Gambaran Karakteristik Pasien Pascastroke di Wilayah Puskesmas

55 BAB VI PEMBAHASAN

A. Gambaran Karakteristik Pasien Pascastroke di Wilayah Puskesmas

Pisangan Ciputat 1. Jenis Kelamin Sebagian besar penderita stroke yang menjadi responden adalah laki- laki, yaitu sebesar 56,7, sedangkan penderita stroke yang berjenis kelamin perempuan sebesar 43,3. Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Muthmainna dkk di tiga Rumah Sakit di Sulawesi, hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa penderita stroke laki-laki lebih besar daripada perempuan pada kelompok kasus, yaitu sebesar 54,3. Penelitian mereka juga menunjukkan bahwa laki-laki lebih beresiko 1,29 kali untuk terkena stroke daripada perempuan pada rentang usia dewasa awal Muthmainna dkk, 2013. Proporsi laki-laki yang lebih banyak ini serupa pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Siswanto, 2005 di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang, yang menunjukkan bahwa penderita stroke laki-laki lebih besar jumlahnya pada kelompok kasus dan control, yaitu sebesar 64 dan 60 Siswanto, 2005. Sesuai pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Sofyan, Sihombing, dan Hamra, bahwa dari keseluruhan responden stroke, jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki 51,9 namun tidak jauh berbeda dengan jenis kelamin perempuan 48,1 Sofyan, Sihombing, dan Hamra, tanpa tahun. American Heart Association mengungkapkan bahwa serangan stroke lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dibuktikan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa prevalensi kejadian stroke lebih banyak pada laki-laki Goldstein dkk., 2006 dalam Sofyan, Sihombing, dan Hamra, tanpa tahun. Meskipun terdapat perbedaan proporsi antara laki-laki dan perempuan yang menderita stroke ini, tapi Sofyan, Sihombing, dan Hamra telah membuktikan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian stroke, dengan nilai P = 0,308. Sofyan, Sihombing, dan Hamra, tanpa tahun 2. Usia Responden paling banyak berumur 60 tahun ke atas, yaitu sebanyak 53,3, sedangkan responden yang berumur dibawah 60 tahun tidak jauh berbeda jumlahnya, yaitu sebesar 46,7. Pengelompokan responden menjadi dua kelompok ini mengacu pada kategori lansia yang dibatasi oleh umur 60 tahun WHO, 1989. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Linda Soebroto, 2010 di Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta, bahwa dari 60 responden stroke, 35 diantaranya berusia lebih dari 60 tahun. Soebroto, 2010. Sesuai juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Upik rahmi, 2011 bahwa penderita stroke yang berumur lebih dari 60 tahun lebih banyak daripada penderita yang berumur di bawah 60 tahun dengan perbandingan 23 : 21. Stroke lebih banyak menyerang lansia karena secara fisiologis sistem kardiovaskular lansia memang mengalami banyak perubahan, yaitu massa jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertrofi, dan kemampuan peregangan jantung berkurang karena perubahan pada jaringan ikat dan lipofusin. Selain itu kemampuan arteri juga mengalami kemunduran fungsi hingga 50 dan pembuluh kapiler mengalami penurunan elastisitas dan permeabilitas Pujiastuti dan Surini, 2003. Keadaan ini diperparah oleh adanya penumpukan trombus danatau embolus yang memicu ketidakadekuatan perdarahan serebral Ginsberg, 2007. Efek penuaan pada pembuluh darah menyebabkan tunika intima pada arteri menebal, sehingga memunculkan tanda-tanda awal aterosklerosis. Kemampuan dilatasi arteri menurun, tekanan darah lebih tinggi, karena diameter menurun dan tambah kaku. Kemudian timbul proses aterosklerosis yang dimulai dengan terbentuk plak-plak atheroma, yang menyempitkan lumen pembuluh. Paling banyak pada aorta, arteri iliaka, koronaria, karotis, renalis, dan femoralis. Secara patologis dapat terjadi thrombosis dan penyumbatan lumen arteri tersebut, merusak tunika media aneurisma paling sering pada aorta abdominalis atau torakalis. Hal ini mengakibatkan aliran darah ke otak dan ginjal berkurang. Tambayong, 2000 . 3. Tingkat Pendidikan Sebagian besar responden merupakan lulusan SD, yaitu sebesar 40, selanjutnya yang terbanyak kedua adalah lulusan SMA, dengan nilai 33,33. Responden yang tidak bersekolah sebesar 23,33, sedangkan lulusan Perguruan Tinggi hanya satu orang yang berarti sebesar 3,33 dari total responden. Tidak ada responden yang pendidikan terakhirnya adalah SMP. Hal ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Siswanto, dia menunjukkan dalam penelitiannya bahwa responden yang dia teliti sebagian besar menempuh pendidikan terakhir SMA pada kelompok kasus dan control, yaitu sebesar 36 dan 32. Berbeda pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Novinda dan Santi, yang menemukan kejadian stroke diderita paling banyak oleh orang dengan pendidikan terakhirnya adalah Perguruan Tinggi, yaitu sebanyak 69, sedangkan presentase responden yang pendidikan terakhirnya SMA san SD-SMP secara berturut-turut sebesar 28,2 dan 2,8 Novida dan Santi, 2014. Penelitian lain yang bertentangan dengan hasil penelitian ini dalam hal tingkat pendidikan adalah penelitian yang dilakukan oleh Reani Zulfa, dia menemukan data tingkat pendidikan penderita stroke yang paling banyak adalah Perguruan Tinggi dan SMA yaitu sebanyak 52,9, sedangkan SMP sebesar 28,2, dan SD dan tidak bersekolah sebesar 18,8. Sedangkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahmi tahun 2011, didapat data yang menunjukkan bahwa 40,9 dari total responden memiliki tingkat pendidikan tinggi, urutan keduanya memiliki tingkat pendidikan SD, yaitu sebanyak 36,4 Rahmi, 2011. Beragamnya tingkat pendidikan penderita stroke ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak mempengaruhi kejadian stroke Rahmi, 2011. 4. Status Pekerjaan Hampir semua responden tidak bekerja, yang mempunyai presentase sebesar 93,3, sedangkan responden yang bekerja hanya dua orang, yang jika dipresentasikan mempunyai nilai sebesar 6,7. Hal ini menjadi wajar pada pasien stroke karena mereka banyak mengalami gangguan pada fisik dan diperparah oleh adanya penyakit penyerta pada sebagian responden. Sesuai dengan ungkapan Ferriero dkk, bahwa adanya komorbiditas mempengaruhi status fungsional penderita stroke pada tahap rehabilitasi dan berkontribusi dalam memperparah kelumpuhan serta menghambat pemulihan fungsi Ferriero dkk, 2006. Hal ini juga dibenarkan oleh Fischer dkk, bahwa komorbiditas mempunyai pengaruh yang signifikan bagi penderita stroke Fischer dkk, 2006. Ketidakmampuan penderita untuk kembali bekerja ini juga dipengaruhi oleh faktor fisiknya, karena faktor ini mempengaruhi tingkat ketidakmampuan penderita, dan ketidakmampuan ini meningkat seiring dengan peningkatan spastisitas dan berkurangnya status keseimbangan Sinha, Dhamija, Bindra, 2013. Koch dkk melakukan penelitian terhadap penderita stroke hemisfer kanan yang kembali bekerja setelah terkena stroke, mereka mengungkapkan bahwa meskipun mereka kembali bekerja, namun skillnya sudah berbeda dari yang dulu sebelum terkena stroke. Mereka bekerja dengan perubahan status, seperti yang awalnya full time menjadi part time. Mereka mengungkapkan kemampuan untuk kembali bekerja ini didesak oleh kemauan mereka Koch dkk, 2005. Semua responden mengungkapkan bahwa hambatan-hambatan yang dimiliki untuk bekerja adalah kelemahan, fatig, mudah lelah, sakit, dan hambatan gerak akibat strokenya. Sebagian responden mengungkapkan mempunyai hambatan kesulitan dalam persepsi dan kognitif. Fatig dan kelemahan diidentifikasi menjadi hambatan yang paling umum. Selain itu semua, penderita sendiri dan orang yang merawat juga berkontribusi dalam keterbatasannya dan menimbulkan persepsi diri yang negative Koch dkk, 2005. Adapun faktor-faktor yang mendukung kesuksesan mereka untuk kembali bekerja dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi kesabaran, motivasi, determination, sikap yang positif, dan selera humor. Sedangkan faktor eksternal meliputi faktor formal rehabilitasi dan pemberi layanan kesehatan, organisasi sesama penderita stroke yang mendukung, organisasi agama, dsb dan informal anggota keluarga, teman, tetangga, dan teman kerja Koch dkk, 2005. 5. Jenis Stroke Sebagian besar penderita stroke yang menjadi responden penelitian menderita stroke jenis iskemik, yaitu sebanyak 27 orang, sedangkan 3 lainnya menderita stroke jenis hemoragic. Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Muthmainna dkk, 2013, bahwa sebagian besar responden yang diteliti menderita stroke jenis iskemik, yaitu sebesar 76,1, sedangkan sisanya yaitu 23,9 menderita stroke jenis hemoragik. Muthmainna dkk, 2013. Pada masyarakat barat, jenis stroke yang sering terjadi juga adalah iskemik, yaitu sekitar 80, sedangkan hemoragik hanya sebanyak 20 Dewanto dkk, 2009. Novida dan Santi juga mengungkapkan hal yang sama, bahwa stroke iskemik penyumbatan memiliki persentase terbesar, yaitu sekitar 80. Insiden penyakit stroke hemoragik antara 15-30 dan untuk stroke iskemik antara 70-85. Sedangkan, insiden stroke di negara- negara berkembang atau Asia untuk stroke hemoragik sekitar 30 dan iskemik 70. Kejadian stroke iskemik memiliki proporsi lebih besar dibandingkan dengan stroke hemoragik Soeharto, 2004 dalam Novida dan Santi, 2014. 6. Jumlah Serangan Sebagian besar responden mengalami serangan stroke hanya sekali, yaitu sebesar 19 orang atau 63,33 dari keseluruhan responden. Responden yang mengalami serangan dua kali sebanyak 13,33, sedangkan yang mengalami serangan lebih dari dua kali sebanyak 23,33 dari total responden. Serangan yang kedua dan seterusnya bisa terjadi akibat gaya hidup kurang baik yang dilakukan terus menerus Fryer dkk, 2013. Sedangkan Siswanto dalam penelitiannya mendapatkan hasil bahwa faktor resiko yang berpengaruh terhadap kejadian stroke berulang ada 4, yaitu tekanan darah sistolik 140 mmHg keatas, kadar gula darah sewaktu lebih dari 200 mgdl, kelainan jantung, dan ketidakteraturan obat Siswanto, 2005. 7. Fungsi Ekstremitas Atas Responden yang mengalami kelumpuhan pada tangan lebih banyak daripada yang hanya mengalami gangguan dan tanpa gangguan, yaitu sebesar 53,3 jika ditotal antara kelumpuhan kanan dan kiri. Sedangkan responden yang hanya mengalami gangguan pada tangan dan tanpa gangguan secara berurutan presentasenya adalah 20 dan 26,7. Sebagian besar responden mengalami gangguan pada tangannya, hal ini bisa disebabkan oleh depresi post-stroke, yang mengakibatkan penurunan motivasi untuk melakukan latihan sehingga meningkatkan kelumpuhan Fryer dkk, 2013. Meskipun stroke merupakan serangan akut, namun ini dapat menyebabkan keadaan kronis yang merupakan sebab dari kelumpuhan fisik jangka panjang. Jenis kelumpuhan yang umum terjadi adalah keterbatasan aktivitas fisik, kelumpuhan tangan, kesulitan menggenggam atau memegang sesuatu, dan kesulitan berbicara Fryer dkk, 2013. 8. Ada Tidaknya Penyakit Penyerta Responden yang memiliki penyakit penyerta lebih banyak jumlahnya, yaitu 17 orang, sedangkan yang tidak mempunyai penyakit penyerta sebanyak 13 orang. Penyakit penyerta yang dimiliki responden bermacam-macam, adapun penyakit-penyakit yang ditemukan menyertai stroke adalah hipertensi, diabetes, penyakit jantung, rheumatic, vertigo, batu ginjal, pengapuran sendi, paru-paru, ambeien, dan maag. Data juga menunjukkan bahwa beberapa responden memiliki lebih dari satu penyakit penyerta. Adapun penyakit penyerta yang paling banyak diderita oleh responden adalah hipertensi. Hal ini sesuai dengan penelitian Tuhan dkk, 2009 bahwa responden penelitiannya rata-rata memiliki penyakit penyerta lebih dari dua Tuhan dkk, 2009. Tuhan, dkk menyatakan hal yang sama pula dalam penelitiannya, bahwa penyakit penyerta yang dimiliki penderita stroke iskemik antara lain hipertensi 67,4, diabetes 34,9, penyakit arteri coroner 31, hyperlipidemia 29,1, dan gagal jantung kongestif 14,7. Tuhan dkk, 2009. Hal ini sesuai juga dengan penelitian Lin dkk, 2014, yang menyatakan bahwa dari hasil penelitiannya pada tahun 2000-2007, responden penelitian yang merupakan penderita stroke hemorrhagic memiliki penyakit penyerta berupa hipertensi, diabetes, penyakit hati kronis, penyakit arteri coroner, gagal jantung, penyakit paru-paru kronik, penyakit arteri peripheral, dan kanker Lin dkk, 2014. Sharon, Joan, dan Sally, 2006 juga menyatakan bahwa kebanyakan penderita stroke memiliki beberapa penyakit penyerta. Mereka menyatakan berdasarkan ungkapan Fang Alderman, 2001, bahwa diabetes, hipertensi, dan gagal jantung adalah penyakit penyerta yang umum pada penderita stroke, dan hipertensi adalah yang paling umum Williams dkk, 2003, Tuhan, 2009.

B. Gambaran Self-Management Pasien Pascastroke di Wilayah Puskesmas

Dokumen yang terkait

Hubungan Dukungan Keluarga Terhadap Status Pemberian Kolostrum Pada Bayi Di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Kecamatan Ciputat

5 14 122

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KUALITAS HIDUP LANJUT USIA PASCA STROKE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kualitas Hidup Lanjut Usia Pasca Stroke di Wilayah Kerja Puskesmas Gajahan Surakarta.

0 4 17

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KUALITAS HIDUP LANJUT USIA PASCA STROKE DI WILAYAH Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kualitas Hidup Lanjut Usia Pasca Stroke di Wilayah Kerja Puskesmas Gajahan Surakarta.

0 7 16

HUBUNGAN ANTARA KUALITAS HIDUP IBU DENGAN PERKEMBANGAN MOTORIK KASAR BALITA DI WILAYAH Hubungan Antara Kualitas Hidup Ibu Dengan Perkembangan Motorik Kasar Balita di Wilayah Puskesmas Mojolaban Kabupaten Sukoharjo.

0 3 13

HUBUNGAN KUALITAS HIDUP IBU DENGAN STATUS GIZI BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MOJOLABAN SUKOHARJO Hubungan Kualitas Hidup Ibu dengan Status Gizi Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Mojolaban Sukoharjo.

0 0 10

HUBUNGAN KUALITAS HIDUP IBU DENGAN STATUS GIZI BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MOJOLABAN SUKOHARJO Hubungan Kualitas Hidup Ibu dengan Status Gizi Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Mojolaban Sukoharjo.

0 2 14

KUALITAS HIDUP LANSIA DENGAN HIPERTENSI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KARANGMALANG Kualitas Hidup Lansia Dengan Hipertensi Di Wilayah Kerja Puskesmas Karangmalang Kabupaten Sragen.

0 3 15

KUALITAS HIDUP LANSIA DENGAN HIPERTENSI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KARANGMALANG Kualitas Hidup Lansia Dengan Hipertensi Di Wilayah Kerja Puskesmas Karangmalang Kabupaten Sragen.

0 3 15

Hubungan Diabetes Self Management (DSM) dan Persepsi Penyakit Terhadap kualitas hidup Pasien DM Tipe 2 di Paguyuban Diabetes Puskesmas II Denpasar Barat.

6 14 34

Hubungan Self Care dan Motivasi dengan Kualitas Hidup Pasien Gagal Jantung

0 9 8