Ekologi Bahasa Kerangka Teori

3 a. Bahasa Ngaju merupakan bahasa yang indah. b. Bahasa Ngaju mencerminkan kebudayaan yang tinggi. c. Saya bangga memakai bahasa Ngaju. d. Saya lebih suka berbicara dalam bahasa Ngaju dibandingkan bahasa lain. e. Bahasa Ngaju harus dilestarikan. f. Saya senang jika orang berbicara dalam bahasa Ngaju kepada saya. g. Bahasa Ngaju harus terus dikembangkan. h. Bahasa Ngaju harus diajarkan di semua sekolah di Palangkaraya. i. Pemerintah harus aktif mengembangkan dan memajukan bahasa Ngaju. j. Bahasa Ngaju harus digunakan oleh keluarga di rumah. Pernyataan-pernyataan tadi selanjutnya diparafrasa agar lebih mudah dipahami oleh responden dan agar sikap bahasa responden diketahui secara lebih detail. Demi menjaga kenyamanan komunikasi dan menyesuaikan diri dengan responden yang umumnya anak-anak, penulis juga menggunakan wawancara informal dengan menanyakan kegiatan keseharian responden yang berhubungan dengan pemakaian dan sikap bahasa.

3. Kerangka Teori

3.1 Ekologi Bahasa

Ekologi bahasa yang digunakan dalam makalah ini mengacu pada Haugen dalam Fill dan Muhlhausler, 2001 yang secara metaforis menyatakan bahwa ekologi bahasa merupakan kajian tentang interaksi bahasa dan lingkungannya. Lebih lanjut, Haugen mengatakan bahwa lingkungan yang dimaksud di sini bukanlah lingkungan bahasa, melainkan lingkungan ˝bagi˝ leksikon dan gramar bahasa tersebut. Seperti manusia yang akan selalu dipengaruhi oleh keadaan lingkungan di sekitarnya, bahasa juga merupakan entitas yang tidak bisa terlepas dari lingkungannya. Bahasa bisa ˝hidup˝ hanya jika dipakai oleh penuturnya sebagai alat komunikasi. Haugen juga mengatakan bahwa lingkungan sejati sebuah bahasa adalah masyarakat yang memakai bahasa tersebut tanpa memikirkan pengaruh-pengaruh dari luar. Bahasa dalam sebuah lingkungan tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh anasir kebahasaan, baik ekstralinguistik maupun intralinguistik. Aspek ekstralinguistik mencakupi konteks tempat, kawan bicara, termasuk sikap dan motivasi bahasa, sedangkan aspek intralinguistik mencakupi keadaan internal bahasa itu sendiri, termasuk fleksibilitas dan daya saing bahasa. Mengkaji ekologi bahasa tidak hanya mencakupi perian tentang situasi sosial dan psikologis tiap-tiap bahasa, tetapi juga dampaknya terhadap bahasa itu Haugen dalam Fill dan Muhlhausler, ibid. Lingkungan tutur sebuah bahasa tidak hanya dipengaruhi oleh bagaimana penuturnya memperlakukan bahasa itu, tetapi juga oleh pengaruh dari luar. 4 Sapir dalam Fill dan Muhlhausler, ibid mengatakan bahwa faktor fisik dan sosial lingkungan tidak dapat dilepaskan dari kajian mengenai bahasa dan lingkungan. Lingkungan fisik mencakupi aspek topografi, iklim, termasuk fauna dan flora. Sementara itu, lingkungan sosial mencakupi agama dan kepercayaan, norma, dan seni. Beberapa penelitian tentang ekologi bahasa pernah dilakukan. Salah satunya yang dilakukan Suparwa 2009. Secara tersirat, Suparwa mengatakan bahwa interaksi antarbahasa mempengaruhi perubahan dan inovasi pada tataran kosakata. Di sisi lain, interaksi tersebut juga bisa menjadi pemerkaya khazanah kosakata bahasa-bahasa di dalamnya. 3.2 Bahasa Ngaju di Palangkaraya BNg yang dituturkan di Provinsi Kalimantan Tengah memiliki beberapa dialek yang dinamai sesuai dengan aliran sungai, di antaranya dialek Kapuas, Kahayan, Rungan, dan sebagainya. Sikap egosentris penuturlah yang kemudian menaikkan status dialek-dialek tersebut menjadi bahasa Kapuas, Kahayan, Rungan, dan sebagainya. Secara umum, BNg merupakan bahasa pergaulan antarsubsuku Dayak. Namun, menjadi bahasa dengan jumlah penutur terbesar di Provinsi Kalimantan Tengah tidak lantas menjadikan BNg aman. BNg yang dituturkan di Palangkaraya, misalnya, harus bersaing ketat dengan bahasa-bahasa lain yang dituturkan di wilayah itu, di antaranya Banjar, Indonesia, Jawa, dan lain-lain. Penutur BNg kadang-kadang malah harus mengalah dengan mengadopsi, paling tidak, intonasi bahasa lain. Terdapat perbedaan cukup signifikan jika mengaitkan intensitas pemakaian BNg di daerah dan di perkotaan. Di daerah, misalnya kabupaten baru hasil pemekaran di sepanjang Sungai Kahayan, intensitas pemakaian BNg masih sangat tinggi. Bahkan, mereka masih sangat setia dengan bahasanya. Hal itu terbukti ketika interaksi terjadi antara pendatang dan pribumi. Para penutur BNg terkesan memaksakan bahasanya untuk berkomunikasi dengan pendatang. Jika pendatang dirasa benar-benar tidak mengenal BNg, mereka akan dengan sukarela beralih kode ke bahasa Indonesia. Berbeda dengan daerah-daerah di atas, BNg sedikit tidak beruntung di kalangan masyarakat perkotaan. Pasangan yang berasal dari subsuku Dayak Ngaju pun terlihat enggan mengajarkan bahasanya kepada anak-anak Budhiono, 2009a. Mereka akhirnya memilih bahasa yang memiliki gengsi yang tinggi untuk diajarkan kepada anak-anaknya Budhiono, 2009b. 5

4. Analisis