149
karena hal ini merupakan kebiasaan yang diharapkan di beberapa situasi dalam hirarki sistem kesopanan.
Selain itu, penggunaan strategi-strategi langsung dapat diamati melalui penggunaan kata kerja perintah perubahan mood pada interaksi perempuan-perempuan dan interaksi
perempuan-pria dalam sebuah hirarki sistem kesopanan. Hal ini bisa dibuktikkan dengan beberapa contoh berikut:
12. min faðlik ja: ʊχt-i
ʔdi-li
lfaturah. Jika berkenan hai saudariku ambilkan
uang
Wahai saudariku, jika berkenan ambilkanlah uang’
13. afwan
ja: a
χ-i ʔdi-li lfaturah.
Maaf Hai Saudaraku
ambilkan uang
‘Maaf, Wahai Saudaraku ambilkanlah uang itu’
14. allah jaħfðak
ja:ha: ʤ
tnaðifi maktab-i.
Allah menjaga Hai Haji
Bersihkan Kantor ku
Semoga Allah menjagamu, wahai Pak Haji bersihkanlah kantorku Hal ini juga bisa diamati bahwa strategi langsung telah digunakan oleh para responden
dengan maksud penempatan ungkapan-ungkapan yang penutur inginkan yang akan direspon oleh lawan tutur ungkapan ingin. Contoh:
15. Law samaħt ja: aχ-i
ʔʃti lfaturah.
Jika berkenan Hai Saudaraku inginkah lk uang
‘Jika berkenan, Wahai Saudaraku ambilkan aku uang.’ 16.
allah jʊba:rik fi:ki
ja:ha: ʤah
ʔaʃti-ki tnaðifi maktab-i.
Allah Berkah untuk mu Hai Hajjah
inginkah pr bersih kantor ku ‘Semoga Allah memberkahimu Wahai Hajjah bisakah kamu membersihkan kantorku.’
Selain itu, penggunaan strategi permintaan langsung selalu berubah dan diiringi dengan ungkapan formal seperti dalam tanda identitas dalam kelompok yang
mengekspresikan keterkaitan atau persahabatan antara teman bicara seperti ja: a χ-i
saudaraku untuk laki-laki, ja: ʊχt-i saudariku untuk perempuan. Dan juga terminologi
gelar seperti ja:ha: ʤah Hajjah untuk perempuan, ja:ha:ʤ untuk pria. Para responden juga
150
menggunakan ungkapan-ungkapan formal seperti dalam permintaan maaf afwan aku minta maaf untuk pria atau perempuan,
law samaħt permisi untuk pria, min faðlik mohon untuk perempuan, min faðlak mohon untuk laki-laki. Serta pada ungkapan Islam seperti allah
j ʊba:rik fi:ki Allah Memberkahimu untuk perempuan dan allah jaħfðak untuk pria. Semua
itu dilakukan untuk melembutkan permintaan secara langsung dan membuatnya lebih sopan. Di satu sisi, para responden menggunakan strategi tidak langsung yang konvensional
pada interaksi perempuan-perempuan dan interaksi perempuan-pria dengan frekuensi- frekuensi yang berbeda. Harus digaris bawahi pula bahwa pada interaksi-interaksi
perempuan-laki-laki, para responden lebih banyak menggunakan strategi tidak langsung yang konvensional dari pada dalam interaksi perempuan-perempuan.
Secara keseluruhan, strategi tidak langsung yang konvensional dituturkan dengan tuturan yang bermaksud menyangsikan yang meliputi referensi untuk kondisi yang
dimungkinkan terjadi mislanya, m
ʊmkin ‘kesanggupan’ dan tiqdari ‘kesediaan’. Pada
sebuah hirarki sistem kesopanan permintaan tidak langsung pada bahasa Arab Amiyah, tuturan yang didahului satuan lingual tersebut bermaksud untuk menyangsikan hal yang
diungkapkan dan menggunakan satuan lingual tersebut secara beragam. Para responden menggunakan streategi permintaan tidak langsung untuk mengungkapkan perbedaan
kesopanan ketika ditujukan kepada seorang yang mempunyai jarak hubungan. Contoh:
17. Law sama ħti ja:ʊχt-i
m ʊmkin
lfaturah. Jika berkenan ya Saudari
dapat uang
‘Jika berkenan Wahai Saudariku, dapatkah kamu mengambilkan uang.’ 18. Law sama
ħt ja:ha:ʤ
tiqdar tnaðif
maktab-i. jika berkenan Hai Hajjah
dapatkah kamu bersih
kantor ku bs
ʊr ah ana
ma ʃɡu:l
cepat saya
sibuk ‘Jika berkenan Wahai Hajjah dapatkah kamu membersihkan kantorku segera karena
saya sedang sibuk.’
Perlu dicatat bahwa permintaan tidak langsung yang konvensional dalam bahasa Arab Amiyah tersebut telah diubah dan diiringi dengan ungkapan-ungkapan formal seperti min
faðlak mohon untuk pria, law sama ħt permisi untuk pria, law samaħti permisi untuk
151
perempuan dan klausa kondisional ʔiða ma:fi: mani untuk pria dan perempuan. Ungkapan
formal jenis ini bisa saja diucapkan untuk mengekspresikan tingkat kesopanan yang berbeda. Seperti yang telah terlihat di tabel 1 dan 2, perbedaan-perbedaan itu telah tampak
wujud kesantunan dengan menggunakan strategi langsung atau tidak langsung dalam hirarki sistem kesopanan. Dan lebih dalam lagi, sistem kesopanan ini, relatif lebih tinggi derajat
tujuannya dalam arti perubahan mood dan pernyataan keinginan dengan formal. Tuturan- tuturan tersebut lebih banyak ditemukan pada interaksi perempuan-perempuan dari pada
interaksi perempuan-pria. Di samping itu, pada interaksi perempuan-pria, para responden lebih memilih menggunakan strategi tidak langsung yang konvensional dengan menggunakan
satuan lingual yang menyangsikan dengan berbagai macam ungkapan semi-formal.
Kesimpulan
Penggunaan tindak tutur permintaan langsung pada situasi-situasi ini sepertinya menjadi keinstanan dari strategi solidaritas kesopanan atau keikutsertaan strategi kesopanan
dan menunjukkan bahwa persahabatan dan tetap dengan norma-norma budaya ketika penutur dalam posisi yang tinggi. Penutur asli dari bahasa Arab Amiyah dalam interaksi perempuan-
perempuan menggunakan keterusterangan level tinggi tanpa takut kehilangan ‘muka’ karena begitulah kenyataan kebiasaan itulah yang diharapkan.
Dalam interaksi perempuan-pria, penutur lebih menggunakan strategi tidak langsung karena dalam sosial dan budaya Arab, perempuan mempunyai posisi yang subordinat karena
nilai budaya dan agama dan para pria harus menjaga kata-kata mereka. Selain itu, penelititan menunjukkan bahwa terdapat satuan lingual yang khusus digunakan oleh para perempuan
yang ditujukan kepada laki-laki, dan begitu juga sebaliknya dalam bahasa Arab, karena nilai- nila budaya dan agama.
Daftar Pustaka
AL-Ammar, M. 2000. The Linguistic Strategies and Realizations of Request Behaviour in Spoken English and Arabic among Saudi Female English Majors at Riyadh College
of Arts: Unpublished M.A. Thesis. Riyadh: King Saud University. Al-Hamzi, A. 1999. Pragmatic Transfer and Pragmatic Development: A study of the
interlanguage of the Yemeni Arab learners of English. Unpublished Ph.D thesis, Centre for Applied Linguistics and Translation Studies, University of Hyderabad,
Hyderabad, India.
152
Al-Kahtani, S. 2005. Refusals Realizations in Three Different Cultures: A Speech Act Theoretically-based Cross-culturally study, Department of Language and Translation
King Saud University, Riyadh. Al-Khatib,M. 2006. The pragmatics of invitation making and acceptance in Jordanian
society. Journal of Language and Linguistics 5:272-294. Al-Zumor, A. 2003. A pragmatic Analysis of Speech Acts as Produced by Native Speakers
of Arabic. Unpublished Ph.D thesis, Department of Linguistics, Aligarh Muslim University, Aligarh India.
Atawneh, A. 1991. Politeness Theory and the directive speech act in Arabic- EnglishBilinguals: An empirical study.Unpublished Ph.D thesis, State University of
New York at Stony Brook. Blum-Kulka,S. 1982. Learning how to say what you mean in second language: a study of
speech Actperformance of learners of hebrew as a second language. Applied Linguistics, 3, 29 -59.
Brown, P. Levinson, S. 1987. Politeness: some universals in language use. Cambridge: CambridgeUniversity Press.
Buda S. et al. 1998 ‘Cultural differences between Arabs and Americans’, Journal of CrossculturalPsychology 29 3: 487-492
Chen, S. Chen, . E. 2007. Inter-language requests: a cross-cultural study of english and chinese, the Linguistics Journal, 2, 33-52.
EL-Shazly, A. 1993. Requesting Strategies in American English, Egyptian Arabic and English as Spoken by Egyptian Second Language Learners. Unpublished M.A.
Thesis. Cairo: American University. Leech,G. 1983 Principles of pragmatics. Essex: Longman.
Lin, Y.-H., in press. Query preparatory modals: cross-linguistic and cross-situational variations in request modification. Journal of Pragmatics
Marti, L. 2006. Indirectness and politeness in turkish –german bilingual and Turkish
monolingual requests. Journal of Pragmatics 38:1836-1869. Reiter, R. M. 2000. Linguistic politeness in britain and uruguay: contrastive study of requests
and apologies. Amsterdam Philadelphia: John Benjamins Publishing Company. Scollon, R., Scollon, S. 2001. Intercultural Communication, second ed. Blackwell, Malden,
MA.
153 SASTRA DAN POLITIK
PADA MASYARAKAT ARAB ZAMAN UMAYYAH ABAD KE 7-8 M.
8
Oleh : Dr. Fauzan Muslim, M. Hum
9
ABSTRAK
Makalah ini menjelaskan tentang hubungan antara sastrawan, karya sastra dan politik pada masyarakat Arab zaman Umayyah Abad ke 7-8 M. Terjadinya konflik antar kelompok pada zaman
itu memengaruhi terbentuknya kelompok sastrawan. Ada empat kelompok masyarakat pada zaman Umayyah yang saling bersaing, yaitu Syi’ah, Khawarij, Zubairiyin, dan Umawiyyin. Kelompok
Umawiyyin adalah kelompok penguasa, yang menghadapi gangguan dari tiga kelompok lainnya. Di sisi lain ketiga kelompok terakhir pun masing-masing memiliki perbedaan ideologis yang mendorong
perpecahan dan nkonflik, karena masing-masing berusaha melakukan propaganda agar mendapat pendukung. Keempat kelompok tersebut menggunakan pengaruh dan hasil karya para penyair untuk
mencari dukungan dari masyarakat.
Pada zaman Umayyah, keadaan sastrawan pun terbentuk dalam keempat kelompok tersebut. Karya mereka pun berkisar antara pujian terhadap kelompoknya dan hinaan untuk kelompok lain
yang menjadi saingannya. Al-farazdaq, Jarir dan al-Akhtal tiga penyair yang sangat terkenal pada zaman itu. Ketiganya banyak menulis puisi polemik al-
naqa’id untuk memenuhi permintaan dari kelompok yang sedang bertikai. Sementara al-Kummayt konsisten mendukung kelompok Zubairiyyin.
Masyarakat ikut merasakan ramainya pembicaraan tentang kualitas penyair dan hasil karya mereka. Suasana ini terutama disebabkan oleh persaingan tiga orang penyair, yaitu Jarir, al-Farazdaq
dan al-Akhtal. Persaingan ini, menjadikan para kritikus sastra lebih giat melakukan berbagai kajian tentang sastra, dengan demikian dunia literer menjadi semakin baik dan meningkat.
Sebagian peneliti menganggap ketiga penyair ini masing-masing punya keistimewaan. Peneliti yang lebih mengutamakan aspek kuantitas puisi yang dihasilkan dan jumlah variasi tema-
tema, akan berpihak kepada al-Farazdaq. Peneliti yang mementingkan aspek moral spiritual dan kesopanan lebih mengutamakan Jarir; Sementara para penganut agama nasrani lebih mengutamakan
al-Akhtal. Para kritikus yang lebih bijaksana menganggap Jarir paling unggul, karena tema puisinya lebih beragam, tidak didominasi satau tema saja. Al-Farazdaq lebih menonjol dalam hal tema
patriotisme; Al-Akhtal lebih menonjolkan tema pujian dan ejekan serta pendeskripsian kegiatan minuman khamar. Kesimpulannya ialah faktor politik sangat erat kaitannya dengan kesusastraan, dan
kondisi politik pada zaman Umayyah telah meningkatkan kualitas dan produktivitas dalam bidang kesusastraan Arab.
8
Makalah Disampaikan dalam Seminar Internasional : Dinamika Budaya Timur Tengah Pasca Musim Semi Arab, 13 November 2015 di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
9
Staf Pengajar Program Studi Arab Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
154
1. Pengantar