Pengamatan Sediaan Sayatan Paradermal

Sastrawijaya 2000 menjelaskan bahwa distribusi zat pencemar juga mempengaruhi suhu. Semakin tingginya kadar pencemar debu vulkanik di Kota Yogyakarta akan terjadi peningkatan suhu. Suhu udara yang meningkat mengakibatkan kelembaban udara menurun. Suhu udara di Kota Solo, sebelum letusan merapi adalah berkisar 28,6°C dan setelah letusan merapi adalah berkisar 29,1 ºC. Keadaan ini mengindikasikan bahwa suhu udara di Kota Solo cenderung lebih stabil baik sebelum dan setelah letusan Gunung Merapi. Tingginya konsentrasi NO dan debu di udara dapat dipastikan memberikan pengaruh terhadap lingkungan yang ada di sekitar kawasan Merapi termasuk Kota Yogyakarta. Kadar gas dan debu di udara pada kondisi ini dapat menutup dan masuk ke dalam stomata daun sehingga dapat merusak struktur anatomi daun Bell Treshow 2002. Debu yang menutupi mulut daun akan membatasi proses fotosintesis. Terganggunya proses fotosintesis menyebabkan pembentukan protein dan lemak sebagai sumber energi menjadi sedikit sehingga pertumbuhan tanaman akan terganggu Riikonen et al. 2010. Mudd dan Kozlowzki 1975 menjelaskan bahwa polutan berupa gas dan pertikel yang merusak daun pada umumnya banyak tercatat yaitu perubahan jaringan seperti plasmolisis, granulasi kekacauan sel, hancurnya sel atau mati dan pigmentasi perubahan warna sel menjadi lebih gelap. Pengaruh lain dari masuknya bahan pencemar debu adalah terjadinya perobekan atau luka pada jaringan epidermis, hal ini disebabkan karena debu vulkanik mengandung SiO 2 yang bersifat tajam Sinuaji 2011.

5.2 Stuktur Anatomi Daun Angsana Pterocarpus indicus Willd.

5.2.1 Pengamatan Sediaan Sayatan Paradermal

Hasil pengamatan sayatan paradermal daun angsana baik pada Kota Yogyakarta maupun Solo, hubungan antara stomata dan sel epidermis dapat diklasifikasikan bahwa tipe susunan stomata angsana yaitu tipe stomata anomositik atau ranunculaceous. Tipe stomata anomositik atau ranunculaceous adalah tipe stomata dimana sel penjaganya dikelilingi oleh sejumlah sel tertentu yang tidak berbeda dengan sel epidermis, baik dalam bentuk maupun ukuran Fahn 1991. Letak stomata daun angsana termasuk tipe hipostomatik karena stomata pada tanaman ini hanya dijumpai pada sisi bawah daun atau abaksial. Tanaman angsana memiliki trikoma tidak berkelenjar dengan pangkal membulat dan penonjolan multiseriat Gambar 18. Keterangan: 1 = Sel Epidermis; 2 = Stomata; 3 = Trikoma Tidak Berkelenjar Gambar 18 Penampang sayatan paradermal adaksial daun angsana di Kota Yogyakarta A dan Kota Solo B ; dan paradermal abaksial di Kota Yogyakarta C dan Kota Solo D, skala : 100µm. Hasil pengamatan sayatan paradermal tanaman angsana tidak terjadi kerusakan daun akibat gas dan materi vulkanik, tetapi menunjukkan respon anatomi daun. Pengamatan sayatan paradermal angsana dijumpai beberapa parameter yang menunjukkan berbeda nyata antara Kota Yogyakarta dan Solo. Parameter pengamatan yang berbeda nyata tersebut terdiri dari kerapatan stomata, indeks stomata, dan panjang stomata Tabel 2. Stomata pada jenis tanaman ini dijumpai hanya pada bagian abaksial bawah daun. Tanaman angsana memiliki jenis trikoma tidak berkelenjar yang menyerupai rambut-rambut kasar. Tabel 2 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan sediaan sayatan paradermal daun angsana antara lokasi 1 dan lokasi 2 Parameter Nilai Rata-rata Kota Yogyakarta Nilai Rata-rata Kota Solo Nilai Signifikasi Hasil uji-t Kerapatan stomata abaksial jumlahmm² 133,33 190,26 0,001 BN Indeks stomata 7,76 10,51 0,002 BN Panjang stomata µm 26,65 24,15 0,003 BN Lebar stomata µm 18,17 18,43 0,603 TBN Kerapatan trikoma tidak berkelenjar jumlahmm² 6,00 6,26 0,883 TBN Panjang trikoma tidak berkelenjar µ m 140,56 148,33 0,591 TBN Keterangan: BN : Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95 TBN : Tidak Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95 Kerapatan stomata pada tanaman angsana di Kota Yogyakarta yang terpolusi bahan polutan Gunung Merapi 133,33 jumlahmm² lebih rendah dibandingkan kerapatan stomata pada tanaman kontrol atau tanaman di Kota Solo 190,26 jumlahmm² dan berbeda nyata pada uji-t dengan nilai signifikasi 0,001 Tabel 2. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman yang terpapar polusi udara, secara anatomi memberikan respon dengan cara mengurangi jumlah stomata. Menurut Dickinson 2000, stomata yang berfungsi sebagai tempat utama bagi polutan untuk melakukan penetrasi terhadap tanaman. Frekuensi stomata diasumsikan menjadi variabel signifikan yang mempengaruhi sensivitas tanaman dan ketahanan daun. Kerapatan stomata ini juga diikuti dengan indeks stomata yang rendah juga. Indeks stomata pada Kota Yogyakarta 7,76 lebih rendah dibandingkan pada Kota Solo 10,51 dan berbeda nyata pada uji-t dengan nilai signifikasi 0,002. Pada Kota Yogyakarta, kerapatan stomata yang rendah diikuti dengan ukuran panjang stomata yang tinggi. Hal ini diperjelas oleh Willmer 1983 yang menyatakan bahwa semakin kecil ukuran stomata maka jumlah frekuensi stomata akan meningkat. Ukuran panjang stomata daun angsana pada Kota Yogyakarta 26,65 µm lebih tinggi dibandingkan ukuran panjang stomata di Kota Solo atau kontrol 24,14 µm dan berbeda nyata secara uji-t dengan nilai signifikasi 0,003. Ukuran panjang stomata yang meningkat ini merupakan indikasi adaptasi tanaman terhadap pencemar udara. Menurut Muud dan Kozlowski 1975, tanaman yang tumbuh di lingkungan terpolusi cenderung akan mempertahankan dirinya dengan meningkatkan ukuran stomata. Ukuran panjang stomata yang meningkat ini sangat membantu dalam penyerapan CO untuk fotosintesis. Selain itu, karakteristik stomata yang meliputi ukuran, kerapatan, dan indeks stomata banyak digunakan sebagai bioindikator dan biomonitoring udara Balasooriya et al. 2008. Kerapatan dan indeks stomata yang menurun serta ukuran panjang stomata yang meningkat pada jenis daun angsana di Kota Yogyakarta merupakan salah satu respon adaptasi dan pertahanan hidup tanaman saat terjadi cekaman lingkungan akibat polusi gas dan materi vulkanik. Selain itu, menurunnya kerapatan dan indeks stomata serta meningkatnya ukuran stomata diduga merupakan modifikasi tanaman angsana untuk mengoptimumkan penangkapan gas CO yang digunakan untuk proses fotosintesis. Respon struktur anatomi yang meliputi menurunnya kerapatan dan indeks stomata serta meningkatnya ukuran panjang stomata juga terjadi pada Nicotiana tabacum karena adanya cekaman lingkungan dari gas polutan yang dilaporkan oleh Pedroso Alves 2008. Hasil yang berbeda disampaikan oleh Gostin 2009, salah satu respon Trifolium montanum dan Trifolium repens terhadap cekaman gas polutan adalah dengan meningkatkan kerapatan dan indeks stomata. Hal ini menunjukkan bahwa setiap tanaman memiliki respon yang berbeda-beda terhadap polutan udara, baik gas maupun partikel. Tanaman angsana memiliki trikoma dengan pangkal membulat dan penonjolan multiseriat. Trikoma pada tanaman ini merupakan trikoma tidak berkelenjar. Kerapatan trikoma daun angsana pada Kota Yogyakarta 6,00 jumlahmm² lebih rendah dibandingkan kerapatan trikoma di Kota Solo 6,26 jumlahmm² namun tidak berbeda nyata secara uji-t. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman yang terpolusi gas dan materi vulkanik secara anatomi tidak mempengaruhi kerapatan trikoma. Kondisi perilaku ini tidak lazim karena pada umumnya daun yang memiliki trikoma apabila tercemar gas polutan akan meningkatkan jumlah trikoma tersebut guna mempertahankan dirinya Azmat et al. 2009. Esau 1977 menjelaskan bahwa peran dari trikoma pada tanaman adalah jelas, yaitu pada beberapa tanaman trikoma dapat mencegah kehilangan air. Selain itu, fungsi trikoma tidak berkelenjar diantarnya adalah mencegah kehilangan air, pertahanan fisik terhadap serangga, dan sebagai biomonitoring lingkungan Azmat et al 2009.

5.2.2 Pengamatan Sediaan Sayatan Transversal