6 ini adalah bahasa daerah yang tersebar di seluruh Nusantara. Dengan
demikian, setiap keunggulan bahasa lokal akan menempati porsinya dalam membangun bahasa Indonesia yang merupakan bahasa persatuan.
3. Corak dan Ciri Kata Bahasa Indonesia
Membahas corak dan ciri kata dalam bahasa Indonesia tidak akan terlepaa dari apa yang disebut sebagai ‘akar’. ‘Akar’ kata terdapat dalam semua
bahasa di Nusantara. Kata bilangan dalam berbagai bahasa Nusantara menunjukkan hal itu. Ada sa, se, dan si yang melambangkan satu. Dalam
bahasa Nusantara bentuk-bentuk tersebut pada umumnya diberi tambahan. Tiga bentuk itu kemudian tumbuh menjadi satu Melayu, sada Batak Toba,
siji Jawa, hiji Sunda, ije Dayak Ngaju, jie Dayak bahau, sa Bajau, isa Maanyan, ice Katingan, ca Long Nawang, Kinjin, dan Impanang. Para
peneliti Barat juga mengakui hal itu.
Lewat akar kata inilah kemudian tumbuh dalam bahasa Jawa istlah lingga lexeme, Inggris. Bahasa Indonesia memanfaatkan istilah lingga untuk
menandai bentuk-bentuk berulang. Lingga ini dalam bahasa Nusantara termasuk Indonesia di dalamnya hanya terdiri atas dua suku yang salah satu
sukunya merupakan akar. Dari lingga ini pula kemudian diturunkan banyak sekali bentuk kata turunan sesuai dengan yang diperlukan oleh pengguna
bahasa. Kata hati misalnya, dapat diturunkan menjadi sehati, berhati, hati- hati, berhati-hati, kehati-hatian, buah hati anak, berat hati tidak rela,
besar hati lapang dada, jantung hati orang yang dicintai, hati kecil perasaan hati yg sebenarnya; maksud yg sebenarnya, jatuh hati perasaan
cinta, suka, kecil hati putus asa, dan sebagainya.
Umumnya struktur kata dalam bahasa Indonesia terdiri atas mh KV atau mhm KVK. Bentuk-bentuk awalan dan akhiran yang mengiringinya pun
demikian. Dalam jumlah kecil, bahasa Indonesia juga mengenal diftong atau dwisuara, au pada harimau dan kalau, ai pada pantai dan balai, dan oi pada
amboi. Ini adalah bentuk yang sangat umum dalam khazanah kata bahasa Indonesia. Konsonan f, v, x, z serta konsonan ganda yang sekarang kita kenal
merupakan bentuk-bentuk serapan bahasa asing. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya bahasa Indonesia yang asli memiliki struktur kata tata
bunyi yang mudah dan sederhana. Pengaruh bahasa asinglah yang membuat bahasa Indonesia kemudian mengenal gugus konsonan.
Gugus konsonan huruf mati ganda ini yang membuat bahasa Indonesia kini menjadi ‘sedikit sulit’. Bentuk-bentuk seperti program, standar
membuat pengguna bahasa Indonesia kesulitan pada saat memperlakukan mereka sebagai warga bahasa Indonesia. Ketika bentuk-bentuk tersebut
mendapat awalan meng- misalnya, ada yang memunculkannya dengan memprogram, memrogram, menstandarkan, menyetandarkan. Mengenai
7 masalah ini, Sutan Takdir Alisyahbana pernah mengusulkan untuk
menyisipkan e pepet untuk mengatasi kesulitan pengujaran bentuk-bentuk serapan tersebut.
Memungut kata asing bukanlah sesuatu yang haram untuk dilakukan. Sejak dahulu bahasa Indonesia melakukannya. Akan tetapi, jika semua kata
asing kita pungut mentah-mentah, banjirlah bahasa Indonesia dengan kata asing. Untuk mengatasi hal ini, kata asing yang dipungut semestinya
diwargakan dengan cara penyesuaian bunyi. Di samping itu, yang lebih penting lagi adalah kata pungutan tersebut harus diperlakukan sebagai kata
pokok yang bisa diperlakukan sama dengan kata-kata lain dalam bahasa Indonesia umumnya. Dengan memegang prinsip ini, tidak akan didapati lagi
dalam bahasa Indonesia bentuk stabil, stabilitas, stabilisasi, stabilisator atau sistem, sistematis, sistemis, sistematisasi.
4. Pemanfaatan Unsur-Unsur Bahasa Daerah untuk Menggubah Kata
dalam Bahasa Indonesia Pengembangan bahasa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari bahasa
daerah yang menjadi pondasi berdirinya bahasa ini. Untuk itu perlu disadari arti penting bahasa-bahasa daerah sebagai unsur pengambang bahasa
Indonesia.
Unsur-unsur bahasa daerah perlu dimanfaatkan sebanyak-banyaknya dalam pengambangan bahasa Indonesia. Hal ini tentu tidak terbatas pada
kosakata-kosakata budaya sebagaimana yang selama ini dipraktikkan. Kosakata bahasa daerah lebih dari sekadar kosakata budaya. Banyak unsur
yang bisa dimanfaatkan sebagai pengembang bahasa Indonesia. Salah satu di antaranya adalah imbuhan.
Imbuhan dalam bahasa Indonesia baku sangat sedikit. Berkaitan dengan pengembangan bahasa yang harus berbanding lurus dengan perkembangan
kebudayaan, ilmu, dan teknologi maka kebutuhan pada pemerkayaan kosakata menjadi penting dan mendesak. Dalam konteks ini kekayaan
imbuhan akan sangat membantu.
Bahasa Sanksekerta dan sapidulurnya Kawi, Jawa adalah bahasa yang memberi banyak sumbangan terhadap perkembangan kosakata bahasa
Indonesia. Di samping pemanfaatan kosakata, tampaknya bahasa Indonesia juga perlu untuk ‘lebih banyak lagi’ memanfaatkan imbuhan-imbuhan dari
bahasa tersebut. Berikut ini adalah beberapa contoh imbuhan-imbuhan yang dapat dipakai dalam bahasa Indonesia.
Dalam bahasa Indonesia untuk menyatakan makna ‘saling’ digunakan bentuk ulang atau bahkan ungkapan. Misalnya pukul-memukul, peluk-
memeluk, saling memukul, saling memeluk. Di sisi yang lain juga digunakan bentuk bersi- sebagaimana dalam bersikeras. Orang Indonesia di Sulawesi
juga sangat terbiasa untuk berbakuhitung. Lalu mengapa bentuk bersi- dan
8 baku tersebut tidak dimanfaatkan saja untuk membentuk beragam kata
bentukan yang lain yang bermakna ‘saling’. Bukankah bentuk ini akan lebih sederhana? Turunkanlah kata bakutindak, bersitindak atau bersikena sebagai
jawaban untuk istilah Inggris interaction. Bentuk-bentuk tersebut lebih sederhana daripada berinteraksi. Dari bentuk ini, dapat juga diturunkan
bersikata, bersiujar untuk menggamit makna ‘saling berkomunikasi’.
Hari ini bahasa Indonesia juga mengenal kata sukacita. Jika suka itu bisa dianggap sebagai bentuk terikat atau bahkan awalan, para pengguna bahasa
dapat memanfaatkannya untuk membentuk sukagaul untuk menjawab bentuk sosialita yang takjelas asal-usulnya itu. Dapat juga dibentuk sukadiri egois,
sukaharta materialistis, sukabantu kooperatif.
KUBI, KBBI mulai edisi I sampai edisi IV memuat ‘kosakata’ yang bermakna perbendaharaan kata. Pakai saja bentuk kosa itu untuk membentuk
dan menurunkan kosakata-kosakata lain yang bermakna perbendaharaan, kumpulan atau semacamnya. Dengan begitu kita adan mendapati bentuk yang
lebih sederhana. Bandingkan kosadata dengan kumpulan data, kosafilm dengan koleksi film, kosabuku dengan koleksi buku. Berdasarkan sistem
pembentukan kata bahasa Indonesia, dari bentuk ini dapat diturunkan pengosadata atau kosadatawan ‘data collector’, berkosadata ‘data
collecting’.
Contoh-contoh yang dipaparkan di atas hanya berasal dari bahasa Jawa. Bahasa-bahasa lain di Indonesia juga memiliki kekayaan unsur yang bisa
dimanfaatkan oleh bahasa Indonesia. Hal yang paling penting dari semua itu adalah pembangunan kesadaran orang Indonesia bahwa bahasa daerah adalah
bagian dari bahasa Indonesia. Dalam pondasi bahasa daerahlah bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang. Ketika bahasa Indonesia mulai menjauh
dari ‘akar’ keruntuhan akan segera tiba. Bahasa Indonesia adalah bagian dari bahasa Nusantara Austronesia takkan mungkin ia masuk dalam kelompok
Indoeropa. Daripada membabi buta memungut bahasa Barat yang itu berarti menghidupi ‘mereka’ akan lebih baik jika kita berpikir cara Indonesia.
Memperkuat dan memperkaya bahasa Indonesia dengan khazanah kosakata dan istilah yang berasal dari bahasa daerah. Lebih dari itu orang Indonesia
juga mesti menggebu dalam bercipta yang didasarkan pada bahasa sendiri. Ini adalah cara terhormat dalam pembangunan bahasa dan bangsa Indonesia.
Jika ada yang mengatakan bahwa KBBI dipenuhi oleh kosakata Jawa, Sunda, dan Minang atau Betawi halini hanya disebabkan oleh para pekamus
yang berasal dari suku-suku tersebut. Suatu saat nanti jika para pekamus sudah menyebar dari seluruh Indonesia tentu KBBI akan lebih beragam lagi.
Lebih dari itu, dari sisi kebijakan bahasa, para pemangku kepentingan mesti berpikir ulang terhadap kebijakan cetak huruf miring terhadap istilah-
istilah atau kosakata bahasa daerah. Bahasa daerah bukanlah bahasa asing. Bahasa daerah adalah bagian dari bahasa Indonesia sebagaimana budaya
9 Indonesia adalah seluruh budaya daerah di Indonesia. Jika perlu, bangsa ini
juga dapat menyusun KBBI yang berisi kosakata dari seluruh bahasa yang ada di Indonesia. Mengapa lagi mesti dipilah-pilah bahwa kosakata daerah
yang masuk dalam KBBI hanya kosakata budaya.
Pemilahan ini mencerminkan ketidakpercayaan diri bahwa bahasa Indonesia dan tentu saja bahasa daerah mampu mengikuti perkembangan
ilmu dan teknologi. Bahasa Indonesia mampu menjalankan fungsinya sebagai bahasa ilmu pengetahuan.
5. Pemantapan Sistem Bahasa yang Berdasarkan pada Konteks