Potensi Limbah pada Kegiatan Pemanenan HTI Pulp

KavlingSetting F04 F04 E03 E03 Luas SettingHa 12,22 12,22 17,34 17,34 Blok Penyembangan Penyembangan Penyembangan Penyembangan Volume Kavling m 3 69,06 69,06 8,64 8,64 No Polisi BG8071D BK9279BJ BK9281BJ BE4074BA Volume Alat Angkut m 3 25,20 24,60 22,40 27,30 Sumber : PT. Musi Hutan Persada 2005

C. Potensi Limbah pada Kegiatan Pemanenan HTI Pulp

Limbah pemanenan yang terjadi dibedakan berdasarkan tahapan pemanenan yang dilakukan yaitu kegiatan penebangan, penyaradan, pemuatan dan pengangkutan.

a. Limbah Penebangan

Pada petak contoh A dengan luas areal tebang 12.61 Ha terdapat volume limbah sebesar 43,92 m 3 yang terdiri dari limbah tunggak sebesar 7,83 m 3 yaitu 17,83 dari seluruh limbah penebangan pada petak A dan limbah sortimen dengan panjang 2.5 m sebesar 36,09 m 3 yaitu 82,17 dari seluruh limbah penebangan pada petak A. Sedangkan pada petak contoh B dengan luas areal 16.33 Ha dihasilkan volume limbah yang lebih besar yaitu 56,44 m 3 yang berupa limbah tunggak sebesar 25,02 m 3 44,51 dari seluruh limbah penebangan pada petak B dan limbah sortimen sebesar 31,42 m 3 55,67 dari seluruh limbah penebangan pada petak B. Besarnya limbah penebangan dari kedua petak contoh dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Limbah penebangan. Volume m3 Potensi Limbah m3Ha Jenis Limbah A B Volume Total m3 Rata-rata m3 A B Total Potensi m3Ha Rata- rata m3Ha Tunggak 7,83 25,02 32,85 16,42 0,62 1,53 2,15 1,08 Sortimen 2,5 m 36,09 31,42 67,50 33,75 2,86 1,92 4,79 2,39 Total 43,92 56,44 100,35 50,18 3,48 3,46 6,94 3,47 Dari kedua petak contoh tersebut dapat dilihat bahwa besarnya limbah yang terjadi pada kegiatan penebangan adalah sebesar 3,47 m 3 ha yang berupa limbah tunggak dan limbah sortimen dengan panjang 2,5 m. Berdasarkan pengamatan di lapangan, tinggi tunggak yang ditinggalkan sebagian besar melebihi tinggi tunggak yang diperkenankan. Hal ini disebabkan oleh masih kurang diperhatikannya ketentuan mengenai pembuatan takik rebah dan takik balas yang telah ditetapkan dimana takik rebah dibuat dengan ketinggian maksimal 8 cm dari permukaan tanah dan takik balas dibuat dengan ketinggian maksimal 2 cm dari takik rebah, sehingga tinggi maksimal tunggak yang ditinggalkan adalah 10 cm. Chainsawman operator tebang dalam menebang pohon lebih memperhatikan pemenuhan target tebang per hari, sehingga mereka cenderung menebang pohon sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan tinggi tunggak yang ditinggalkan. Berdasarkan wawancara dengan supervisor tebang,mereka menyatakan bahwa sudah sering kali memberikan peringatan baik kepada operator tebang maupun kepada pihak kontraktor tebang mengenai tinggi tunggak yang melebihi ketentuan 10 cm, namun peringatan tersebut hanya dipatuhi untuk beberapa saat. Selain itu mereka juga menyatakan bahwa pengawasan tidak dapat dilakukan secara terus menerus pada setting tebang yang sama karena keterbatasan jumlah supervisor tebang yang ada serta keterbatasan fasilitas untuk mencapai setting tebang. Kelebihan tinggi tunggak banyak terjadi pada pohon yang berbatang lebih dari satu. Berdasarkan prosedur yang dituangkan dalam Standard Operation Prosedure SOP divisi Produksi Kayu PT. MHP dijelaskan bahwa pohon yang lebih dari satu batang dilakukan penebangan dengan memperhatikan hal-hal berikut yaitu: 1. Apabila pohon berbatang dua dimana keduanya tumbuh lurus maka takik rebah dibuat pada pertemuan kedua batang dan takik balas dibuat lebih tinggi 5 cm. Selanjutnya tunggak tinggal dipotong rata permukaan tanah. 2. Apabila pohon memiliki lebih dari dua batang dan semuanya condong ke segala arah maka penebangan dilakukan satu persatu, selanjutnya tunggak tinggal dipotong rata tanah. Arah rebah mengikuti kecondongan pohon. Pada pelaksanaan di petak tebang, operator chainsaw cenderung untuk menebang pohon berbatang lebih dari satu ini pada pertemuan batang namun tanpa melakukan pemotongan tunggak rata dengan tanah. Selain itu, operator chainsaw dalam merebahkan pohon cenderung melakukan tebang tumbur atau tebang banyak sehingga tinggi tunggak yang ditinggalkan tidak dapat dikendalikan. Tebang banyak ini dilakukan dengan membuat takik rebah pada beberapa pohon yang berdekatan tanpa membuat takik balas. Takik balas dibuat pada satu pohon dan arah rebah pohon diarahkan ke pohon-pohon lain yang telah dibuat takik rebahnya. Kegiatan pembersihan gulma atau tanaman pengganggu di sekitar pohon yang akan ditebang jarang dilakukan oleh helper. Ketika operator chainsaw melakukan penebangan, helper tidak melakukan pembersihan gulma pada pohon berikutnya yang akan ditebang, tetapi helper melakukan pembersihan cabang dan ranting pada pohon- pohon yang telah ditumbangkan sebelumnya. Hal ini akan sangat mempengaruhi pada pembuatan takik rebah pada pohon yang akan ditebang, dimana operator chainsaw akan mengalami kesulitan dalam menentukan tingginya takik rebah yang dibuat, sehingga tinggi tunggak yang ditinggalkan melebihi tinggi yang ditentukan. Penebangan dengan cara tebang banyak telah dilarang oleh pihak perusahaan karena menimbulkan kerugian dengan kemungkinan adanya kerusakan pada batang- batang pohonnya. Namun tebang banyak ini masih dilakukan oleh para operator tebang dengan alasan untuk mempersingkat waktu dan untuk meningkatkan volume produksi. Dengan masih dilakukannya kegiatan tebang banyak ini, maka masih diperlukan adanya himbauan tentang semakin besarnya resiko yang dapat timbul dengan adanya praktek tebang banyak tersebut terutama bagi keselamatan operator tebang tersebut. Dengan masih dilaksanakannya tebang banyak tersebut menyebabkan kegiatan pembersihan cabang dan ranting lebih lama sehingga kegiatan pembersihan gulma yang seharusnya dilakukan oleh helper menjadi jarang dilakukan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, pihak perusahaan dapat melakukan pembersihan gulma terlebih dahulu sebelum kegiatan penebangan dilakukan dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan warga transmigrasi. Sehingga selain untuk mendapatkan pohon-pohon siap tebang yang bersih dari gulma, juga akan mengurangi timbulnya konflik dengan masyarakat sekitar hutan. Selain itu, masyarakat sekitar hutan juga dapat memperoleh manfaat lebih dengan memanfaatkan ranting-ranting hasil pembersihan tersebut sebagai kayu bakar. Masih banyaknya tunggak yang melebihi tinggi yang diijinkan ini tentu saja dapat menyebabkan kerugian bagi pihak perusahaan maupun pihak kontraktor. Salah satu cara yang dapat ditempuh oleh pihak perusahaan adalah dengan melakukan kembali pelatihan bagi para operator tebang untuk menyegarkan kembali teknik-teknik penebangan yang sesuai dengan prosedur yang berlaku. Selain itu, dapat juga dilakukan pembatasan jatah tebangan per hari atau jumlah maksimal yang boleh ditebang per hari untuk setiap operator tebang, sehingga operator tebang dalam melakukan tugasnya tidak lagi mengejar target produksi sebanyak-banyaknya. Limbah berupa sortimen 2.5 m disebabkan oleh kegiatan trimming pemotongan, sering kali dalam kegiatan bagi batang operator kurang memperhatikan ketentuan yang berlaku sehingga sering pula dilakukan servis ulang pengerjaan ulang dan kegiatan servis ulang ini menyebabkan timbulnya limbah. Berdasarkan syarat bahan baku serpih yang dapat diterima oleh PT. TEL, panjang sortimen yang diperkenankan adalah tidak boleh 2,2 meter dan tidak boleh 3,0 meter. Dalam melakukan bagi batang, tidak dilakukan kegiatan pengukuran terlebih dahulu. Pembagian batang yang dilakukan berdasarkan pada pengalaman operator mengenai perkiraan panjang sortimen. Dengan kemampuan tersebut, operator memperkirakan pada bagian mana sortimen akan dipotong. Perkiraan ini sering kali menyebabkan panjang sortimen tidak sesuai dengan syarat bahan baku yang diminta terbukti dengan adanya sortimen-sortimen dengan panjang 2,0 meter. Ketidaktepatan dalam menentukan panjang sortimen tersebut juga dipengaruhi oleh banyaknya batang yang harus dibagi batang yang disebabkan oleh cara penebangan yang dilakukan yaitu dengan tebang banyak, sehingga batang-batang yang akan dibagi batang tersebut bertumpukan. Adapun ketentuan trimming yang berlaku dapat dilihat pada gambar di bawah ini: Ga mb ar 4. Spe sifi kasi trim min g Su mbe r: PT. Musi Hutan Persada Garis putus-putus pada gambar 4 tersebut menunjukkan letak pemotongan dilakukan jika ditemui bentuk sortimen seperti bentuk tersebut. Sisa-sisa pemotongan tersebut yang akan menjadi limbah penebangan. Selain itu, limbah batang pada kegiatan penebangan ini dapat juga terjadi dari kegiatan pembersihan cabang, dimana pada saat kegiatan pembersihan cabang dan ranting tidak semua cabang dimasukkan ke dalam jalur serasah atau jalur koridor karena helper menganggap cabang tersebut mempunyai diameter 8 cm, namun panjangnya tidak memenuhi syarat yang diminta. Untuk meminimalkan limbah penebangan yang berupa sortimen ini maka helper hendaknya lebih teliti dalam melakukan pembersihan cabang dan ranting sehingga dapat ditentukan cabang-cabang yang masih dapat memenuhi syarat bahan baku atau tidak. Perbandingan besarnya limbah yang terjadi pada kegiatan penebangan yang berupa limbah tunggak dan limbah sortimen dengan panjang 2,5 m dari kedua petak contoh penelitian dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Limbah Pemanenan HTI pada Kegiatan Penebangan Dari Gambar 5 tersebut bahwa dilihat bahwa limbah penebangan yang berupa tunggak sebesar 1,1 m 3 ha 31 dari keseluruhan limbah penebangan. Sedangkan limbah penebangan yang berupa sortimen dengan panjang 2 m sebesar 2,4 m 3 ha 69 dari limbah penebangan.

b. Limbah Penyaradan

1,131 2,4 69 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 Volume Limbah m 3 ha Tunggak Sortimen Jenis Limbah Penebangan Pada petak contoh yang sama dengan petak contoh untuk limbah penebangan terdapat limbah penyaradan yang berupa sortimen-sortimen yang tidak tersarad oleh alat sarad. Besarnya limbah penyaradan adalah sebesar 36,0m 3 untuk petak contoh A dan sebesar 37,8 m 3 pada petak contoh B. Besarnya limbah penyaradan pada masing-masing petak contoh dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Potensi limbah penyaradan. Petak Contoh Luas Ha Volume Limbah m 3 Potensi m 3 Ha A 12,61 36,0 2,9 B 16,33 37,8 2,3 Total 73,8 5,2 Rata-rata 36,9 2,6 Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa limbah yang terjadi pada petak contoh B 37,8 m 3 lebih besar dari limbah yang terdapat pada petak contoh A 36,0 m 3 . Hal ini berkaitan dengan tinggi tunggak yang berada pada areal penyaradan tersebut, berdasarkan wawancara dengan operator sarad, mereka cenderung mengeluh dengan adanya tinggi tunggak yang melebihi ketentuan tinggi tunggak 10 cm karena tunggak yang terlalu tinggi tersebut menyebabkan alat yang dioperasikannya tidak dapat bergerak dengan leluasa ketika mengambil sortimen dalam tumpukan. Selain kesulitan dalam mengoperasikan alat sarad, tunggak yang ini juga menyebabkan alat sarad forwarder tidak selalu berjalan di atas jalur serasah atau jalur koridor yang telah dibuat. Hal ini tentu saja akan meningkatkan pemadatan tanah di sekitar jalur serasah tersebut. Dengan adanya tunggak yang ini, produktivitas penyaradan dapat menurun, karena operator sarad harus waspada dan sangat berhati-hati dalam menjalankan alat sarad agar alat sarad yang dioperasikannya tidak terguling ataupun terbalik karena menginjak tunggak yang tinggi tersebut. Selain itu, tumpukan sortimen yang ditemui di petak contoh penelitian tidak sesuai dengan yang telah ditentukan, dimana seharusnya sortimen ditumpuk dengan arah tegak lurus dengan arah jalur sarad namun tumpukan yang ada cenderung sejajar dengan jalur sarad dan ada pula yang tidak beraturan. Penumpukan seperti ini menyulitkan operator sarad dalam menentukan posisi berdirinya alat ketika memasukkan sortimen ke dalam bak. Dengan ruang gerak yang terbatas karena tunggak yang tinggi serta tumpukan sortimen yang tidak beraturan menyebabkan timbulnya limbah karena terdapat sortimen-sortimen yang tidak terjangkau oleh grapple dan cenderung ditinggalkan. Berdasarkan ketentuan yang berlaku, penyaradan seharusnya dilakukan dari arah belakang ke arah depan namun yang terjadi pada petak contoh operator melakukan secara acak hal ini disebabkan oleh letak tumpukan yang tidak beraturan sehingga menghalangi jalan bagi alat sarad untuk menjangkau tumpukan sortimen yang berada di belakang. Limbah penyaradan ini banyak ditemukan pada areal yang jauh dari lokasi TPn, hal ini berkaitan dengan jarak antara TPn dan tumpukan sortimen tersebut. Seringkali sortimen yang masih berada di lokasi tumpukan dalam jumlah yang sedikit tidak memenuhi kapasitas angkut satu alat sarad 10 m 3 tersebut tidak diambil kembali sehingga ditinggalkan begitu saja menjadi limbah. Selain itu terdapat pula beberapa sortimen yang ketika dilakukan pemuatan ke dalam bak terjatuh karena panjang sortimen 2,5 m, sortimen ini tetap ditinggalkan karena jika tetap dimasukkan ke dalam bak ada kemungkinan akan tercecer di jalan. Pihak perusahaan telah menetapkan dalam SOP bahwa jika dalam kegiatan penyaradan jika terdapat sortimen yang berjatuhan disaat alat sarad berjalan menuju ke TPn maka akan dikenakan denda Rp 500,- Sortimen. Pembagian waktu kerja yang ditetapkan oleh perusahaan dimana 1 satu unit forwarder bekerja 2 dua shift dengan 2 dua orang operator dengan pembagian shift pertama bekerja dari pukul 7.00 - 15.00 dan shift kedua dari pukul 16.00 – 23.00 mendukung terjadinya limbah penyaradan ini. Limbah penyaradan lebih banyak terjadi pada kegiatan penyaradan yang dilakukan pada malam hari, dimana penerangan dari alat kurang dan tingkat kelelahan serta faktor psikologis lainnya yang menyebabkan ketelitian operator menurun. Dengan kondisi penerangan yang terbatas tersebut, menyebabkan operator harus lebih berkonsentrasi dalam mengoperasikan alat sarad, dengan konsentrasi yang tinggi akan menyebabkan tingkat kelelahan meningkat sehingga operator mudah letih dan ketelitian menurun.

c. Limbah PemuatanTPn

Tempat penimbunan kayu TPn juga berpotensi untuk terjadinya limbah pemanenan, yang diakibatkan oleh kegiatan pemuatan sortimen dari TPn ke atas alat angkut. Limbah pemuatanTPn yang terjadi dapat berupa sortimen yang tidak diangkut maupun kayu rusak yang terjadi akibat kegiatan pemuatan ke alat angkut. Limbah TPn yang terjadi adalah sebesar 1,645 m 3 yang terdiri dari limbah sorrtimen yang tidak diangkut sebesar 1,3 m 3 dan limbah berupa kayu rusak sebesar 0,345 m 3 . Tabel 10. Limbah TPn. Volume Limbah m 3 TPn Kavling Luas m 2 Sortimen tidak diangkut Kayu rusak Total m 3 1 21,25 1,32 0,8 2,12 2 10,5 2,4 0,72 3,12 3 6,5 1,04 0,44 1,48 P 4 14,875 1,24 0,56 1,8 Subtotal 6 2,52 8,52 Rata-rata 1,5 0,63 2,13 Tabel 11. Lanjutan. 1 6,5 1,88 0,24 2,12 2 12,5 0,72 0,72 3 12 0,92 0,92 Q 4 4,625 0,88 0,88 Subtotal 4,4 0,24 4,64 Rata-rata 1,1 0,06 1,16 Total 2,6 0,69 3,29 Rata-rata 1,3 0,345 1,645 Dari kedua lokasi TPn tersebut , TPn P menghasilkan limbah lebih banyak dibandingkan dengan TPn Q. Sortimen tidak terangkut dan kayu rusak yang menjadi limbah pada TPn lebih banyak daripada TPn Q. Hal ini disebabkan oleh waktu pemuatan ke dalam alat angkut, pada TPn Q pemuatan dilakukan pada siang hari dan dengan tujuan pengangkutan menuju PT. TEL. Pemuatan ke dalam alat angkut yang akan menuju ke PT. TEL TPK harus dilakukan secara hati-hati dan cermat karena tumpukan pada bak harus rapi sehingga operator excavator grapple lebih berhati-hati agar kayu tidak berceceran. Sedangkan pada TPn P pemuatan yang dilakukan dengan tujuan pengangkutan ke TPK antara yang masih berada di areal kerja. Kegiatan pemuatan dengan tujuan pengangkutan ke TPK antara ini dilakukan dengan tumpukan kayu di dalam bak tidak harus tertata rapi, sehingga sering kali terdapat sortimen yang jatuh namun tidak diambil kembali. Besarnya limbah TPn pada TPn P juga didukung oleh lokasi TPn tersebut. TPn P berada pada lokasi yang tidak datar dimana posisi TPn lebih tinggi sehingga alat muat harus diposisikan secara baik. Ketika operator excavator grapple mengatur posisi alatnya, mereka menggunakan tanah disekitar TPn sebagai pijakannya, hal ini menyebabkan sortimen-sortimen yang tercecer kemudian terinjak dan menjadi limbah kayu rusak di TPn. Pada TPn Q posisi excavator dan alat angkut cenderung datar sehingga excavator tidak terlalu sulit untuk mencari posisi yang tepat. Posisi TPn ini diperhatikan kembali dimana seharusnya jarak antara jalan dan TPn adalah minimal 3 m, hal ini bertujuan untuk memberikan ruang gerak bagi kegiatan pemuatan. Namun, pada TPn contoh ini TPn dibuat tepat ditepi jalan angkutan sehingga excavator grapple tidak mempunya cukup ruang gerak. Hal ini menyebabkan excavator grapple harus berjalan di atas bekas tumpukan kayu yang terkadang masih terdapat sortimen yang belum termuat yang berserakan dan terinjak oleh excavator grapple sehingga menjadi limbah. Faktor lain yang menyebabkan tingginya limbah pada TPn P adalah banyaknya alat angkut yang mengantri di TPn tersebut. Jarak angkut dari TPn P menuju TPK PT.TEL lebih dekat daripada jarak angkut dari TPn Q ke TPK PT.TEL. Sopir alat angkut lebih memilih mengantri di TPn yang lebih dekat daripada TPn yang jauh. Hal ini menyebabkan terjadinya antrian di TPn P sehingga operator excavator grapple menjadi tergesa-gesa dalam memuat sortimen ke alat angkut sehingga tidak begitu menghiraukan sortimen yang tertinggal. Pihak PT.MHP memberikan kebebasan kepada kontraktor angkut dalam menentukan lokasi pemuatan. Sopir alat angkut bebas memilih lokasi TPn dimana mereka akan mulai mengangkut sortimen, sehingga antrian alat angkut dapat terjadi pada beberapa lokasi pemuatan, namun pada lokasi pemuatan yang lain alat muat tidak melakukan kegiatan pemuatan karena harus menunggu datangnya alat angkut. Pengaturan antrian akan dilakukan oleh supervisor angkut jika masih terdapat antrian namun kayu di TPn sudah hampir habis. Hal ini perlu ditinjau kembali guna lebih meningkatkan produktivitas serta guna meminimalkan kemungkinan terjadinya limbah yang disebabkan oleh faktor ketergesa- gesaan dalam kegiatan pemuatan. Untuk itu, perlu dilakukan peninjauan mengenai waktu pemuatan dan jumlah alat angkut yang mengantri, sehingga dapat diperoleh jumlah maksimal alat angkut yang mengantri pada satu alat muat. Waktu pemuatan juga berpengaruh bagi timbulnya limbah TPn. Seperti halnya pada kegiatan penyaradan, kegiatan pemuatan juga dilakukan pada malam hari. Ketika kegiatan pemuatan dilakukan pada malam hari, operator mengalami kesulitan untuk menata dan mengatur sortimen ke dalam bak karena penerangan yang terbatas. Selain itu kegiatan pemuatan yang dilakukan pada malam hari ini dilakukan dengan tujuan pemuatan menuju TPK sehingga operator muat memerlukan ketelitian yang lebih tinggi dalam menata sortimen ke dalam bak. Hal ini terlihat dari besarnya limbah berupa sortimen yang tidak termuat yang terjadi di TPn P kavling 2 dimana limbah yang terjadi sebesar 3,12 m 3 . Waktu pemindahan alat dari TPn satu ke TPn lain juga berpengaruh pada timbulnya limbah TPn. Ketika alat muat dipindahkan dari TPn satu ke TPn yang lain, dilakukan pula pembersihan jalan angkutan dari sortimen-sortimen yang tercecer ketika kegiatan pemuatan berlangsung dan dimuat kembali ke alat angkut yang ada. Kegiatan pembersihan ini hanya operator lakukan jika pemindahan alat dilakukan pada siang hari. Besarnya limbah TPn tiap Ha untuk kedua TPn adalah sebesar 1,47 m 3 Ha seperti dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Limbah TPn tiap Ha. Limbah m3Kav Limbah m3Ha TPn Luas Ha Jumlah Kavling Sortimen Tidak Terangkut Kayu Rusak Sortimen Tidak Terangkut Kayu Rusak Total m3Ha P 25,51 16 1,5 0,63 0,94 0,40 1,34 Q 12,22 17 1,1 0,06 1,53 0,08 1,61 Total 37,73 33 2,6 0,69 2,47 0,48 2,95 Rataan 18,865 16,5 1,3 0,35 1,24 0,24 1,47 Volume limbah TPn yang berupa sortimen tidak terangkut adalah sebesar 1,24 m 3 Ha 82,63 dari seluruh limbah pemuatanTPn dan limbah yang berupa kayu rusak adalah sebesar 0,24 m 3 Ha 17,37 dari seluruh limbah pemuatanTPn seperti ditunjukkan pada Gambar 6 dibawah ini. Gambar 6. Limbah Pemanenan HTI pada Kegiatan Pemuatan

d. Limbah Pengangkutan

Limbah pengangkutan yang diukur adalah limbah yang terjadi akibat pengangkutan oleh alat angkut dari TPn menuju TPK PT.TEL. Limbah yang terjadi akibat kegiatan pengangkutan ini rata-rata adalah sebesar 1,7 m 3 atau 1,5 ton untuk tiap alat angkut, nilai konversi 1 m 3 kayu solid = 0,866 ton PT. Musi Hutan Persada 2005. Besarnya limbah pengangkutan dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Potensi limbah pengangkutan. Volume m 3 Hasil Timbangan Ton TPn Asal Alat Angkut Awal Akhir Awal Akhir Limbah m 3 1 25,2 24,2 21,9 21,0 1,0 X 2 24,6 21,7 21,3 18,8 2,9 1 22,4 21,5 19,4 18,6 0,9 Y 2 27,3 25,4 23,7 22,0 1,9 Total 99,5 92,8 86,2 80,4 6,8 Rata-rata 24,9 23,2 21,5 20,1 1,7 Tabel 13 menunjukkan bahwa limbah pengangkutan paling banyak terjadi pada alat angkut 2 dari TPn X. Limbah pengangkutan yang terjadi disebabkan oleh kondisi jalan yang belum seluruhnya berupa jalan batu. Kondisi jalan seperti ini menyebabkan terjadinya goncangan sehingga sortimen-sortimen yang diangkut saling mengisi ruang kosong diantara sortimen tersebut. Hal ini menyebabkan sabuk pengikat menjadi longgar sehingga sortimen dapat jatuh ketika alat angkut melewati tanjakan. Menurut standar pengangkutan yang ditetapkan, sabuk pengikat ini harus dikencangkan kembali 1,24 82,63 0,24 17,37 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 1,40 Volume Limbah m3Ha Sortimen Tidak Terangkut Kayu Rusak Jenis Limbah TPn setiap perjalanan 10 km untuk mencegah terjatuhnya sortimen sepanjang jalan angkutan. Selain itu, goncangan yang terjadi juga dapat menyebabkan sortimen dengan panjang 2,5 m yang ada di tumpukan bawah dapat pula terjatuh. Jarak yang cukup jauh antara lokasi TPn dan TPK juga mempengaruhi limbah yang terjadi. Terkadang limbah pengangkutan juga disebabkan oleh kesengajaan oleh sopir truk sendiri yang mengurangi muatannya berkaitan dengan kemampuan dari alat angkutnya. Pengurangan muatan tersebut kadang dilakukan jika terjadi kerusakan pada alat angkut sehingga memerlukan pengurangan muatan, sortimen yang dikurangi itu ditinggalkan begitu saja di pinggir jalan dan menjadi limbah. Pengurangan muatan ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika sebelum kegiatan pengangkutan sopir truk melakukan pengecekan terhadap truk yang dikendarainya serta dilakukan pemeliharaan alat secara rutin. Besarnya limbah pengangkutan tiap Ha dapat dilihat pada Tabel 13 dibawah ini. Tabel 13. Limbah pengangkutan tiap Ha. TPn Asal Luas Ha Volume Limbah Rata-rata m 3 Armada Jumlah Armada Volume Limbah Total m 3 Volume LimbahHa m 3 Ha X 12,22 1,95 116 226,2 18,51 Y 17,34 1,4 178 249,2 14,37 Total 29,65 3,35 294 475,4 32,88 Rata-rata 14,78 1,675 147 237,7 16,44 Besarnya limbah pengangkutan yang terjadi ini disebabkan pula oleh jarak angkut yang sangat jauh antara TPn dan TPk yaitu sekitar 200 Km. Berdasarkan wawancara dengan pihak pelaksana lapang untuk kegiatan pengangkutan ini, seringkali sopir truk mengalami kerugian. Hal ini disebabkan oleh pembayaran yang dilakukan oleh pihak pengontrak PT.MHP kepada sopir alat angkut berdasarkan hasil timbangan yang dihitung berdasarkan berat keringnya Bobot Kayu Kering sehingga volume yang besar belum tentu mempunyai bobot kering yang tinggi pula.

D. Persentase Limbah pada Kegiatan Pemanenan HTI Pulp