3. Ruang Lingkup Merek
Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek ruang lingkup merek masuk dalam Pasal 1 ayat 2, 3, 4 yaitu : Merek dagang adalah
merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan
barang-barang sejenis lainnya. Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau badan hukum untuk membedakan dengan
jasa-jasa sejenis lainnya. Merek kolektif adalah merek yang digunakan pada barang dan atau jasa
dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan barang dan atau jasa sejenis lainnya.
Merek kolektif sebenarnya bukan merupakan jenis merek tersendiri pada merek dagang dan merek jasa, hanya sifat penggunaannya yang sejak awal terikat pada
peraturan yang dibuat untuk itu menjadikan sebagai merek kolektif.
C. Kebijakan Pidana Penal Policy Dalam Penanggulangan Kejahatan di
Bidang Merek 1. Peraturan Perundang-undangan Yang Terkait Dengan Tindak Pidana
Ekonomi
Kebijakan hukum pidana tertuang dalam kebijakan legislasi dan kebijakan bidang penegakan hukum suatu aturan di dalam negara. Tindak pidana di bidang
ekonomi sebagai suatu bentuk hukum yang berkembang dan dinamis terdapat dalam
Universitas Sumatera Utara
berbagai peraturan perundang-undangan. Untuk membahas kebijakan hukum pidana tentu harus dibahas terlebih dahulu kebijakan legislasi atau pengaturan dalam
perundang-undangan terkait dengan tindak pidana ekonomi. Selanjutnya untuk melakukan pengkajian kebijakan tersebut dapat dilihat
kebijakan hukum pidana. Untuk melakukan analisis tentang kebijakan hukum pidana terlebih dahulu dengan melakukan inventarisasi aturan hukum pidana dalam hal ini
undang-undang terkait dengan tindak pidana ekonomi. Dari hasil inventarisasi yang dilakukan dapat dihimpun aturan-aturan terkait dengan tindak pidana di bidang
ekonomi seperti di bawah ini
94
1. Undang-undang Nomor 7drtTahun 1955 tentang Undang-Undang
Tindak Pidana Ekonomi; :
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif;
3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jo Undang-Undang no. 16 Tahun
2000 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan tata cara Perpajakan;
4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan; 5.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal; 6.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 jo Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan;
7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup;
8. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Anti Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat; 9.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; 10.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia jo Undang-Undang Nmor 3 Tahun 2004;
11. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa;
12. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta;
13. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten;
14. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Hak Merek;
94
http:yoserwanhamzah.blogspot.com201006kebijakan-hukum-pidana-dalam- upaya.html, diakses pada tanggal 10 Oktober 2011, pukul 23.00. WIB.
Universitas Sumatera Utara
15. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2003 tentang Pencucian Uang; 16.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; 17.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; dan
18. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Transaksi Informasi
Elektronik. Dari analisis yuridis yang dilakukan terhadap beberapa undang-undang yang
mengatur tindak pidana di bidang ekonomi seperti yang dikemukakan di atas, kebijakan hukum pidana itu terlihat dalam pengaturan baik hukum pidana materil
ataupun hukum pidana formil. Kebijakan yang termuat dalam hukum pidana materil mengatur prinsip-prinsip yang berkaitan dengan :
a. Ruang lingkup pengaturan;
b. Perumusan delik;
c. Unsur pidana dan pertanggungjawaban pidana;
d. Perumusan pidana dan pemidanaan; dan
e. Hubungan sanksi administratif dan sanksi pidana.
Selanjutnya, kebijakan yang termasuk ke dalam hukum pidana formil adalah : a.
Pengaturan tentang penyidik, penyidikan dan wewenang penyidikan; b.
Pengaturan tentang penuntut umum, penuntutan dan kewenangan penuntutan; c.
Koordinasi antara penyidik dengan penyidik dan penyidik dengan penuntut umum; dan
d. Pengaturan tentang peradilan atau pemeriksaan di persidangan.
Universitas Sumatera Utara
Adapun kecenderungan kebijakan hukum pidana yang termuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan tersebut adalah sebagai berikut
95
1. Ruang lingkup pengaturan;
:
2. Perumusan delik;
3. Unsur Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana unsur kesalahan;
4. Pertanggungjawab Korporasi;
5. Pembedaan Kejahatan dan Pelanggaran;
Klasifikasi tindak pidana atas kejahatan dan pelanggar sangat menentukan pengaturan lembaga hukum lain dalam hukum pidana
seperti perbuatan percobaan dan melakukan. Namun dalam tindak pidana ekonomi tidak semua undang-undang khusus tersebut mengatur dengan
tegas perbuatan yang digolongkan sebagai kejahatan dan pelanggaran. Hanya terdapat enam aturan yang mengatur tentang adanya perbedaan
antara kejahatan dan pelanggaran. Undang-Undangan Lingkungan Hidup dan Pencucian uang mengatur pembedaan antara delik kejahatan dan
pelanggaran. Sedangkan dalam undang-undang Hak Kekayaan Intelektual dan Undang-Undang Perpajakan tidak diatur apakah suatu
delik adalah kejahatan atau pelanggaran.
6. Pengaturan Percobaan dan membantu melakukan;
7. Perumusan sanksi Pidanajenis pidana;
Sanksi pidana merupakan suatu dasar pembentukan hukum pidana khusus khususnya di bidang ekonomi karena kebijakan pidana dan
pemidanaan yang ada tidak sejalan lagi dengan kebutuhan dan perkembangan. Oleh sebab itu aturan pidana dan pemidanaan dibuat
menyimpang dari aturan khusus dengan menggunakan asas kumulasi. Ternyata pengaturannya sangat beragam. Terdapat 7 tujuh undang-
undang yang menggunakan kumulasi atau penggabungan dua pidana pokok. Kemudian 3 tiga peraturan lainnya menganut kumulasi tidak
murni atau terserah kepada hakim untuk menggunakan alternatif atau kumulatif. Terdapat 2 dua peraturan yang masih menggunakan sistem
alternatif. Tindak Pidana Ekonomi misalnya masih menggunakan sistem alternatif, sedangkan tindak pidana perpajakan dan pasar modal
menggunakan sistem kumulasi. Sebaliknya Undang-Undang Kepabeanan dan Undang-Undang Hak Atas Kekayaan Intelektual HAKI
menggunakan kumulasi tidak murni alternatif-kumulatif.
8. Sanksi Pidana
Dihubungkan dengan lamanya atau besarnya pidana, undang-undang pidana khususnya sebenarnya menghendaki agar sanksinya lebih berat
dengan sedikit membatasi kebebasan hakim dalam menentukan lamanya
95
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
pidana. Hal itu dilakukan dengan menerapkan stelsel minimum khusus. Ternyata dari penelitian terlihat bahwa tidak satupun aturan yang
menerapkan minimum khusus yang murni. Hanya terdapat 5 lima undang-undang yang menggunakan minimum dan maksimum khusus
artinya pilihan hakim masih antara minimum dan masksimul lamanyabesarnya pidana yang dapat dijatuhkan. Sedangkan 6 enam
aturan masih menggunakan maksimum khusus, artinya terdapat luasnya kebebasan hakim menjatuhkan lamabesarnya pidana. Selanjutnya, tidak
ada satu aturanpun yang menerapkan minimum khusus. Undang-Undang Pasar Modal dan Perpajakan masih menggunakan stelsel maksimal
khusus. Undang-Undang Perbankan dan HAKI menggunakan minimal khusus dan maksimal khusus.
9. Hubungan sanksi Administratif dan Pidana;
10. Penyidikan;
11. Koordinasi Penegak hukum;
Koordinasi penegakan hukum khususnya di bidang penyidikan terlihat bahwa terdapat 4 empat undang-undang yang harus ada koordinasi
anatar penyidik khusus dengan penyidik Polri, misalnya dalam undang- undang Kehutanan dan HAKI. Terdapat 5 aturan yang hanya mengatur
koordinasi antara penyidik Pegawai Negeri Sipil PPNS dengan penuntut umum, seperti undang-undang perpajakan dan kepabeanan.
Terdapat 7 peraturan yang menetapkan bahwa koordinasi dengan penuntut umum harus melalui penyidik Polri.
12. Pengaturan Penuntutan;
13. Pengadilan Khusus;
14. Aturan Persidangan.
2. Kebijakan Pidana Penal Policy Dalam Penanggulangan Kejahatan di