155
penuh dengan intrik politik, polemik dan propaganda. Puisi polemik dan jenis khutbah yang penuh propaganda menjadi jenis sastra yang dominan pada zaman Umayyah.
Kekhalifahan Umayyah sebagai penguasa Islam berhasil mengokohkan wibawanya dengan fanatisme kearaban yang kuat. Akan tetapi di sisi lain telah menimbulkan
kekecewaan penduduk non Arab. Mereka berasal dari wilayah-wilayah yang berhasil dikuasai, seperti Persia dan Turki yang turut membantu kelancaran jalannya pemerintahan
Umayyah di luar Damaskus. Mereka orang-orang non Arab itu dikenal dengan sebutan Mawali. Mereka merasa kecewa atas kebijakan yang diperlakukan pemerintah. Cukup banyak
kebijakan pemerintahan Umayyah yang tidak berpihak kepada kaum Mawali. Selain kaum Mawali, kelompok keluarga Khalifah Ali bin Abi Talib yang kemudian
menjadi keompok Syi’ah juga mendapat perlakuan yang tidak baik dari pemerintahan Umayyah. Mereka diancam hukumana mati, jika membangkang atau tidak mematuhi
kebijakan pemerintah. Kedua kelompok ini kemudian bekerjasama secara rahasia menjalin kekuatan untuk melakukan perlawanan. Mereka berhasil menggalang dan memperluas
kekuatan dalam masyarakat dengan memberlakukan pakaian hitam bagi pengikutnya sebagai tanda kekecewaan dan ketidak puasan terhadap kebijakan pemerintah Umayyah yang selalu
berpakaian putih dan selalu menyudutkan kehidupan mereka. Kekuatan yang dimotori kedua kelompok itu terus bertambah dan semakin kokoh dari hari ke hari.
Para khalifah selanjutnya, seperti Umar bin Abdul Aziz w 717, Yazid bin Abdul Malik w 720 semakin tidak berdaya menghadapi kekuatan Mawali dan kelompok Ali.
Akhirnya, pada tahun 750, Khalifah Umayyah, berhasil dilumpuhkan dan pada tahun itu pula Khalifah Umayyah berakhir Farrukh, 1985: 385.
2. Konflik Antar Kelompok
Konflik antar kelompok pada zaman Umayyah, tampaknya masih merupakan warisan karakter orang Arab yang dibawa sejak zaman Jahiliyah. Kehidupan bangsa Arab pada zaman
Jahiliyah terbentuk dalam pola fanatisme kelompok suku kabilah. Fanatisme ini mengakibatkan kehidupan orang Arab didominasi oleh permusuhan dan persaingan yang
berujung pada peperangan dan saling bunuh di antara mereka. Di zaman Jahiliyah dikenal perang-perang yang hebat dan memakan waktu lama bahkan hingga puluhan tahun, seperti
perang Basus antara suku Bakr dan Taglib 495-535 M, dan perang Dahis wa Gabra antara
156
suku Abbas dan suku Gatfan 568-608 M
10
. Pola pemerintahan Umayyah dibentuk dengan rasa fanatisme kearaban yang kental yang tidak membuka peluang kepada penduduk non
Arab untuk dapat mengembangkan diri dan menjadi orang-orang terhormat. Padahal peran mereka cukup besar dalam menangani tugas-tugas pemerintahan. Hal ini menimbulkan
kecemburuan sosial di antara pengelola pemerintahan di wilayah-wilayah non Arab. Fanatisme Arab yang diberlakukan pada pemerintahan Umayyah telah memicu
berbagai reaksi di kalangan masyarakat. Reaksi yang paling penting ialah terbentuknya empat kelompok kekuatan yang menghendaki perubahan kepemimpinan Farrukh, 1984: 380-395 :
Pertama, kelompok Ahlussunnah, yaitu mereka yang menganggap kepemimpinan itu harus ditentukan melalui pemilihan di antara tokoh-tokoh yang dianggap layak. Menurut kelompok
ini, tokoh yang paling layak adalah yang berasal dari suku Quraisy. Kelompok ini dipimpin oleh Zubair, sehingga dikenal juga dengan istilah Zubairiyyin.
Kedua , kelompok Syi’ah, yaitu pengikut setia Khalifah Ali bin Abi Talib. Kelompok
ini menganggap bahwa khalifah harus dipilih dari keturunan Ali bin Abi Talib, sebab Ali adalah keponakan Nabi Muhammad sekaligus menantunya, atau suami dari Siti Fatimah.
Kelompok ini didukung pula oleh keturunan Bani Hasyim di Makkah dan Madinah. Misi dari kelompok ini adalah kecintaan mereka kepada Ahli Bait. Keluarga Nabi Muhammad dan
keturunannya. Cikal bakal kelompok Syi’ah sudah ada sejak proses pemilihan khalifah
setelah Nabi Muhammad wafat. Ketika diadakan musyawarah untuk menentukan siapa yang menggantikan Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat Islam, para tokoh Arab berkumpul.
Paman Nabi Muhammad, Abbas bin Abdul Mutalib dan Abu Sufyan mengusulkan agar Ali menjadi pengganti Nabi Muhammad. Usul ini tidak diterima karena Abu Bakar sudah
terpilih menjadi khalifah. Kemudian Ali pun menyetujui kekhalifahan Abu Bakar. Kelompok ini kemudian menjadi lebih kuat, setelah Ali benar-benar menjadi khalifah
menggantikan Usman bin Affan. Di akhir masa kekhalifahan Ali, pendukung Ali terpecah menjadi dua, yaitu S
yi’ah yang tetap konsisten mendukung Ali. Sementara kelompok yang tidak mendukung, membentuk kelompok baru yang disebut kelompok Khawarij.
Ketiga, kelompok Khawarij, yaitu kelompok yang keluar dari pengikut Ali pada akhir peristiwa perang Siffin 658 M.. Kelompok ini kecewa atas tindakan khalifah Ali karena,
10
Dalam berbagai sumber peristiwa peperangan antar kabilah Arab pada zaman Jahiliyah dikeompokkan dalam bab Ayyam al-Arab. Penjelasan mengenai perang Basus dan perang Dahis wa Gabra dapat dilihat pada
Hasan, 1967: 65-79; Faruukh, 1984: 111-120; Hitti, 2013: 110-112; dan Wargadinata, 2008: 53-54.
157
menerima aksi gencatan senjata atas permintaan lawan politikmya, yaitu Mu’awiyah bin Abi
Sufyan. Kelompok Khawarij menganggap bahwa jabatan khalifah adalah urusan duniawi untuk mengatur masyarakat Muslim di dunia. Jika suatu masyarakat menyepakati seorang
pemimpin, maka siapa pun berhak menjadi pemimpin. Tidak ada persyaratan yang mengharuskan pemimpin hanya berasal dari keturunan keluarga tertentu saja. Pemimpin umat
diserahkan kepada keputusan umat yang mengangkatnya. Karena itu, golongan Khawarij tidak mengakui kepemimpinan Mu’awiyah, karena Mu’awiyah tidak dipilih secara
demokratis melainkan mengangkat dirinya sebagai khalifah. Kelompok ini sangat membenci segala macam tindakan sewenang-wenang yang
dilakukan oleh pemerintahan Umayyah. Mereka terkenal sebagai orang-orang militan tidak mau mengenal kompromi terhadap kelompok lain, bahkan menganggap orang yang berada
di luar golongannya adalah musuh sekaligus telah kafir sehingga halal darahnya, atau wajib dibunuh.
Berbeda dengan kelompk Syi’ah yang menonjolkan tema ratapan atas kematian tokoh-tokoh idolanya, seperti Ali dan Husain, kelompok Khawarij menonjolkan semangat
berjuang, patriotisme, dan ajakan menegakkan kebenaran mengobarkan optimisme dan berani berkorban untuk menegakkan kebenaran. Karya sastrawan khawarij menggambarkan
kerinduan masuk surga dengan jalan mati syahid, berjuang di jalan Allah. Mereka terkenal dengan kelompok yang berani mati dalam perjuangan karena mati yang semacam itu adalah
mati syahid yang balasannya adalah masuk surga tanpa hisab. Jika ada yang mati syahid, mereka tidak menangis atau meratap tapi mereka bangga, dan bahkan mereka berharap agar
dapat mengalami mati syahid. Mereka merindukan sebuah kematian yang disebut mati syahid. Mati dalam perjuangan menegakkan ajaran Allah.
Keempat , kelompok Murji’ah atau Umawiyyin. Mereka adalah kelompok pemerintah
yang dibentuk oleh Mu’awiyah sebagai penguasa Bani Umayyah. Mereka berpendapat bahwa penduduk harus mematuhi pimpinannya, walaupun ia adalah seorang yang banyak
melakukan perbuatan dosa fasik. Balasan kefasikan seorang pemimpin akan ditunda dalam waktu sementara dan diserahkan kepada Tuhan untuk membalasnya di akhirat. Karena hanya
Tuhanlah yang dapat memberi balasan atas kebaikan dan keburukan manusia. Keempat kelompok di atas, masing-masing mempertahankan dan menyebarkan faham
dan ideologinya di kalangan masyarakat. Masing-masing memiliki pengikut setia yang berusaha memperjuangkan pendapat dan ambisi pimpinannya. Dengan demikian, tidak heran
158
jika selama zaman Umayyah sering terjadi perdebatan, polemik bahkan kekerasan fisik di antara pengikut kelompok tersebut. Dikaitkan dengan kehidupan kesusastraan, kedudukan
para sastrawan dan tema-tema karya sastra yang dihasilkan pun pada zaman itu sangan berkaitaan dengan suasana konflik.
3. Perkembangan dalam Bidang Kesusastraan