87 Penjelasan diatas seperti apa yang dungkapkan oleh seorang informan
sebagai berilut: “Sifat dari Pak kades jika ada temanya yang bisa membantu dan
sependapat dengannya dan mau mendukung segala program kegiatan dan tindakan yang ia lakukan maka ia akan mengangkat temannya itu menjadi
perangkat desa, juga ada famili pak kades yang menjadi perangkat desa Saya sendiri karena selalu menentang dan mengkritik pendapat pak kades
lama - kelamaan saya langsung diganti dan diberhentikan menjadi kepala dusun. Mungkin juga dikarenakan saya tidak pernah sependapat dengan
pak kades dan kurang akrab dengannya.” Hasil wawancara, bulan Februari 2011
4.5. Masalah Demokrasi Perwakilan di Tingkat Desa
Model demokrasi perwakilan yang hendaknya diterapkan di desa melalui pembentukan lembaga BPD masih mengandung sejumlah dilemma;
Dilema pertama, kecenderungan BPD bukan tampil sebagai wakil rakyat, melainkan justru sebagai oligarki baru. BPD hanya merupakan representasi dari
elite-elite desa yang memegang kekuasaan, ketimbang memperjuangkan permasalahan yang dihadapi masyarakatnya, BPD lebih tertarik mengurusi isu-isu
“strategis” yang bertendensi dapat menjatuhkan kades. BPD secara sepihak merumuskan apa yang dimaksud dengan “aspirasi rakyat”, sementara yang
sesungguhnya diperjuangkan ialah kepentingan segelintir elite desa. Dileme kedua, terkait dengan usaha penerapan prinsip demokrasi perwakilan pada suatu
wilayah yang luas dan jumlah penduduknya amat kecil seperti pedesaan. Ini mungkin bermanfaat sejauh rakyat desa dalam suatu kondisi yang sama sekali
88 belum terperdayakan, pasif, berpendidikan rendah, serta secara umum amat lemah
dalam mengaktulasikan aspirasinya. Namun ketika itu diberlakukan pada sebuah desa di mana persentase
warga berpendidikan semakin meningkat, berkarakter relatif dinamis dan kritis maka hal itu akan menyulut munculnya pengkotakan-pengkotakan dan
kecenderungan timbul permasalahan di pedesaan. Penerapan sistem distrik perwakilan suatu dusun pada pemilihan anggota BPD telah membuat warga
terkotak-kotak antara satu dusun dengan dusun lainnya. Mekanisme pemilihan yang didasarkan pada sistem distrik, dimana calon
anggota BPD adalah wakil dari dusun-dusun, pada gilirannya turut memperuncing. Anggota BPD cenderung mampu memanipulasi dukungan dari
dusun di mana mereka berasal, sehingga membuat masyarakat desa kian terkotak- kotak. Disini logik demokrasi perwakilan tidak berjalan, dan justru melahirkan
adegan-adegan yang kontra produktif bagi pengembangan demokrasi di pedesaan. Menurut Blau bahwa ”ukuran – ukuran tentang pencapaian tujuan dan
bantuan sosial yang bersifat umum melahirkan sistem stratifikasi sosial. Disini status menjadi suatu ganjaran yang memungkinkan transaksi terjadi secara tidak
langsung. Gagasan-gasasan oposisi adalah media reorganisasi dan perubahan, oleh karena itu hal ini dapat menimbulkan dukungan bagi gerakan oposisi dan memberi
legitimasi bagi kepemimipinan”. dalam poloma, 2000:92 Kegagalan penerapan prinsip demokrasi perwakilan di pedesaan memaksa
kita untuk memikirkan mekanisme-mekanisme tambahan yang mungkin dapat digunakan sebagai wahana untuk lebih mengefektifkan peranan BPD. Perlu
89 disediakan
mekanisme yang memungkinkan BPD memberikan pertanggungjawabannya kepada rakyat pemilihnya konstituen.
4.5. Meninjau Kembali Undang - Undang No. 32 Tahun 2004