9 Indonesia adalah seluruh budaya daerah di Indonesia. Jika perlu, bangsa ini
juga dapat menyusun KBBI yang berisi kosakata dari seluruh bahasa yang ada di Indonesia. Mengapa lagi mesti dipilah-pilah bahwa kosakata daerah
yang masuk dalam KBBI hanya kosakata budaya.
Pemilahan ini mencerminkan ketidakpercayaan diri bahwa bahasa Indonesia dan tentu saja bahasa daerah mampu mengikuti perkembangan
ilmu dan teknologi. Bahasa Indonesia mampu menjalankan fungsinya sebagai bahasa ilmu pengetahuan.
5. Pemantapan Sistem Bahasa yang Berdasarkan pada Konteks
Geolinguistik Bahasa Indonesia Percepatan pengembangan kataistilah sebagaimana yang diuraikan pada
bagian sebelumnya harus diimbangi dengan pemantapan sistem bahasa. Penelitian berbagai aspek bahasa, seperti fonologi, morfologi, sintaksis,
semantik, sosiolinguistik, dan dialektologi harus terus dilakukan dan ditingkatkan mutunya agar diperoleh data yang akurat untuk memantapkan
sistem bahasa Indonesia. Sementara itu, kosadata yang telah dihasilkan, baik dalam bentuk kamus, tata bahasa, maupun buku-buku pedoman, perlu terus
disempurnakan dan dimutakhirkan berdasarkan hasil penelitian tersebut.
Percepatan laju pengembangan kataistilah dan pemantapan kaidahsistem bahasa tersebut akan menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat pada
kemampuan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu dan teknologi serta seni selain sebagai lambang jati diri dan kebanggaan nasional pada era globalisasi.
Semua bahasa di dunia mengenal tata pembentukan kata. Hal ini sesuai dengan tuntutan zaman karena semua bahasa mesti mengikuti arah
perkembangan kebudayaan, ilmu, dan teknologi. Munculnya anggitan- anggitan baru membutuhkan kata-kata yang baru pula. Dalam bahasa Inggris
dikenal istilah affix dan affixation yang dipungut bahasa Indonesia dan menjadi afiks dan afiksasi orang Indonesia pasti kesulitan mengujarkan
bentuk pengafiksan. Dengan afiks ini pengguna bahasa dapat membentuk kata-kata baru untuk mewadahi anggitan-anggitan baru.
Dalam bahasa Indonesia dikenali bentuk-bentuk imbuhan afiks seperti awalan prefiks [meng-, ber-, ter-, di-], sisipan infiks [-el-, -em-, -in-], dan
akhiran sufiks [-i, -kan]. Ada imbuhan yang sangat banyak digunakan, ada pula yang hanya sesekali dipakai. Hal itu sangat tergantung pada penutur
sebagai pengguna bahasa. Memanfaatkan imbuhan tentu sangat bergantung pada tujuan dan kepentingan.
Pemanfaatan imbuhan tentu bahkan harus memiliki sebuah sistem yang kuat dan mapan. Dalam bahasa Indonesia paling tidak kita mengenal
imbuhan ini untuk merujuk pada makna pelaku, proses dan hasil, ujud-sifat- syarat, serta sistem. Ambil contoh kata teliti. Dari kata ini dapat dimunculkan
pelaku dengan peneliti, proses dan hasil dengan penelitian dan telitian entah
10 kenapa kata ini jarang digunakan, orang Indonesia lebih suka menggunakan
bentuk yang lebih panjang hasil penelitian. Mengenai ujud-sifat-syarat, orang Indonesia cenderung untuk menggunakan imbuhan-imbuhan asing -
isch [Belanda] dan -ic, -ical [Inggris] yang diindonesiakan menjadi -is, -ik, dan -ikal.
Makna pelaku dalam bahasa Indonesia bisa diwakili awalan pe- seperti, pemukul, pelempar, pengurai, pengupas sehingga takperlu lagi memungut
imbuhan-imbuhan asing seperti -tor pada stabilisator, operator, atau -is pada analis, kapitalis, spesialis, pluralis.
Mengenai proses dan hasil, bahasa Indonesia memiliki aturan yang sangat berbeda dengan bahasa Inggris. Dalam bahasa Inggris akhiran -tion dapat
menyatakan proses sekaligus hasil. Sementara itu, dalam bahasa Indonesia dua bentuk tersebut dinyatakan dengan imbuhan yang berbeda, peng-...-an
untuk menyatakan proses, dan -an menyatakan hasil.
Kata dalam bahasa Inggris yang berakhiran -tion banyak dijumpai sehingga sangat besar pengaruhnya terhadap pengguna bahasa Indonesia.
Orang Indonesia sangat mudah menyerap kata-kata bahasa Inggris dan Belanda itu dengan mengubahnya menjadi -si. Ada organisasi, imunisasi,
legalisasi, demonstrasi, afiksasi, standardisasi. Terlalu banyaknya pemungutan kata dengan akhiran -isasi mengakibatkan terjadinya kerancuan.
Orang Indonesia menganggap bahwa akhiran -isasi sudah menjadi akhiran resmi bahasa Indonesia. Kemudian tumbuh suburlah kata-kata yang
menggunakan akhiran tersebut. Lelenisasi, turinisasi, swastanisasi, amplopisasi, sinergitas, sensitivitas, stabilitas, pluralitas adalah beberapa
contoh. Kata-kata tersebut adalah murni rekacipta orang Indonesia yang tidak ditemukan dalam bahasa Inggris.
Hal tersebut merupakan salah satu dampak dari kurangnya pengetahuan pengguna bahasa Indonesia terhadap imbuhan-imbuhan yang dimiliki oleh
bahasa Indonesia. Dengan alasan ‘penyerapan secara utuh’ semua dapat dilakukan dengan mengingkari sistem bahasa.
Dalam bahasa Inggris ada pula akhiran -sis yang dapat menyatakan proses dan hasil. Analysis adalah salah satu contohnya. Sementara orang
Indonesia yang lain menggunakan analisa. Banyak orang kesulitan untuk menggunakan bentuk analisis atau analisa. Apakah bentuk tersebut
merupakan proses, hasil, atau justru tindakan. Takjarang kemudian orang menambahinya dengan imbuhan sehingga menjadi menganalisis atau
penganalisisan. Ada pula yang mengubahnya menjadi bentun ungkapan seperti membuat analisis, melakukan analisis. Bentuk ini tentu tidak
sederhana lagi. Dalam bahasa Indonesia, orang mengenal bentuk urai, kupas, dan bahas. Tiga bentuk ini menunjukkan bahwa bahasa Indonesia bukan
bahasa yang miskin istilah. Tiga bentuk tersebut dapat diturunkan berdasarkan sistem pembentukan kata untuk mewadahi anggitan-anggitan
11 yang diharapkan. Pengurai, pengupas, dan pembahas adalah pelaku.
Penguraian, pengupasan, dan pembahasan adalah proses. Mengurai kan, mengupas, dan membahas untuk makna tindakan. Uraian, kupasan, dan
bahasan bermakna hasil. Keteruraian, keterkupasan, dan keterbahasan menunjukkan sifat. Bandingkan dengan analis pelaku, yang tidak sesuai
dengan sistem bahasa Indonesia atau penganalisis, penganalisisan atau penganalisaan, menganalisis atau menganalisa, analisisan atau analisaan,
keteranalisisan atau keteranalisaan yang selain lebih panjang, bunyinya juga tidak mengena.
Berdasarkan uraian di atas, tampaknya orang Indonesia perlu mendisiplinkan diri dalam menerapkan dan menggunakan kaidah-kaidah
bahasa Indonesia. Disiplin diri ini tentu harus dimulai oleh para bahasawan, ilmuwan, negarawan, dan tokoh-tokoh yang menjadi anutan pengguna bahasa
Indonesia.
Pada bagian ini pembina bahasa memainkan peran pentingnya dalam masyarakat. Di dalam hasil rumusan Seminar Politik Bahasa Nasional 1999
disebutkan bahwa yang dimaksud pembinaan adalah upaya untuk meningkatkan mutu pemakaian bahasa. Usaha-usaha pembinaan ini
mencakup upaya peningkatan sikap, pengetahuan, dan keterampilan berbahasa. Usaha pembinaan yang dilakukan, antara lain, melalui pengajaran
dan pemasyarakatan.
Usaha pembinaan melalui pengajaran bahasa Indonesia melalui sistem persekolahan dilakukan dengan mempertimbangkan bahasa sebagai satu
keseluruhan berdasarkan konteks pemakaian yang ditujukan untuk peningkatan mutu penguasaan dan pemakaian bahasa yang baik dengan tidak
mengabaikan adanya berbagai ragam bahasa Indonesia yang hidup dalam masyarakat. Peningkatan mutu pendidikan bahasa itu dilakukan melalui
kegiatan-kegiatan berikut; 1 pengembangan kurikulum bahasa Indonesia; 2 pengembangan bahan ajar yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan
perkembangan metodologi pengajaran bahasa; 3 pengembangan tenaga kependidikan kebahasaan yang profesional; dan 4 pengembangan sarana
pendidikan bahasa yang memadai, terutama sarana uji kemahiran bahasa.
Pemasyarakatan bahasa Indonesia ini dimaksudkan untuk meningkatkan sikap positif masyarakat terhadap bahasa Indonesia dan meningkatkan mutu
penggunaannya. Pemasyarakatan bahasa Indonesia juga harus menjangkau kelompok yang belum bisa berbahasa Indonesia agar berperan lebih aktif
dalam upaya menciptakan masyarakat yang lebih maju. Pemasyarakatan bahasa Indonesia ke seluruh lapisan masyarakat itu diarahkan pada upaya
memperkukuh persatuan dan kesatuan.
12
6. Simpulan