Menurut Zen Umar Purba, Yang menjadi persoalan adalah bagaimana mengefektifkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil PPNS untuk melakukan penyidikan
dalam rangka pelanggaran di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual. Sudah saatnya peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil PPNS lebih diefektifkan dengan bisa
mengajukan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, tanpa harus melalui kepolisian. Ada dua alasan, pertama, sebagai wacana peningkatan upaya penegakan
hukum. Pendapat ini sepenuhnya didasarkan perhitungan bahwa dalam era reformasi sekarang ini pihak kepolisian amat sangat dibutuhkan oleh seluruh rakyat untuk
masalah-masalah yang lebih langsung menyentuh kehidupan masyarakat banyak dan umumnya berskala sangat besar, misalnya masalah perbankan, korupsi, dan lain-lain.
Kedua, hal ini sejalan dengan pelaksanaan konsep kenegaraan yang benar, dimana polisi yang mengendalikan urusan keamanan negara, tidak lagi seperti pada masa lalu
dimana polisi hanya merupakan pelengkap.
168
2. Batas Minimum dan Batas Maksimum
Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek, tidak menerapkan batasan pidana minimum, baik pada pidana penjara maupun denda.
Artinya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek hanya mengenakan batas pidana maksimum pada pidana penjara maupun pidana denda.
168
A. Zen Umar Purba, Perlindungan dan Penegakan Hukum HaKI, makalah disamapaikan pada acara Pelatihan Teknis Fungsional Peningkatan Profesionalisme, diselenggarakan oleh Pusdiklat
Mahkamah Agung RI, Makassar, 20 November 2001. hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
Penerapan batas maksimum dan minimum sekaligus dalam satu sisi akan memberikan satu kepastian, sehingga putusan hakim dalam perkara merek lebih
proporsional dan dapat menimbulkan efek jera. Jika dilihat dari Undang-undang Hak Atas Kekayaan Intelektual yang lain menunjukkan bahwa lamanya penjara atau
besarnya denda dalam masing-masing undang-undang tidak seragam. Pertimbangan lamanya penjara ataupun besarnya denda tidak memiliki dasar argumen yang
rasional. Selain itu juga menandakan bahwa tidak ada harmonisasi dalam perumusan
pidana dalam semua Undang-undang Hak Atas Kekayaan Intelektual ini.
3. Jenis Delik
Jenis delik yang gunakan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek adalah delik aduan. Pengenaan delik aduan memiliki konsekuensi
yang berbeda dengan delik biasa dimana dengan delik aduan pelaksanaan hukum pidananya bergantung pada pengaduan dari pihak yang dirugikan oleh suatu tindak
pidana.
Selanjutnya, untuk menentukan suatu delik diatur sebagai delik aduan atau delik biasa, semestinya ada dasar rasional yang mendasari. Trisno Raharjo
menawarkan dua dasar pertimbangan sebagai berikut
169
169
Trisno Raharjo, Kebijakan Lebislatif dalam Pengaturan Hak Kekayaan Intelektual dengan Sarana Penal, Op.Cit., hal. 96.
:
Universitas Sumatera Utara
1. Berkaiatan dengan kerugian bagi masyarakat; Apabila masyarakat
dirugikan dengan adanya perbuatan pelanggaaran Hak Atas Kekayaan Intelektual maka delik adalah delik biasa, sedangkan apabila kerugian
masyarakat tidak terlalu besar maka yang digunakan adalah delik aduan.
2. Kemampuan Penegak hukum; kemampuan penegak hukum dalam
menanggulangi kejahatan Hak Atas Kekayaan Intelektual yang dikategorikan sebagai delik biasa, dalam hal ini adalah dapat secara
proaktif melakukan penanggulangan pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual.
Berkenaan dengan masalah ini, A. Zen Umar Purba menyatakan bahwa delik biasa kurang tepat diterapkan dalam undang-undang merek. Ada 3 tiga alasan yang
dikemukakan yaitu sebagai berikut
170
1. Delik aduan sesuai dengan sifat merek adalah hak privat.
:
2. Hanya pemegang hak-lah yang tahu ada tidaknya pelanggaran atau tindak
pidana terhadap mereknya sendiri dan dalam beberapa kasus para pihak yang bersengketa dalam kaitan dengan merek, kemudian berdamai; namun
sementara itu kasusnya telah dilaporkan ke polisi atas dugaan tindak pidana oleh satu pihak; pelaporan tersebut tidak dapat dicabut kembali.
3. Delik biasa dapat menjadi bumerang karena setiap pihak termasuk pihak
luar sangat mengharapkan dilakukannya tindakan “pembersihan” terus menerus terhadap tindak pidana termaksud tanpa perlunya diadukan; ini
merupakan bumerang bagi kita sendiri.
Selanjutnya, agar menekan terjadinya pelanggaran terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual khususnya pelanggaran merek serta mampu memberikan hukuman yang
berkepastian dan menimbulkan efek jera sehingga iklim usaha dan investasi tumbuh dengan baik di Indonesia sebaiknya jenis delik yang digunakan dalam penegakan hak
170
A. Zen Umar Purba, Perlindungan dan Penegakan Hukum HaKI, makalah disamapaikan pada acara Pelatihan Teknis Fungsional Peningkatan Profesionalisme, diselenggarakan oleh Pusdiklat
Mahkamah Agung RI, Makassar, 20 November 2001. hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
merek adalah delik biasa. Apalagi dengan begitu maraknya kasus-kasus pelanggaran merek yang terjadi di Indonesia, dan kasus-kasus ini banyak merugikan pihak-pihak
yang mempunyai merek terkenal. Dalam pelaksanaan penegakan merek dengan menggunakan delik biasa, Pemerintah juga harus menyiapkan aparatur yang
profesional dan memiliki kemampuan untuk melakukan penyidikan dan penyelidikan terkait kasus pelanggaran merek.
Dengan melihat wacana di atas, maka sudah semestinya pemerintah melakukan evaluasi mengenai evektifitas dari penerapan kedua jenis delik ini,
mengingat sudah berjalan hampir sepuluh tahun. Sehingga dengan hasil evaluasi tersebut, dapat ditentukan jenis delik yang tepat dalam melindungi merek apakah
dengan delik aduan atau delik biasa.
4.
Kualifikasi Delik
Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek hanya ada satu tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai pelanggaran,
171
171
Pasal 94 ayat 1 Barangsiapa memperdagangkan barang danatau jasa yang diketahui atau patut diketahui bahwa barang danatau jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, dan Pasal 93 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 satu tahun atau denda paling banyak Rp.200.000.000,00 dua ratus juta
rupiah. Ayat 2 Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah pelanggaran.
selebihnya tidak ada kualifikasi pidana. Ketiadaan kualifikasi yang jelas pada Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 Tentang Merek akan mengakibatkan persoalan terkait dengan
Universitas Sumatera Utara
pemidanaan terhadap percobaan dan pembantuan, concursus, daluwarsa penuntutan dan pelaksanaan pidana. Namun nanti jika RUU Perubahan KUHP sudah di sahkan
dan tidak ada lagi pembedaan kulifikasi antara kejahatan dan pelanggaran maka kualifikasi ini menjadi tidak berarti. Tetapi selama masih ada pengaturan tentang
kejahatan dan pelanggaran dalam KUHP maka kualifikasi kejahatan dan pelanggaran masih penting, mengingat dalam penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek juga pasti terkait pada induk Hukum Pidana Umum yang diatur dalam KUHP.
5. Pertanggungjawaban Pidana