)

71

Lampiran 6

Penentuan Lag Length

Lag LogL LR FPE AIC SC HQ

0 -136.6887 NA 0.202570 4.079081 4.144360 4.104947

1 82.73054 419.4781 0.000359 -2.256781 -2.060942 -2.179183

2 118.0822 65.50445 0.000143 -3.178887 -2.852489* -3.049558

3 125.6628 13.60063* 0.000129* -3.284201* -2.827243 -3.103140*

* indicates lag order selected by the criterion

LR : sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE : Final prediction error

AIC : Akaike information criterion SC : Schwarz information criterion HQ : Hannan-Quinn information criterion

Lampiran 7

Hasil Uji Granger Causality

Pairwise Granger Causality Tests Date: 01/20/14 Time: 21:28 Sample: 2008M01 2013M11 Lags: 3

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability FED does not Granger Cause BI 68 5.80372 0.00148 BI does not Granger Cause FED 0.62178 0.60362