Kualitas Udara HASIL DAN PEMBAHASAN

a b Gambar 17 Pohon beringin di Kota Yogyakarta a dan di Kota Solo b.

5.1 Kualitas Udara

Data kualitas udara antara Kota Yogyakarta dan Solo dilakukan perbandingan baik setelah maupun sebelum terjadinya letusan Gunung Merapi. Data kualitas udara pada Kota Yogyakarta dan Solo pada penelitian ini merupakan data sekunder yang diambil dari Balai Lingkungan Hidup di kedua lokasi. Berdasarkan data kualitas udara setelah letusan Gunung Merapi, Balai Lingkungan Hidup BLH Kota Yogyakarta menunjukkan bahwa parameter TSP debu dan NO konsentrasinya lebih tinggi dibanding SO . Hasil perbandingan parameter kualitas udara pada Kota Yogyakarta dan Solo dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Hasil kualitas udara di lokasi penelitian sebelum dan setelah letusan Gunung Merapi tahun 2010 Parameter Hasil Nilai Baku Mutu Yogyakarta Solo Sebelum Letusan Merapi Setelah Letusan Merapi Sebelum Letusan Merapi Setelah Letusan Merapi SO µgNm³ 535,60 51,2 9,28 15,41 900 NO µgNm³ 57,59 533,6 24,808 81,54 400 TSPdebu µgNm³ 172 418 230 Keterangan : = Nilai TSP debu 10 µgNm³ Sumber : BLH Yogyakarta 2010 dan BLH Solo 2010 Data kualitas udara Kota Yogyakarta sesudah letusan Gunung Merapi menggunakan data hasil pemantauan Balai Lingkungan Hidup di Perempatan Tugu pada tanggal 5 November 2010 Lampiran 5. Hal tersebut dikarenakan, data hasil pemantauan kualitas udara merupakan lokasi terdekat dengan lokasi pengambilan sampel daun. Secara umun, debu vulkanik yang berasal dari letusan Gunung berapi memiliki ukuran diameter aerodinamik 10µm atau yang lebih dikenal dengan nama PM 10 . Namun, pada BLH Kota Yogyakarta melakukan pemantauan hingga pada debu yang memiliki ukuran diameter aerodinamik 2,5 µm. Parameter polutan di Kota Yogyakarta yang melebihi dari baku mutu terdiri dari TSP debu dan NO . Kadar debu di Kota Yogyakarta sebelum letusan Gunung Merapi terukur 172 µgNm³ Lampiran 6 – 15, sedangkan kadar debu setelah letusan Gunung Merapi terukur 418 µgNm³. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas udara Kota Yogyakarta melebihi nilai baku mutu yaitu 230 µgNm³ menurut Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien Daerah. Kadar NO di Kota Yogyakarta setelah letusan Gunung Merapi terukur 533,6 µgNm³. Hal tersebut melebihi nilai baku mutu yaitu 400 µgNm³ menurut Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien Daerah. Kadar SO di Kota Yogyakarta setelah letusan Gunung Merapi terukur 51,2 µgNm³. Hal tersebut tidak melebihi nilai baku mutu yaitu 900 µgNm³ menurut Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien Daerah. Kadar SO di Kota Yogyakarta setelah letusan Gunung Merapi mengalami penurunan dibandingkan kadar SO sebelum terjadi letusan Gunung Merapi. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum terjadi letusan Gunung Merapi, gunung ini mengeluarkan gas SO secara terus-menerus. Pada saat setelah letusan Gunung Merapi, kadar gas SO yang dikeluarkan menjadi berkurang. Selain itu, setelah letusan Gunung Merapi keadaan Kota Yogyakarta tertutup debu vulkanik yang mengakibatkan semua kendaraan bermotor dan industri tidak beroperasi. Oleh karena itu, kadar SO pada kandungan udara Kota Yogyakarta setelah letusan Gunung Merapi lebih rendah dibanding sebelum letusan. Hasil pengukuran kadar debu di kota Solo, baik sebelum maupun sesudah letusan gunung Merapi, terukur 10 µgNm³ Lampiran 16 – 23. Hal tersebut tidak melebihi nilai baku mutu yaitu 230 µgNm³ Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 8 Tahun 2001 tentang Baku Mutu Udara Ambein di Provinsi Jawa Tengah. Menurut BLH Kota Solo 2010, kadar debu di Kota Solo dari tahun ke tahun selalu rendah sehingga nilai debu tidak dicantumkan dalam laporan. Selain itu, kualitas udara Kota Solo tidak dipengaruhi oleh letusan Gunung Merapi. Kualitas udara pada Tabel 1 menunjukkan bahwa polutan debu yang dihasilkan oleh letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta nilai konsentrasinya lebih tinggi dibandingkan dengan Kota Solo. Hal ini disebabkan oleh arah dan jarak penyebaran debu vulkanik yang dihasilkan Gunung Merapi bergerak ke arah selatan dan barat dengan jarak sekitar 30 km. Kota Yogyakarta berada di sebelah selatan Gunung Merapi, sedangkan kota Solo berada di sebelah timur gunung Merapi. Oleh karena itu, kadar debu vulkanik di Kota Yogyakarta lebih tinggi dibandingkan di Kota Solo yang tidak tercemar debu vulkanik merapi. Kristanto 2004 menyatakan bahwa pada tempat tertentu konsentrasi partikulat debu dipengaruhi oleh kecepatan emisi melepas debu di udara dan kecepatan dispersi pembersihan debu di udara. Daerah perkotaan memiliki kecepatan dispersi pembersihan dari udara sangat lambat karena kecepatan dispersi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor meterologis seperti kecepatan dan arah angin. Kecepatan angin di Kota Yogyakarta sebelum terjadinya letusan Gunung Merapi berkisar 5,384 Kmjam, sedangkan setelah terjadi letusan Gunung Merapi kecepatan angin meningkat hingga 18 Kmjam. Banyaknya debu dipengaruhi oleh kecepatan angin, dimana debu akan lebih banyak terakumulasi jika kecepatan angin meningkat Scorer 1968. Debu letusan Gunung Merapi ini mengakibatkan suhu udara di Kota Yogyakarta menjadi meningkat. Suhu udara sebelum terjadi letusan yaitu 26,7ºC dan setelah terjadi letusan pada tahun 2010 yaitu 27,3 ºC. Keadaan ini mengindikasikan bahwa kondisi Kota Yogyakarta menjadi lebih panas akibat kadar pencemaran debu vulkanik yang berterbangan di udara. Sastrawijaya 2000 menjelaskan bahwa distribusi zat pencemar juga mempengaruhi suhu. Semakin tingginya kadar pencemar debu vulkanik di Kota Yogyakarta akan terjadi peningkatan suhu. Suhu udara yang meningkat mengakibatkan kelembaban udara menurun. Suhu udara di Kota Solo, sebelum letusan merapi adalah berkisar 28,6°C dan setelah letusan merapi adalah berkisar 29,1 ºC. Keadaan ini mengindikasikan bahwa suhu udara di Kota Solo cenderung lebih stabil baik sebelum dan setelah letusan Gunung Merapi. Tingginya konsentrasi NO dan debu di udara dapat dipastikan memberikan pengaruh terhadap lingkungan yang ada di sekitar kawasan Merapi termasuk Kota Yogyakarta. Kadar gas dan debu di udara pada kondisi ini dapat menutup dan masuk ke dalam stomata daun sehingga dapat merusak struktur anatomi daun Bell Treshow 2002. Debu yang menutupi mulut daun akan membatasi proses fotosintesis. Terganggunya proses fotosintesis menyebabkan pembentukan protein dan lemak sebagai sumber energi menjadi sedikit sehingga pertumbuhan tanaman akan terganggu Riikonen et al. 2010. Mudd dan Kozlowzki 1975 menjelaskan bahwa polutan berupa gas dan pertikel yang merusak daun pada umumnya banyak tercatat yaitu perubahan jaringan seperti plasmolisis, granulasi kekacauan sel, hancurnya sel atau mati dan pigmentasi perubahan warna sel menjadi lebih gelap. Pengaruh lain dari masuknya bahan pencemar debu adalah terjadinya perobekan atau luka pada jaringan epidermis, hal ini disebabkan karena debu vulkanik mengandung SiO 2 yang bersifat tajam Sinuaji 2011.

5.2 Stuktur Anatomi Daun Angsana Pterocarpus indicus Willd.