BAB III PENGATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
YANG BERHUBUNGAN DENGAN PELANGGARAN PIDANA MEREK DI INDONESIA
A. Pengaturan Perundang-Undangan Mengenai Merek 1. Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Merek Dalam Berbagai
Konvensi Internasional
Perlindungan Merek dalam hukum internasional dapat dilihat dari beberapa konvensi internasional, diantaranya adalah :
a. Konvensi Paris Paris Convention for the Protection of Industrial Property
Konvensi Paris lahir pada tanggal 20 Maret 1883 dalam suatu konferensi diplomatik di Paris. Konvensi ini dikenal dengan nama “The Paris
Convention for The Protection of Industrial Property” Konvensi Paris untuk Perlindungan Hak Milik Perindustrian atau disingkat dengan Paris
Convention Konferensi Paris. Konvensi ini awalnya ditandatangani oleh 11 negara peserta, yaitu Belgia, Brasil, Guatemala, Italia, Belanda, Portugal,
Universitas Sumatera Utara
Salvador, Serbia, Spanyol dan Swiss. Kemudian, anggotanya bertambah hingga mencapai 82 negara pada 1 Januari 1976, termasuk Indonesia.
128
Dalam perkembangannya, konvensi ini mengalami beberapa perubahan yaitu di Brussels pada tahun 1900, di Washington 1911, di Den
Haag 1952, di London 1934, di Stockhlom 1967 dan di Geneva 1979, Indonesia baru meratifikasi Konvensi Paris ini dengan Keputusan Presiden
Nomor 24 Tahun 1979 yang diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1997.
Dalam Konvensi Paris ini terdapat 3 asas utama yang harus diterapkan di semua Negara peserta konvensi ini. Ketiga asas itu adalah
129
1. Asas Terbuka Open Convention
:
Dalam Pasal 21 Konvensi Paris mengatur bahwa setiap Negara diperbolehkan menjadi anggota konvensi ini kapan saja. Untuk itu,
mengajukan persyaratan yang diperlukan dengan cara mendaftarkan atau mendeposit kepada Ditjen HKI. Dengan demikian, Negara tersebut
langsung menjadi anggota Paris Union. Setiap Negara yang telah menyatakan diri menjadi anggota Konvensi Paris terikat menerima
ketentuan konvensi dan mengakui sistem serta prinsip-prinsip internasional di bidang Merek. Konvensi ini diharapkan dapat
128
M. Yahya Harahap, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek Di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Merek Nomor 19 Tahun 1992, Op.Cit., hal. 117.
129
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
mempercepat proses keseragaman hukum di antara Negara-negara di dunia. Hal ini untuk memberikan perlindungan terhadap Merek terkenal di
seluruh Negara. 2.
Asas Persamaan Perlakuan National Treatment Setiap Negara peserta konvensi ini harus memberikan perlindungan dan
perlakuan yang sama kepada warga Negara dari Negara-negara peserta konvensi seperti yang diberikan Negara-negara tersebut kepada warga
negaranya sendiri. Asas ini disebut juga dengan asas asimilasi principle of assimilation. Asas ini mengharuskan setiap Negara peserta konvensi
untuk memberikan perlakuan yang sama dalam hal pendaftaran dan perlindungan Merek, yaitu
130
1 Setiap warga Negara anggota berhak memperoleh dan menikmati segala
kesempatan sebagaimana yang diperoleh warga Negara masing-masing sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku maupun yang akan berlaku
pada Negara peserta. :
2 Hak untuk mendapat perlindungan hukum the same protection terhadap
adanya tindakan pelanggaran terhadap Hak Atas Merek yang dimiliki oleh warga Negara dari Negara-negara peserta konvensi lainnya termasuk
pemulihan hukum. 3.
Asas Prioritas Priority Right
130
Ibid., hal. 119.
Universitas Sumatera Utara
Dengan adanya asas ini, suatu Merek dalam suatu Negara konvensi dengan sendirinya menurut hukum memperoleh hak prioritas atas
pendaftaran Merek yang “sama” pada setiap Negara peserta konvensi yang lain apabila Merek tersebut telah diajukan permohonan pendaftarannya di
salah satu Negara peserta konvensi. Timbulnya hal prioritas ini dihitung sejak 6 bulan dari tanggal diajukannya permohonan pendaftaran pertama
di suatu Negara peserta konvensi. Atas permohonan tersebut, kepada pemohon pendaftaran Merek diberikan perlakuan berupa hal prioritas
terhadap permohonan pendaftaran yang diajukan kemudian. Ada beberapa catatan penting mengenai isi dari Konvensi Paris,
diantaranya adalah
131
a. Kriteria Pendaftaran
:
Pada Pasal 6 menetapkan bahwa persyaratan pengajuan dan pendaftaran Merek dagang ditentukan oleh Undang-Undang masing-masing Negara
anggota. Hal ini dimaksudkan agar masing-masing Negara anggota dapat menggunakan patokan-patokan sendiri sebagaimana ditetapkan dalam
Undang-Undangnya untuk menentukan masa berlakunya suatu Merek. Akan tetapi, permohonan atau pendaftaran tidak boleh ditolak oleh suatu Negara
anggota hanya semata-mata karena bukan didaftar di Negara asal. Di sisi lain,
131
OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004, hal. 339-340.
Universitas Sumatera Utara
jika suatu Merek sudah didaftarkan di Negara asal, maka pendaftaran tersebut harus diterima di Negara anggota tersebut walaupun Merek tersebut tidak
memiliki kriteria sebagai suatu Merek berdasarkan Undang-Undang Merek Negara tersebut tel quelle principle. Pendaftaran tersebut dapat ditolak,
apabila dalam keadaan khusus atau ekstrim. Misalnya, apabila pendaftaran Merek tersebut kekurangan daya pembeda atau bertentangan dengan
ketertiban umum atau kesusilaan baik.
b. Hilangnya Merek Dagang karena tidak digunakan
Pada Pasal 5c Konvensi ini menetapkan bahwa Hak Atas Merek dapat hilang sebagai akibat tidak digunakannya Merek tersebut dalam jangka waktu
tertentu. Hal ini dikecualikan apabila tidak digunakannya Merek tersebut dibenarkan oleh Undang-Undang Negara peserta.
c. Perlindungan khusus bagi Merek-Merek terkenal
Merek terkenal dapat didaftarkan untuk barang-barang yang sama atau serupa oleh pihak lain selain pemegang Merek yang asli. Permohonan pendaftaran
tersebut harus ditolak atau dibatalkan oleh Negara anggota, baik secara ex officio maupun atas permohonan pemegang pendaftaran Merek dagang asli
Pasal 6 bis. d.
Merek dagang jasa dan Merek dagang kolektif
Universitas Sumatera Utara
Konvensi Paris mengatur perlindungan atas Merek dagang jasa dan Merek dagang Kolektif dalam Pasal 6. Menurut konvensi ini, Merek dagang kolektif
adalah Merek dagang yang digunakan untuk barang-barang hasil produksi suatu usaha tertentu, tetapi berlaku sebagai Merek dagang jaminan atau
hallmark atas barang-barang hasil produksi atau yang disalurkan oleh kelompok-kelompok atau jenis-jenis usaha tertentu atau atas barang-barang
yang memiliki mutu khusus. e.
Pengalihan Merek Dagang Konvensi Paris bersikap mendua atas pengalihan Merek dagang. Di beberapa
Negara anggota seperti Benelux yang mengatur bahwa suatu Merek dagang dapat dialihkan tanpa diikuti usaha pemilik Merek dagang tersebut.
Sedangkan di Negara-negara lain seperti Indonesia mengatur bahwa pengalihan Merek dagang hanya sah apabila disertai pengalihan usahanya.
Hal ini akan menimbulkan masalah apabila pemilik Merek ingin mengalihkan Merek dagangnya di Negara-negara yang memiliki pengaturan tentang
pengalihan Merek dagang yang berbeda-beda. Dalam Pasal 6 Quarter menetapkan bahwa sudah cukup dengan hanya mengalihkan usahanya yang
berlokasi di Negara anggota ke tempat yang dikehendakinya dan itu merupakan persyaratan wajib dalam pengalihan hak.
Hal lain yang mendapat perhatian luas dari Konvensi Paris adalah Pasal 6 bis. Dalam pasal ini telah diatur tentang Merek terkenal well known marks.
Universitas Sumatera Utara
Negara-negara peserta diajak untuk memerangi peniruan imitation, reproduksi reproduction dan terjemahan transalation atas Merek terkenal.
Untuk hal tersebut, Konvensi Paris meminta kepada Negara-negara peserta melakukan hal-hal sebagai berikut
132
1. agar menolak permintaan pendaftaran;
:
2. secara ex officio membatalkan pendaftaran, jika hal ini dibenarkan oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara bersangkutan; 3.
mengabulkan pembatalan pendaftaran berdasarkan permohonan dari pihak yang berkepentingan;
Selanjutnya atas suatu Merek yang merupakan peniruan, reproduksi atau terjemahan yang dapat menimbulkan kekeliruan to create confusion dari suatu
Merek yang telah dianggap oleh instansi yang berwenang dari Negara di mana Merek ini didaftarkan atau dipakai sebagai Merek terkenal.
133
b. Perjanjian Madrid Madrid Agreement