BAB IV PERKEMBANGAN PENERAPAN KEBIJAKAN
PENANGANAN KEJAHATAN MEREK
A. Penegakan Hukum Atas Merek dan Persetujuan TRIPs
Sebelum Persetujuan TRIPs menjadi lampiran persetujuan WTO, maka terdapat banyak konvensi internasional lainnya menyangkut HAKI yang telah
diadopsi oleh negara-negara di dunia ini sejak abad yang lalu. WIPO World Intellectual Property Organization misalnya merupakan salah satu organisasi di
bawah PBB yang mengadministrasikan perjanjian-perjanjian tersebut. Terdapat dua alasan mengapa dalam negosiasi-negosiasi Putaran Uruguay,
Negara-negara industrialis menekankan pentingnya menciptakan suatu forum perdagangan dunia untuk menegosiasikan dan mengimplementasikan persetujuan di
bidang intellectual property. Pertama, negara-negara berkembang di WTO telah setuju untuk membuka pasarnya dengan mengurangi atau menghilangkan hambatan
tarif dan nontarif, negara-negara maju, melalui paten dan instrumen perlindungan lainnya menemukan kesempatan untuk mengekspor produknya yang berkaitan
dengan inovasi dan teknologi di bawah perlindungan hak monopolistik, sehingga pemegang hak teknologi bebas tanpa harus berkompetisi dengan pelaku pasar
domestik. Kedua, persetujuan dalam kerangka WTO dalam menciptakan cross- retaliation atau tindakan balasan untuk negara-negara yang merugikan.
Pertentangan dan ketidaksepahaman antara negara maju dan negara berkembang, juga tercermin sejak awal, saat menentukan agenda negosiasi. HAKI
Universitas Sumatera Utara
merupakan suatu new issue yang diangkat menjadi agenda dan sudah disetujui dalam pertemuan tingkat menteri sesama anggota WTO, tetapi terbatas dalam perdagangan
dalam memerangi pembajakan dan pemalsuan merek. Sampai Tahun 1989, negara- negara berkembang menolak untuk membahas masalah standar penerapan HAKI.
Tetapi sanksi retaliasi perdagangan ternyata cukup berperan dalam merubah pandangan negara-negara tersebut. Seperti Cina, Brazil, India, Taiwan dan Thailand
masuk dalam daftar negara-negara yang diawasi dalam hal HAKI, berulang-ulang memperoleh sanksi dagang berkenaan dengan desakan untuk memperbaiki peraturan
HAKI-nya. Selain itu juga dikenal prinsip-prinsip TRIPs, yaitu :
a. Prinsip National Treatment
176
Prinsip ini merupakan batu pijakan bagi sistem perlindungan warga negara asing secara internasional yang pertama kali diperkenalkan pada Konvensi Paris. Prinsip
ini tidak hanya menjamin perlindungan terhadap warga negara asing tetapi juga menjamin bahwa mereka tidak akan didiskriminasikan dalam bentuk apapun juga.
Dalam kaitannya dengan HaKI, national treatment mengandung makna, bahwa setiap negara harus memberikan perlindungan yang sama terhadap warga negara
dari negara lain, seperti perlindungan terhadap warga negaranya sendiri. Prinsip ini tidak hanya diberlakukan antara sesama negara anggota Konvensi Paris. Prinsip
176
Lihat part I Article Persetujuan TRIPs. Penjelasannya dikutip dari Pusat Kajian APEC Universitas Indonesia bekerjasama dengan Badan Litbang Departemen Luar Negeri RI, Pemberlakuan Persetujuan
Multilateral Mengenai Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights TRIPs dan Pengaruhnya terhadap Perdagangan Internasional Indonesia, Jakarta, 2000.
Universitas Sumatera Utara
ini juga diberlakukan terhadap negara bukan anggota konvensi, dalam hal warga negara non-anggota tersebut memiliki domisili atau kedudukan industri dan
komersial yang “real dan effective” di salah satu negara anggota Konvensi Paris. Dalam Article 3 Konvensi Berne, disimpulkan bahwa prinsip National Treatment
mempunyai 3 tiga asas, yaitu : 1
National Treatment yang diberikan pada karya cipta yang diciptakan di negara lain;
2 Perlindungan tersebut secara otomatis diberikan tanpa formalitas, dan;
3 Hak yang diberikan itu bersifat independen dari adanya perlindungan yang
berlaku di negara tempat ciptaan itu lahir. b.
Most Favoured Nation MFN
177
Prinsip ini merupakan salah satu prinsip pokok dalam GATT yang bersifat non- diskriminatif. Prinsip ini mengandung makna bahwa setiap keuntungan ataupun
kemudahan yang diberikan oleh suatu negara anggota terhadap warga negara dari negara lainnya anggota maupun bukan anggota, wajib diberikan juga pada warga
negara dari semua negara anggota lainnya. Banyak pasal-pasal dalam TRIPs memiliki kaitan sangat erat dengan konvensi
Paris terutama dalam hal menentukan standar minimal perlindungan HAKI. Penerimaan suatu negara terhadap Persetujuan TRIPs, akan memberikan 3 tiga
konsekuensi logis pada penerapannya, yaitu :
177
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
1 Menyesuaikan diri dengan hal-hal substantif yang diatur dalam Konvensi
Paris, utamanya Pasal 1 sampai dengan Pasal 12, serta Pasal 19, sekalipun mereka tidak termasuk negara penandatanganan Konvensi Paris.
Indonesia yang pertama kali meratifikasi Konvensi Paris melalui Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1979 tertanggal 10 Mei 1979. Ratifikasi dilakukan
dengan persyaratan, yaitu tidak menerima atau tunduk kepada Pasal 1 sampai dengan Pasal 12 Konvensi Paris.
Bersamaan dengan ratifikasi Persetujuan pembentukan WTO, maka pada tanggal 7 Mei 1997 melalui Keputusan Presiden RI Nomor 15 Tahun 1997
tentang Perubahan Keppres RI No.24 Tahun 1979 tentang Pengesahan Paris Convention for the Protection of Industrial Property dan Convention
Establishing the World Intellectual Property Organization, Pasal 1 sampai dengan Pasal 2 Konvensi Paris dinyatakan berlaku.
2 Seluruh anggota WTO terikat dengan perjanjian yang sama, yaitu Konvensi
Paris versi Stockholm Tahun 1967. 3
Pasal-pasal dalam Konvensi Paris bersama-sama dengan Persetujuan TRIPs akan menjadi panduan atau dasar hukum dari mekanisme penyelesaian
sengketa WTO. Tujuan utama Persetujuan TRIPs, sebagaimana tercantum dalam
pembukaannya adalah untuk mengurangi distorsi dan halangan terhadap perdagangan internasional, dengan memperhitungkan kebutuhan untuk mempromosikan secara
efektif dan memadai perlindungan HAKI, dan untuk memastikan agar ukuran dan
Universitas Sumatera Utara
prosedur HAKI tidak menjadi halangan tersendiri bagi berlangsungnya perdagangan yang sah.
Sementara dalam Article 7 Persetujuan TRIPs, yaitu perlindungan dan pelaksanaan hak-hak kekayaan intelektual harus memberikan sumbangan bagi
kemajuan inovasi teknologi serta pengalihan dengan penyebaran teknologi dengan memperhatikan keseimbangan kepentingan antara produsen dan pengguna dari
pengetahuan teknologi serta dengan cara yang kondusif bagi kesejahteraan masyarakat dan ekonomi, dan keseimbangan antara HAKI dan kewajiban.
178
Kritikan-kritikan terhadap masuknya TRIPs dalam persetujuan WTO, umumnya menyoroti 3 tiga hal. Pertama, HAKI itu sendiri lebih banyak dipaksakan
konsep dan pemberlakuannya oleh negara-negara maju. Kedua, tidak ada catatan yang lengkap dan transparan tentang butir-butir kesepakatan antara negara maju dan
negara berkembang yang secara bersama merancang TRIPs. Ketiga, isi TRIPs sendiri mengandung asimetris tajam. Dalam kandungan TRIPs terdapat bagian yang secara
detil mencantumkan standar perlindungan minimum yang sangat tinggi terhadap hak paten, sehingga hampir semua negara berkembang akan terpaksa merubah ketentuan
hukum mereka mengenai hal tersebut. Secara khusus Persetujuan TRIPs menyatakan bahwa tujuan persetujuan
adalah untuk mengurangi ketegangan melalui pencapaian komitmen yang lebih kuat tentang penyelesaian sengketa HAKI melalui prosedur multilateral.
178
Suyud Margono dan Longginus Hadi, Pembaharuan Perlindungan Hukum Merek, Jakarta, CV. Novindo Pustaka Mandiri, hal.17.
Universitas Sumatera Utara
Persetujuan TRIPs juga merancang mekanisme institusional, prosedur dan penanganan tertentu yang harus dijalankan anggota WTO. Berbagai ketentuan itu
mengatur hal-hal sebagai berikut : a.
Civil Remedie
179
Dalam persetujuan TRIPs dinyatakan bahwa pengadilan negara anggota harus dapat memerintahkan sanksi secara cepat dan berdaya guna untuk menyelamatkan
bukti adanya pembajakan, secara sengaja dan untuk mencegah terjadinya pemalsuan atau pembajakan dengan melarang masuknya barang impor melalui
saluran perdagangan di wilayah yurisdiksi mereka, pembajakan atau pemalsuan telah terjadi, pengadilan harus memiliki kekuasaan untuk memerintahkan
pelakunya membayar kerugian pada pemilik hak cipta atau hak merek. Di samping untuk menciptakan detterent yang efektif, pengadilan berkuasa untuk
memerintahkan pemusnahan barang bajakan agar tidak memasuki saluran perdagangan.
b. Prevention, untuk mencegah diloloskannya barang tiruan, bajakan dan lainnya
yang merugikan pemegang hak ciptanya. Negara anggota diminta menggunakan prosedur tertentu untuk memerintahkan
petugas bea cukai melarang beredarnya sesuatu barang bila mencurigai adanya pemalsuan merek mereka atau adanya barang bajakan atau pemalsuan yang
mengatasnamakan hak mereka. Negara mendapat opsi untuk prosedur yang
179
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dianjurkan untuk menahan beredarnya dari bea cukai barang yang membajak, merek atau hak cipta milik orang lain.
c. Criminal Proceedings, untuk mengenakan sanksi hukum terhadap pelaku
pemalsuan atau pembajakan barang. Negara anggota juga dihimbau untuk menghukum secara tegas ketika terjadi
pemalsuan atau pembajakan dalam skala komersial. Pemalsu atau pembajaknya harus dikenakan sanksi pidana dan dihukum penjara atau denda yang cukup besar
untuk mencegah terulangnya perbuatan.
B. Pemberdayaan Peran Kepolisian Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil PPNS Dalam Perlindungan Hukum di Bidang Merek
Secara umum dapat dikatakan bahwa kejahatan HAKI khususnya merek belum meresahkan masyarakat. Namun demikian, kejahatan HAKI dirasakan dapat
menimbulkan kerugian, bukan saja bagi pemegang haknya tetapi juga akan merugikan perekonomian nasional dan citra Indonesia di forum internasional
terutama dalam menyongsong era perdagangan bebas. Oleh karena itu, berbagai upaya penanggulangan atau perlindungannya mutlak untuk secara terus menerus
dilakukan. Upaya tersebut dapat dilakukan baik secara preventif maupun secara represif. Upaya secara represif dapat ditempuh melalui jalur perdata maupun jalur
pidana. Kepolisian dan PPNS diharapkan dapat memfungsikan dirinya sebagai bagian
Universitas Sumatera Utara
integral dari sistem perlindungan hukum HAKI khususnya di bidang merek dalam penyidikan kasus merek.
180
Meskipun sekarang ada perubahan penggolongan terhadap jenis tindak pidana di bidang merek dari delik biasa menjadi delik aduan, tetapi PPNS semestinya dapat
bertindak pro aktif apabila telah ada laporan dari pihak yang dirugikan.
181
Yang terjadi di lapangan, peranan PPNS masih sangat minim. Secara terbatas di bidang
HAKI, pernah dilakukan penelitian terhadap peranan lembaga penegak hukum c.q. Departemen Kehakiman dan HAM dan PPNS berada di lembaga ini dalam
mendukung pelaksanaan alih teknologi melalui lisensi paten. Berdasarkan penelitian
tersebut diperoleh kesimpulan bahwa lembaga tersebut ternyata tidak berfungsi oleh karena tidak adanya Peraturan Pemerintah dan Petunjuk Pelaksanaan Juklak
maupun Petunjuk Teknis Juknis sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 73 dan 87 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.
182
Perlindungan hukum terhadap merek dapat dilakukan secara preventif dan atau secara represif. Perlindungan hukum secara preventif terhadap merek di
Indonesia diatur dalam Pasal 56 3, Pasal 3, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 jo Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2001, mekanisme perlindungan hukum merek, selain
180
Hasil wawancara dengan Bapak Jawasmer Saragih, SH, M.Kn, Penyidik Pegawai Negeri Sipil PPNS HAKI Pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara, pada hari Jumat
tanggal 23 September 2011.
181
Hasil wawancara dengan Bapak Kurniaman, SH, M.Hum, Penyidik Pegawai Negeri Sipil PPNS HAKI Pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara, pada hari Jumat tanggal
23 September 2011.
182
Suteki, Ringkasan Hasil Penelitian Tesis Program Magister Ilmu Hukum UNDIP, Majalah Masalah-Masalah Hukum FH UNDIP Vol. XXX No.1 Januari-Maret 2001, hal 53.
Universitas Sumatera Utara
melalui inisiatif pemilik merek, dapat ditempuh pula melalui penolakan oleh Kantor Merek terhadap permintaan pendaftaran merek yang sama pada pokoknya dengan
merek. Perlindungan hukum merek yang diberikan baik kepada merek asing atau lokal, terkenal atau tidak terkenal hanya diberikan kepada merek yang terdaftar.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menyatakan bahwa merek adalah hak khusus yang
diberikan oleh negara kepada pemilik merek terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu. Kemudian Pasal 28 Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 tentang Merek menambahkan lagi, bahwa merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 sepuluh Tahun dan berlaku surut sejak
tanggal penerimaan pendaftaran merek filing date yang bersangkutan. Sebenarnya tidak ada kewajiban bagi seseorang untuk mendaftarkan merek yang ia miliki. Ia
bebas mendaftar atau tidak mendaftarkan merek yang bersangkutan. Akan tetapi, jika akan mendapatkan perlindungan hukum berdasarkan hukum merek, maka merek
yang bersangkutan harus terdaftar terlebih dahulu.
183
Dalam proses perlindungan hukum represif, pemilik terdaftar mendapat perlindungan hukum atas pelanggaran hak atas merek baik dalam wujud gugatan
ganti rugi dan gugatan pembatalan pendaftaran merek, maupun berdasarkan tuntutan hukum pidana melalui aparat penegak hukum. Perlindungan hukum represif ini
dilakukandiberikan apabila telah terjadi pelanggaran hak atas merek. Dalam hal ini
183
Hasil wawancara dengan Bapak Jawasmer Saragih, SH, M.Kn, Penyidik Pegawai Negeri Sipil PPNS HAKI Pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara, pada hari Jumat
tanggal 23 September 2011.
Universitas Sumatera Utara
peran lembaga peradilan dan aparat penegak hukum yang lainnya seperti Kepolisian, PPNS dan Kejaksaan sangat diperlukan.
Pasal 76 ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek memberikan hak kepada pemilik merek terdaftar untuk mengajukan gugatan terhadap
orang atau badan hukum yang secara tanpa hak menggunakan merek dagang dan atau jasa yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan
mereknya. Gugatan tersebut menurut Pasal 76 ayat 2 harus diajukan kepada Pengadilan Niaga. Selain memiliki hak untuk melakukan gugatan secara keperdataan
tersebut, pemilik merek juga mendapat perlindungan lain. Perlindungan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 tentang Merek kepada pemilik merek, didasarkan pada ketentuan Pasal 90, 91, 92, 93 dan 94. Pasal 90 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek
menegaskan bahwa barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan milik terdaftar orang lain atau badan hukum lain,
untuk barang atau jasa yang sejenis yang diproduksi atau diperdagangkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 lima Tahun dan atau denda paling banyak Rp
1.000.000.000,- satu miliar rupiah. Tindak pidana di bidang merek sebagaimana diatur dalam Pasal 90-94 merupakan delik aduan.
Perlindungan hukum represif melalui penerapan sanksi-sanksi sebagimana tersebut dimuka, sangat memerlukan peranan lembaga peradilan dan aparat penegak
hukum lainnya seperti Kepolisian, Kejaksaan dan PPNS. Terkait dengan perlindungan hukum ini, Direktorat Jenderal HAKI mempunyai kebijakan strategis
Universitas Sumatera Utara
dimana salah satunya adalah penegakan hukum. Adapun kebijakan strategis tersebut adalah
184
1. Legislasi : Pembenahan dan melengkapi peraturan perundang-undangan
termasuk revisi; :
2. Penyempurnaan sistem administrasi pengelolaan HAKI : Meningkatkan
segala infrastruktur dan sumber daya yang ada; 3.
Peningkatan kerjasama : Meningkatkan transfer of knowledge dengan pihak-pihak terkait baik dalam negeri maupun luar negeri;
4. Sosialisasi : Meningkatkan keseragaman pemahaman yang menimbulkan
kesadaran atas pentingnya HAKI; 5.
Penegakan hukum : Perlindungan terhadap pihak-pihak yang berhak atas suatu perlindungan HAKI melalui mekanisme hukum yang terdiri dari :
a. Perdata : Penyelesaian sengketa pada Pengadilan NiagaPengadilan
Negeri serta penyelesaian sengketa di luar pengadilan misalnya: arbitrase
b. Pidana : Dilaksanakan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil PPNS
HAKI pada Direktorat Penyidikan dan PPNS HAKI ditingkat wilayah Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM
Selanjutnya berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor : M.MH.01.AH.09.01 Tahun 2011 sebagai ketentuan pelaksana dari Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana disebutkan bahwa persyaratan menjadi PPNS adalah sebagai berikut : 1.
Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pengangkatan tertuang dalam Bab II, antara lain : Pelatihan Penyidik diselenggarakan oleh Kepolisian Republik
Indonesia bekerjasama dengan instansi terkait Pasal 2 ayat 4 dan Calon PPNS
184
Hasil wawancara dengan Bapak Salmon Pardede, SH, M.Si, Kepala Sub Direktorat Pengaduan Pada Direktorat Penyidikan, Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum
dan HAM Republik Indonesia pada hari Selasa tanggal 18 Oktober 2011.
Universitas Sumatera Utara
harus mendapatkan pertimbangan dari Kepolisian Republik Indonesia dan Jaksa Agung Republik Indonesia Pasal 4 ayat 1.
2. Selain yang sudah disebutkan di atas, PPNS belum dapat menjalankan jabatannya
apabila PPNS tersebut belum dilantik dan mengucapkan sumpah atau menyatakan janji menurut agamanya dihadapan Menteri Menteri Hukum dan HAM atau
kepada Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia Pasal 7.
Tentang lingkup PPNS sebagai penyidik bidang merek, hanya sebatas tindak pidana yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang
Merek saja yang boleh disidiknya. Pembatasan kewenangan penyidikan oleh PPNS di bidang tindak pidana merek, telah digariskan dalam Pasal 89 ayat 2 Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek sebagai berikut: a.
Melakukan pemeriksaaan atas kebenaran aduan berkenaan dengan tindak pidana di bidang merek;
b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang
melakukan tindak pidana di bidang merek berdasar aduan tersebut pada huruf a;
c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan dengan tindak pidana di bidang merek; d.
Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan dan dokumen lainnya yang berkenaan dengan tindak pidana di bidang merek;
e. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan
bukti, pembukuan, catatan dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti
dalam perkara tindak pidana di bidang merek;
f. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana di bidang merek. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek
dinyatakan bahwa wewenang khusus yang diberikan kepada PPNS untuk bertindak
Universitas Sumatera Utara
sebagai penyidik merek dalam hal ini bersifat komplementer, disamping fungsi dari penyidik pejabat Kepolisian sebagai penyidik utama. Dalam melaksanakan tugasnya
PPNS berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik pejabat Kepolisian. Tindak pidana merek termasuk delik pidana aduan. Oleh karena itu PPNS dan
Kepolisian dengan kewenangannya hanya bisa melakukan penyidikan apabila diduga adanya tindak pidana di bidang merek, dan harus ada pengaduan dari pihak yang
dirugikan. Tingkatan koordinasi antara PPNS HAKI dengan pihak Kepolisian akan digambarkan dalam skema berikut ini
185
Skema 1
:
Tingkat Koordinasi PPNS HAKI dengan Kepolisian
WILAYAH NKRI DITJEN HAKI
MABES POLRI = BARESKRIM KA. BIRO KORWAS PPNS
WILAYAH PROPINSI MABES POLRI DITJEN HAKI BERSAMA
PPNS HAKI DI KANWIL POLDA Dit. Reskrimus = Ka. Seksi Korwas PPNS
MABES POLRI POLRES
Diemban Oleh Kasat Reskrimus MABES POLRI
POLSEK Diemban Oleh Kapolsek
185
Hasil wawancara dengan Bapak Salmon Pardede, SH, M.Si, Kepala Sub Direktorat Pengaduan Pada Direktorat Penyidikan, Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum
dan HAM Republik Indonesia pada hari Selasa tanggal 18 Oktober 2011.
Universitas Sumatera Utara
Untuk tingkat pusat, koordinasi PPNS HAKI dengan Kepolisian dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal HAKI dengan Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar
Kepolisian Republik Indonesia yaitu pada Kepala Biro Koordinator Pengawas PPNS. Untuk tingkat wilayah propinsi, koordinasi PPNS HAKI dengan Kepolisian
dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal HAKI bersama PPNS HAKI yang bertugas di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Propinsi dengan Kepolisian Daerah
yaitu pada Direktorat Reserse dan Kriminal Khusus yaitu dengan Kepala Seksi Koordinator Pengawas PPNS.
Adapun proses penyidikan tindak pidana di bidang merek akan digambarkan dalam skema berikut ini
186
Skema 2
:
Proses Penyidikan Tindak Pidana Merek
MINDIK
186
Hasil wawancara dengan Bapak Salmon Pardede, SH, M.Si, Kepala Sub Direktorat Pengaduan Pada Direktorat Penyidikan, Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum
dan HAM Republik Indonesia pada hari Selasa tanggal 18 Oktober 2011.
- LAPDUAN
- TTKPTNGN
- DIKETAHUI
LANGSUNG OLEH PETUGAS
DIKETAHUI TINDAK
PIDANA
LIDIK Interview
Observasi Surveilance
Undercover TINDAK
Panggil Tangkap
Tahan Geledah
Sita RISKA
Tersangka SaksiAhli
OLHAhli SELS RAH KARA
Buat Resume Menyusun isi BAP
Pemberkasan Rah Berkas Perkara
PU
Universitas Sumatera Utara
LPLK
Setelah diketahuinya Tindak Pidana Merek melalui Laporan atau Pengaduan Laporan PolisiLaporan Kejadian dari pemilik merek maka akan dilakukan
penyelidikan melalui metode interview, Observasi, Surveillance dan Undercover. Selanjutnya akan dilakukan penindakan dengan melakukan pemanggilan kemudian
jika ditemukan bukti awal akan dilakukan penangkapan, penahanan serta melakukan penggeledahan dan penyitaan. Kemudian akan dilakukan pemeriksaan terhadap
tersangka, pemeriksaan terhadap saksiahli dan setelah itu akan dilakukan penyelesaian berkas perkara serta melimpahkannya ke Penuntut Umum Jaksa.
Adapun perkara pelanggaran hak merek pada Tahun 2011 per 1 April-24 September 2011 yang sedang dalam tahap penyidikan oleh PPNS HAKI pada
Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual akan diuraikan dalam tabel berikut
187
Tabel 1
:
Penanganan Perkara Pelanggaran Merek 1 April-24 September 2011
No Kasus
Status Barang Bukti
Lokasi
1 Busi NGK
Membuat Berita Acara tambahan
tersangka dan saksi
680 pcs Jakarta
187
Hasil wawancara dengan Ignatius Silalahi, SH, MH, Kepala Seksi Merek Pada Direktorat Merek, Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Republik
Indonesia pada hari Selasa tanggal 18 Oktober 2011.
Universitas Sumatera Utara
Pemberkasan 33 pcs
Lampung 2
Sparepart Honda Membuat Berita
Acara tambahan tersangka dan saksi
Pemberkasan 3.837 pcs
144 pcs Jakarta
Lampung 3
Casing Handphone Proses penyidikan
melengkapi Berita Acara
360 pcs Jakarta
4 Dupa India
Bharath Darshan Proses penyidikan
melengkapi Berita Acara
310 dus 378 dus
Surabaya Bali
5 PakaianBaju
Merek BOSS Persiapan Penyidikan
Jakarta 6
Mesin Pompa Generator
Telah terjadi perdamaian antara
pelapor dan tersangka
Proses Persiapan SP3 5 unit
5 unit Jawa Timur
Makassar 7
SpreiBed Cover Merek Good Night
Mengajukan panggilan untuk BA
tambahan tersangka 50 buah
24 buah Semarang
Jawa Tengah 8
Bakso Tulang Muda
Proses Penyidikan melengkapi Berita
Acara Yogyakarta
Sleman 9
MesinPompa Persiapan Penyidikan
Papua
Sumber : Direktorat Merek Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia
Kemudian, untuk dapat mengetahui peranan lembaga penerap sanksi, khususnya Kepolisian dan PPNS dapat ditelaah melalui Teori Bekerjanya Hukum dalam Masyarakat
yang dikemukakan oleh William J. Chambliss dan Robert B. Seidman. Dalam perspektif sosial, hukum bekerja bukan pada ruang yang hampa. Terdapat hubungan resiprositas
antara hukum dengan variabel-variabel lain dalam masyarakat. Disamping hukum berfungsi sebagai alat untuk pengendalian sosial as a tool of social control hukum juga
Universitas Sumatera Utara
dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk rekayasa sosial as a tool of social engineering sebagaimana dideskripsikan oleh Roscoue Pound.
188
Konsepsi operasional tentang rekayasa masyarakat dengan menggunakan hukum sebagai sarana, didasarkan pada dua konsep yang berbeda, yaitu konsep
tentang ramalan-ramalan mengenai akibat-akibat prediction of consequences yang dikemukakan oleh Lundberg dan Lansing Tahun 1973 dan konsep Hans Kelsen
tentang aspek rangkap dari suatu peraturan hukum.
189
Faktor kritis dalam menentukan bagaimana seorang pemegang peran akan bertindak adalah : norma-norma yang
diharapkan akan dipatuhi oleh pemegang peran, kekuatan-kekuatan sosial dan personal yang bekerja terhadap pemegang peran dan kegiatan lembaga penerap
sanksi. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa lembaga pembentuk hukum dan lembaga penerap sanksi tidak beroperasi diruang hampa. Kedua lembaga ini juga
merupakan obyek dari norma-norma sebagai akibat dari kedudukannya dan mendapat pengaruh dari kekuatan-kekuatan sosial dan personal.
190
Model ini menunjukkan bagaimana respons pemegang peran terhadap tuntutan-tuntutan dan tekanan-tekanan yang ditujukan terhadap dirinya. Tingkah laku
seorang pemegang peran merupakan hasil penjumlahan resultante dari seluruh kekuatan-kekuatan, yaitu yang berasal dari perorangan personal forces dan yang
berasal dari masyarakat societal forces yang ditujukan kepada pemegang peran itu.
188
Dikutip dari Ronny Hanitijo Soemitro, Perspektif Sosial dalam Pemahaman Masalah-Masalah Hukum, Semarang: CV. Agung, 1989, hal.23.
189
Ibid.
190
Ronny Hanitijo Soemitro, Studi Hukum dan Masyarakat, Bandung: Alumni, 1985, hal. 51.
Universitas Sumatera Utara
Keadaan ini juga berlaku bagi lembaga pembuat peraturan dan lembaga penerap sanksi. Kedua lembaga ini juga mendapat pengaruh-pengaruh dari kekuatan-kekuatan
sosial dan personal. Jadi pengaruh lingkungan terhadap penegak hukum sebagai suatu lembaga tidak dapat dielakkan.
191
Penggunaan hukum sebagai sarana untuk melakukan rekayasa masyarakat melibatkan penggunaan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pembuat hukum guna
menimbulkan akibat-akibat pada peranan yang dilakukan oleh anggota masyarakat dan oleh pejabat pemerintah. Salah satu faktor yang mempengaruhi usaha memanfaatkan
hukum sebagai sarana untuk melakukan rekayasa masyarakat adalah kegiatan pejabat penerap sanksi pemerintah. Tindakan-tindakan pejabat penerap sanksi merupakan
landasan bagi setiap usaha untuk mewujudkan perubahan yang efektif di dalam masyarakat dengan penggunaan hukum sebagai sarana. Konsep bekerjanya hukum
sosiologis yang dikemukakan di atas seharusnya digunakan untuk mengoptimalkan peranan Kepolisian dan PPNS dalam sistem perlindungan hukum di bidang merek.
Selanjutnya Kepolisian Republik Indonesia POLRI selaku alat negara, perlu juga melakukan berbagai upaya penanggulangan atas kejahatan atau pelanggaran
HAKI melalui upaya penegakan hukum dengan melakukan penyidikan dan investigasi. Kepolisian diharapkan untuk senantiasa berupaya melakukan penegakan
hukum berdasarkan kewenangan yang ada melalui kegiatan penyidikan kejahatan merek yang terjadi. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
191
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Bandung: Sinar Baru, 1983, hal.27.
Universitas Sumatera Utara
KUHAP, tahapan proses peradilan pidana terbagi secara nyata, yaitu penyelidikan dan penyidikan investigasi dilakukan oleh Kepolisian; penuntutan merupakan
kewenangan Kejaksaan dan pemeriksaan di depan sidang pengadilan menjadi wewenang Hakim. Setelah perkara diputus di Pengadilan, maka pelaksanaan putusan
Hakim dilakukan oleh Jaksa, sedangkan pembinaan dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan. Dengan batasan yang tegas antara fungsi-fungsi tersebut diatas,
maka dalam penerapannya harus merupakan suatu proses peradilan atau penegakan hukum yang terpadu. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum
terhadap pemegang hak atas merek. Terkait dengan peran Kepolisian dalam perlindungan hak atas merek dan
dalam melakukan koordinasi dengan PPNS HAKI serta untuk melakukan efesiensi penyidikan kasus-kasus HAKI sangat diperlukan adanya data base kewenangan ahli
di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Propinsi.
192
Kemudian diperlukan juga kesamaan perspesi dalam hal penegakan hukum masalah HAKI, antara
Kepolisian maupun PPNS HAKI sebagai Penyidik, Jaksa sebagai Penuntut Umum maupun Hakim selaku Pemutus dalam Peradilan sehingga dalam putusan dapat
menimbulkan efek jera bagi pelakunya. Adapun data kasus HAKI yang ditangani Kepolisian dari Tahun 2007 - Tahun 2011 akan terlihat dalam tabel berikut ini :
192
Hasil wawancara dengan Bapak Amir Hamzah, SH, Kepala Sub Direktorat Pidana Khusus Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia pada hari Senin tanggal 17 Oktober 2011.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2 Data Kasus HAKI Yang Ditangani Kepolisian
Tahun 2007 – Tahun 2008 NO
JENIS HAKI TAHUN
JUMLAH 5 TAHUN
2007 2008
2009 2010
2011
1 Hak Cipta
598 209
338 151
82 2.378
2 Paten
6 1
1 -
1 9
3 Merek
83 18
8 84
14 207
4 Desain Industri
17 3
1 5
1 27
5 Rahasia Dagang
1 -
- 1
- 2
6 DTLST
- -
- -
- -
7 PVT
- -
- -
- -
Jumlah 705
231 348
241 98
2.623
Sumber : Data Direktorat Pidana Khusus Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia.
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa pelanggaran hak cipta dari Tahun 2007 – Tahun 2008 adalah pelanggaran HAKI yang paling banyak ditangani oleh pihak
Kepolisian yaitu sebanyak 2.378 kasus dan kemudian menyusul pelanggaran merek sebanyak 207 kasus. Untuk kasus merek yang tidak diadukandilaporkan oleh pemilik
merek yang sah sangat banyak juga terjadi, namun PPNS HAKI dan Kepolisian tidak bisa mengusut kasus tersebut apabila tidak diadukan oleh pemilik merek yang
bersangkutan. Hal ini terjadi karena dimulainya proses penyidikan dalam perkara merek berdasarkan delik aduan yaitu penyelidikan dimulai atas dasar diterimanya
pengaduan dari pemilik merek yang merasa dirugikan. Berbeda dengan hak cipta,
Universitas Sumatera Utara
dimana pihak PPNS HAKI dan Kepolisian tidak perlu menunggu adanya pengaduan dari pemilik hak cipta karena proses penyidikannya menggunakan delik biasa.
193
Tabel 3 Data Perkara Pidana di Bidang Merek
Tahun 2008-Juni 2011
20 40
60 80
100 120
140 160
2008 2009
2010 2011
Pidana Merek
Sumber : Data Direktorat Pidana Khusus Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia.
Dari table batang diatas dapat dilihat peningkatan perkara pidana di bidang merek dimana pada Tahun 2008 perkara merek yang ditangani oleh Direktorat Pidana
Khusus Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia berjumlah 75 perkara, pada Tahun 2009 berjumlah 153 perkara, pada Tahun 2010 berjumlah 160 perkara dan
pada Tahun 2011 hingga bulan Juni 2011 berjumlah 36 perkara.
C. Upaya-Upaya Perlindungan Hak Atas Merek
193
Hasil wawancara dengan Bapak Amir Hamzah, SH, Kepala Sub Direktorat Pidana Khusus Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia pada hari Senin tanggal 17 Oktober 2011.
Universitas Sumatera Utara
Upaya meningkatkan perlindungan hukum yang dianggap paling ampuh atas Merek adalah menerapkan penegakan hukum yang lebih luas. Berbagai macam
bentuk upaya hukum telah dirancang sebagai sistem pelayanan perlindungan hukum kepada pemilik Merek, tidak hanya sekedar tindakan administratif tetapi dapat juga
dengan ancaman tuntutan pertanggungjawaban perdata maupun pertanggungjawaban pidana sebagaimana yang akan dikemukakan sebagai berikut :
1. Penanganan Melalui Tindakan Administratif Oleh Kantor Merek