Itikad Baik Good Will Penanganan Melalui Tindakan Administratif Oleh Kantor Merek

yang memproduksi barang atau jasa sejenis. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menarik keuntungan dari pasaran produk maupun penguasaan pangsa pasar pada segmen tertentu yang telah dikuasai pihak lain, secara tanpa hak. b. Karena perbuatan tersebut dapat timbul kerugian pada pesaingnya, yang dapat berupa pesaing pengusaha itu sendiri maupun pesaing orang lain.

2. Itikad Baik Good Will

Pada peraturan perundang-undangan secara tertulis dinyatakan bahwa itikad baik adalah sendi dari sistem merek. Prinsip asas ter geode trouw ini adalah suatu prinsip dasar dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang tercantum dalam Pasal 4 dan digunakan sebagai alasan oleh pihak penggugat untuk meminta pembatalan pendaftaran merek di dalam mengajukan gugatan pelanggaran merek. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menyatakan bahwa merek tidak dapat didaftar atas dasar permohonan yang diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik. Jika ternyata ada itikad buruk dan telah berhasil didaftarkan maka pihak tersebut adalah pembajak yang ingin memanfaatkan ketenaran merek pihak lain yang sudah mapan, membajak piracy merek pihak lain, dan melakukan usaha pemalsuan counterfeit. Pembajakan merek terkenal khususnya merek terkenal asing dilandasi itikad tidak baik dari pembajak yang mengambil kesempatan dan keuntungan dari ketenaran merek pihak lain, tidak akan mendapatkan perlindungan hukum. Menurut Undang- Universitas Sumatera Utara Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek mekanisme perlindungan merek terkenal dapat dilakukan melalui inisiatif pemilik merek melalui jalur pengadilan dan dapat juga ditempuh melalui penolakan oleh Direktorat Jenderal terhadap permohonan pendaftaran merek yang sama atau mirip dengan merek terkenal pihak lain melalui jalur administrasi. Tujuan dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek adalah untuk menghindarkan segala maksud terselubung atau itikad tidak baik dari pendaftarnya dan ada hak bagi setiap orang atau badan hukum yang berkepentingan untuk mengajukan gugatan tentang pembatalan merek.

3. Penyesatan Missleading

Hukum pidana Indonesia yang dikodifikasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memberikan ancaman dan sanksi bagi siapa saja yang melakukan perbuatan peniruan, pemalsuan suatu barang atau bungkusnya yang dapat menyesatkan masyarakat. Pasal 393 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyatakan sebagai berikut 175 “Barangsiapa memasukkan ke Indonesia tanpa tujuan untuk dikeluarkan lagi dari Indonesia, menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan, atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagi-bagikan, barang-barang yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa pada barangnya itu sendiri atau pada bungkusnya, dipakaikan secara palsu nama, firma, atau merek yang menjadi hak orang lain untuk menyatakan asalnya barang, nama sebuah tempat tertentu dengan ditambahkan nama firma yang khayal, ataupun, bahwa : 175 Pasal 393 ayat 1, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Universitas Sumatera Utara pada barangnya sendiri atau pada bungkusnya ditirukan nama firma atau merek yang demikian sekalipun dengan sedikit perubahan, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 empat bulan dua minggu atau denda paling banyak enam ratus rupiah”. Kemudian, Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan peniruan, pemalsuan atau reproduksi atas merek orang lain, harus dianggap dan dinyatakan sebagai tindakan pelanggaran hukum dan merugikan kepentingan umum serta kecurangan material pada masyarakat material deception to public. Universitas Sumatera Utara

BAB IV PERKEMBANGAN PENERAPAN KEBIJAKAN

PENANGANAN KEJAHATAN MEREK A. Penegakan Hukum Atas Merek dan Persetujuan TRIPs Sebelum Persetujuan TRIPs menjadi lampiran persetujuan WTO, maka terdapat banyak konvensi internasional lainnya menyangkut HAKI yang telah diadopsi oleh negara-negara di dunia ini sejak abad yang lalu. WIPO World Intellectual Property Organization misalnya merupakan salah satu organisasi di bawah PBB yang mengadministrasikan perjanjian-perjanjian tersebut. Terdapat dua alasan mengapa dalam negosiasi-negosiasi Putaran Uruguay, Negara-negara industrialis menekankan pentingnya menciptakan suatu forum perdagangan dunia untuk menegosiasikan dan mengimplementasikan persetujuan di bidang intellectual property. Pertama, negara-negara berkembang di WTO telah setuju untuk membuka pasarnya dengan mengurangi atau menghilangkan hambatan tarif dan nontarif, negara-negara maju, melalui paten dan instrumen perlindungan lainnya menemukan kesempatan untuk mengekspor produknya yang berkaitan dengan inovasi dan teknologi di bawah perlindungan hak monopolistik, sehingga pemegang hak teknologi bebas tanpa harus berkompetisi dengan pelaku pasar domestik. Kedua, persetujuan dalam kerangka WTO dalam menciptakan cross- retaliation atau tindakan balasan untuk negara-negara yang merugikan. Pertentangan dan ketidaksepahaman antara negara maju dan negara berkembang, juga tercermin sejak awal, saat menentukan agenda negosiasi. HAKI Universitas Sumatera Utara merupakan suatu new issue yang diangkat menjadi agenda dan sudah disetujui dalam pertemuan tingkat menteri sesama anggota WTO, tetapi terbatas dalam perdagangan dalam memerangi pembajakan dan pemalsuan merek. Sampai Tahun 1989, negara- negara berkembang menolak untuk membahas masalah standar penerapan HAKI. Tetapi sanksi retaliasi perdagangan ternyata cukup berperan dalam merubah pandangan negara-negara tersebut. Seperti Cina, Brazil, India, Taiwan dan Thailand masuk dalam daftar negara-negara yang diawasi dalam hal HAKI, berulang-ulang memperoleh sanksi dagang berkenaan dengan desakan untuk memperbaiki peraturan HAKI-nya. Selain itu juga dikenal prinsip-prinsip TRIPs, yaitu : a. Prinsip National Treatment 176 Prinsip ini merupakan batu pijakan bagi sistem perlindungan warga negara asing secara internasional yang pertama kali diperkenalkan pada Konvensi Paris. Prinsip ini tidak hanya menjamin perlindungan terhadap warga negara asing tetapi juga menjamin bahwa mereka tidak akan didiskriminasikan dalam bentuk apapun juga. Dalam kaitannya dengan HaKI, national treatment mengandung makna, bahwa setiap negara harus memberikan perlindungan yang sama terhadap warga negara dari negara lain, seperti perlindungan terhadap warga negaranya sendiri. Prinsip ini tidak hanya diberlakukan antara sesama negara anggota Konvensi Paris. Prinsip 176 Lihat part I Article Persetujuan TRIPs. Penjelasannya dikutip dari Pusat Kajian APEC Universitas Indonesia bekerjasama dengan Badan Litbang Departemen Luar Negeri RI, Pemberlakuan Persetujuan Multilateral Mengenai Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights TRIPs dan Pengaruhnya terhadap Perdagangan Internasional Indonesia, Jakarta, 2000. Universitas Sumatera Utara ini juga diberlakukan terhadap negara bukan anggota konvensi, dalam hal warga negara non-anggota tersebut memiliki domisili atau kedudukan industri dan komersial yang “real dan effective” di salah satu negara anggota Konvensi Paris. Dalam Article 3 Konvensi Berne, disimpulkan bahwa prinsip National Treatment mempunyai 3 tiga asas, yaitu : 1 National Treatment yang diberikan pada karya cipta yang diciptakan di negara lain; 2 Perlindungan tersebut secara otomatis diberikan tanpa formalitas, dan; 3 Hak yang diberikan itu bersifat independen dari adanya perlindungan yang berlaku di negara tempat ciptaan itu lahir. b. Most Favoured Nation MFN 177 Prinsip ini merupakan salah satu prinsip pokok dalam GATT yang bersifat non- diskriminatif. Prinsip ini mengandung makna bahwa setiap keuntungan ataupun kemudahan yang diberikan oleh suatu negara anggota terhadap warga negara dari negara lainnya anggota maupun bukan anggota, wajib diberikan juga pada warga negara dari semua negara anggota lainnya. Banyak pasal-pasal dalam TRIPs memiliki kaitan sangat erat dengan konvensi Paris terutama dalam hal menentukan standar minimal perlindungan HAKI. Penerimaan suatu negara terhadap Persetujuan TRIPs, akan memberikan 3 tiga konsekuensi logis pada penerapannya, yaitu : 177 Ibid. Universitas Sumatera Utara 1 Menyesuaikan diri dengan hal-hal substantif yang diatur dalam Konvensi Paris, utamanya Pasal 1 sampai dengan Pasal 12, serta Pasal 19, sekalipun mereka tidak termasuk negara penandatanganan Konvensi Paris. Indonesia yang pertama kali meratifikasi Konvensi Paris melalui Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1979 tertanggal 10 Mei 1979. Ratifikasi dilakukan dengan persyaratan, yaitu tidak menerima atau tunduk kepada Pasal 1 sampai dengan Pasal 12 Konvensi Paris. Bersamaan dengan ratifikasi Persetujuan pembentukan WTO, maka pada tanggal 7 Mei 1997 melalui Keputusan Presiden RI Nomor 15 Tahun 1997 tentang Perubahan Keppres RI No.24 Tahun 1979 tentang Pengesahan Paris Convention for the Protection of Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual Property Organization, Pasal 1 sampai dengan Pasal 2 Konvensi Paris dinyatakan berlaku. 2 Seluruh anggota WTO terikat dengan perjanjian yang sama, yaitu Konvensi Paris versi Stockholm Tahun 1967. 3 Pasal-pasal dalam Konvensi Paris bersama-sama dengan Persetujuan TRIPs akan menjadi panduan atau dasar hukum dari mekanisme penyelesaian sengketa WTO. Tujuan utama Persetujuan TRIPs, sebagaimana tercantum dalam pembukaannya adalah untuk mengurangi distorsi dan halangan terhadap perdagangan internasional, dengan memperhitungkan kebutuhan untuk mempromosikan secara efektif dan memadai perlindungan HAKI, dan untuk memastikan agar ukuran dan Universitas Sumatera Utara prosedur HAKI tidak menjadi halangan tersendiri bagi berlangsungnya perdagangan yang sah. Sementara dalam Article 7 Persetujuan TRIPs, yaitu perlindungan dan pelaksanaan hak-hak kekayaan intelektual harus memberikan sumbangan bagi kemajuan inovasi teknologi serta pengalihan dengan penyebaran teknologi dengan memperhatikan keseimbangan kepentingan antara produsen dan pengguna dari pengetahuan teknologi serta dengan cara yang kondusif bagi kesejahteraan masyarakat dan ekonomi, dan keseimbangan antara HAKI dan kewajiban. 178 Kritikan-kritikan terhadap masuknya TRIPs dalam persetujuan WTO, umumnya menyoroti 3 tiga hal. Pertama, HAKI itu sendiri lebih banyak dipaksakan konsep dan pemberlakuannya oleh negara-negara maju. Kedua, tidak ada catatan yang lengkap dan transparan tentang butir-butir kesepakatan antara negara maju dan negara berkembang yang secara bersama merancang TRIPs. Ketiga, isi TRIPs sendiri mengandung asimetris tajam. Dalam kandungan TRIPs terdapat bagian yang secara detil mencantumkan standar perlindungan minimum yang sangat tinggi terhadap hak paten, sehingga hampir semua negara berkembang akan terpaksa merubah ketentuan hukum mereka mengenai hal tersebut. Secara khusus Persetujuan TRIPs menyatakan bahwa tujuan persetujuan adalah untuk mengurangi ketegangan melalui pencapaian komitmen yang lebih kuat tentang penyelesaian sengketa HAKI melalui prosedur multilateral. 178 Suyud Margono dan Longginus Hadi, Pembaharuan Perlindungan Hukum Merek, Jakarta, CV. Novindo Pustaka Mandiri, hal.17. Universitas Sumatera Utara Persetujuan TRIPs juga merancang mekanisme institusional, prosedur dan penanganan tertentu yang harus dijalankan anggota WTO. Berbagai ketentuan itu mengatur hal-hal sebagai berikut : a. Civil Remedie 179 Dalam persetujuan TRIPs dinyatakan bahwa pengadilan negara anggota harus dapat memerintahkan sanksi secara cepat dan berdaya guna untuk menyelamatkan bukti adanya pembajakan, secara sengaja dan untuk mencegah terjadinya pemalsuan atau pembajakan dengan melarang masuknya barang impor melalui saluran perdagangan di wilayah yurisdiksi mereka, pembajakan atau pemalsuan telah terjadi, pengadilan harus memiliki kekuasaan untuk memerintahkan pelakunya membayar kerugian pada pemilik hak cipta atau hak merek. Di samping untuk menciptakan detterent yang efektif, pengadilan berkuasa untuk memerintahkan pemusnahan barang bajakan agar tidak memasuki saluran perdagangan. b. Prevention, untuk mencegah diloloskannya barang tiruan, bajakan dan lainnya yang merugikan pemegang hak ciptanya. Negara anggota diminta menggunakan prosedur tertentu untuk memerintahkan petugas bea cukai melarang beredarnya sesuatu barang bila mencurigai adanya pemalsuan merek mereka atau adanya barang bajakan atau pemalsuan yang mengatasnamakan hak mereka. Negara mendapat opsi untuk prosedur yang 179 Ibid. Universitas Sumatera Utara dianjurkan untuk menahan beredarnya dari bea cukai barang yang membajak, merek atau hak cipta milik orang lain. c. Criminal Proceedings, untuk mengenakan sanksi hukum terhadap pelaku pemalsuan atau pembajakan barang. Negara anggota juga dihimbau untuk menghukum secara tegas ketika terjadi pemalsuan atau pembajakan dalam skala komersial. Pemalsu atau pembajaknya harus dikenakan sanksi pidana dan dihukum penjara atau denda yang cukup besar untuk mencegah terulangnya perbuatan. B. Pemberdayaan Peran Kepolisian Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil PPNS Dalam Perlindungan Hukum di Bidang Merek Secara umum dapat dikatakan bahwa kejahatan HAKI khususnya merek belum meresahkan masyarakat. Namun demikian, kejahatan HAKI dirasakan dapat menimbulkan kerugian, bukan saja bagi pemegang haknya tetapi juga akan merugikan perekonomian nasional dan citra Indonesia di forum internasional terutama dalam menyongsong era perdagangan bebas. Oleh karena itu, berbagai upaya penanggulangan atau perlindungannya mutlak untuk secara terus menerus dilakukan. Upaya tersebut dapat dilakukan baik secara preventif maupun secara represif. Upaya secara represif dapat ditempuh melalui jalur perdata maupun jalur pidana. Kepolisian dan PPNS diharapkan dapat memfungsikan dirinya sebagai bagian Universitas Sumatera Utara integral dari sistem perlindungan hukum HAKI khususnya di bidang merek dalam penyidikan kasus merek. 180 Meskipun sekarang ada perubahan penggolongan terhadap jenis tindak pidana di bidang merek dari delik biasa menjadi delik aduan, tetapi PPNS semestinya dapat bertindak pro aktif apabila telah ada laporan dari pihak yang dirugikan. 181 Yang terjadi di lapangan, peranan PPNS masih sangat minim. Secara terbatas di bidang HAKI, pernah dilakukan penelitian terhadap peranan lembaga penegak hukum c.q. Departemen Kehakiman dan HAM dan PPNS berada di lembaga ini dalam mendukung pelaksanaan alih teknologi melalui lisensi paten. Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa lembaga tersebut ternyata tidak berfungsi oleh karena tidak adanya Peraturan Pemerintah dan Petunjuk Pelaksanaan Juklak maupun Petunjuk Teknis Juknis sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 73 dan 87 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. 182 Perlindungan hukum terhadap merek dapat dilakukan secara preventif dan atau secara represif. Perlindungan hukum secara preventif terhadap merek di Indonesia diatur dalam Pasal 56 3, Pasal 3, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 jo Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2001, mekanisme perlindungan hukum merek, selain 180 Hasil wawancara dengan Bapak Jawasmer Saragih, SH, M.Kn, Penyidik Pegawai Negeri Sipil PPNS HAKI Pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara, pada hari Jumat tanggal 23 September 2011. 181 Hasil wawancara dengan Bapak Kurniaman, SH, M.Hum, Penyidik Pegawai Negeri Sipil PPNS HAKI Pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara, pada hari Jumat tanggal 23 September 2011. 182 Suteki, Ringkasan Hasil Penelitian Tesis Program Magister Ilmu Hukum UNDIP, Majalah Masalah-Masalah Hukum FH UNDIP Vol. XXX No.1 Januari-Maret 2001, hal 53. Universitas Sumatera Utara melalui inisiatif pemilik merek, dapat ditempuh pula melalui penolakan oleh Kantor Merek terhadap permintaan pendaftaran merek yang sama pada pokoknya dengan merek. Perlindungan hukum merek yang diberikan baik kepada merek asing atau lokal, terkenal atau tidak terkenal hanya diberikan kepada merek yang terdaftar. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menyatakan bahwa merek adalah hak khusus yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu. Kemudian Pasal 28 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menambahkan lagi, bahwa merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 sepuluh Tahun dan berlaku surut sejak tanggal penerimaan pendaftaran merek filing date yang bersangkutan. Sebenarnya tidak ada kewajiban bagi seseorang untuk mendaftarkan merek yang ia miliki. Ia bebas mendaftar atau tidak mendaftarkan merek yang bersangkutan. Akan tetapi, jika akan mendapatkan perlindungan hukum berdasarkan hukum merek, maka merek yang bersangkutan harus terdaftar terlebih dahulu. 183 Dalam proses perlindungan hukum represif, pemilik terdaftar mendapat perlindungan hukum atas pelanggaran hak atas merek baik dalam wujud gugatan ganti rugi dan gugatan pembatalan pendaftaran merek, maupun berdasarkan tuntutan hukum pidana melalui aparat penegak hukum. Perlindungan hukum represif ini dilakukandiberikan apabila telah terjadi pelanggaran hak atas merek. Dalam hal ini 183 Hasil wawancara dengan Bapak Jawasmer Saragih, SH, M.Kn, Penyidik Pegawai Negeri Sipil PPNS HAKI Pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara, pada hari Jumat tanggal 23 September 2011. Universitas Sumatera Utara peran lembaga peradilan dan aparat penegak hukum yang lainnya seperti Kepolisian, PPNS dan Kejaksaan sangat diperlukan. Pasal 76 ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek memberikan hak kepada pemilik merek terdaftar untuk mengajukan gugatan terhadap orang atau badan hukum yang secara tanpa hak menggunakan merek dagang dan atau jasa yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan mereknya. Gugatan tersebut menurut Pasal 76 ayat 2 harus diajukan kepada Pengadilan Niaga. Selain memiliki hak untuk melakukan gugatan secara keperdataan tersebut, pemilik merek juga mendapat perlindungan lain. Perlindungan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek kepada pemilik merek, didasarkan pada ketentuan Pasal 90, 91, 92, 93 dan 94. Pasal 90 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menegaskan bahwa barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan milik terdaftar orang lain atau badan hukum lain, untuk barang atau jasa yang sejenis yang diproduksi atau diperdagangkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 lima Tahun dan atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,- satu miliar rupiah. Tindak pidana di bidang merek sebagaimana diatur dalam Pasal 90-94 merupakan delik aduan. Perlindungan hukum represif melalui penerapan sanksi-sanksi sebagimana tersebut dimuka, sangat memerlukan peranan lembaga peradilan dan aparat penegak hukum lainnya seperti Kepolisian, Kejaksaan dan PPNS. Terkait dengan perlindungan hukum ini, Direktorat Jenderal HAKI mempunyai kebijakan strategis Universitas Sumatera Utara dimana salah satunya adalah penegakan hukum. Adapun kebijakan strategis tersebut adalah 184 1. Legislasi : Pembenahan dan melengkapi peraturan perundang-undangan termasuk revisi; : 2. Penyempurnaan sistem administrasi pengelolaan HAKI : Meningkatkan segala infrastruktur dan sumber daya yang ada; 3. Peningkatan kerjasama : Meningkatkan transfer of knowledge dengan pihak-pihak terkait baik dalam negeri maupun luar negeri; 4. Sosialisasi : Meningkatkan keseragaman pemahaman yang menimbulkan kesadaran atas pentingnya HAKI; 5. Penegakan hukum : Perlindungan terhadap pihak-pihak yang berhak atas suatu perlindungan HAKI melalui mekanisme hukum yang terdiri dari : a. Perdata : Penyelesaian sengketa pada Pengadilan NiagaPengadilan Negeri serta penyelesaian sengketa di luar pengadilan misalnya: arbitrase b. Pidana : Dilaksanakan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil PPNS HAKI pada Direktorat Penyidikan dan PPNS HAKI ditingkat wilayah Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Selanjutnya berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor : M.MH.01.AH.09.01 Tahun 2011 sebagai ketentuan pelaksana dari Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa persyaratan menjadi PPNS adalah sebagai berikut : 1. Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pengangkatan tertuang dalam Bab II, antara lain : Pelatihan Penyidik diselenggarakan oleh Kepolisian Republik Indonesia bekerjasama dengan instansi terkait Pasal 2 ayat 4 dan Calon PPNS 184 Hasil wawancara dengan Bapak Salmon Pardede, SH, M.Si, Kepala Sub Direktorat Pengaduan Pada Direktorat Penyidikan, Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia pada hari Selasa tanggal 18 Oktober 2011. Universitas Sumatera Utara harus mendapatkan pertimbangan dari Kepolisian Republik Indonesia dan Jaksa Agung Republik Indonesia Pasal 4 ayat 1. 2. Selain yang sudah disebutkan di atas, PPNS belum dapat menjalankan jabatannya apabila PPNS tersebut belum dilantik dan mengucapkan sumpah atau menyatakan janji menurut agamanya dihadapan Menteri Menteri Hukum dan HAM atau kepada Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia Pasal 7. Tentang lingkup PPNS sebagai penyidik bidang merek, hanya sebatas tindak pidana yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek saja yang boleh disidiknya. Pembatasan kewenangan penyidikan oleh PPNS di bidang tindak pidana merek, telah digariskan dalam Pasal 89 ayat 2 Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek sebagai berikut: a. Melakukan pemeriksaaan atas kebenaran aduan berkenaan dengan tindak pidana di bidang merek; b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang melakukan tindak pidana di bidang merek berdasar aduan tersebut pada huruf a; c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang merek; d. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan dan dokumen lainnya yang berkenaan dengan tindak pidana di bidang merek; e. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang merek; f. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang merek. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dinyatakan bahwa wewenang khusus yang diberikan kepada PPNS untuk bertindak Universitas Sumatera Utara sebagai penyidik merek dalam hal ini bersifat komplementer, disamping fungsi dari penyidik pejabat Kepolisian sebagai penyidik utama. Dalam melaksanakan tugasnya PPNS berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik pejabat Kepolisian. Tindak pidana merek termasuk delik pidana aduan. Oleh karena itu PPNS dan Kepolisian dengan kewenangannya hanya bisa melakukan penyidikan apabila diduga adanya tindak pidana di bidang merek, dan harus ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Tingkatan koordinasi antara PPNS HAKI dengan pihak Kepolisian akan digambarkan dalam skema berikut ini 185 Skema 1 : Tingkat Koordinasi PPNS HAKI dengan Kepolisian WILAYAH NKRI DITJEN HAKI MABES POLRI = BARESKRIM KA. BIRO KORWAS PPNS WILAYAH PROPINSI MABES POLRI DITJEN HAKI BERSAMA PPNS HAKI DI KANWIL POLDA Dit. Reskrimus = Ka. Seksi Korwas PPNS MABES POLRI POLRES Diemban Oleh Kasat Reskrimus MABES POLRI POLSEK Diemban Oleh Kapolsek 185 Hasil wawancara dengan Bapak Salmon Pardede, SH, M.Si, Kepala Sub Direktorat Pengaduan Pada Direktorat Penyidikan, Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia pada hari Selasa tanggal 18 Oktober 2011. Universitas Sumatera Utara Untuk tingkat pusat, koordinasi PPNS HAKI dengan Kepolisian dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal HAKI dengan Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia yaitu pada Kepala Biro Koordinator Pengawas PPNS. Untuk tingkat wilayah propinsi, koordinasi PPNS HAKI dengan Kepolisian dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal HAKI bersama PPNS HAKI yang bertugas di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Propinsi dengan Kepolisian Daerah yaitu pada Direktorat Reserse dan Kriminal Khusus yaitu dengan Kepala Seksi Koordinator Pengawas PPNS. Adapun proses penyidikan tindak pidana di bidang merek akan digambarkan dalam skema berikut ini 186 Skema 2 : Proses Penyidikan Tindak Pidana Merek MINDIK 186 Hasil wawancara dengan Bapak Salmon Pardede, SH, M.Si, Kepala Sub Direktorat Pengaduan Pada Direktorat Penyidikan, Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia pada hari Selasa tanggal 18 Oktober 2011. - LAPDUAN - TTKPTNGN - DIKETAHUI LANGSUNG OLEH PETUGAS DIKETAHUI TINDAK PIDANA LIDIK Interview Observasi Surveilance Undercover TINDAK Panggil Tangkap Tahan Geledah Sita RISKA Tersangka SaksiAhli OLHAhli SELS RAH KARA Buat Resume Menyusun isi BAP Pemberkasan Rah Berkas Perkara PU Universitas Sumatera Utara LPLK Setelah diketahuinya Tindak Pidana Merek melalui Laporan atau Pengaduan Laporan PolisiLaporan Kejadian dari pemilik merek maka akan dilakukan penyelidikan melalui metode interview, Observasi, Surveillance dan Undercover. Selanjutnya akan dilakukan penindakan dengan melakukan pemanggilan kemudian jika ditemukan bukti awal akan dilakukan penangkapan, penahanan serta melakukan penggeledahan dan penyitaan. Kemudian akan dilakukan pemeriksaan terhadap tersangka, pemeriksaan terhadap saksiahli dan setelah itu akan dilakukan penyelesaian berkas perkara serta melimpahkannya ke Penuntut Umum Jaksa. Adapun perkara pelanggaran hak merek pada Tahun 2011 per 1 April-24 September 2011 yang sedang dalam tahap penyidikan oleh PPNS HAKI pada Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual akan diuraikan dalam tabel berikut 187 Tabel 1 : Penanganan Perkara Pelanggaran Merek 1 April-24 September 2011 No Kasus Status Barang Bukti Lokasi 1 Busi NGK Membuat Berita Acara tambahan tersangka dan saksi 680 pcs Jakarta 187 Hasil wawancara dengan Ignatius Silalahi, SH, MH, Kepala Seksi Merek Pada Direktorat Merek, Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia pada hari Selasa tanggal 18 Oktober 2011. Universitas Sumatera Utara Pemberkasan 33 pcs Lampung 2 Sparepart Honda Membuat Berita Acara tambahan tersangka dan saksi Pemberkasan 3.837 pcs 144 pcs Jakarta Lampung 3 Casing Handphone Proses penyidikan melengkapi Berita Acara 360 pcs Jakarta 4 Dupa India Bharath Darshan Proses penyidikan melengkapi Berita Acara 310 dus 378 dus Surabaya Bali 5 PakaianBaju Merek BOSS Persiapan Penyidikan Jakarta 6 Mesin Pompa Generator Telah terjadi perdamaian antara pelapor dan tersangka Proses Persiapan SP3 5 unit 5 unit Jawa Timur Makassar 7 SpreiBed Cover Merek Good Night Mengajukan panggilan untuk BA tambahan tersangka 50 buah 24 buah Semarang Jawa Tengah 8 Bakso Tulang Muda Proses Penyidikan melengkapi Berita Acara Yogyakarta Sleman 9 MesinPompa Persiapan Penyidikan Papua Sumber : Direktorat Merek Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia Kemudian, untuk dapat mengetahui peranan lembaga penerap sanksi, khususnya Kepolisian dan PPNS dapat ditelaah melalui Teori Bekerjanya Hukum dalam Masyarakat yang dikemukakan oleh William J. Chambliss dan Robert B. Seidman. Dalam perspektif sosial, hukum bekerja bukan pada ruang yang hampa. Terdapat hubungan resiprositas antara hukum dengan variabel-variabel lain dalam masyarakat. Disamping hukum berfungsi sebagai alat untuk pengendalian sosial as a tool of social control hukum juga Universitas Sumatera Utara dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk rekayasa sosial as a tool of social engineering sebagaimana dideskripsikan oleh Roscoue Pound. 188 Konsepsi operasional tentang rekayasa masyarakat dengan menggunakan hukum sebagai sarana, didasarkan pada dua konsep yang berbeda, yaitu konsep tentang ramalan-ramalan mengenai akibat-akibat prediction of consequences yang dikemukakan oleh Lundberg dan Lansing Tahun 1973 dan konsep Hans Kelsen tentang aspek rangkap dari suatu peraturan hukum. 189 Faktor kritis dalam menentukan bagaimana seorang pemegang peran akan bertindak adalah : norma-norma yang diharapkan akan dipatuhi oleh pemegang peran, kekuatan-kekuatan sosial dan personal yang bekerja terhadap pemegang peran dan kegiatan lembaga penerap sanksi. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa lembaga pembentuk hukum dan lembaga penerap sanksi tidak beroperasi diruang hampa. Kedua lembaga ini juga merupakan obyek dari norma-norma sebagai akibat dari kedudukannya dan mendapat pengaruh dari kekuatan-kekuatan sosial dan personal. 190 Model ini menunjukkan bagaimana respons pemegang peran terhadap tuntutan-tuntutan dan tekanan-tekanan yang ditujukan terhadap dirinya. Tingkah laku seorang pemegang peran merupakan hasil penjumlahan resultante dari seluruh kekuatan-kekuatan, yaitu yang berasal dari perorangan personal forces dan yang berasal dari masyarakat societal forces yang ditujukan kepada pemegang peran itu. 188 Dikutip dari Ronny Hanitijo Soemitro, Perspektif Sosial dalam Pemahaman Masalah-Masalah Hukum, Semarang: CV. Agung, 1989, hal.23. 189 Ibid. 190 Ronny Hanitijo Soemitro, Studi Hukum dan Masyarakat, Bandung: Alumni, 1985, hal. 51. Universitas Sumatera Utara Keadaan ini juga berlaku bagi lembaga pembuat peraturan dan lembaga penerap sanksi. Kedua lembaga ini juga mendapat pengaruh-pengaruh dari kekuatan-kekuatan sosial dan personal. Jadi pengaruh lingkungan terhadap penegak hukum sebagai suatu lembaga tidak dapat dielakkan. 191 Penggunaan hukum sebagai sarana untuk melakukan rekayasa masyarakat melibatkan penggunaan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pembuat hukum guna menimbulkan akibat-akibat pada peranan yang dilakukan oleh anggota masyarakat dan oleh pejabat pemerintah. Salah satu faktor yang mempengaruhi usaha memanfaatkan hukum sebagai sarana untuk melakukan rekayasa masyarakat adalah kegiatan pejabat penerap sanksi pemerintah. Tindakan-tindakan pejabat penerap sanksi merupakan landasan bagi setiap usaha untuk mewujudkan perubahan yang efektif di dalam masyarakat dengan penggunaan hukum sebagai sarana. Konsep bekerjanya hukum sosiologis yang dikemukakan di atas seharusnya digunakan untuk mengoptimalkan peranan Kepolisian dan PPNS dalam sistem perlindungan hukum di bidang merek. Selanjutnya Kepolisian Republik Indonesia POLRI selaku alat negara, perlu juga melakukan berbagai upaya penanggulangan atas kejahatan atau pelanggaran HAKI melalui upaya penegakan hukum dengan melakukan penyidikan dan investigasi. Kepolisian diharapkan untuk senantiasa berupaya melakukan penegakan hukum berdasarkan kewenangan yang ada melalui kegiatan penyidikan kejahatan merek yang terjadi. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang 191 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Bandung: Sinar Baru, 1983, hal.27. Universitas Sumatera Utara KUHAP, tahapan proses peradilan pidana terbagi secara nyata, yaitu penyelidikan dan penyidikan investigasi dilakukan oleh Kepolisian; penuntutan merupakan kewenangan Kejaksaan dan pemeriksaan di depan sidang pengadilan menjadi wewenang Hakim. Setelah perkara diputus di Pengadilan, maka pelaksanaan putusan Hakim dilakukan oleh Jaksa, sedangkan pembinaan dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan. Dengan batasan yang tegas antara fungsi-fungsi tersebut diatas, maka dalam penerapannya harus merupakan suatu proses peradilan atau penegakan hukum yang terpadu. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas merek. Terkait dengan peran Kepolisian dalam perlindungan hak atas merek dan dalam melakukan koordinasi dengan PPNS HAKI serta untuk melakukan efesiensi penyidikan kasus-kasus HAKI sangat diperlukan adanya data base kewenangan ahli di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Propinsi. 192 Kemudian diperlukan juga kesamaan perspesi dalam hal penegakan hukum masalah HAKI, antara Kepolisian maupun PPNS HAKI sebagai Penyidik, Jaksa sebagai Penuntut Umum maupun Hakim selaku Pemutus dalam Peradilan sehingga dalam putusan dapat menimbulkan efek jera bagi pelakunya. Adapun data kasus HAKI yang ditangani Kepolisian dari Tahun 2007 - Tahun 2011 akan terlihat dalam tabel berikut ini : 192 Hasil wawancara dengan Bapak Amir Hamzah, SH, Kepala Sub Direktorat Pidana Khusus Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia pada hari Senin tanggal 17 Oktober 2011. Universitas Sumatera Utara Tabel 2 Data Kasus HAKI Yang Ditangani Kepolisian Tahun 2007 – Tahun 2008 NO JENIS HAKI TAHUN JUMLAH 5 TAHUN 2007 2008 2009 2010 2011 1 Hak Cipta 598 209 338 151 82 2.378 2 Paten 6 1 1 - 1 9 3 Merek 83 18 8 84 14 207 4 Desain Industri 17 3 1 5 1 27 5 Rahasia Dagang 1 - - 1 - 2 6 DTLST - - - - - - 7 PVT - - - - - - Jumlah 705 231 348 241 98 2.623 Sumber : Data Direktorat Pidana Khusus Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa pelanggaran hak cipta dari Tahun 2007 – Tahun 2008 adalah pelanggaran HAKI yang paling banyak ditangani oleh pihak Kepolisian yaitu sebanyak 2.378 kasus dan kemudian menyusul pelanggaran merek sebanyak 207 kasus. Untuk kasus merek yang tidak diadukandilaporkan oleh pemilik merek yang sah sangat banyak juga terjadi, namun PPNS HAKI dan Kepolisian tidak bisa mengusut kasus tersebut apabila tidak diadukan oleh pemilik merek yang bersangkutan. Hal ini terjadi karena dimulainya proses penyidikan dalam perkara merek berdasarkan delik aduan yaitu penyelidikan dimulai atas dasar diterimanya pengaduan dari pemilik merek yang merasa dirugikan. Berbeda dengan hak cipta, Universitas Sumatera Utara dimana pihak PPNS HAKI dan Kepolisian tidak perlu menunggu adanya pengaduan dari pemilik hak cipta karena proses penyidikannya menggunakan delik biasa. 193 Tabel 3 Data Perkara Pidana di Bidang Merek Tahun 2008-Juni 2011 20 40 60 80 100 120 140 160 2008 2009 2010 2011 Pidana Merek Sumber : Data Direktorat Pidana Khusus Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia. Dari table batang diatas dapat dilihat peningkatan perkara pidana di bidang merek dimana pada Tahun 2008 perkara merek yang ditangani oleh Direktorat Pidana Khusus Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia berjumlah 75 perkara, pada Tahun 2009 berjumlah 153 perkara, pada Tahun 2010 berjumlah 160 perkara dan pada Tahun 2011 hingga bulan Juni 2011 berjumlah 36 perkara.

C. Upaya-Upaya Perlindungan Hak Atas Merek

193 Hasil wawancara dengan Bapak Amir Hamzah, SH, Kepala Sub Direktorat Pidana Khusus Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia pada hari Senin tanggal 17 Oktober 2011. Universitas Sumatera Utara Upaya meningkatkan perlindungan hukum yang dianggap paling ampuh atas Merek adalah menerapkan penegakan hukum yang lebih luas. Berbagai macam bentuk upaya hukum telah dirancang sebagai sistem pelayanan perlindungan hukum kepada pemilik Merek, tidak hanya sekedar tindakan administratif tetapi dapat juga dengan ancaman tuntutan pertanggungjawaban perdata maupun pertanggungjawaban pidana sebagaimana yang akan dikemukakan sebagai berikut :

1. Penanganan Melalui Tindakan Administratif Oleh Kantor Merek

Pada tahap proses permintaan pendaftaran, Kantor Merek dapat berperan memberikan perlindungan kepada pemilik Merek yang sudah terdaftar. Kantor Merek berhak menolak permintaan pendaftaran, apabila pada tahap pemeriksaan substantive yang digariskan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 ternyata Merek yang diajukan bertentangan dengan Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 yaitu : a. Mempunyai persamaan pada pokok atau keseluruhannya dengan Merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan jasa yang sejenis. b. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang atau jasa yang sejenis maupun tidak sejenis. c. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi-geografis yang sudah terkenal. Universitas Sumatera Utara Tindakan penegakan hukum permintaan pendaftaran Merek dengan alasan bertentangan dengan Pasal 6 sangat efektif melindungi Merek yang sudah terdaftar dan perbuatan atau pembajakan Merek. Kemudian, ketelitian Kantor Merek menolak permintaan pendaftaran Merek yang mengandung unsur pemalsuan merupakan tindakan edukatif, korektif dan preventif untuk menciptakan kondisi pertumbuhan Merek yang sehat dalam kehidupan perdagangan nasional, regional dan global. Dengan demikian, wajar apabila dikatakan bahwa kantor Merek merupakan pintu gerbang pertama tegaknya perlindungan Merek. Apabila Kantor Merek serius melakukan penyaringan pada tahap proses pemeriksaan syarat dan pemeriksaan substantif sesuai dengan patokan yang ditentukan undang-undang, maka kecil sekali kemungkinan terjadi kejahatan pemalsuan atau pembajakan Merek dalam sistem konstitutif. Sebaliknya, jika pintu ini tidak dijaga ketat oleh Kantor Merek pada tahap permintaan pendaftaran, maka akan bobol dan merajalela manipulasi Merek. Apalagi kalau pejabat atau komisi eksaminasi tidak professional dan mudah dipercaya berkolusi, maka fungsi dan peran kantor Merek sebagai pelindung utama dan pertama akan menjadi instansi tukang legalisasi pemalsuan Merek. Kalau begitu, jika bangsa ini bercita-cita melindungi pemilik Merek, apakah Merek asing atau Merek domestik dan melindungi masyarakat umum dari kejahatan pemalsuan atau pembajakan Merek, tangan pertama yang harus bersih, jujur dan profesional ialah aparat yang dipercaya melakukan eksaminasi di Kantor Merek. Hanya kejujuran yang dibarengi dengan kualitas profesional para pemeriksa yang Universitas Sumatera Utara mampu memberikan jaminan perlindungan yang keras, tegar dan tegas. Keberadaan para eksaminator di kantor Merek jangan terlampau terpengaruh mengenai dihadapkannya kepada Pengadilan Niaga, dalam hal ini Pengadilan Niaga sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 ayat 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001. Jika ketegaran dan ketegasan penolakan dilandasi kejujuran dan profesional. Tidak perlu gentar menghadapi Pengadilan Niaga. Lagipula kemungkinan dibawanya penetapan penolakan yang diambil Kantor Merek ke Pengadilan Niaga merupakan sistem konstitusional yang diciptakan untuk kepentingan bangsa. Ketentuan yurisdiksinya hanya terbatas pada penilaian formal; apakah penetapan penolakan tidak sesuai dengan prosedur yang ditentukan atau apakah dalam mengambil penetapan ada penyalahgunaan wewenang ataupun melampaui batas kewenangan. Pengadilan Niaga tidak dibenarkan melakukan penilaian substantif dan penetapan penolakan. Sehubungan dengan hal tersebut diimbau kepada Pengadilan Niaga untuk meningkatkan pemahamannya secara komprehensif tentang ruang lingkup Undang-Undang Merek. Kalau para hakim yang berfungsi di Pengadilan Niaga menguasai dengan baik undang-undang Merek, maka kecil sekali kemungkinan muncul putusan kontroversial yang menghalalkan Merek palsu menggilas Merek orisinil yang sudah sah pendaftarannya.

2. Penanganan Melalui Hukum Perdata