Limbah Pemanenan dan Faktor Eksploitasi Pada Pengusahaan Hutan Tanaman Industri

(1)

LIMBAH PEMANENAN DAN FAKTOR EKSPLOITASI

PADA PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI

(Studi Kasus di HPHTI PT. Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan)

DWI PUSPITASARI

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

LIMBAH PEMANENAN DAN FAKTOR EKSPLOITASI

PADA PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI

(Studi Kasus di HPHTI PT. Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan)

DWI PUSPITASARI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

DWI PUSPITASARI. Limbah Pemanenan dan Faktor Eksploitasi pada Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (Studi Kasus di HPHTI PT.Musi Hutan Persada,Sumatera Selatan). Dibimbing oleh Dr. Ir. Juang Rata Matangaran, MS dan Ujang Suwarna, S. Hut., MSc.F.

RINGKASAN

Penelitian mengenai limbah pemanenan pada pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI – Pulp) diperlukan guna mengetahui besarnya limbah dari tiap kegiatan pemanenan, faktor-faktor penyebab terjadinya limbah serta untuk mengetahui faktor eksploitasi di HTI. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan efektifitas kegiatan pemanenan serta upaya memiminalkan limbah yang terjadi.

Limbah pemanenan dibedakan menjadi limbah penebangan, limbah penyaradan, limbah pemuatan/TPn dan limbah pengangkutan. Limbah pada penelitian ini adalah limbah ekonomis yaitu limbah berupa tunggak dengan tinggi > 10 cm, sortimen dengan diameter > 8 cm panjang < 2,5 m, serta sortimen-sortimen yang memenuhi syarat bahan baku serpih namun tidak dimanfaatkan.

Limbah penebangan merupakan limbah yang terjadi di petak tebang yang berupa kelebihan tunggak dari yang diijinkan ( > 10 cm) serta sortimen dengan diameter > 8 cm, panjang < 2,5 m yang berserakan di petak tebang. Cabang, ranting dan daun tidak termasuk dalam limbah penebangan karena dimanfaatkan secara teknis sebagai bantalan jalan sarad. Limbah penyaradan adalah limbah yang terjadi sebagai akibat dari kegiatan penyaradan (dengan forwarder) yang berupa sortimen-sortimen yang terjatuh sepanjang jalan sarad serta sortimen-sortimen yang tertinggal di jalur tumpukan. Limbah TPn adalah limbah yang terjadi di TPn sebagai akibat dari kegiatan pemuatan sortimen ke dalam alat angkut, yang dibedakan menjadi limbah yang berupa kayu-kayu rusak seperti busuk, lapuk, pecah dan tidak sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh pabrik serta sortimen yang sesuai dengan persyaratan pabrik namun tidak termuat ke dalam alat angkut. Limbah pengangkutan adalah limbah yang terjadi selama proses pengangkutan dari TPn menuju TPK/pabrik, berupa sortimen yang sesuai syarat bahan baku serpih yang jatuh di sepanjang jalan angkutan ataupun yang sengaja ditinggalkan di jalan angkutan.

Volume limbah penebangan dan penyaradan berasal dari dua petak tebang yang sama (Petak A dan B), limbah pemuatan/TPn dilakukan pada TPn P dan Q yang berasal dari petak P dan Q, sedangkan limbah pengangkutan diperoleh dari empat contoh alat angkut yang berasal dari TPn X dan Y pada petak X dan Y. Faktor eksploitasi diperoleh dengan perhitungan persen limbah serta perkalian indeks tebang, indeks sarad serta indeks angkut.

Potensi limbah penebangan yang terjadi sebesar 3,47 m3/Ha (1,67%) yang terdiri dari limbah tunggak sebesar 1,08 m3/Ha dan limbah berupa sortimen sebesar 2,39 m3/Ha. Limbah tunggak terjadi karena adanya kesalahan dalam pembuatan takik rebah dan takik balas yang dilakukan oleh

chainsawman. Limbah sortimen yang terdapat di petak tebang disebabkan oleh adanya kesalahan dalam kegiatan trimming (pemotongan/pembagian batang) oleh chainsawman dan kegiatan pencabangan oleh

helper.

Limbah penyaradan yang terjadi adalah sebesar 2,59 m3/Ha (1,25%). Limbah penyaradan terjadi karena ruang gerak yang sempit dari alat sarad (forwarder) dalam pengoperasiannya, hal ini karena tunggak yang tinggi serta tumpukan sortimen yang tidak teratur sehingga terkadang grapple tidak dapat menjangkau tumpukan sortimen dan sortimen ditinggalkan menjadi limbah. Jarak antara tumpukan sortimen dan TPn yang jauh serta keletihan operator terutama pada shift malam juga menjadi penyebab terjadinya limbah penyaradan.

Limbah pemuatan/TPn yang berupa sortimen tidak diangkut dan kayu rusak adalah sebesar 1,48m3/Ha (0,92%). Limbah pemuatan/TPn terjadi karena kegiatan pemuatan sortimen dari TPn ke bak alat angkut terutama alat angkut dengan tujuan TPK Antara, kondisi TPn yang tidak kondusif bagi kegiatan pemuatan sehingga alat muat harus melalui bekas tumpukan sortimen ketika memuat serta banyak antrian alat angkut pada lokasi TPn yang dekat dengan TPK yang menyebabkan operator muat menjadi tergesa-gesa dalam melakukan pemuatan dan tidak memperhatikan adanya sortimen yang jatuh.

Limbah pengangkutan yang berupa sortimen yang jatuh di sepanjang jalan angkutan sebesar 1,19m3/Ha (0,52%) disebabkan oleh kondisi jalan yang tidak sepenuhnya berupa jalan batu yang menimbulkan goncangan pada sortimen dan menyebabkan sabuk pengikat longgar sehingga sortimen dapat jatuh ketika melewati tanjakan. Jarak tempuh yang jauh antara TPn dan TPK (200 km) juga menyebabkan terjadinya limbah pengangkutan ini.

Perhitungan persentase limbah yang telah dilakukan dapat menunjukkan besarnya faktor eksploitasi dari kegiatan pemanenan. Persentase limbah pemanenan yang terjadi adalah sebesar 4,36% sehingga besarnya faktor eksploitasi pada kegiatan pemanenan HTI adalah sebesar 95,64%. Perhitungan


(4)

faktor eksploitasi dengan indeks tebang, indeks sarad dan indeks angkut adalah sebesar 93,64% dengan nilai indeks tebang 0,98, indeks sarad 0,975 dan indeks angkut 0,98.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa limbah pemanenan di HTI Pulp sebesar 8,74 m3/Ha (4,36% dari seluruh potensi yang dapat dimanfaatkan) yang terdiri dari limbah penebangan 3,47 m3/Ha (1,67%), limbah penyaradan 2,60 m3/Ha (1,25%), limbah pemuatan/TPn 1,48 m3/Ha (0,92%) dan limbah pengangkutan 1,19 m3/Ha (0,52%). Persentase limbah ini menunjukkan bahwa besarnya faktor eksploitasi adalah 95,64%. Saran yang diajukan untuk perusahaan adalah perlu adanya pelatihan kembali kepada para operator tebang, perlu dilakukan peninjauan kembali (penelitian) mengenai jumlah antrian alat angkut yang sesuai dengan kemampuan kerja satu alat muat, perlu dilakukan pengecekan secara rutin terhadap kondisi alat angkut, terutama dalam hal kelaikan jalannya.


(5)

Judul Skripsi : Limbah Pemanenan dan Faktor Eksploitasi pada Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (Studi Kasus di HPHTI PT. Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan). Nama : Dwi Puspitasari

NRP : E 24101043

Disetujui Oleh,

Dr.Ir.Juang Rata Matangaran,MS Ujang Suwarna,S.Hut.,MSc.F Pembimbing I Pembimbing II

Mengetahui,

Prof.Dr.Ir.Cecep Kusmana,MS Dekan Fakultas Kehutanan


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Temanggung pada tanggal 7 April 1983 sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari orang tua yang bernama Mujiyono dan Sri Giyarti. Penulis memperoleh pendidikan dasar formal di SD Negeri Kledung dan SLTP Negeri 2 Temanggung. Pada tahun 1998 penulis meneruskan pendidikannya di SMU Negeri 1 Temanggung. Melalui jalur USMI, pada tahun 2001 penulis diterima sebagai mahasiswi Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Jurusan Teknologi Hasil Hutan.

Selama kuliah, penulis pernah bergabung dengan Rimbawan Pecinta Alam (RIMPALA). Penulis mengikuti kegiatan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) pada Bulan Juli - Agustus 2004 di Kampus Praktek Umum Universitas Gajah Mada KPH Getas, BKPH Baturaden, dan BKPH Cilacap. Praktek Kerja Lapang (PKL) dilakukan oleh penulis di HPH PT. Sarmiento Parakantja Timber (SARPATIM, KLI Group) Kalimantan Tengah pada Bulan Februari - April 2005.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis menyusun skripsi sebagai karya ilmiah hasil dari kegiatan penelitian dengan judul “Limbah Pemanenan dan Faktor Eksploitasi pada Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (Studi Kasus di HPHTI PT. Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan)” dengan bimbingan Bapak Dr. Ir. Juang Rata Matangaran, MS dan Ujang Suwarna, S. Hut., MSc.F.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas ridha dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul ”Limbah Pemanenan dan Faktor Eksploitasi pada Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (Studi Kasus di HPHTI PT.Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan)“.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifitasan kegiatan pemanenan pada suatu Hutan Tanaman Industri (HTI Pulp) yang dilihat dari segi limbah dan faktor eksploitasinya. Dari penelitian yang dilakukan dihasilkan persen limbah pemanenan dari setiap tahapan kegiatan yang meliputi penebangan, penyaradan, pemuatan serta pengangkutan, sehingga dapat diketahui besarnya faktor eksploitasi. Persen limbah yang terjadi pada kegiatan pemanenan di HTI Pulp ini adalah sebesar 4,36% yang berati bahwa faktor eksploitasi yang terjadi adalah 95,64%. Faktor eksploitasi juga diperoleh dari perkalian indeks tebang, indeks sarad dan indeks angkut yaitu sebesar 93,64%.

Menyadari ketidaksempurnaan yang terdapat di dalam skripsi ini, penulis berharap semoga ada pihak yang berkenan untuk menyempurnakannya dalam sebuah studi lebih lanjut. Selebihnya penulis berharap skripsi ini dapat memberikan sedikit manfaat bagi yang berkenan membacanya.

Bogor, Desember 2005

Penulis


(8)

Puji syukur penulis panjat kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan sebuah karya ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan.

Penulis menyadari bahwa karya ini tidak akan terwujud tanpa bantuan berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Keluarga tercinta (ibu, Alm. bapak, kakak serta keponakan) atas doa, dukungan dan kasih sayang yang menjadi pemacu semangat.

2. Dr. Ir. Juang Rata Matangaran, MS dan Ujang Suwarna, S. Hut., MScF selaku pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan wawasan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Dr. Ir. Dodik Ridlo Nurrohmat, MS dan Ir. Agus Priyono, MS selaku dosen penguji, terima kasih atas masukan serta nasehat-nasehatnya.

4. Program Hibah Kompetisi A2 Dikti Depdiknas yang membantu biaya penelitian ini, dengan ketua peneliti adalah Dr. Ir. Juang Rata Matangaran, MS.

5. Hairul Anwar, SE, Purnomo Hadi, SE dan Ir. Edi Suroso beserta staf HPHTI PT. MHP Wilayah II dan Doni Sinaga, SH serta staf PT. Harapan Lima Roda (Halida) yang telah menyediakan lokasi dan fasilitas serta membantu proses pengumpulan data selama penelitian.

6. Staf KPAP Departemen Hasil Hutan yang telah memberikan bantuan administrasi selama pengurusan penelitian dan skripsi, serta Pak Yaya, Pak Udin dan Bibi Lim atas dukungan semangatnya.

7. Rekan seperjuangan selama penelitian dan penyusunan skripsi (Anita).

8. Rekan-rekan mahasiswa THH, MNH, BDH dan KSH 38 maupun kakak dan adik kelas terutama THP 38.


(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR UCAPAN TERIMA KASIH

DAFTAR ISI...iii

DAFTAR TABEL...iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN...vi

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...1

B. Tujuan ...3

C. Manfaat ...3

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pemanenan Hutan (Kayu) ...4

B. Limbah Pemanenan Kayu ...8

C. Klasifikasi Bahan Baku Serpih ...14

D. Faktor Eksploitasi ...14

III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian...17

B. Alat dan Bahan...17

C. Metode Penelitian ...17

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Aspek Sumber Daya Hutan...25

B. Aspek Ekologis ...26

C. Aspek Sosial Ekonomi...28

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tahapan Pemanenan Kayu pada HTI Pulp ... 29

B. Kriteria Limbah Pemanenan HTI Pulp ... 30

C. Potensi Limbah pada Kegiatan Pemanenan HTI Pulp ... 32

D. Persentase Limbah pada Kegiatan Pemanenan HTI Pulp ... 44

E. Faktor Eksploitasi pada Kegiatan Pemanenan HTI Pulp ... 46

VI. PENUTUP A. Kesimpulan ...48

B. Saran ...48

VII. DAFTAR PUSTAKA ...49


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Hasil penelitian potensi limbah pada beberapa pengusahaan hutan alam dan hutan

tanaman industri di Indonesia... 12

2 Spesifikasi bahan baku serpih PT. Tanjung Enim Lestari dan PT. Musi Hutan Persada...14

3 Data petak contoh penelitian untuk kegiatan penebangan dan penyaradan ....18

4 Data petak contoh untuk kegiatan pemuatan...19

5 Data petak penelitian untuk kegiatan pengangkutan ...19

6 Luas dan letak geografis Kelompok Wilayah Hutan PT. MHP ...25

7 Tata ruang areal hutan PT. MHP berdasarkan Konsep “Lestari Hutanku”...26

8 Potensi limbah penebangan ...32

9 Potensi limbah penyaradan...37

10 Potensi limbah TPn ...39

11 Limbah TPn tiap Ha ...41

12 Potensi limbah pengangkutan...42

13 Limbah pengangkutan tiap Ha ...44

14 Persentase limbah pemanenan tiap kegiatan pemanenan ...45


(11)

LIMBAH PEMANENAN DAN FAKTOR EKSPLOITASI

PADA PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI

(Studi Kasus di HPHTI PT. Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan)

DWI PUSPITASARI

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

LIMBAH PEMANENAN DAN FAKTOR EKSPLOITASI

PADA PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI

(Studi Kasus di HPHTI PT. Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan)

DWI PUSPITASARI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(13)

DWI PUSPITASARI. Limbah Pemanenan dan Faktor Eksploitasi pada Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (Studi Kasus di HPHTI PT.Musi Hutan Persada,Sumatera Selatan). Dibimbing oleh Dr. Ir. Juang Rata Matangaran, MS dan Ujang Suwarna, S. Hut., MSc.F.

RINGKASAN

Penelitian mengenai limbah pemanenan pada pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI – Pulp) diperlukan guna mengetahui besarnya limbah dari tiap kegiatan pemanenan, faktor-faktor penyebab terjadinya limbah serta untuk mengetahui faktor eksploitasi di HTI. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan efektifitas kegiatan pemanenan serta upaya memiminalkan limbah yang terjadi.

Limbah pemanenan dibedakan menjadi limbah penebangan, limbah penyaradan, limbah pemuatan/TPn dan limbah pengangkutan. Limbah pada penelitian ini adalah limbah ekonomis yaitu limbah berupa tunggak dengan tinggi > 10 cm, sortimen dengan diameter > 8 cm panjang < 2,5 m, serta sortimen-sortimen yang memenuhi syarat bahan baku serpih namun tidak dimanfaatkan.

Limbah penebangan merupakan limbah yang terjadi di petak tebang yang berupa kelebihan tunggak dari yang diijinkan ( > 10 cm) serta sortimen dengan diameter > 8 cm, panjang < 2,5 m yang berserakan di petak tebang. Cabang, ranting dan daun tidak termasuk dalam limbah penebangan karena dimanfaatkan secara teknis sebagai bantalan jalan sarad. Limbah penyaradan adalah limbah yang terjadi sebagai akibat dari kegiatan penyaradan (dengan forwarder) yang berupa sortimen-sortimen yang terjatuh sepanjang jalan sarad serta sortimen-sortimen yang tertinggal di jalur tumpukan. Limbah TPn adalah limbah yang terjadi di TPn sebagai akibat dari kegiatan pemuatan sortimen ke dalam alat angkut, yang dibedakan menjadi limbah yang berupa kayu-kayu rusak seperti busuk, lapuk, pecah dan tidak sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh pabrik serta sortimen yang sesuai dengan persyaratan pabrik namun tidak termuat ke dalam alat angkut. Limbah pengangkutan adalah limbah yang terjadi selama proses pengangkutan dari TPn menuju TPK/pabrik, berupa sortimen yang sesuai syarat bahan baku serpih yang jatuh di sepanjang jalan angkutan ataupun yang sengaja ditinggalkan di jalan angkutan.

Volume limbah penebangan dan penyaradan berasal dari dua petak tebang yang sama (Petak A dan B), limbah pemuatan/TPn dilakukan pada TPn P dan Q yang berasal dari petak P dan Q, sedangkan limbah pengangkutan diperoleh dari empat contoh alat angkut yang berasal dari TPn X dan Y pada petak X dan Y. Faktor eksploitasi diperoleh dengan perhitungan persen limbah serta perkalian indeks tebang, indeks sarad serta indeks angkut.

Potensi limbah penebangan yang terjadi sebesar 3,47 m3/Ha (1,67%) yang terdiri dari limbah tunggak sebesar 1,08 m3/Ha dan limbah berupa sortimen sebesar 2,39 m3/Ha. Limbah tunggak terjadi karena adanya kesalahan dalam pembuatan takik rebah dan takik balas yang dilakukan oleh

chainsawman. Limbah sortimen yang terdapat di petak tebang disebabkan oleh adanya kesalahan dalam kegiatan trimming (pemotongan/pembagian batang) oleh chainsawman dan kegiatan pencabangan oleh

helper.

Limbah penyaradan yang terjadi adalah sebesar 2,59 m3/Ha (1,25%). Limbah penyaradan terjadi karena ruang gerak yang sempit dari alat sarad (forwarder) dalam pengoperasiannya, hal ini karena tunggak yang tinggi serta tumpukan sortimen yang tidak teratur sehingga terkadang grapple tidak dapat menjangkau tumpukan sortimen dan sortimen ditinggalkan menjadi limbah. Jarak antara tumpukan sortimen dan TPn yang jauh serta keletihan operator terutama pada shift malam juga menjadi penyebab terjadinya limbah penyaradan.

Limbah pemuatan/TPn yang berupa sortimen tidak diangkut dan kayu rusak adalah sebesar 1,48m3/Ha (0,92%). Limbah pemuatan/TPn terjadi karena kegiatan pemuatan sortimen dari TPn ke bak alat angkut terutama alat angkut dengan tujuan TPK Antara, kondisi TPn yang tidak kondusif bagi kegiatan pemuatan sehingga alat muat harus melalui bekas tumpukan sortimen ketika memuat serta banyak antrian alat angkut pada lokasi TPn yang dekat dengan TPK yang menyebabkan operator muat menjadi tergesa-gesa dalam melakukan pemuatan dan tidak memperhatikan adanya sortimen yang jatuh.

Limbah pengangkutan yang berupa sortimen yang jatuh di sepanjang jalan angkutan sebesar 1,19m3/Ha (0,52%) disebabkan oleh kondisi jalan yang tidak sepenuhnya berupa jalan batu yang menimbulkan goncangan pada sortimen dan menyebabkan sabuk pengikat longgar sehingga sortimen dapat jatuh ketika melewati tanjakan. Jarak tempuh yang jauh antara TPn dan TPK (200 km) juga menyebabkan terjadinya limbah pengangkutan ini.

Perhitungan persentase limbah yang telah dilakukan dapat menunjukkan besarnya faktor eksploitasi dari kegiatan pemanenan. Persentase limbah pemanenan yang terjadi adalah sebesar 4,36% sehingga besarnya faktor eksploitasi pada kegiatan pemanenan HTI adalah sebesar 95,64%. Perhitungan


(14)

faktor eksploitasi dengan indeks tebang, indeks sarad dan indeks angkut adalah sebesar 93,64% dengan nilai indeks tebang 0,98, indeks sarad 0,975 dan indeks angkut 0,98.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa limbah pemanenan di HTI Pulp sebesar 8,74 m3/Ha (4,36% dari seluruh potensi yang dapat dimanfaatkan) yang terdiri dari limbah penebangan 3,47 m3/Ha (1,67%), limbah penyaradan 2,60 m3/Ha (1,25%), limbah pemuatan/TPn 1,48 m3/Ha (0,92%) dan limbah pengangkutan 1,19 m3/Ha (0,52%). Persentase limbah ini menunjukkan bahwa besarnya faktor eksploitasi adalah 95,64%. Saran yang diajukan untuk perusahaan adalah perlu adanya pelatihan kembali kepada para operator tebang, perlu dilakukan peninjauan kembali (penelitian) mengenai jumlah antrian alat angkut yang sesuai dengan kemampuan kerja satu alat muat, perlu dilakukan pengecekan secara rutin terhadap kondisi alat angkut, terutama dalam hal kelaikan jalannya.


(15)

Judul Skripsi : Limbah Pemanenan dan Faktor Eksploitasi pada Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (Studi Kasus di HPHTI PT. Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan). Nama : Dwi Puspitasari

NRP : E 24101043

Disetujui Oleh,

Dr.Ir.Juang Rata Matangaran,MS Ujang Suwarna,S.Hut.,MSc.F Pembimbing I Pembimbing II

Mengetahui,

Prof.Dr.Ir.Cecep Kusmana,MS Dekan Fakultas Kehutanan


(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Temanggung pada tanggal 7 April 1983 sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari orang tua yang bernama Mujiyono dan Sri Giyarti. Penulis memperoleh pendidikan dasar formal di SD Negeri Kledung dan SLTP Negeri 2 Temanggung. Pada tahun 1998 penulis meneruskan pendidikannya di SMU Negeri 1 Temanggung. Melalui jalur USMI, pada tahun 2001 penulis diterima sebagai mahasiswi Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Jurusan Teknologi Hasil Hutan.

Selama kuliah, penulis pernah bergabung dengan Rimbawan Pecinta Alam (RIMPALA). Penulis mengikuti kegiatan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) pada Bulan Juli - Agustus 2004 di Kampus Praktek Umum Universitas Gajah Mada KPH Getas, BKPH Baturaden, dan BKPH Cilacap. Praktek Kerja Lapang (PKL) dilakukan oleh penulis di HPH PT. Sarmiento Parakantja Timber (SARPATIM, KLI Group) Kalimantan Tengah pada Bulan Februari - April 2005.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis menyusun skripsi sebagai karya ilmiah hasil dari kegiatan penelitian dengan judul “Limbah Pemanenan dan Faktor Eksploitasi pada Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (Studi Kasus di HPHTI PT. Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan)” dengan bimbingan Bapak Dr. Ir. Juang Rata Matangaran, MS dan Ujang Suwarna, S. Hut., MSc.F.


(17)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas ridha dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul ”Limbah Pemanenan dan Faktor Eksploitasi pada Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (Studi Kasus di HPHTI PT.Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan)“.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifitasan kegiatan pemanenan pada suatu Hutan Tanaman Industri (HTI Pulp) yang dilihat dari segi limbah dan faktor eksploitasinya. Dari penelitian yang dilakukan dihasilkan persen limbah pemanenan dari setiap tahapan kegiatan yang meliputi penebangan, penyaradan, pemuatan serta pengangkutan, sehingga dapat diketahui besarnya faktor eksploitasi. Persen limbah yang terjadi pada kegiatan pemanenan di HTI Pulp ini adalah sebesar 4,36% yang berati bahwa faktor eksploitasi yang terjadi adalah 95,64%. Faktor eksploitasi juga diperoleh dari perkalian indeks tebang, indeks sarad dan indeks angkut yaitu sebesar 93,64%.

Menyadari ketidaksempurnaan yang terdapat di dalam skripsi ini, penulis berharap semoga ada pihak yang berkenan untuk menyempurnakannya dalam sebuah studi lebih lanjut. Selebihnya penulis berharap skripsi ini dapat memberikan sedikit manfaat bagi yang berkenan membacanya.

Bogor, Desember 2005

Penulis


(18)

Puji syukur penulis panjat kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan sebuah karya ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan.

Penulis menyadari bahwa karya ini tidak akan terwujud tanpa bantuan berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Keluarga tercinta (ibu, Alm. bapak, kakak serta keponakan) atas doa, dukungan dan kasih sayang yang menjadi pemacu semangat.

2. Dr. Ir. Juang Rata Matangaran, MS dan Ujang Suwarna, S. Hut., MScF selaku pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan wawasan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Dr. Ir. Dodik Ridlo Nurrohmat, MS dan Ir. Agus Priyono, MS selaku dosen penguji, terima kasih atas masukan serta nasehat-nasehatnya.

4. Program Hibah Kompetisi A2 Dikti Depdiknas yang membantu biaya penelitian ini, dengan ketua peneliti adalah Dr. Ir. Juang Rata Matangaran, MS.

5. Hairul Anwar, SE, Purnomo Hadi, SE dan Ir. Edi Suroso beserta staf HPHTI PT. MHP Wilayah II dan Doni Sinaga, SH serta staf PT. Harapan Lima Roda (Halida) yang telah menyediakan lokasi dan fasilitas serta membantu proses pengumpulan data selama penelitian.

6. Staf KPAP Departemen Hasil Hutan yang telah memberikan bantuan administrasi selama pengurusan penelitian dan skripsi, serta Pak Yaya, Pak Udin dan Bibi Lim atas dukungan semangatnya.

7. Rekan seperjuangan selama penelitian dan penyusunan skripsi (Anita).

8. Rekan-rekan mahasiswa THH, MNH, BDH dan KSH 38 maupun kakak dan adik kelas terutama THP 38.


(19)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR UCAPAN TERIMA KASIH

DAFTAR ISI...iii

DAFTAR TABEL...iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN...vi

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...1

B. Tujuan ...3

C. Manfaat ...3

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pemanenan Hutan (Kayu) ...4

B. Limbah Pemanenan Kayu ...8

C. Klasifikasi Bahan Baku Serpih ...14

D. Faktor Eksploitasi ...14

III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian...17

B. Alat dan Bahan...17

C. Metode Penelitian ...17

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Aspek Sumber Daya Hutan...25

B. Aspek Ekologis ...26

C. Aspek Sosial Ekonomi...28

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tahapan Pemanenan Kayu pada HTI Pulp ... 29

B. Kriteria Limbah Pemanenan HTI Pulp ... 30

C. Potensi Limbah pada Kegiatan Pemanenan HTI Pulp ... 32

D. Persentase Limbah pada Kegiatan Pemanenan HTI Pulp ... 44

E. Faktor Eksploitasi pada Kegiatan Pemanenan HTI Pulp ... 46

VI. PENUTUP A. Kesimpulan ...48

B. Saran ...48

VII. DAFTAR PUSTAKA ...49


(20)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Hasil penelitian potensi limbah pada beberapa pengusahaan hutan alam dan hutan

tanaman industri di Indonesia... 12

2 Spesifikasi bahan baku serpih PT. Tanjung Enim Lestari dan PT. Musi Hutan Persada...14

3 Data petak contoh penelitian untuk kegiatan penebangan dan penyaradan ....18

4 Data petak contoh untuk kegiatan pemuatan...19

5 Data petak penelitian untuk kegiatan pengangkutan ...19

6 Luas dan letak geografis Kelompok Wilayah Hutan PT. MHP ...25

7 Tata ruang areal hutan PT. MHP berdasarkan Konsep “Lestari Hutanku”...26

8 Potensi limbah penebangan ...32

9 Potensi limbah penyaradan...37

10 Potensi limbah TPn ...39

11 Limbah TPn tiap Ha ...41

12 Potensi limbah pengangkutan...42

13 Limbah pengangkutan tiap Ha ...44

14 Persentase limbah pemanenan tiap kegiatan pemanenan ...45


(21)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Skema kemungkinan pemanfaatan limbah ...13

2 Bagan alir pengambilan data...22

3 Bagan pemanenan di HPHTI PT. Musi Hutan Persada ...30

4 Spesifikasi trimming...35

5 Limbah pemanenan HTI pada kegiatan penebangan. ...36

6 Limbah pemanenan HTI pada kegiatan pemuatan ...42


(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Rekapitulasi data pengukuran potensi limbah HTI Pulp ...53 2 Perhitungan volume limbah pengangkutan...54 3 Perhitungan faktor eksploitasi berdasarkan indeks tebang, indeks sarad dan indeks angkut ...55 4. Peta lokasi penelitian ...58 5. Limbah tunggak ...59 6. Pencabangan dan pembagian batang ...60 7. Jalur tumpukan sortimen siap sarad...61 8. Penyaradan...62 9. TPn dan pemuatan ...63 10. Lahan bekas tebangan ...64


(23)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kegiatan pemanenan hasil hutan merupakan salah satu kegiatan terpenting dalam pengelolaan dan pengusahaan hutan. Pemanenan hasil hutan merupakan usaha pemanfaatan kayu dengan mengubah tegakan pohon berdiri menjadi sortimen kayu bulat dan mengeluarkannya dari hutan untuk dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya. Kegiatan pemanenan hasil hutan dimaksudkan untuk memanfaatkan hutan dari segi ekonomi, ekologi dan sosial. Adapun tujuan dari pemanenan hutan yaitu memaksimalkan nilai kayu, mengoptimalkan pasokan kayu industri, meningkatkan kesempatan kerja serta mengembangkan ekonomi regional. Maksimalnya nilai hutan dapat dinilai dari jumlah produksi yang tinggi, mutu hasil kayu yang tinggi dan tegakan sisa bernilai tinggi.

Kebutuhan kayu untuk pemenuhan bahan baku industri perkayuan di Indonesia sesuai dengan kapasitas terpasang sampai tahun 1999 adalah sebesar 74-80 juta m3 yang diperuntukkan untuk pabrik kayu lapis dan pulp masing-masing sebesar 30%, kayu gergajian 28%, kayu serpih 8% dan pabrik kayu lainnya 4%. Jika asumsi produksi aktual mencapai 75% dari kapasitas terpasangnya maka permintaan total kayu bulat mencapai 55-60 juta m3. Sementara, pasokan bahan baku dari produksi kayu bulat hutan alam hanya mencapai angka 6,5 juta m3, ditambah pasokan kayu bulat dari ijin pemanfaatan kayu dan hutan tanaman sebesar 10 juta m3 serta hutan rakyat sekitar 20 juta m3. Hal ini mengakibatkan kekurangan pasokan bahan baku kayu bulat bagi industri perkayuan sebesar 25-40 juta m3 (Forest Watch Indonesia, 2003).

Angka-angka tersebut jelas menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara pasokan untuk industri perkayuan dengan kapasitas produksi yang ingin dicapai, yang akan mengancam kelestarian hutan dan kelestarian usaha industri perkayuan itu sendiri. Oleh karena itu, perlu adanya upaya-upaya perbaikan yang diantaranya adalah perbaikan kebijakan dan perubahan orientasi pemanfaatan kayu, pembangunan sumber bahan baku baru dan kelembagaan pengusahaan hutan. Selain itu, untuk mendukung kebutuhan bahan baku bagi industri pengolahan kayu, maka semua tindakan yang mencerminkan pemborosan dan mengarah pada terancamnya kelestarian hasil harus dicegah.


(24)

Salah satu upaya yang telah ditempuh dalam rangka pengembangan sumber bahan baku kayu bulat pada masa yang akan datang adalah melalui program pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI). Namun demikian, pembangunan HTI belum mampu menyediakan pasokan bahan baku kayu bulat dalam jumlah yang besar, untuk itu perlu upaya memaksimalkan nilai kayu dengan mendayagunakan pohon yang telah ditebang secara efisien serta pengembangan industri dari industri perkayuan yang berbahan baku utama kayu bulat dialihkan menjadi industri perkayuan dengan bahan baku bukan kayu bulat yaitu dengan memanfaatkan limbah pemanenan.

Pemanfaatan limbah pemanenan diharapkan mampu mendukung kebutuhan pasokan bahan baku bagi industri perkayuan. Hal ini dilakukan dengan mendayagunakan pohon yang telah ditebang secara efisien dengan memanfaatkan limbah kayu yang selama ini masih banyak ditinggalkan di hutan, hal ini dapat dilakukan dengan mengingat bahwa tidak semua kayu yang ditinggalkan di hutan dalam keadaan rusak. Selain itu dengan memanfaatkan limbah yang ada akan meningkatkan efisiensi pemanfaatan kayu per pohon. Berbagai penelitian menyatakan bahwa besarnya tingkat efisiensi pemanfaatan kayu per pohon di tempat penebangan baru mencapai 80%, hal ini berarti jumlah bagian pohon yang belum atau tidak termanfaatkan sebesar 20% (Idris dan Sona,1996). Pada tahun 2000 telah dilakukan penelitian tentang limbah pada 3 HPH yang beroperasi di Kalimantan dan hasil yang diperoleh bahwa persentase limbah pada hutan alam berkisar 40 – 51% (Muladi,2000).

Tingkat efisiensi pemanenan kayu dapat diukur dengan menggunakan parameter besar kecilnya angka faktor eksploitasi. Faktor eksploitasi merupakan perbandingan antara volume produksi aktual (di tempat penimbunan kayu) dengan volume potensial (potensi pohon berdiri). Faktor eksploitasi dapat diketahui dengan menghitung besarnya indeks tebang, indeks sarad dan indeks angkut. Dijelaskan oleh Sianturi (1982) bahwa faktor eksploitasi merupakan besaran yang menunjukkan persentase bagian pohon bebas cabang yang dimanfaatkan yang didapat dengan mengurangkan persentase limbah dari maksimum pohon bebas cabang yang dimanfaatkan yaitu 100% mulai dari batas tunggak yang diijinkan sampai batas cabang pertama.

Kegiatan pemanenan kayu di HTI yang sudah berlangsung sampai saat ini masih belum optimal. Limbah pemanenan kayu di HTI masih kurang mendapat perhatian dari pengusaha HTI karena masih kurangnya pemanfaatan dan penggunaan limbah kayu


(25)

pemanenan HTI sesuai dengan kualitas dan peruntukannya, selain itu adanya masalah biaya pengeluaran limbah menyebabkan para pengusaha mengesampingkan permasalahan limbah kayu.

Penelitian mengenai limbah kayu selama ini banyak dilakukan pada limbah kayu yang terjadi di hutan alam. Penelitian tentang limbah kayu berkaitan dengan faktor eksploitasinya di HTI belum banyak dilakukan sehingga belum banyak informasi yang tersedia mengenai limbah pemanenan pada HTI. Untuk itu, penelitian mengenai besarnya limbah kayu yang berkaitan dengan besarnya faktor eksploitasi pada pengusahaan HTI perlu dilakukan.

B. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui besarnya limbah pemanenan pada pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI Pulp).

2. Untuk mengetahui besarnya angka faktor eksploitasi yang terjadi pada Hutan Tanaman Industri (HTI Pulp).

C. Manfaat

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain adalah: 1. Dapat digunakan sebagai usaha meminimalkan limbah yang terjadi.

2. Dapat digunakan dalam upaya pemanfaatan limbah untuk berbagai keperluan. 3. Dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi pemanenannya (meningkatkan


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pengusahaan kayu dari hutan alam di Indonesia selama ini hanya bertumpu pada kayu-kayu dengan diameter besar. Dengan laju deforestasi yang tinggi tersebut jelas akan mengancam keberadaan kayu-kayu berdiameter besar dari hutan alam di Indonesia dan akan mengancam kelestarian alam (Budiaman 2001). Kondisi hutan seperti disebutkan tentu saja akan mengancam keberlangsungan industri perkayuan di Indonesia selain mengancam keberadaan hutan yang ada. Saat ini industri pengolahan kayu Indonesia sedang menghadapi berbagai masalah. Masalah yang dirasakan paling mengganggu dan harus sesegera mungkin disikapi dan dicarikan jalan keluarnya adalah semakin menipisnya cadangan sumber daya kayu, serta ketidakseimbangan antara demand dan supply hasil hutan kayu sebagai akibat dari kebijakan pengelolaan hutan dan pengembangan industri perkayuan yang tidak sinkron dimasa-masa lalu. Keseluruhan persoalan yang dihadapi oleh industri pengolahan kayu baik secara parsial maupun nasional harus dicarikan jalan terbaik agar bisa keluar dari krisis tersebut di atas. Salah satu faktor penting yang perlu dilakukan adalah efisiensi bahan baku karena selain sumberdaya hutan yang semakin langka, harga kayu yang semakin mahal, juga karena tekanan dunia internasional yang menghendaki agar seluruh produk industri perkayuan yang dihasilkan dari hutan yang dikelola secara lestari dan berkesinambungan (sustainable forest management) (Massijaya 2000).

Untuk mengatasi permasalahan akan berkurangnya kayu-kayu berdiameter besar diperlukan berbagai upaya diantaranya melalui pergeseran orientasi pemanfaatan kayu berdiameter besar ke orientasi pemanfaatan kayu berdiameter kecil, perbaikan pemanfaatan limbah pemanenan dan perubahan kebijakan serta kelembagaan pengusahaan hutan. Sumber produksi kayu bulat kecil yang potensial diharapkan berasal dari program pembangunan hutan tanaman industri (timber estate), perbaikan pemanfaatan pada hutan tanaman di Jawa, hutan rakyat (privat forest) dan limbah pemanenan (Budiaman 2001).

Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) sebagai salah satu upaya menanggulangi ketersediaan bahan baku industri perkayuan sangat besar peranannya. Peraturan Pemerintah RI No.7 tahun 1990 mengenai Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), menyatakan bahwa HTI adalah hutan tanaman yang dibangun dalam


(27)

rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan. Adapun yang dimaksud dengan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri adalah hak untuk mengusahakan hutan di dalam suatu kawasan hutan yang kegiatannya meliputi penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengelolaan dan pemasaran. Darusman (2002) menyatakan bahwa hutan tanaman memberikan peran yang penting yaitu :

a. Penurunan kapasitas produksi hutan alam dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi perlu diimbangi dengan peningkatan kapasitas produksi hutan buatan (tanaman) dalam rangka mempertahankan peranan sektor kehutanan (dan juga profesi kehutanan) dalam pembangunan nasional.

b. Penurunan pasokan bahan baku industri perkayuan dari hutan alam perlu diatasi dengan peningkatan pasokan dari hutan buatan (tanaman) dalam rangka mempertahankan pertumbuhan industri kehutanan yang sangat besar peranannya bagi perkembangan sosial ekonomi nasional.

c. Penurunan kapasitas pemeliharaan lingkungan hidup dari hutan alam perlu diimbangi dengan peningkatan peranan dari hutan buatan (tanaman).

Namun demikian, tidak ada satu pernyataan pun yang mengemukakan bahwa hutan tanaman lebih baik dari hutan alam. Hutan tanaman tetap menjadi salah satu prioritas dalam upaya pembenahan kerusakan pada hutan produksi karena dianggap lebih dikuasai dari segi manajemen, dapat diprediksi dari segi usaha dan lebih intensif dari segi ekonominya.

A. Pemanenan Hutan (Kayu)

Conway (1978) mendefinisikan pemanenan kayu sebagai suatu rangkaian kegiatan pemindahan kayu dari hutan ke tempat pengolahan melalui tahapan kegiatan pemotongan kayu (timber cutting), penyaradan (skidding or yarding), pengangkutan (transportation) dan pengujian (grading). Juta (1954) menyebutkan pemanenan hutan dengan menggunakan istilah Pemungutan Hasil Hutan, yaitu pemungutan hasil hutan berupa kayu merupakan semua tindakan yang berhubungan dengan penebangan, penggarapan batang, penyaradan, pengangkutan, penimbunan, dan penjualan hasil hutan dengan tujuan mencukupi kebutuhan konsumen akan kayu.


(28)

Pemanenan hutan dimaksudkan untuk memanfaatkan hutan dari segi ekonomi, ekologi, dan sosial. Adapun tujuan dari kegiatan pemanenan adalah memaksimalkan nilai kayu, mengoptimalkan pasokan bahan baku industri, meningkatkan kesempatan kerja dan mengembangkan ekonomi daerah.

Dengan pengertian pemanenan hutan (kayu) diatas, maka kegiatan pemanenan kayu meliputi kegiatan-kegiatan :

Penebangan

Penebangan merupakan proses mengubah pohon berdiri menjadi kayu bulat yang dapat diangkut keluar hutan untuk dimanfaatkan. Penebangan dilakukan dengan menggunakan empat prinsip yaitu meminimalkan kecelakaan, meminimalkan kerugian dan kerusakan pohon, memaksimalkan nilai produk kayu bulat dari tiap pohon dan tidak menyulitkan kegiatan selanjutnya.

Kegiatan penebangan kayu pada hutan alam dilakukan dengan menggunakan batas diameter dimana pohon-pohon yang boleh ditebang adalah pohon-pohon dengan diameter sama atau lebih besar dari 50 cm untuk hutan produksi tetap dan diatas 60 cm untuk hutan produksi terbatas. Sedangkan untuk hutan tanaman, penebangan dilakukan berdasarkan ketentuan perusahaan yang disesuaikan dengan peruntukkan kayunya.

Seringkali kegiatan penebangan diikuti dengan kegiatan pembagian batang. Pembagian batang sangat dipengaruhi oleh syarat yang diminta oleh pasar, kemungkinan penyaradan dan pengangkutan yang digunakan, kebutuhan industri pengolahan kayu dan pesanan-pesanan dari konsumen (Sukanda 1995).

Sebelum dilakukan penebangan, perlu dilakukan penentuan arah rebah yang tepat untuk mengatasi kerusakan yang mungkin akan timbul menjadi seminimal mungkin. Arah rebah yang benar akan menghasilkan kayu yang sesuai dengan yang diinginkan dan kecelakaan kerja dapat dihindari serta dapat menekan terjadinya kerusakan lingkungan.

Penyaradan

Penyaradan merupakan suatu kegiatan untuk memindahkan kayu dari tempat penebangan (petak tebang) ke tempat pengumpulan kayu sementara (TPn) yang terletak di pinggir jalan angkutan. Penyaradan merupakan tahap awal dari kegiatan


(29)

pengangkutan dimana penyaradan disebut sebagai Minor Transportation. Tujuan dari kegiatan penyaradan adalah memindahkan kayu dengan cepat dan murah.

Muat Bongkar Kayu

Pemuatan kayu merupakan kegiatan memindahkan kayu dari tanah ke atas kendaraan angkut yang dilakukan di TPn maupun Tempat Penimbunan Kayu (TPK). Sedangkan pembongkaran adalah kegiatan menurunkan kayu dari atas alat angkut ke TPK atau di industri. Dalam kegiatan pemuatan kayu diperlukan tiga prinsip yaitu cepat, ekonomis dan peralatan harus selalu siap.

Pengangkutan

Pengangkutan kayu merupakan kegiatan memindahkan log/kayu dari tempat tebangan sampai tujuan akhir yaitu TPK atau pabrik atau logpond atau logyard ataupun langsung ke konsumen. Kegiatan pengangkutan ini disebut dengan istilah Major Transportation. Menurut Elias (1988) bahwa makin besar kayu maka akan semakin pendek waktu penanganannya per satuan volume dan makin pendek waktu angkutan. Kayu akan turun kualitasnya jika dibiarkan terlalu lama di dalam hutan. Menurut Juta (1954) terdapat beberapa faktor yang perlu diketahui untuk merencanakan sistem pengangkutan yang baik dan meminimumkan biaya pengangkutan yaitu:

1. Bentuk dan keadaan lapangan (topografi) yang akan mempengaruhi dalam pemilihan cara dan alat pengangkutan yang digunakan.

2. Keadaan iklim, kegiatan pengangkutan akan berjalan lancar jika dilakukan pada iklim atau musim kemarau.

3. Susunan hutan di daerah yang bersangkutan, pemilihan sistem pengangkutan disesuaikan dengan jenis kayu yang akan dikeluarkan.

4. Jalan angkutan yang ada di dalam dan di luar hutan. 5. Letak industri perkayuan.

6. Ukuran dan beratnya kayu yang diminta, berhubungan dengan kapasitas alat angkut.

7. Ketersediaan tenaga kerja.

8. Cara pengangkutan yang paling baru, yang baru dan lama. 9. Keadaan setempat.


(30)

B. Limbah Pemanenan Kayu

Kegiatan pemanenan hutan baik secara sadar ataupun tidak sadar akan memberikan dampak negatif dari aspek ekologis, ekonomis maupun sosial. Secara ekonomis dan ekologis, pemanenan hutan terutama di hutan alam menyebabkan lima dampak terbesar yaitu berupa keterbukaan areal, kerusakan tegakan tinggal, pemadatan tanah, erosi dan limbah pemanenan, sedangkan kegiatan pemanenan hutan pada hutan tanaman dampak yang ditimbulkan berupa pemadatan tanah, erosi dan limbah pemanenan.

1. Pengertian

Menurut Direktorat Jenderal Kehutanan (1973) Waste atau wood waste diartikan sebagai sisa-sisa atau bagian-bagian kayu yang dianggap tidak bernilai ekonomis lagi dalam suatu proses tertentu, pada waktu dan tempat tertentu, namun mungkin masih dapat dimanfaatkan pada proses yang berbeda, pada waktu dan tempat yang berbeda pula. Menurut Sastrodimedjo dan Sampe (1980), limbah pemanenan adalah bagian pohon yang seharusnya dapat dimanfaatkan akan tetapi karena berbagai sebab terpaksa ditinggalkan di hutan.

Limbah pemanenan kayu adalah bagian dari pohon yang ditebang yang tidak dimanfaatkan karena adanya cacat dan rusak berdiameter kecil serta panjang tidak memenuhi syarat untuk tujuan penggunaan tertentu, termasuk juga bagian pohon pada tegakan tinggal yang menjadi rusak karena kegiatan penebangan, penyaradan dan pembuatan jalan hutan.

Limbah pembalakan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.59 tahun 1998 (Sasmita 2003) adalah kayu yang tidak atau belum dimanfaatkan pada kegiatan yang berasal dari pohon yang boleh ditebang berupa sisa pembagian batang, tunggak, ranting, pucuk yang mempunyai ukuran diameter kurang dari 30 cm atau panjang kurang dari 1.30 m. Matangaran, et al (2000) menyatakan bahwa limbah pemanenan merupakan limbah mekanis yang terjadi akibat kegiatan pemanenan kayu, selain itu terdapat pula limbah alami (defect) yang terjadi karena bagian kayu secara alami tidak memenuhi persyaratan yang diinginkan.

2. Klasifikasi Limbah Pemanenan

Berdasarkan pengerjaan kayunya (wood processing), limbah kayu dapat dibedakan menjadi Logging waste yaitu limbah akibat kegiatan pemanenan dan Processing wood


(31)

waste, yaitu limbah yang diakibatkan oleh kegiatan industri kayu seperti pada pabrik

penggergajian, mebel dan lain-lain (Direktorat Jenderal Kehutanan 1973). Berdasarkan tempat terjadinya limbah dapat dibedakan menjadi (Sastrodimedjo

dan Sampe 1978) :

a. Limbah yang terjadi di areal tebangan (Cutting Area), limbah tebangan ini dapat berupa kelebihan tunggak dari yang diijinkan, bagian batang dari pohon yang rusak, cacat, potongan-potongan akibat pembagian batang dan sisa cabang dan ranting.

b. Limbah yang terjadi di Tempat Pengumpulan Kayu (TPn), batang-batang yang tidak memenuhi syarat baik kualitas maupun ukurannya.

c. Limbah yang terjadi di Tempat Penimbunan Kayu (TPK), umumnya terjadi karena penolakan oleh pembeli karena log sudah terlalu lama disimpan sehingga busuk, pecah dan terserang jamur.

Hidayat (2000) menggolongkan limbah berdasarkan: a. Bentuknya

1. Berupa pohon hidup yang bernilai komersial namun tidak dipanen meskipun dari segi teknis memungkinkan.

2. Berupa bagian batang bebas cabang yang terbuang akibat berbagai faktor, seperti teknis, fisik, biologis dll.

3. Berupa sisa bagian pohon yakni dahan,.ranting maupun tunggak. 4. Berupa sisa produksi atau akibat proses produksi.

b. Pengerjaan (processing) kayunya

1. Logging waste, yakni limbah akibat kegiatan eksploitasi yang dapat berupa kayu-kayu yang tertinggal di hutan, di tempat pengumpulan atau penimbunan. 2. Processing wood waste, yaitu limbah yang diakibatkan oleh kegiatan industri

kayu, seperti pada pabrik penggergajian, plywood dll. c. Tempat terjadinya

1. Limbah yang terjadi di tempat penebangan (cutting area). 2. Limbah yang terjadi di tempat pengumpulan kayu.


(32)

Soewito (1980) mengemukakan bahwa limbah kayu akibat pemanenan di areal tebangan berasal dari dua sumber yaitu bagian dari pohon yang ditebang yang seharusnya dapat dimanfaatkan tetapi tidak diambil dan berasal dari tegakan tinggal yang rusak akibat dilakukannya kegiatan pemanenan kayu. Limbah dari pohon ditebang terjadi karena pengusaha hanya mengambil bagian kayu yang dianggap terbaik saja sesuai dengan persyaratan ukuran dan kualita.

3. Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Limbah

Menurut Lembaga Penelitian Hasil Hutan (1980) dalam Rishadi (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya limbah eksploitasi hutan adalah :

1. Teknik dan peralatan eksploitasi yang kurang tepat. 2. Manajemen pengusahaan hutan yang masih lemah.

3. Kesadaran dan keterampilan pelaksana yang masih perlu ditingkatkan dalam semua proses yang berhubungan dengan kegiatan pengusahaan hutan.

4. Pengawasan yang masih perlu ditingkatkan.

Menurut Sastrodimedjo dan Sampe (1978) menyatakan bahwa limbah eksploitasi dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:

1. Topografi berkaitan dengan kemungkinan dapat atau tidaknya kayu untuk ditebang dan dimanfaatkan, kesulitan dalam mengeluarkan kayu sehingga ditinggal dan tidak dimanfaatkan.

2. Musim berpengaruh terhadap keretakan batang-batang yang baru ditebang, pada musim kemarau kayu akan lebih mudah pecah karena udara kering.

3. Peralatan, pemilihan macam dan kapasitas alat yang keliru dapat mengakibatkan tidak seluruh kayu dapat dimanfaatkan dan terpaksa sebagian ditinggal.

4. Cara kerja, penguasaan teknik kerja yang baik akan mempengaruhi volume limbah yang terjadi.

5. Sistem upah, sistem upah yang menarik akan memberikan perangsang yang baik terhadap para pekerja sehingga yang bersangkutan mau melaksanakan sesuai yang diharapkan.

6. Organisasi kerja, kurangnya sinkronisasi antara kegiatan yang satu dengan kegiatan yang lain dapat menyebabkan tidak lancarnya kegiatan bahkan dapat


(33)

ditinggal dan tidak sampainya kayu ke tempat yang dituju pada waktu yang telah ditentukan, menyebabkan menurunnya kualitas kayu.

7. Permintaan pasaran, adanya syarat-syarat tertentu yang ditentukan oleh pasar.

4. Potensi Limbah Pemanenan

Berbagai upaya telah dilakukan agar proses pendayagunaan sumberdaya hutan dapat memberikan manfaat maksimum dengan sedikit mungkin menimbulkan pemborosan kayu dan kerusakan lingkungan. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kegiatan pemanenan cenderung bersifat ekstensif. Cara pendayagunaan sumberdaya hutan menimbulkan terjadinya limbah cukup besar sehingga tingkat pemanfaatan kayu menjadi jauh lebih rendah dari potensi yang sebenarnya (Idris & Sona 1996). Menurut Idris dan Sona (1996), rata-rata limbah yang berasal dari pohon roboh akibat pembuatan jaringan jalan dan tebang bayang untuk jenis niagawi sebesar 1,16 m3/Ha dan untuk jenis bukan niagawi sebesar 2,76 m3/Ha.

Beberapa hasil penelitian mengenai limbah pemanenan pada pengusahaan hutan alam dan hutan tanaman disajikan dalam tabel di bawah ini.

Tabel 1. Hasil penelitian potensi limbah pada beberapa pengusahaan hutan alam dan hutan tanaman industri di Indonesia

Pengusahaan Lokasi; peneliti; tahun Potensi limbah

23 HPH di 9 propinsi

Simarmata&Sastrodimedjo 1980

23,6%

Kalsel Sugiri 1981

51%

Kaltim

Widiananto 1981

39,9%

Pulau Laut, Kalsel Sianturi 1982

20,4%

PT Medang Kerang Jaya, Kalbar Thaib 1990

1,55m3/pohon Hutan Alam

8 areal HPH di Kalteng dan Kalsel Dulsalam 1990

5,61m3/pohon untuk teknik penebangan konvensional 4,51m3/pohon untuk teknik penebangan serendah mungkin


(34)

PT Austral Byna Muara Teweh, Kalteng Butarbutar 1991

114,304m3/Ha

PT Narkata Rimba, Kaltim Sukanda 1995

86,46m3/Ha

PT Suka Jaya Makmur, Kalbar Muhdi 2001

13,704m3/Ha untuk teknik penebangan konvensional 11,059m3/Ha untuk teknik penebangan berdampak rendah

HPH PT Sumalindo Lestari Jaya II Sasmita 2003

3,80% (26,28m3/Ha )

Kalsel Hidayat 2000

17,6%

HPHTI Kayu Pertukangan BKPH Cikeusik, KPH Banten

Gustian 2004

16,8% (60,12m3/Ha) Hutan Tanaman

Industri

HPHTI Kayu Pertukangan BKPH Gunung Kencana, KPH Banten

Safitri 2004

21%

Tabel 1. (Lanjutan)

PT INHUTANI II, Pulau Laut, Kalsel Rawenda 2004

10,583% (27,456m3/Ha)

PT INHUTANI II, Pulau Laut, Kalsel Kartika 2004

23,268% Hutan Tanaman

Industri

HPHTI PT Musi Hutan Persada, Sumsel Rishadi 2004

29,32m3/Ha

5. Pemanfaatan Limbah Pemanenan

Melihat besarnya potensi limbah yang terjadi dan masih ditinggalkan di dalam hutan, maka diperlukan berbagai usaha untuk pemanfaatannya. Semakin berkembangnya ilmu dan teknologi rekayasa kayu memberi dampak positif bagi alternatif pemanfaatan limbah. Pemanfaatan limbah semakin terbuka lebar dan biomassa kayu dapat dimanfaatkan secara lebih maksimal. Matangaran, et al (2000) menggambarkan kemungkinan pemanfaatan limbah sebagai berikut:


(35)

Gambar 1. Skema kemungkinan pemanfaatan limbah (Sumber : Matangaran, et al 2000). C. Klasifikasi Bahan Baku Serpih

PT. MHP merupakan pemasok utama bahan baku pulp bagi PT. Tanjung Enim Lestari (PT. TEL). Kayu yang diangkut harus sesuai dengan standar/spesifikasi yang telah disepakati antara PT. TEL dan PT. MHP, adapun standar tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 2. Spesifikasi bahan baku serpih PT. Tanjung Enim Lestari dan PT. Musi Hutan Persada

Kriteria Keterangan

Jenis Acacia mangium, tidak boleh tercampur

satu batang atau lebih jenis kayu lain. Panjang kayu 2.2 - 3.0 meter, tidak boleh melebihi 3.0

meter dan tidak boleh kurang dari 2.2 meter.

Diameter kayu 8 – 60 cm (termasuk kulit), jika

terdapat dalam muatan kayu dengan diameter < 8cm atau > 60cm tidak boleh lebih dari 4 batang per alat

Pemanfaatan Limbah Bahan Bakar Potongan Pendek Papan Sambung Bangunan Perabotan Kemasan Pulp Kulit - Filter - Mulch Particleboard Moulded Prod

Chips - Lignin Perekat - Extender Produk Sulingan - Asam-asam - Alkohol - Aseton - Arang - Terpentin Cetakan Bangunan Perabotan Kertas Fiberboard Bangunan Perabot Kemasan


(36)

angkut.

Tidak tercampur lumpur, batu, plastik, rumput, besi, minyak,dll.

0% kayu terbakar.

0% kayu busuk atau lapuk. Kontaminasi

Kayu cabang tidak boleh lebih dari 3 batang per alat angkut.

Sumber: PT. Musi Hutan Persada, PT. Tanjung Enim Lestari (2005).

D. Faktor Eksploitasi

Faktor Eksploitasi (f.e) merupakan perbandingan antara banyaknya produksi kayu yang dihasilkan dari suatu areal hutan dengan potensi standing stock-nya yaitu sebesar 0.7 dan dimasukkan dalam penentuan target produksi (Matangaran, et al 2000). Sianturi (1982) mendefinisikan bahwa faktor eksploitasi adalah suatu indeks yang menunjukkan persentase volume pohon yang dimanfaatkan dari volume batang bebas cabang yang ditebang. Bagian dari pohon bebas cabang yang tidak dimanfaatkan disebut limbah, oleh karena itu persentase volume pohon yang dimanfaatkan ditambah persentase limbah sama dengan 100% atau faktor eksploitasi sama dengan 100% dikurangi persentase limbah. Makin besar faktor eksploitasi makin besar target produksi tahunan.

Faktor eksploitasi dapat juga dipakai untuk memperkirakan realisasi dari produksi kayu dari suatu areal hutan. Dengan perkiraan ini dapat ditaksirkan besarnya royaltis yang harus dibayar dari areal hutan tersebut. Dengan cara penetapan yang demikian maka kayu yang dimanfaatkan akan meningkat, yaitu dalam memanfaatkan kayu limbah yang selama ini umumnya ditinggalkan di hutan untuk menghindari royalti dari kayu tersebut (Sianturi 1982).

Besarnya faktor eksploitasi dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Idris dan Wesman (1995) menyatakan bahwa tinggi rendahnya faktor eksploitasi dipengaruhi oleh :

1. Faktor non teknis, terdiri dari keadaan lapang, sifat kayu, cacat kayu, penyebaran, kerapatan tegakan dan situasi pemasaran.


(37)

a. Pengorganisasian dan koordinasi antara penebang, penyarad dan juru ukur, perencana hutan, peralatan pengangkutan log, kemampuan memproses dan memanfaatkan kayu di industri, keterampilan penebang dan penyarad, pengawasan aparat dan petugas perusahaan, penetapan kualitas, kondisi jalan angkutan.

b. Kebijakan perusahaan dan tujuan pemasaran.

c. Kebijakan pemerintah dan aturan-aturan ke industri dan pemukiman masyarakat setempat.

Budiningsih (1997) menyatakan bahwa besarnya faktor eksploitasi berbeda untuk berbagai tingkat kerapatan tegakan dan topografi. Faktor eksploitasi pada hutan berkerapatan rendah dengan topografi ringan berkisar antara 0,82 – 1,00 dengan rata-rata 0,91. Untuk hutan berkerapatan rendah dengan topografi berat faktor eksploitasi berkisar antara 0,84 – 0,94 dengan rata-rata 0,90. Sedangkan faktor eksploitasi untuk hutan berkerapatan tinggi dan topografi ringan berkisar antara 0,79 – 1,00 dengan rata-rata 0,90 dan untuk hutan berkerapatan tinggi dengan topografi berat faktor eksploitasinya berkisar antara 0,79 – 1,00 dengan rata-rata 0,87. Secara garis besar faktor eksploitasi dipengaruhi oleh kondisi medan dan tegakan, teknik eksploitasi, orientasi pemanfaatan kayu, dan jenis kayu. Pada hakekatnya faktor eksploitasi sangat erat kaitannya dengan limbah eksploitasi. Semakin besar limbah eksploitasi yang terjadi maka akan semakin kecil tingkat eksploitasi yang didapat dan semakin kecil limbah eksploitasi yang terjadi akan semakin besar faktor eksploitasi pemanenan hutan (Dulsalam 1995 ).

Pada Hutan Tanaman Industri, tingkat efisiensi pemanfaatan kayu sedemikian tinggi (Matangaran, et al 2000). Tingkat pemanfaatan kayu pada pengusahaan hutan tanaman adalah sebesar 0,75 (PT. Musi Hutan Persada). Keseragaman ukuran dan jenis kayu memberikan kemudahan dalam penanganan kayu. Beberapa pihak menyatakan bahwa persentase limbah pembalakan di HPHTI dapat mencapai 0% (Matangaran, et al 2000).


(38)

III. METODOLOGI

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di areal hutan HPHTI PT. Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan, pada Bulan Juli 2005 sampai dengan Agustus 2005.

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : pita ukur (meteran), pita diameter (phiband), alat tulis, tally sheet, kamera, dan kalkulator. Adapun yang menjadi bahan penelitian adalah tunggak dan batang kayu Acacia mangium.

C. Metode Penelitian 1. Batasan Masalah

Limbah adalah sisa-sisa atau bagian-bagian kayu yang dianggap tidak bernilai ekonomis lagi dalam suatu proses tertentu, pada waktu dan tempat tertentu, namun mungkin masih dapat dimanfaatkan pada proses yang berbeda, pada waktu dan tempat yang berbeda pula. Berdasarkan pengerjaan kayunya (wood processing), limbah kayu dapat dibedakan menjadi logging waste yaitu limbah akibat kegiatan pemanenan dan processing wood waste, yaitu limbah yang diakibatkan kegiatan industri kayu seperti pada pabrik penggergajian, mebel dan lain-lain (Direktorat Jenderal Kehutanan 1973). Limbah pemanenan berdasarkan lokasi ditemukannya dapat dibagi menjadi limbah pada tempat tebangan, limbah sepanjang jalan sarad dan jalan angkutan serta limbah pada

TPn dan TPK. Batasan limbah yang menjadi obyek penelitian ini adalah limbah pada kegiatan

pemanenan hutan, yaitu yang meliputi kegiatan penebangan, penyaradan dan pengangkutan. Perhitungan volume limbah kayu yang terjadi di HTI Pulp dilakukan di petak tebang, jalan sarad, TPn dan jalan angkutan. Limbah yang dimaksud adalah semua sortimen yang berdiameter diatas 8 cm dengan panjang < 2,5 m dan kelebihan tunggak dari batas yang diperkenankan ( tinggi tunggak > 10 cm). Cabang dan ranting tidak termasuk dalam perhitungan limbah kayu.


(39)

2. Metode Penelitian

a. Metode Pengambilan Contoh

Penentuan petak contoh dilakukan dengan metode purposive yaitu mengikuti kegiatan yang sedang berlangsung di lapangan. Petak contoh yang dipilih adalah dua petak tebang. Petak tebang yang dimaksud adalah setting tebang yang selanjutnya disebut sebagai petak contoh. Pengukuran limbah pemanenan pada kegiatan penebangan dan penyaradan dilakukan pada petak contoh terpilih, sedangkan untuk pengukuran limbah TPn dan limbah pengangkutan diambil dari petak yang berlainan karena sortimen baru akan diangkut dari TPn ke TPK setelah ±4 bulan.

Petak contoh terpilih untuk perhitungan limbah penebangan dan limbah penyaradan adalah petak contoh dengan luas 12,61 Ha dan 16,33 Ha. Seluruh tunggak dan sortimen dengan diameter < 8 cm, panjang < 2,5 m dihitung. Adapun kondisi petak contoh penelitian disajikan pada Tabel 3, 4 dan 5 dibawah ini.

Tabel 3. Data petak contoh penelitian untuk kegiatan penebangan dan penyaradan

Keterangan Petak A Petak B

No Setting No Petak Blok Luas (Ha) Tahun Tanam Jarak Tanam (m) Jumlah Pohon/Ha Tinggi Rata-rata (m) Dbh Rata-rata (cm) Angka Bentuk Periode Tebang Volume / Ha (m3/ha) Volume Total (m3)

26 18 Teras 12.61 1997/1998

3 x 4 833 16 21 0,45 Agustus 2005 207,63 2618,21 30 20 Teras 16.33 1997/1998

3 x 4 833 16 21 0,45 Agustus 2005 207,63 3390,60

Sumber: PT. Musi Hutan Persada (2005), Suwarna (2001)

Tabel 4. Data petak contoh penelitian untuk kegiatan pemuatan


(40)

Kav B Kav D Kav E Kav J Kav A Kav B Kav C Kav D No Setting 94 94 94 94 04 04 04 04 Luas

Setting(Ha)

25,51 25,51 25,51 25,51 12,22 12,22 12,22 12,22 Blok Selibing Selibing Selibing Selibing Penyem

bangan Penyem bangan Penyem bangan Penyem bangan Luas (m2) 21,3 10,5 6,5 14,9 6,5 12,5 12 4,6 Periode

Tebang

Juni ‘05 Juni ‘05 Juni ‘05 Juni ‘05 Maret ‘05 Maret ‘05 Maret ‘05 Maret ‘05 Periode Tumpuk

Juli ‘05 Juni ‘05 Juli ‘05 Juli ‘05 April ‘05 April ‘05 April ‘05 April ‘05 Periode Muat Agustus ‘05 Agustus ‘05 Agustus ‘05 Agustus ‘05 Agustus ‘05 Agustus ‘05 Agustus ‘05 Agustus ‘05 Volume

(m3)

455,35 189,75 106,89 292,63 119,61 206,67 205,90 65,71 Sumber : PT. Musi Hutan Persada (2005)

Tabel 5. Data contoh penelitian untuk kegiatan pengangkutan

TPN X TPN Y

Keterangan

Alat angkut 1 Alat angkut 2 Alat angkut 1 Alat angkut 2

Kavling/Setting F/04 F/04 E/03 E/03

Luas Setting(Ha) 12,22 12,22 17,34 17,34

Blok Penyembangan Penyembangan Penyembangan Penyembangan

Volume Kavling (m3)

69,06 69,06 8,64 8,64

No Polisi BG8071D BK9279BJ BK9281BJ BE4074BA

Volume Alat Angkut (m3)

25,20 24,60 22,40 27,30

Sumber : PT. Musi Hutan Persada (2005)

b. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data pokok yang diperoleh dengan cara pengamatan langsung di lapangan. Adapun data primer yang dikumpulkan meliputi :

1. Data volume limbah yang terdiri dari :

a. Limbah penebangan yang meliputi limbah tunggak yaitu tinggi tunggak yang melebihi batas yang diperkenankan (> 10 cm). Dimensi yang diukur adalah diameter pangkal, diameter ujung serta tinggi kelebihan tunggak. Limbah batang kayu yang meliputi kayu berdiameter > 8 cm yang berserakan di petak tebang, kayu di luar tumpukan, kayu rusak (retak, pecah atau terbelah), serta kayu yang jatuh ke jurang. Dimensi yang diukur adalah diameter pangkal,


(41)

diameter ujung serta panjang sortimen. Untuk kayu yang jatuh ke jurang, perhitungannya menggunakan asumsi perusahaan yaitu bahwa suatu sortimen batang kayu dengan panjang 2,5 m dan diameter rata-rata 14 cm memiliki volume sebesar 0,04m3 (Rishadi 2004). Dengan demikian volume kayu yang jatuh ke jurang diukur dengan menghitung banyaknya kayu yang jatuh ke jurang.

c. Limbah penyaradan yaitu limbah yang terjadi akibat kegiatan penyaradan (memindahkan kayu dari petak tebang ke TPn), terdiri dari batang (sortimen) yang berserakan pada jalur sarad yang dihitung dengan menggunakan asumsi perusahaan dan sortimen yang masih berada di tumpukan akan tetapi tidak ikut disarad ke TPn. Dimensi yang diukur adalah diameter pangkal, diameter ujung serta panjang sortimen.

d. Limbah TPn yaitu limbah yang terjadi di TPn akibat dari kegiatan pemuatan kayu ke alat angkut. Teknis pengukuran menggunakan asumsi perusahaan dengan menghitung jumlah sortimen kayu yang ditinggalkan di TPn setelah kegiatan pemuatan.

e. Limbah pengangkutan yaitu limbah yang terjadi akibat kegiatan pengangkutan berupa sortimen yang jatuh di sepanjang jalan angkutan. Teknis pengukurannya dengan menghitung volume sortimen pada alat angkut sebelum alat angkut berangkat menuju TPK dan menghimpun data volume sortimen yang sampai di TPK dengan alat angkut yang sama dari TPn asal.

2. Data untuk penentuan faktor eksploitasi diperoleh dari data volume pohon berdiri yang dapat dimanfaatkan, serta data volume sortimen yang sampai di TPK (siap dimanfaatkan oleh konsumen).

Data sekunder merupakan data tambahan yang diperoleh untuk mendukung penelitian yang diperoleh melalui wawancara dan atau pengutipan data dari perusahaan. Data sekunder yang dimaksud terdiri dari :

1. Data volume pohon berdiri (standing stock volume) 2. Kondisi umum lokasi penelitian

3. Luas dan letak petak tebang

4. Potensi hutan (laporan hasil cruising) 5. Sistem pemanenan kayu yang digunakan


(42)

6. Kebijakan bagi batang yang diberlakukan 7. Sistem pengujian kayu

Pengukuran limbah penebangan dan limbah penyaradan dilakukan pada petak tebang yang telah dipilih. Pengukuran limbah tunggak penebangan dilakukan dengan mengukur seluruh kelebihan tunggak dengan mengikuti regu tebang yang bekerja pada petak tebang tersebut, pengukuran limbah batang dilakukan setelah batang yang dimanfaatkan ditumpuk ke jalur tumpukan. Pengukuran limbah penyaradan dimulai setelah sortimen-sortimen di jalur tumpukan selesai dimuat ke alat sarad yaitu dengan menghitung banyaknya sortimen yang tidak dimuat ke alat sarad dan sortimen-sortimen yang jatuh pada jalur sarad selama perjalanan menuju TPn.

Pengukuran limbah TPn dan limbah pengangkutan dilakukan dari petak tebang yang lain hal ini dikarenakan oleh waktu tunggu dari kegiatan penyaradan ke pengangkutan cukup lama yaitu ± 4 bulan, sehingga untuk limbah TPn dan limbah pengangkutan dipilih dari TPn yang siap angkut. Pengukuran limbah TPn dilakukan dengan menghitung volume sortimen sebelum pemuatan ke alat angkut dan menghitung jumlah sortimen yang tidak terangkut dan ditinggalkan di TPn, yang kemudian dikonversi berdasarkan asumsi perusahaan. Limbah pengangkutan ditentukan dengan contoh pengangkutan ke TPK (PT. TEL) dari TPn yaitu dengan mengukur dan menghitung volume (kapasitas) angkut dari alat angkut contoh sebelum berangkat menuju TPK dan kemudian menghimpun data mengenai volume yang sampai di TPK dari TPn asal dan dari alat angkut contoh tersebut. Besarnya volume limbah pengangkutan dihitung dari selisih antara volume alat angkut contoh sebelum menuju TPK dan volume alat angkut setelah ditimbang di TPK. Data limbah TPn dan limbah pengangkutan ini dilakukan dengan mengambil dua lokasi TPn, untuk limbah TPn diambil dari 4 kavling untuk tiap TPn dan untuk limbah pengangkutan 1 kavling untuk 1 TPn dengan 2 contoh alat angkut. Pengambilan contoh ini disesuaikan dengan kegiatan yang sedang berlangsung di lapangan, dimana tidak semua sortimen dari satu kavling dilakukan pengangkutan menuju TPK (PT.TEL).

b. Bagan Alir Pengambilan Data Penentuan Petak Contoh

Dua petak tebang

Volume Pohon Berdiri (100%)


(43)

Gambar 2. Bagan alir pengambilan data.

b. Analisis Data

1. Penentuan Volume Limbah

Setelah kegiatan penebangan, dilakukan pengukuran tunggak serta batang/sortimen yang tidak dipindahkan ke tumpukan sortimen dan perhitungannya

Pengukuran Limbah di Petak Tebang - Kelebihan tunggak - Kayu Diameter

>8cm, panjang < 2,5m

% limbah penebangan

Pengukuran Limbah Penyaradan

- Sortimen yang tidak tersarad pada tumpukan - Sortimen di sepanjang

jalan sarad

% limbah penyaradan

Pengukuran Limbah Pengangkutan - Selisih volume (kapasitas) alat angkut sebelum menuju TPK dan setelah sampai di

TPK

%limbah pengangkutan

% limbah total

Faktor Eksploitasi Limbah TPn

Sortimen tidak dimuat ke alat angkut


(44)

yang akan digunakan sebagai volume kayu limbah (Vl). Pengukuran komponen-komponen volume batang kayu dengan menggunakan rumus empiris Brereton, yaitu :

= = n i Vi Vl 1

(

)

P Du Dp V 2 100 2 1 4 1         + = π

Dimana : V = Volume limbah (m3)

Vi = Volume sortimen ke-i (i=1,2,3,…) Dp = Diameter pangkal sortimen (cm) Du = Diameter ujung sorrtimen (cm) P = Panjang sortimen (m)

ð = Konstanta (3,14)

Penentuan volume limbah pemanenan dilakukan dengan tiga cara yaitu dengan : 1. Menggunakan rumus empiris Brereton pada pengukuran limbah tunggak,

sortimen kayu diameter > 8 cm, dan kayu rusak.

2. Menggunakan asumsi perusahaan bahwa panjang sortimen kayu 2,5 m dengan diameter rata-rata 14 cm maka volume tiap sortimen batang sebesar 0,04 m3. Potensi limbah yang diukur dengan asumsi ini terdiri atas limbah kayu yang jatuh ke jurang dan limbah pengangkutan. Sehingga limbah yang terjadi adalah perhitungan jumlah sortimen kayu dikalikan dengan volume sortimen yaitu 0,04m3 ( Rishadi 2004).

3. Menggunakan konversi dari ton ke m3, dimana 1 m3 = 0,866 ton (PT. Musi Hutan Persada)

2. Penentuan Prosentase Potensi Limbah Pemanenan

Besarnya limbah pemanenan kayu pulp diukur dengan menjumlahkan semua komponen kayu yang menjadi limbah, yaitu kayu yang berdiameter > 8 cm yang tidak terpakai atau tidak terangkut ke perusahaan pengolahan kayu. Potensi limbah pemanenan adalah perbandingan antara volume total limbah yang terjadi dengan potensi total kayu yang dipanen. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut :


(45)

0 0 100 0 0 X P L L L + =

Dimana : L = Volume limbah total (m3)

P = Volume kayu yang dimanfaatkan (m3) L + P = Vp

3. Penentuan Besarnya Faktor Eksploitasi

Faktor eksploitasi ditentukan melalui pendekatan indeks tebang, indeks sarad, dan indeks tebang (Abidin 1994) serta melalui pendekatan prosentase limbah. Secara matematis adalah sebagai berikut:

1. Fe = 100 % - %limbah total

2. Fe=indekstebang xindekssarad xindeksangkut

asal berdiri pohon vol sarad siap btng vol tebang indeks . . = sarad siap btng vol angkut siap btng vol sarad indeks . . = angkut siap btng vol TPK sampai btng vol angkut indeks . . =


(46)

V. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

PT. Musi Hutan Persada merupakan perusahaan patungan antara PT.Inhutani V (BUMN) dan PT. Enim Musi Lestari (Barito Pasific Group) yang berusaha dalam bidang pengusahaan hutan dan pemegang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri yang bertujuan sebagai pemasok bahan baku industri pulp PT. Tanjung Enim Lestari.

PT. Musi Hutan Persada berdiri dengan pengajuan proposal tentang “Permohonan pembangunan HTI untuk mendukung industri pulp di Sumatera Selatan” oleh Barito Pasific Group (BPG) kepada Menteri Kehutanan pada 8 September 1989. Setelah melalui tahap ijin percobaan penanaman seluas 50.000 Ha, pada tanggal 29 Januari 1996 Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan Tetap pemberian HPHTI PT. Musi Hutan Persada No. 038/Kpts-II/96 dengan areal kerja seluas 296.400 Ha.

A. Aspek Sumber Daya Hutan 1. Luas dan Letak

Sesuai dengan SK Menhut No. 038/Kpts-II/96, luas areal kerja PT.MHP adalah 296.400 Ha, yang dibagi menjadi 3 (tiga) Kelompok Wilayah Hutan (KWH). Luas serta letak geografis dari ketiga KWH tersebut adalah:

Tabel 6. Luas dan letak geografis Kelompok Wilayah Hutan PT. MHP

Luas (Ha) Kelompok Wilayah

Hutan (KWH) Luas Bruto Luas Efektif

Letak Geografis

KWH Suban Jeriji

KWH Benakat KWH

Martapura/Lematang

87.354

198.741

10.305

60.092

127.327

6.081

103050’-104015’ BT, 3030’-4000’ LS

103010’ – 104000’ BT, 3000’ -3040’ LS

104015’ – 104030’ BT, 4050’ -4020’ LS

TOTAL 296.400 193.500 Sumber: PT. Musi Hutan Persada

Secara administratif pemerintahan, PT. MHP berada dibawah pemerintahan 4 (empat) wilayah kabupaten dan 10 (sepuluh) wilayah kecamatan di Propinsi Sumatera Selatan yaitu Kabupaten Lahat (Kecamatan Kota Agung,Kikim), Kabupaten Ogan Komering Ulu (Kecamatan Martapura, Kecamatan Peninjauan), Kabupaten Muara Enim


(47)

(Kecamatan Tanjung Agung, Rambang Dangku, Rambang Lubai, Muara Enim Gunung Megang, dan Talang Ubi), Kabupaten Musi Rawas (Kecamatan Rupit).

Administrasi kehutanan PT. MHP berada pada wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH)/Cabang Dinas Kehutanan (CDK) Lahat, CDK Musi Ilir, CDK Ogan Komering Ulu, CDK Muara Enim serta CDK Musi Rawas, Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Selatan.

2. Kondisi Sumber Daya Hutan

Berpegang pada konsep “Lestari Hutanku”, PT.MHP membagi areal hutannya menjadi beberapa bagian sesuai dengan peruntukannya yaitu:

Tabel 7. Tata ruang areal hutan PT. MHP berdasarkan konsep “Lestari Hutanku”.

No Peruntukan Lahan Luas (Ha) Total (%) 1

2

3 4 5

Luas Tanaman HTI Kawasan Lindung

a. Sempadan Sungai b. Hutan Konservasi Sarana dan Prasarana

Tanaman Kehidupan Tanaman Unggulan Lokal

193.500 6.76 80.374 9.150 4.300 3.000 65.30 2.10 27.10 3.10 1.40 1.00 Jumlah Total 296.400 100.0 Sumber: PT. Musi Hutan Persada

B. Aspek Ekologis

1. Kondisi Topografi dan Hidrologi

HPHTI PT. Musi Hutan Persada berada pada areal dengan ketinggian tempat 10 – 400 m dpl dengan rata-rata 200 m dpl dan berada pada 3 (tiga) tingkat kelerengan yaitu kelerengan 0 – 8% (datar) seluas 53.264 Ha, kelerengan 8 – 15% (landai) seluas 232.841 Ha dan kelerengan 15 – 25% (agak curam) seluas 10.295 Ha (PT. MHP). Areal kerja PT.MHP juga berada pada 5 (lima) Daerah Aliran Sungai (DAS/SubDAS) yaitu Musi/Lakitan, Rawas, Semangus, Lematang , Ogan dan Komering (PT. MHP).

2. Kondisi Tanah

Wilayah kerja HPHTI PT.MHP secara umum memiliki jenis tanah Alluvial, Latosol, Podsolik dan Asosiasi Latosol. Bertekstur liat, halus dengan tingkat kesuburan


(48)

rendah, tanah lapisan atas (top soil) sebagai lapisan organik sangat tipis dengan permeabilitas yang kurang baik dan kedalaman 60 – 90 cm (Rishadi 2004). Kelompok Wilayah Hutan (KWH) Benakat didominasi oleh jenis tanah Asosiasi Podsolik Merah Kuning (PMK), sedangkan KWH Suban Jeriji didominasi oleh tanah jenis Asosiasi Podsolik Coklat Kekuningan dan Podsolik Coklat (Rishadi 2004).

3. Kondisi Vegetasi

PT. MHP mempunyai areal seluas 296.400 Ha yang terdiri dari hutan tanaman jenis Acacia mangium seluas 193.500 Ha (65%), hutan alam jenis Dipterocarpaceae seluas 86.450 Ha (29%) yang diantaranya diperuntukan sebagai kawasan konservasi sekitar 22 – 24%, serta rawa-rawa seluas 16.450 Ha (6%) (Rishadi 2004).

Sebelum dikonversi dan ditanami dengan jenis akasia areal PT.MHP ini berupa padang alang-alang seluas 70.563 Ha (26,47%), belukar seluas 59.891 Ha (30,95%) serta lahan tidak produktif seluas 63.046 Ha (32,58%) (PT. MHP).

4. Kondisi Iklim

Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, sebagian besar areal HPHTI PT. MHP memiliki iklim tipe A dengan curah hujan rata-rata tahunan berkisar 2.082 mm dan rata-rata bulanan 173,5 mm (PT. MHP 2004). Hari hujan rata-rata tahunan 142 hari dan rata-rata bulanan 12 hari dengan curah hujan tertinggi pada bulan Desember sampai dengan Maret dan curah hujan terendah pada bulan Juni (PT. MHP). 5. Perubahan Aspek Ekologi

Pengkonversian lahan kritis serta padang alang-alang menjadi hutan tanaman akasia memberikan dampak/perubahan bagi kondisi ekologi wilayah kerja PT. MHP. Adapun perubahan aspek ekologi tersebut antara lain (PT. MHP):

1. Terbangunnya hutan tanaman pada lahan-lahan tidak produktif (padang alang-alang dan semak belukar).

2. Tumbuhnya embun-embun air atau kolam-kolam (water pond) pada cekungan-cekungan lahan.

3. Terciptanya fungsi Hydroorologis pada aliran sungai.

4. Tercegahnya kebakaran lahan tahunan pada areal padang alang-alang.

5. Terbentuknya lapisan tanah organik (Horison O) pada profil tanah dan meningkatnya kandungan N dalam hara tanah.


(49)

6. Tumbuhnya permudaan alami Acacia mangium dalam jumlah dan frekuensi yang sangat besar.

C. Aspek Sosial Ekonomi

Dibukanya HPHTI PT. Musi Hutan Persada di wilayah Propinsi Sumatera Selatan memberikan peluang kerja bagi masyarakat lokal serta meningkatnya pendapatan daerah setempat. Tercatat bahwa PT. MHP telah mempekerjakan sekitar 2.822 orang dari komisaris sampai pekerja hariannya (PT. MHP). Perubahan di bidang sosial ekonomi lainnya antara lain adalah (PT. MHP):

1. Terciptanya lapangan kerja dengan bangkitnya kembali masyarakat lokal yang berdaya yang membentuk kelompok-kelompok dan bekerjasama dengan perusahaan melalui program Mengelola Hutan Bersama Masyarakat (MHBM) serta program Mengelola Hutan Rakyat (MHR).

2. Tumbuhnya multiplier effect infrastructur sosial, budaya dan ekonomi kemasyarakatan di tingkat dusun dan desa.

3. Meningkatnya pendapatan daerah antara lain dari sektor Pajak Bumi dan Bangunan sebesar Rp 2.175.182.681,-, dari sektor Provisi Sumber Daya Hutan sebesar Rp 4.438.510.544,-, serta dari sektor Pajak Penghasilan sebesar Rp 1.217.605.428,-.

4. Meningkatnya perekonomian masyarakat dari kegiatan-kegiatan yang secara langsung berkaitan dengan perusahaan seperti kegiatan penanaman, kegiatan pemeliharaan, dan kegiatan pemanenan.


(50)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kriteria Limbah Pemanenan HTI Pulp

HTI Pulp sebagai pemasok bahan baku bagi industri pulp dan kertas memiliki spesifikasi khusus bagi sortimen yang dikeluarkannya. Dengan demikian sortimen-sortimen yang tidak memenuhi spesifikasi yang telah ditentukan akan berpotensi menjadi limbah. Potensi limbah yang terjadi pada kegiatan pemanenan pada HTI Pulp ini dapat dibedakan menjadi :

I. Limbah penebangan yaitu limbah yang terjadi di tempat penebangan yang terdiri dari :

1. Limbah tunggak, berupa kelebihan tunggak dari tinggi tunggak yang

diperbolehkan yaitu tinggi tunggak di atas 10 cm dari permukaan tanah. 2. Limbah batang kayu, berupa batang-batang/sortimen yang berserakan di petak

tebang yang terdiri dari:

a) Sortimen yang sesuai dengan syarat bahan baku serpih yang berupa kayu dengan diameter besar dan berat serta sortimen-sortimen yang jatuh ke jurang.

b) Sortimen yang tidak sesuai syarat bahan baku serpih yang berupa: a. Sortimen dengan panjang < 2.5 m

b. Sortimen rusak seperti retak, pecah atau terbelah c. Kayu bekas terbakar

d. Kayu jenis lain

e. Kayu berdiameter < 8 cm

3. Limbah cabang, ranting dan daun yang bagi perusahaan tidak memberikan manfaat ekonomis sehingga dimanfaatkan secara teknis sebagai bantalan jalan sarad guna mengurangi pemadatan tanah.

II. Limbah penyaradan adalah limbah yang terjadi sebagai akibat dari kegiatan penyaradan (dengan forwarder) yang berupa sortimen-sortimen yang terjatuh sepanjang jalan sarad serta sortimen-sortimen yang tertinggal di jalur tumpukan. III. Limbah TPn adalah limbah yang terjadi di TPn sebagai akibat dari kegiatan


(51)

limbah yang berupa kayu-kayu rusak seperti busuk, lapuk, pecah dan tidak sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh pabrik serta sortimen yang sesuai dengan persyaratan pabrik namun tidak termuat ke dalam alat angkut.

IV. Limbah pengangkutan adalah limbah yang terjadi selama proses pengangkutan dari TPn menuju TPK/pabrik, berupa sortimen yang sesuai syarat bahan baku serpih yang jatuh di sepanjang jalan angkutan ataupun yang sengaja ditinggalkan di jalan angkutan karena sebab-sebab tertentu.

B. Tahapan Pemanenan Kayu di HTI Pulp

Kegiatan pemanenan kayu dimulai dari kegiatan penebangan. Kegiatan penebangan di PT. MHP dilakukan oleh pihak mitra kerja dalam hal ini adalah kontraktor tebang. Dalam kontrak kerjanya setiap kontraktor membawahi 10 regu tebang dimana setiap regu tebang terdiri dari 3 – 4 orang dengan pembagian tugas sebagai penebang, pengukur dan penumpuk sortimen ke jalur tumpukan. Setelah kegiatan penebangan selesai dilakukan oleh kontraktor tebang, dilakukan audit pasca tebang sebelum kegiatan penyaradan dimulai. Kegiatan audit pasca tebang ini dilakukan untuk mengecek kembali apakah kegiatan penebangan yang dilakukan telah terselesaikan dengan baik dan benar baik dari jumlah pohon yang ditebang, kualitas sortimen, jalur sarad dan tumpukan yang dibuat serta tunggak yang ditinggalkan. Jika hasil audit tidak sesuai dengan ketentuan yang ada maka pihak kontraktor diminta untuk melakukan servis ulang pekerjaannya.

Setelah audit pasca tebang selesai, alat sarad (forwarder) dapat memasuki areal untuk menyarad sortimen yang telah tertata pada jalur tumpukan. Audit pasca tebang tersebut juga bermanfaat bagi kegiatan penyaradan ini terutama mengenai tinggi tunggak. Jika tunggak yang ditinggalkan terlalu tinggi maka alat sarad akan mengalami kesulitan dalam pengoperasiannya. Di dalam satu areal tebang hanya diperbolehkan 2 (dua) alat sarad yang beroperasi.

Audit pasca sarad dilakukan setelah kegiatan penyaradan selesai dilaksanakan. Gunanya untuk mengecek apakah semua sortimen yang berada dijalur sarad sudah tersarad seluruhnya ke TPn serta mengecek ada atau tidaknya sortimen yang tercecer di jalur sarad. Kegiatan pengukuran kayu dapat dilaksanakan jika hasil audit pasca sarad


(52)

menyatakan tidak ada kegiatan penyaradan ulang. Alur kegiatan pemanenan di PT. MHP dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Bagan Pemanenan di HPHTI PT. Musi Hutan Persada (Sumber: PT. Musi Hutan Persada)

Kegiatan penebangan di PT. MHP dilakukan dengan pembagian setting tebang, dimana setiap setting akan dikerjakan oleh satu kontraktor tebang. Setiap setting tebang dapat terdiri dari satu atau lebih petak. Adapun kondisi petak contoh penelitian disajikan pada Tabel 5, 6 dan 7 dibawah ini.

Tabel 5. Data petak contoh penelitian untuk kegiatan penebangan dan penyaradan.

Keterangan Petak A Petak B

No Setting 26 30

Penebangan

Audit Pasca Angkut Penanaman

kembali

Pengangkutan Pengukuran

LOA/HOA

Penyaradan

Pengukuran Kayu Perencanaan dan

Persiapan Tebang

Audit Pasca Tebang

Audit Pasca Sarad


(53)

No Petak Blok Luas (Ha) Tahun Tanam Jarak Tanam (m) Jumlah Pohon/Ha Tinggi Rata-rata (m) Dbh Rata-rata (cm) Angka Bentuk Periode Tebang Volume / Ha (m3/ha) Volume Total (m3)

18 Teras 12.61 1997/1998

3 x 4 833 16 21 0,45 Agustus 2005 207,63 2618,21 20 Teras 16.33 1997/1998

3 x 4 833 16 21 0,45 Agustus 2005 207,63 3390,60

Sumber: PT. Musi Hutan Persada (2005), Suwarna (2001)

Tabel 6. Data petak contoh penelitian untuk kegiatan pemuatan.

TPN P TPN Q Keterangan

Kav B Kav D Kav E Kav J Kav A Kav B Kav C Kav D No Setting 94 94 94 94 04 04 04 04 Luas

Setting(Ha)

25,51 25,51 25,51 25,51 12,22 12,22 12,22 12,22 Blok Selibing Selibing Selibing Selibing Penyem

bangan Penyem bangan Penyem bangan Penyem bangan Luas (m2) 21,3 10,5 6,5 14,9 6,5 12,5 12 4,6 Periode

Tebang

Juni ‘05 Juni ‘05 Juni ‘05 Juni ‘05 Maret ‘05 Maret ‘05 Maret ‘05 Maret ‘05 Periode Tumpuk

Juli ‘05 Juni ‘05 Juli ‘05 Juli ‘05 April ‘05 April ‘05 April ‘05 April ‘05 Periode Muat Agustus ‘05 Agustus ‘05 Agustus ‘05 Agustus ‘05 Agustus ‘05 Agustus ‘05 Agustus ‘05 Agustus ‘05 Volume

(m3)

455,35 189,75 106,89 292,63 119,61 206,67 205,90 65,71 Sumber : PT. Musi Hutan Persada (2005)

Tabel 7. Data contoh penelitian untuk kegiatan pengangkutan.

TPN X TPN Y

Keterangan


(54)

Kavling/Setting F/04 F/04 E/03 E/03

Luas Setting(Ha) 12,22 12,22 17,34 17,34

Blok Penyembangan Penyembangan Penyembangan Penyembangan

Volume Kavling (m3)

69,06 69,06 8,64 8,64

No Polisi BG8071D BK9279BJ BK9281BJ BE4074BA

Volume Alat Angkut (m3)

25,20 24,60 22,40 27,30

Sumber : PT. Musi Hutan Persada (2005)

C. Potensi Limbah pada Kegiatan Pemanenan HTI Pulp

Limbah pemanenan yang terjadi dibedakan berdasarkan tahapan pemanenan yang dilakukan yaitu kegiatan penebangan, penyaradan, pemuatan dan pengangkutan. a. Limbah Penebangan

Pada petak contoh A dengan luas areal tebang 12.61 Ha terdapat volume limbah sebesar 43,92 m3 yang terdiri dari limbah tunggak sebesar 7,83 m3 yaitu 17,83% dari seluruh limbah penebangan pada petak A dan limbah sortimen dengan panjang < 2.5 m sebesar 36,09 m3 yaitu 82,17% dari seluruh limbah penebangan pada petak A. Sedangkan pada petak contoh B dengan luas areal 16.33 Ha dihasilkan volume limbah yang lebih besar yaitu 56,44 m3 yang berupa limbah tunggak sebesar 25,02 m3 (44,51% dari seluruh limbah penebangan pada petak B) dan limbah sortimen sebesar 31,42 m3 (55,67% dari seluruh limbah penebangan pada petak B). Besarnya limbah penebangan dari kedua petak contoh dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Limbah penebangan.

Volume (m3)

Potensi Limbah (m3/Ha) Jenis

Limbah A B

Volume Total (m3)

Rata-rata

(m3) A B

Total Potensi (m3/Ha) Rata-rata (m3/Ha)

Tunggak 7,83 25,02 32,85 16,42 0,62 1,53 2,15 1,08

Sortimen

<2,5 m 36,09 31,42 67,50 33,75 2,86 1,92 4,79 2,39

Total 43,92 56,44 100,35 50,18 3,48 3,46 6,94 3,47

Dari kedua petak contoh tersebut dapat dilihat bahwa besarnya limbah yang terjadi pada kegiatan penebangan adalah sebesar 3,47 m3/ha yang berupa limbah tunggak dan limbah sortimen dengan panjang < 2,5 m. Berdasarkan pengamatan di lapangan, tinggi tunggak yang ditinggalkan sebagian besar melebihi tinggi tunggak yang diperkenankan. Hal ini disebabkan oleh masih kurang diperhatikannya ketentuan


(55)

mengenai pembuatan takik rebah dan takik balas yang telah ditetapkan dimana takik rebah dibuat dengan ketinggian maksimal 8 cm dari permukaan tanah dan takik balas dibuat dengan ketinggian maksimal 2 cm dari takik rebah, sehingga tinggi maksimal tunggak yang ditinggalkan adalah 10 cm. Chainsawman (operator tebang) dalam menebang pohon lebih memperhatikan pemenuhan target tebang per hari, sehingga mereka cenderung menebang pohon sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan tinggi tunggak yang ditinggalkan. Berdasarkan wawancara dengan supervisor tebang,mereka menyatakan bahwa sudah sering kali memberikan peringatan baik kepada operator tebang maupun kepada pihak kontraktor tebang mengenai tinggi tunggak yang melebihi ketentuan (> 10 cm), namun peringatan tersebut hanya dipatuhi untuk beberapa saat. Selain itu mereka juga menyatakan bahwa pengawasan tidak dapat dilakukan secara terus menerus pada setting tebang yang sama karena keterbatasan jumlah supervisor tebang yang ada serta keterbatasan fasilitas untuk mencapai setting tebang.

Kelebihan tinggi tunggak banyak terjadi pada pohon yang berbatang lebih dari satu. Berdasarkan prosedur yang dituangkan dalam Standard Operation Prosedure (SOP) divisi Produksi Kayu PT. MHP dijelaskan bahwa pohon yang lebih dari satu batang dilakukan penebangan dengan memperhatikan hal-hal berikut yaitu:

1. Apabila pohon berbatang dua dimana keduanya tumbuh lurus maka takik rebah dibuat pada pertemuan kedua batang dan takik balas dibuat lebih tinggi 5 cm. Selanjutnya tunggak tinggal dipotong rata permukaan tanah. 2. Apabila pohon memiliki lebih dari dua batang dan semuanya condong ke

segala arah maka penebangan dilakukan satu persatu, selanjutnya tunggak tinggal dipotong rata tanah. Arah rebah mengikuti kecondongan pohon.

Pada pelaksanaan di petak tebang, operator chainsaw cenderung untuk menebang pohon berbatang lebih dari satu ini pada pertemuan batang namun tanpa melakukan pemotongan tunggak rata dengan tanah. Selain itu, operator chainsaw dalam merebahkan pohon cenderung melakukan tebang tumbur atau tebang banyak sehingga tinggi tunggak yang ditinggalkan tidak dapat dikendalikan. Tebang banyak ini dilakukan dengan membuat takik rebah pada beberapa pohon yang berdekatan tanpa membuat takik balas. Takik balas dibuat pada satu pohon dan arah rebah pohon diarahkan ke pohon-pohon lain yang telah dibuat takik rebahnya.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

Lampiran 10. Lahan Bekas Tebangan


(6)