pemeriksaan atas penghnetian penuntutan. Sementara pihak ketiga yang berkepentingan yaitu mereka yang telah menderita sebagai korban
keganasan tindak pidana. Dengan berlakunya KUHAP, pihak korban sebagai pihak ketiga yang berkepentingan, dapat mengajukan permintaan
pemeriksaan atas penghentian penuntutan. b
Pihak yang dibei hak untuk mengajukan permintaan pemeriksaan terhadap penghentian penuntuitan, dapat mengajukan kepada Pengadilan negeri
setempat agar sah atau tidaknya penghentian diperiksa dan diputus oleh sidang Praperadilan. Akan tetapi pengajuan adalah hak yang diberi
Undang-Undang kepada penyidik dan pihak ketiga yang berkepentingan. Tergantung kepada mereka apakah akan mempergunakan haknya atau
tidak selama tidak ada diajukan keberatan, Praperadilan tidak berwenang untuk menilai sah atau tidaknya penghentian penuntutan
142
2. Akibat Ditinjau dari Sudut Sosiologis
Dengan keluarnya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara SKPPPSKP3 yang kontoversial maka akan membawa akibat sosiologis yaitu
terjadinya Pro dan kontra di dalam masyarakat terhadap ketetapan penghentian penuntutan tersebut. Pihak yang Pro adalah pihak-pihak yang memiliki hubungan
kepentingan politik yang diuntungkan dan memiliki rasa prihatin atau setuju ketimbang perkaranya dilanjutkan dengan faktor kemanusiaan. Sedangkan
golongan yang kontra adalah pihak-pihak atau golongan masyarakat yang dirugikan atau yang menjadi korban atas perbuatan terdakwa, sementara juga
142
Ibid, Hl 430.
kelompok pencari keadilan dan pembela hak Asasi manusia juga kecewa dan menentang atas dihentikannya penuntutan atas perkara terdakwa, dengan alasan
pertimbangan hakim tidak memberi putusan yang lebih adil dan bernuansa hukum tetapi politis. Masyarakat mengharapkan hakim dapat memberikan putusan yang
menyentuh rasa keadilan tidak hanya bagi masyarakat tetapi juga bagi terdakwa sendiri, dan dengan keluarnya ketetapan tersebut masyarakat juga menilai bahwa
dibalik putusan yang kontoversial itu ada intervensi kalangan-kalangan tertentu, sehingga masyarakat menganggap kepastian hukum tidak ada serta tidak
mengakomodasi kepentingan sebagaian besar masyarakat. Dengan keluarnya ketetapan penghentian penuntutan banyak pihak
menuntut agar terdakwa tetap harus diadili dan menuntut agar semua orang kedudukannya harus sama dihapan hukum.
Pada kasus-kasus besar dan menyangkut kepentingan Negara publik serta
sangat mendapat perhatian masyarakat seperti kasus Penghentian penuntutan perkara Soeharto, dengan dikeluarkannya Surat Ketetapan Penghentian Perkara
SKPPPSKP3 menimbulkan reaksi besar dan silang pendapat yang tajam di masyarakat dan juga dikalangan pejabat-pejabat Negara Eskekutip, Yudikatif,
legislatif dan lembaga Negara lainnya. Penetapan hakim menghentikan sidang Soeharto tentu saja menimbulkan
Pro dan kontra , yang pro menilai wajar saja hakim menghentikan sidang perkara Soeharto, Anggota DPR Komisi II Hartono Mardjono menilai sejak awal ada
kejanggalan dalam menangani kasus Presiden RI kedua ini, dia mnunjuk langkah Jaksa penuntut umum Muchtar Arifin yang menyerahkan berkas perkara tanpa
terdakwa, seharusnya menurut pengacara senior ini pengadilan sejak dini menolak
berkas itu karena Jaksa tak mampu menghadirkan terdakwa sesuai hukum acara pidana, katanya “penyerahan berkas perkara harus disertai terdakwa kalau tak ada
terdakwa mau mengadili angin”.
143
Sebagai konsekuensi dari dikeluarkannya SKPPP tersebut, maka status hukum terdakwa otomatis gugur atau tidak berlaku lagi, dan dalam hal ini berkas
perkara dikembalikan kepada Kejaksaan negeri setempat dan mencoret nomor perkara pidana biasa dalam tahun yang sedang berjalan. Dan sesuai dengan bunyi
pasa 140 ayat 2 butir d maka penuntut umum dapat kembali nelakukan penuntutan apabila kemudian ternyata ada alasan baru atau bukti-bukti baru. Demikian juga
dengan kasus penghentian perkara Soeharto dan sebagai konsekuensi dari dikeluarkannya SKPPP tersebut,maka status hukum Soeharto sebagai terdakwa
otomatis gugur atau tidak berlaku lagi. Sedangkan pada SKPPP Soeharto juga Dampak sosiologis dimasyarakat juga terjadi yaitu suara
dimasyarakat terpecah menjadi dua yaitu kelompok pertama menginginkan kasus Pak harto ditutup saja. Alasannya beragam , mulai aspek kemanusiaan hingga
karena kesehatannya yang sudah rapuh. Sementara kelompok kedua tetap ingin mendudukkan H.M. Soeharto di kursi Pesakitan.
Pada intinya SKPPP yang dikeluarkan oleh Kejari Jakarta Selatan tersebut menimbulkan gelombang protes di kalangan masyarakat, seperti tokoh partai,
LSM, Mahasiswa, aktifis perempuan dan juga dikalangan mantan pejabat Negara serta lembaga-lembaga Negara.
3. Akibat Terhadap Status Hukum Terdakwa, Benda SitaanBarang Bukti dan Terhadap Kerugian Negara serta Pihak Ketiga
143
Internet, WWW.Google. Com, Menunggu Nasib Pengadilan Soeharto, 10 Agustus 2006.
disebutkan pada bagian menetapkan angka 3 : Surat ketetapan ini dapat dicabut kembali apabila dikemudian hari terdapat alasan baru yang diperoleh Penuntut
Umum. Dengan diterbitkannya SKPPP maka terhadap terdakwa dapat diberikan
Rehabilitasi sebagai aktualisasi kebijakan Negara dengan keputusan Presiden dapat memberi rehabilitasi kepada terdakwa elain alasan kemanusiaan usia lanjut
disertai alasan medis yang dapat dipertanggungjawabkan demikian juga terhadap Soeharto dapat diberikan Rehabilitasi tetapi perbuatan yang mana yang mau
direhabilitasi karena pada dasarnya Soeharto belum mengakui kesalahannya. Sementara Abolisi sesuai dengan Pasal 1 UU No 11Drt 1954 akan bersipat
debatable karena abolisi hanya diberikan kepada orang yang telah melakukan tindak pidana yang fit to stand trial dengan alat bukti yang memadai. Sedangkan
kasus Soeharto belum memasuki substansi koruptinya, juga persyaratan unfit to stand trial.
Dari bunyi Pasal 1 butir 23 KUHAP bahwa pengertian Rehabilitasi adalah: hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan
dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan , penuntutan atau peradilan karena ditangkap atau pun diadili tanpa alasan yang berdasarkan
Undang-Undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini.
144
Benda sitaanbarang bukti
Berdasarkan pengertianpenafsiran otentik sebagaimna dirumuskan dalam Pasal 1 butir 16 KUHAP tersebut dapat disimpulkan bahwa Benda yang
144
H.M.A. Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, UMM Press, Malang, 2004, Hal 317.
disitaBenda sitaan yang juga dinamakan” barang bukti” adalah berfungsiberguna untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Dan
dalam Pasal 46 ayat 2 juga diatur bahwa perkara yang sudah diputus maka Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka
yang disebut dalam putusan itu kecuali jika menurut hakim Benda itu dirampas untuk Negara.
145
Kerugian Negara Dan Pihak Ketiga
Barang bukti sebagaimana dalam berkas perkara dengan diteritkannya SKPPP Soeharto maka Benda sitaanbarang bukti berupa sebagaimana terlampir
dalam berkasa perkara tetap terlampir dalam berkas perkara. Tetapi konsekuensi dikeluarkannya ketetapan tersebut maka semua Benda yang telah disita dari
Soeharto seperti harta atau barang bukti lainnya wajib dikembalikan. Dalam hal ini maka untuk Benda sitaan atau barang bukti dapat tetap diajukan dengan
gugatan perdat untuk mengembalikan kerugian Negara.
Setiap tindak pidana korupsi dapat membawa kerugian baik bagi korban maupun ataupun bagi keuangan Negara dan pihak ketiga yang berkepentingan.
Didalam penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang sah KUHAP Pasal 81 menyatakan bahwa tersangka dan atau pihak ketiga yang berkepentingan
berhak mengajukan permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi sebagai akibat sahnya penghnetian penyidikan dan sahnya penghentian penuntutan. Jadi kalau
hakim Praperadilan menjatuhkan putusan penetapan yang menyatakan bahwa penghentian penyidkan atau penghentian penuntutaan adalah sah, maka putusan
pengesahan atas penghentian penyidikanpenuntutan tersebut dapat digunakan
145
Ibid, Hal 32.
sebagai dasar alasan untuk mengajukan permintaanpermohonanpenuntutan ganti kerugian.
146
H.M. Soeharto berurusan dengan hukum menyusul keluarnya tap MPR Nomor XI tahun 1998 tentang penuntasan dugaan korupsi yang dilakukan
Soeharto dan kroni-kroninya, saat itu Jaksa Penuntut umum Muchtar arifin, kini jaksa Agung muda Bidang Intelijen mendakwa penguasa Orde baru itu telah
melakukan korupsi dana yayasan dan merugikan Negara trilyunan rupiah dan perkaranya kemudian deregister dengan nomor 842Pid.P200PN JAKSEL.
147
Diluar penyelesaian proses pidana , tuntutan pengembalian uang Negara yang diduga dikorupsi Pak harto belum berhneti. Jaksa Agung sendiri kini sedang
berupaya mengembalikan asset senilai US 419 juta dan Rp 1,3 trilyun lewat jalur hukum perdata yang dipimpin oleh Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha
Negara. Hal ini diakomodasi oleh UU yaitu Pasal 34 UU Pemberantasan tindak Pidana Korupsi Nomor 311999 yaitu jaksa Pengacara Negara dapat melakukan
gugatan perdata apabila terdakwa meninggal dunia dan secara nyata telah ada kerugan Negara. Gugatan ini diajukan kepada ahli waris karena yang digugat
adalah harta kekayaan, ahli waris hanya bertanggung jawab secara keperdataan dan sudah ada bukti maka harta kekayaan yang diduga dapat disita dan ini dap[at
dilelang untuk kepentingan ganti kerugian. Dalam hukum pidana bias saja ada pengalihan tanggung jawab namun terbatas soal perdatanya dan pada prinsipnya
hukum pidana tidak mengenal subsitusi pertanggungjawaban dimana seseoang tidak boleh serta merta menerima hak oran lain sementara orang lain itu
mempunyai kewjiban misalnya jika ada ahli waris akan menerima harta dari
146
Ibid, Hal 308.
147
Hidayat Gunadi, Op cit, Hal 27.
seseorang yang diduga melakukan kejahatan maka hartanya harus dipertanggungjawabkan dulu sebelum diwariskan meskipun demikian aturan
pengembalian keuangan Negara itu tak lebih dari Pasal lipstik sebab dalam prakteknya ketentuan ini sulit diterapkan karena itu seharusnya Pasal-Pasal itu
disempurnakan.
148
Dengan keluarnya SKPPP Soeharto Maka poin penting terhadap kerugian Negara adalah:
149
a Bahawa tindakan termohon menerbitkan SKPPP jelas sangat merugikan
kepentingan kepastian hukum di indoensia, sehingga dapat menyebabkan timbulnya perasaan dimasyarakat bahwa penegakan hukum di Indonesia tidak
serius dan atau tidak berlaku untuk “kalangan atas” atau hanya berlaku bagi “masyarakat bawah” yang pada akhirnya menyebabkan ketidakpercayaan
masyarakat terhadap hukum, serta menyebabkan terlegalisasinya praktek KKN yang selama ini terjadi baik oleh yang dilakukan oleh terdakwa maupun
keluarga atau kroni-kroninya yang menyebabkan hilangnya kerugian Negara tersebut. Dengan demikian termohon telah melanggar Tap MPR no.
IVMPR2000 khususnyabab II Pasal 6 ayat 1 dimana Termohon sebagai alat Negara penegak hukum harus dapat menegakkan hukum dan memberikan
pengayoman kepada masyarakat. b
Bahwa bagi keuangan Negara, maka tindakan Termohon telah menyebabkan upaya untuk mengembalikan keuangan Negara yang telah dikorupsi menjadi
tidak dapat dilakukan, yang jelas membebani keuangan Negara.
148
Ibid, Hal 27.
149
Salinan Putusan Permohonan Praperadilan oleh Assosiasi penasihat Hukum Indonesia APHI, Jakarta, 19 Mei 2006, Hal 16.
c Bahwa tindakan termohon di atas dan telah menimbulkan kerugian sebagaimana diungkapkan di atas juga menimbulkan kerugian bagi
PEMOHON atau pihak ketiga selaku organisasi non pemerintah LSM, yang secara terus menerus telah melakukan ikhtiar dan upaya untuk melakukan
advokasi dan penyadaran hukum dan HAM kepada masyarakat, termasuk didalamnya penegakan pemberantasan korupsi di Indonesia, yang antara
ikhtiar dan upaya itu dilakukan oleh PEMOHON melalui kegiatan-kegiatan sebagai telah disbut di atas mengenai kedudukan hukum dan kepentingan
Penggugat dalam permohonan.
88
BAB IV
IMPLEMENTASI UPAYA HUKUM PRAPERADILAN DAN BANDING TERHADAP SURAT KETETAPAN PENGHENTIAN PENUNTUTAN
PERKARA SKPPPSKP3
A. Wewenang Hakim dan Pihak Ketiga dalam Upaya Praperadilan atas