1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Stroke merupakan penyakit serebrovaskular yang menjadi penyebab utama disabilitas dan penderitaan Santoso, 2003. Stroke terjadi akibat berkurang
atau gagalnya vaskularisasi jaringan otak, hal ini dapat mengakibatkan gangguan fungsi motoric, fungsi sensorik, saraf kranial, fungsi luhur, koordinasi dan
otonom. Semua keadaan ini akan menyebabkan gangguan pada aktivitas sehari- hari penderita Santoso, 2003.
Data World Health Organization WHO mengungkapkan bahwa kematian akibat penyakit pembuluh darah lebih banyak dibanding penyakit lain,
yaitu sekitar 15 juta tiap tahun atau sekitar 30 dari kematian total pertahunnya dan sekitar 4,5 juta diantaranya disebabkan oleh stroke. Berdasarkan penelitian
Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 di 33 provinsi dan 440 kabupaten di Indonesia diperoleh hasil bahwa penyakit stroke merupakan pembunuh utama di kalangan
penduduk perkotaan Riskesdas, 2007 dalam Yuliarianto, 2013. Secara kasar, setiap hari ada dua orang Indonesia mengalami serangan stroke Yuliarianto,
2013. Menurut Sari 2008, angka kejadian stroke di Indonesia meningkat
dengan tajam. Bahkan tahun 2008 Indonesia merupakan Negara dengan jumlah penderita stroke terbesar di Asia. Apabila tidak ada upaya penanggulangan stroke
yang lebih baik maka jumlah penderita stroke pada tahun 2020 diprediksikan akan meningkat 2 kali lipat.
Data Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan didapati 7,0 per mil dan yang
berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan atau gejala sebesar 12,1 per mil. Jadi, sebanyak 57,9 penyakit stroke telah terdiagnosis oleh tenaga kesehatan.
Prevalensi stroke berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Sulawesi Utara 10,8, diikuti DI Yogyakarta 10,3, Bangka Belitung dan DKI Jakarta
masing-masing 9,7 per mil. Prevalensi stroke berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan gejala tertinggi terdapat di Sulawesi Selatan 17,9, DI
Yogyakarta 16,9, Sulawesi Tengah 16,6, diikuti Jawa Timur sebesar 16 per mil Riskesdas, 2013.
Beradasarkan data tentang tingginya prevalensi stroke di atas, berbagai upaya perlu dilakukan demi mengurangi angka kejadian dan angka kematian
akibat stroke, dr. Herman Samsudin, Sp.S, seorang ahli saraf sekaligus Ketua Yastroki Yayasan Stroke Indonesia Cabang DKI Jakarta mengungkapkan bahwa
penanggulangan masalah stroke semakin penting dan mendesak karena kini Indonesia menduduki urutan pertama di dunia dalam hal jumlah penderita stroke
terbanyak Yayasan Stroke Indonesia, 2012 Penderita stroke tidak dapat disembuhkan secara total. Namun, apabila
ditangani dengan baik, maka dapat meringankan beban penderita, meminimalkan
kecacatan, dan mengurangi ketergantungan pada orang lain dalam beraktivitas. Salah satu usaha penanganan terhadap pasien stroke adalah dengan meningkatkan
self-management pasien. Sebuah tinjauan menemukan bahwa intervensi self- management efektif untuk meningkatkan kualitas seseorang yang menderita
penyakit kronik Barlow dkk, 2002 dalam Chapman dan Bogle, 2014. Secara umum, self-management terdiri atas beberapa komponen seperti
ketersediaan informasi, pengobatan, problem-solving, dan dukungan Newman dkk, 2004 dalam Chapman dan Bogle, 2014. Sedangkan menurut Barlow dkk.
2002 dalam Lennon dkk. 2013 self-management didefinisikan dengan cara yang berbeda-beda, tetapi secara umum self-management didefinisikan sebagai
kemampuan individu untuk mengatur gejala, pengobatan, konsekuensi fisik dan psikis, dan perubahan gaya hidup dengan adanya penyakit kronik.
Tujuan dari banyaknya program self-management adalah untuk mengubah kebiasaan dan mempengaruhi kemampuan individu untuk mengatasi kondisi
mereka dan beradaptasi, jadi program ini dibuat untuk melatih individu terhadap skill-skill yang mereka perlukan untuk memonitor kondisi mereka, dan
menetapkan kesehatan dan persoalan social mereka Silva, 2011 dan Foster dkk, 2007 dalam Lennon dkk., 2013
Banyak tinjauan, percobaan control secara random, dan studi observasi besar menguji hasil dari dukungan self-management untuk penderita penyakit
kronis. Ketika penemuan-penemuan dari studi individual disatukan, keseluruhan
bukti memberi kesan bahwa dukungan self-management dapat berguna bagi perilaku dan kebiasaan seseorang, kualitas hidup, gejala klinis, dan penggunaan
fasilitas pelayanan kesehatan The Health Foundation Inspiring Improvement, 2011.
Berbagai macam dampak yang timbul akibat stroke seperti kemampuan fisik, emosi, dan kehidupan sosial pasien stroke tentu saja mempengaruhi peranan
sosialnya. Hal tersebut memberikan pengaruh yang besar terhadap kualitas hidup terkait kesehatan pada pasien stroke Astrom dan Asplund, 2005 dalam Yani,
2010. Menurut Hariandja 2013 akibat stroke yang diderita oleh seseorang, dia
menjadi tergantung pada orang lain dalam menjalankan aktivitas kehidupannya sehari-hari seperti makan, minum, mandi, berpakaian, dan sebagainya.
Kemandirian dan mobilitas penderita stroke menjadi berkurang atau bahkan hilang, hal ini dapat berpengaruh terhadap kualitas hidup yang dimiliki.
Berdasarkan data yang menyatakan bahwa self-management adalah suatu program yang dapat meningkatkan kualitas hidup pasien, maka peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian untuk menguji hubungan antara kualitas hidup pasien dengan penerapan self-management. Kualitas hidup itu sendiri diartikan sebagai
ukuran konseptual atau operasional yang sering digunakan dalam situasi penyakit kronik sebagai cara untuk menilai dampak terapi pada pasien Brooker, 2008
Hasil dari studi pendahuluan di Puskesmas Pisangan menyebutkan bahwa telah terdata beberapa pasien paskastroke yang kesemuanya belum mengalami
pemulihan dengan intervensi pengobatan, pendidikan kesehatan, dan kunjungan rumah selama tiga bulan terakhir. Hal ini dirasa perlu diteliti untuk mendapatkan
jawaban tentang sulitnya proses penyembuhan pasien paskastroke di daerah Pisangan dan sebagainya terkait dengan self-management pasien itu sendiri.
B. Rumusan masalah