Studi Semantik TINJAUAN UMUM TENTANG VERBA, STUDI SEMANTIK DAN

27

2.2 Studi Semantik

2. 2.1 Definisi Semantik Koizumi dalam buku Kihon Doushi Yohoo Jiten 1989: 2 menyatakan bahwa semantik imiron adalah mengungkapkan makna dari sebuah kata. Sedangkan menurut Sutedi 2004:103 semantik adalah salah satu cabang linguistik genggogaku yang mengkaji tentang makna. Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan makna atau arti dalam bahasa. Oleh karena itu, kata semantik seperti yang dimaksud oleh Ferdinand De Saussure dalam Chaer 1994:2, dapat diartikan ilmu tentang makna atau arti. Objek kajian semantik antara lain adalah makna kata go no imi, relasi makna go no imi kankei antara satu kata dengan kata yang lainnya, makna frase dalam suatu idiom ku no imi, dan makna kalimat Sutedi, 2003:103.

1. Makna kata satu persatu go no imi

Makna setiap kata merupakan salah satu objek kajian semantik, karena komunikasi dengan menggunakan suatu bahasa yang sama seperti bahasa Jepang, baru akan berjalan lancar jika setiap kata yang digunakan oleh pembicara dalam komunikasi tersebut, makna atau maksudnya sama dengan yang digunakan oleh lawan bicaranya. Dalam bahasa Jepang banyak sinonim ruigigo dan sangat sulit untuk bisa dipadankan ke dalam bahasa Indonesia satu persatu disebabkan oleh masih minimnya buku-buku dan kamus yang bertuliskan bahasa Indonesia yang membahas secara rinci dan jelas tentang persamaan dan perbedaan dari setiap sinonim tersebut.

2. Relasi Makna Go no imi kankei

Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya Chaer, 1994:297. Hubungan kemaknaan atau relasi semantik ini menyangkut hal kesamaan makna sinonim, kebalikan makna antonim, Universitas Sumatera Utara 28 kegandaan makna polisemi dan ambiguitas, ketercakupan makna hiponim, kelainan makna homonim, kelebihan makna redudansi, dan sebagainya. a. Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya Chaer, 1994:297. Misalnya pada verba „hanasu‟ dan „iu‟ dan „shaberu‟. b. Antonim adalah hubungan semantik antara dua buah ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan atau kontras antara satu dengan yang lainnya Chaer, 1994 :299. Misalnya pada kata „takai‟ dan „hikui‟. c. Polisemi diartikan sebagai satuan bahasa terutama kata, bisa juga frase yang memiliki makna lebih dari satu Chaer, 1994:301. d. Ambiguitas atau ketaksaan diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti Chaer, 1994:308. Misalnya frase „majalah gaya hidup baru‟ dapat ditafsirkan sebagai 1 „majalah gaya hidup baru terbit’, atau 2 „majalah yang memuat gaya hidup baru ’. e. Hiponim adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain Chaer, 1994:305. Misalnya pada kata „ringo’ dan „kudamono‟ f. Homonim adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya kebetulan sama, maknanya berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan Chaer, 1994 :302. Misalnya pada kata „bisa‟ yang berarti „racun‟ dan kata „bisa‟ yang berarti „sanggup, dapat‟. g. Redudansi diartikan sebagai „berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran‟ Chaer, 1994:310. Misalnya pada kalimat „buku yang dibaca guru’, maknanya tidak akan berubah bila ditambah menjadi „buku yang dibaca oleh guru’. Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua dianggap redudansi. Universitas Sumatera Utara 29

3. Makna Frase dalam satu idiom Ku no imi

Makna frase merupakan makna yang terkandung dalam sebuah rangkaian kata- kata yang disebut dengan ungkapan. Contohnya dalam bahasa Jepang ungkapan 本 „hon o yomu‟ membaca buku, 靴 う „kutsu o kau‟ membeli sepatu, dan 腹 立 „hara ga tatsu‟ perut berdiri = marah merupakan suatu frase. Frase „hon o yomu‟ dan „kutsu o kau‟ dapat dipahami cukup dengan mengetahui makna kata hon, kutsu, kau, dan o, ditambah dengan pemahaman tentang struktur kalimat bahwa „nomina + o + verba‟. Jadi, frase tersebut bisa dipahami secara leksikalnya mojidouri no imi . Tetapi, untuk frase „hara ga tatsu‟, meskipun seseorang mengetahui makna setiap kata dan strukturnya, belum tentu bisa memahami makna frase tersebut, jika tidak mengetahui makna frase secara idiomatikalnya kanyokuteki imi. Lain halnya dengan frase 足 洗 う „ashi o arau‟ , ada dua makna, yaitu secara leksikal mojidouri no imi, yaitu mencuci kaki, dan juga secara idiomatikal kanyokuteki imi, yaitu berhenti berbuat jahat. Jadi, dalam bahasa Jepang ada frase yang hanya bermakna secara leksikal saja, ada frase yang bermakna secara idiomatikal saja, dan ada juga frase yang bermakna keduanya.

4. Makna kalimat bun no imi

Makna kalimat ditentukan oleh makna setiap kata dan strukturnya. Misalnya, pada kalimat „Watashi wa Yamada san ni megane o ageru‟ Saya memberi kacamata pada Yamada dan kalimat „Watashi wa Yamada san ni tokei o ageru‟ Saya memberi jam pada Yamada. Jika dilihat dari strukturnya, kalimat tersebut adalah sama, yaitu „A wa B ni C o ageru ‟, tetapi maknanya berbeda. Oleh karena itu, makna kalimat ditentukan oleh kata yang menjadi unsur kalimat tersebut. Lain halnya dengan kalimat „Watashi wa Yamada san to Tanaka san o matte iru‟, terdapat dua makna yang terkandung di dalamnya, yaitu [Watashi wa] [Yamada san to Universitas Sumatera Utara 30 Tanaka san o] [matte iru] yang berarti Saya menunggu Yamada dan Tanaka dan [Watashi wa] [Yamada san to] [Tanaka san o matte iru] yang berarti Saya bersama Yamada menunggu Tanaka. Dari sini bisa diketahui bahwa dalam suatu kalimat bisa menimbulkan makna ganda yang berbeda.

2.2.1.1 Jenis-Jenis Makna dalam Semantik

Makna merupakan salah satu kajian dalam semantik yang merupakan bagian terpenting dalam melakukan percakapan. Dalam KBBI 2008: 703 dijelaskan makna adalah 1. arti, 2. maksud pembicara atau penulis; pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Sedangkan menurut Kridalaksana 1982:132, makna adalah: 1. Maksud pembicara; 2. Pengaruh penerapan bahasa dalam pemakaian persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia; 3. Hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antar bahasa atau antar ujaran dan semua hal yang ditunjukkannya; 4. Cara menggunakan lambang- lambang bahasa. Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa makna adalah arti atau maksud dari suatu tindak tutur. Menurut Chaer 1994: 59, sesungguhnya jenis atau tipe makna itu memang dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang, antara lain sebagai berikut. a. Berdasarkan jenis semantiknya, dapat dibedakan menjadi makna leksikal dan makna gramatikal. b. Berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kataleksem, dapat dibedakan menjadi makna referensial dan makna non referensial. c. Berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kataleksem, dapat dibedakan menjadi makna denotatif dan makna konotatif. Universitas Sumatera Utara 31 d. Berdasarkan ketepatan maknanya, dapat dibedakan menjadi makna umum dan makna khusus. e. Berdasarkan kriteria atau sudut pandang lain, dapat dibedakan menjadi makna konseptual, asosiatif, idiomatik, dan sebagainya. Berikut pengertian makna-makna tersebut satu per satu.

1. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal

Menurut Chaer 1994: 60 makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Sedangkan menurut Sutedi 2008: 106, makna leksikal adalah makna kata yang sesungguhnya sesuai dengan referensinya sebagai hasil pengamatan indera dan terlepas dari unsur gramatikalnya, atau bisa juga dikatakan sebagai makna asli suatu kata. Makna leksikal dalam bahasa Jepang disebut dengan 辞書的意味 „jishoteki imi ‟ atau 語 彙 的 意 味 „goiteki imi’ . Dalam bahasa Jepang misalnya kata 猫 „neko‟ yang berarti „kucing‟ dan 学 校 „gakkou‟ yang artinya „sekolah‟. Makna leksikal dari kata „kucing‟ adalah hewan berkaki empat, berkumis, dan suka mencuri ikan. Sedangkan makna leksikal dari kata „sekolah‟ adalah bangunan tempat para siswa belajar. Makna gramatikal menurut Chaer 1994: 63 adalah makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah kata dalam kalimat. Sedangkan menurut Sutedi 2008: 107 makna gramatikal yaitu makna yang muncul akibat proses gramatikalnya, dan dalam bahasa Jepang disebut 文法的意味 „bunpouteki imi‟ . Dalam bahasa Jepang, 助 詞 „joshi‟ partikel dan 助 動 詞 „jodoushi‟ kopula tidak memiliki makna Universitas Sumatera Utara 32 leksikal, tetapi memiliki makna gramatikal, sebab baru akan jelas maknanya jika digunakan dalam kalimat. Verba dan adjektiva memiliki kedua jenis makna tersebut, misalnya pada kata 忙 い „isogashii‟ dan 食 „taberu‟ . Bagian gokan : isogashi dan tabe memiliki makna leksikal yaitu „sibuk‟ dan „makan‟, sedangkan gobi-nya, yaitu { い i} dan { ru} sebagai makna gramatikal, karena akan berubah sesuai dengan konteks gramatikalnya. Begitu juga dengan partikel „ni‟ , yang secara leksikal tidak jelas maknanya, akan tetapi baru jelas maknanya ketika digunakan dalam kalimat seperti : メダン 住 い „Medan ni sunde iru‟ yang bermakna „tinggal di Medan‟.

2. Makna Referensial dan Makna Non referensial

Menurut Chaer 1994: 63, perbedaan makna referensial dan makna non referensial adalah berdasarkan ada tidaknya referen dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Namun jika kata-kata itu tidak mempunyai referen, maka kata tersebut merupakan kata bermakna non referensial. Kata meja dan kursi termasuk kata yang bermakna referensial karena keduanya mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut „meja‟ dan „kursi‟. Sebaliknya kata karena dan tetapi tidak mempunyai referen, jadi kedua kata tersebut termasuk ke dalam kelompok kata yang bermakna non referensial.

3. Makna Denotatif dan Makna Konotatif

Chaer 1994: 65 menyebutkan pengertian makna denotatif adalah pada dasarnya sama dengan makna leksikal dan referensial, sebab makna denotatif ini lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual objektif, dan sering disebut dengan istilah Universitas Sumatera Utara 33 „makna sebenarnya‟. Sedangkan menurut Sutedi 2008:107, makna denotatif adalah makna yang berkaitan dengan dunia luar bahasa seperti suatu objek atau gagasan dan bisa dijelaskan dengan dunia luar bahasa seperti suatu objek atau gagasan dan bisa dijelaskan dengan analisis komponen makna. Makna denotatif dalam bahasa Jepang disebut dengan 明 示 的 意 味 „meijiteki imi‟ atau 外 延 „gaien‟ . Sedangkan makna konotatif menurut Chaer 1994: 67 adalah makna tambahan yang sifatnya memberi nilai rasa, baik positif maupun negatif. Selanjutnya menurut Sutedi 2008: 107, makna konotatif disebut 暗示的意味 „anjiteki imi‟ atau 内包 „naihou‟ , yaitu makna yang ditimbulkan karena perasaan atau pikiran pembicara dan lawan bicaranya. Misalnya pada kata 父 „chichi‟ dan 親父 „oyaji‟ kedua-duanya memiliki makna denotatif yang sama, yaitu „ayah‟, akan tetapi memiliki nilai rasa yang berbeda. Kata „chichi‟ terkesan lebih formal dan lebih halus, sedangkan kata „oyaji‟ terkesan lebih dekat dan akrab. Contoh lainnya adalah kata 化 粧 室 „keshou-shitsu‟ dan 便 所 „benjo‟ . Kedua kata tersebut juga merujuk pada hal yang sama, yaitu kamar kecil, tetapi kesan dan nilai rasanya berbeda. „Keshou- shitsu ‟ terkesan bersih, sedangkan „benjo‟ terkesan kotor dan bau.

4. Makna Umum dan Makna Khusus

Chaer 1994: 71 mengemukakan bahwa kata dengan makna umum memiliki pengertian dan pemakaian yang lebih luas, sedangkan kata dengan makna khusus mempunyai pengertian dan pemakaian yang lebih terbatas. Misalnya dalam deretan sinonim besar, agung, akbar, raya, dan kolosal. Kata besar adalah kata yang bermakna umum dan pemakaiannya lebih luas dibandingkan dengan kata yang lainnya. Kita dapat mengganti kata agung, akbar, raya, dan kolosal dengan kata besar secara bebas. Frase „Tuhan yang maha Agung‟ dapat diganti dengan „Tuhan yang maha Besar‟ ; frase „rapat Universitas Sumatera Utara 34 akbar ‟ dapat diganti dengan „rapat besar‟ ; frase „hari raya‟ dapat diganti dengan „hari besar ‟ ; dan frase „film kolosal‟ dapat diganti dengan „film besar‟. Sebaliknya, frase „rumah besar‟ tidak dapat diganti dengan „rumah agung‟, „rumah raya‟ ataupun „rumah kolosal ‟.

5. Makna Konseptual, Asosiatif, dan Idiomatik

Menurut Chaer 1994: 72, makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya, dan makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apapun. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa sebenarnya makna konseptual ini sama dengan makna leksikal, referensial, dan makna denotatif. Selanjutnya, makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan di luar bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan makna „suci‟ atau „kesucian‟ ; kata merah berasosiasi dengan makna „berani‟ ; kata cenderawasih berasosiasi dengan makna „indah‟. Sedangkan makna idiomatik menurut Chaer 1994: 75 adalah makna sebuah satuan bahasa kata, frase, atau kalimat yang “menyimpang” dari makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Contohnya adalah pada frase „membanting tulang‟ dan „meja hijau‟. „Membanting tulang‟ adalah sebuah leksem dengan makna „bekerja keras‟, dan „meja hijau‟ adalah sebuah leksem dengan makna „pengadilan‟.

2.2.1.2 Perubahan Makna Dalam Semantik

Perubahan makna suatu kata dapat terjadi karena berbagai faktor, antara lain perkembangan peradaban manusia pemakai bahasa tersebut, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, atau pengaruh bahasa asing. Berikut akan dijelaskan beberapa jenis perubahan makna dalam bahasa Jepang, menurut Sutedi 2008: 108. Universitas Sumatera Utara 35

a. Dari yang konkrit ke abstrak

Dokumen yang terkait

Analisis Fungsi Dan Makna Verba Utsu Dan Tataku Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou Ni Okeru (Utsu) To (Tataku) No Kinou To Imi No Bunseki

3 113 70

Analisis Fungsi Dan Makna Fukushi Kanari Dan Zuibun Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou ni Okeru Zuibun To Kanari To Iu Fukushi No Imi To Kiinou No Bunseki

14 146 97

ANALISIS PENGGUNAAN VERBA BERSINONIM TETSUDAU, TASUKERU, DAN SUKUU DALAM KALIMAT BAHASA JEPANG.

3 9 38

Analisis Fungsi dan Makna Verba Tetsudau dan Tasukeru Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou Ni Okeru Tetsudau To Tasukeru No Kinou To Imi No Bunseki

0 0 9

Analisis Fungsi dan Makna Verba Tetsudau dan Tasukeru Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou Ni Okeru Tetsudau To Tasukeru No Kinou To Imi No Bunseki

0 0 7

Analisis Fungsi dan Makna Verba Tetsudau dan Tasukeru Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou Ni Okeru Tetsudau To Tasukeru No Kinou To Imi No Bunseki

0 1 13

Analisis Fungsi dan Makna Verba Tetsudau dan Tasukeru Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou Ni Okeru Tetsudau To Tasukeru No Kinou To Imi No Bunseki

1 4 26

Analisis Fungsi dan Makna Verba Tetsudau dan Tasukeru Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou Ni Okeru Tetsudau To Tasukeru No Kinou To Imi No Bunseki

0 0 3

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Analisis Fungsi Dan Makna Verba Utsu Dan Tataku Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou Ni Okeru (Utsu) To (Tataku) No Kinou To Imi No Bunseki

0 1 10

Analisis Fungsi Dan Makna Fukushi Kanari Dan Zuibun Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou ni Okeru Zuibun To Kanari To Iu Fukushi No Imi To Kiinou No Bunseki

0 1 37