Lokasi dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Penelitian Parameter anatomi daun yang diamati pada sayatan transversal adalah tebal Analisis Data

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kota Yogyakarta lokasi 1 dari pusat kota ke arah Gunung Merapi sebagai lokasi yang relatif tercemar dan di Kota Solo lokasi 2 sebagai lokasi kurang tercemar atau kontrol. Pembuatan sediaan mikroskopis anatomi daun dilakukan di Laboratorium Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi FMIPA IPB. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni sampai dengan bulan Agustus 2011.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain silet, tabung film, kamera digital, alat tulis, kaca preparat, kaca penutup, mikroskop Olympus CH12, mikrotom Yamato RV-240, kamera mikroskop Olympus, dan oven parafin. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain sampel daun angsana dan beringin, akuades, etanol, entellan, safranin, HNO 50, fastgreen, parafin, gliserin, klorox, xilol, larutan FAA formadehida 37 : asam asetat glasial : alkohol 70 = 5:5:90, seri larutan Johansen Lampiran 1 dan larutan Gifford Lampiran 2.

3.3 Jenis Data

Jenis data terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengamatan dan pengambilan sampel di lapangan serta pengamatan struktur anatomi daun. Data sekunder dikumpulkan sebagai data penunjang.

3.3.1 Data Primer

Data primer yang diukur dan diamati dalam penelitian ini, yaitu: a. Anatomi daun berupa sayatan paradermal, yang meliputi bentuk, ukuran, kerapatan, dan indeks stomata, serta ukuran dan kerapatan trikoma. b. Anatomi daun berupa sayatan transversal, yang meliputi tebal daun, tebal kutikula adaksial dan abaksial, tebal jaringan epidermis adaksial dan abaksial, tebal jaringan palisade adaksial dan abaksial, tebal jaringan bunga karang, serta tebal jaringan hipodermis adaksial dan abaksial.

3.3.2 Data Sekunder

Data yang menunjang dalam penelitian ini berupa data kualitas udara, suhu dan kelembapan udara pada sebelum dan sesudah letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta, serta data kualitas udara pada sebelum dan sesudah letusan Gunung Merapi di Kota Solo. 3.4 Metode Pengambilan Data 3.4.1 Penentuan Jenis Pohon Penentuan jenis pohon sampel dilakukan setelah pengamatan langsung pada kedua lokasi penelitian. Jenis-jenis pohon yang dijadikan sampel adalah jenis pohon yang paling banyak di kedua lokasi penelitian yaitu pohon beringin dan angsana. Posisi pohon yang diambil di Kota Yogyakarta yaitu di alun-alun utara, alun-alun selatan, Jalan Faridan M. Noto, Jalan Gejayan, Kelurahan Muja-muju, Jalan Kusumanegara, dan Jalan Timoho. Posisi pohon yang diambil di Kota Solo yaitu di Balai Kota Surakarta, Jalan Ronggowarsito, Asrama Assalam, dan Kecamatan Lawean.

3.4.2 Pengambilan Sampel Daun

Daun diambil secara acak, untuk sayatan paradermal digunakan daun yang diambil di posisi ke 6 dari pucuk ranting pohon pada 3 cabang yang berbeda dari 5 ulangan pohon dan untuk sayatan transversal digunakan daun yang diambil di posisi ke 5 dari pucuk ranting pohon pada 3 cabang yang berbeda dari 3 ulangan pohon Gambar 1. Daun-daun tersebut dimasukkan ke dalam tabung film yang sudah diisi alkohol 70 dan diberi label Gambar 2. a b Keterangan : P = Posisi daun keenam untuk sayatan paradermal T = Posisi daun kelima untuk sayatan transversal C1 = Posisi daun yang diambil pada cabang pertama C2 = Posisi daun yang diambil pada cabang kedua C3 = Posisi daun yang diambil pada cabang ketiga Gambar 1 Posisi sampel daun yang diambil pada ranting a dan cabang b. a b Gambar 2 Fiksasi daun dalam alkohol 70 pada wadah a dan sampel daun dalam tabung film yang telah berlabel b.

3.4.3 Pembuatan Sediaan Mikroskopis

Sampel daun yang telah diambil kemudian dianalisis di Laboratorium Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi Fakultas MIPA IPB. Pengamatan dilakukan terhadap sayatan paradermal dan transversal daun. 1. Sayatan paradermal dibuat dalam bentuk preparat semi permanen dengan perwarnaan safranin 1 mengikuti metode Wholemount Sass 1951 Lampiran 3 yaitu: a. Daun Difiksasi dalam alkohol 70 b. Larutan fiksatif dibuang lalu diganti dengan akuades. c. Daun dilunakkan dengan merendamnya di dalam larutan HNO 3 50 selama 1 - 4 hari Gambar 3, sebelum dibuat sayatan paradermal, daun dicuci terlebih dahulu dengan akuades. Gambar 3 Perendaman daun di dalam larutan HNO ₃ 50. d. Jaringan epidermis permukaan atas dan bawah daun disayat dengan pinset. Kemudian jaringan palisade yang terbawa dikerik sampai bersih dengan pisau silet sehingga diperoleh lapisan epidermis yang tipis Gambar 4. Gambar 4 Penyayatan epidermis daun dengan silet. e. Sayatan epidermis daun diwarnai dengan pewarna tunggal yaitu safranin 1 aquosa selama 3-5 menit, diberi media gliserin 10 dan ditutup dengan gelas penutup Gambar 5. Gambar 5 Hasil sayatan paradermal. 2. Sayatan transversal digunakan metode parafin Johansen 1940 Lampiran 4. Adapun tahapan pembuatan preparat daun adalah: a. Fiksasi : bahan difiksasi selama 48 jam dalam larutan FAA yang terdiri dari formaldehid, asam asetat glasial dan alkohol 70 dengan perbandingan 5:5:90. b. Pencucian : larutan fiksatif dibuang dan dicuci dengan alkohol 50 sebanyak 4 kali dengan waktu penggantian masing-masing selama 1 jam. c. Dehidrasi dan penjernihan : dilakukan secara bertahap dengan merendam bahan dalam larutan seri Johansen I-VII, adapun komposisi masing- masing larutan seri Johansen Lampiran 1 d. Infiltrasi : wadah berisi material dan campuran TBA, minyak parafin serta parafin beku disimpan pada suhu kamar selama 1-4 jam tutup dibuka Gambar 6; lalu dimasukkan ke dalam oven 58 ºC selama 12 jam tutup dibuka. Keesokan harinya dilakukan 3 kali penggantian parafin setiap 6 jam dalam oven dengan suhu 58 ºC Gambar 7. Gambar 6 Infiltrasi parafin murni. Gambar 7 Oven ABC Labo Corporation KP-30AT. e. Penanaman blok : satu jam sebelum penanaman material, dilakukan penggantian parafin dengan parafin cair murni dan disimpan dalam oven pada suhu 58 ºC. Selanjutnya material siap ditanam dalam blok parafin Gambar 8. a b Gambar 8 Penanaman dalam blok parafin a dan pengaturan posisi sampel b. f. Pelunakkan jaringan : blok yang berisi material dilunakkan dengan merendam dalam larutan Giffort Lampiran 2 selama satu minggu Gambar 9 Gambar 9 Perendaman blok di dalam larutan Gifford. g. Penyayatan : blok yang sudah dirapikan ditempel pada holder dan disayat dengan mikrotom putar Yamato RV-240 setebal 9 µm Gambar 10. a b Gambar 10 Penempelan blok pada holder a dan mikrotom putar Yamato RV- 240 b. h. Perekatan : sayatan direkatkan pada gelas obyek yang telah diolesi gelas albumin-gliserin dan ditetesi air. Kemudian gelas berisi pita parafin dipanaskan pada hot-plate dengan suhu 40 ºC selama 24 jam Gambar 11. Gambar 11 Pemanasan pita parafin pada hot-plate. i. Pewarnaan : dilakukan pewarnaan ganda yang terdiri dari safranin 2 dalam air dan fast-green 0,5 dalam etanol 95. j. Penutupan : bahan diberi media entellan lalu ditutup dengan gelas penutup Gambar 12. Gambar 12 Pemberian media perekat entellan. k. Pengeringan : preparat di masukkan ke dalam oven Memmert dengan suhu 41ºC agar media entellan cepat kering Gambar 13. a b Gambar 13 Preparat yang siap dimasukkan ke oven a dan Oven Memmert b.

3.4.4 Pengamatan Sediaan Mikroskopis

Parameter anatomi daun yang diamati diantaranya : a. Pada sediaan sayatan paradermal adalah ukuran, bentuk, dan jumlah stomata, jumlah sel epidermis, serta ukuran, bentuk dan jumlah trikoma kelenjar atau tidak berkelenjar. Semua pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop Olympus CH12. Pengamatan jumlah, bentuk dan ukuran stomata, jumlah sel epidermis, serta ukuran trikoma kelenjar dilakukan pada perbesaran 40 x 10. Jumlah trikoma kelenjar, serta jumlah dan ukuran trikoma tidak berkelenjar diamati pada perbesaran 10 x 10. Pengamatan jumlah stomata dan sel epidermis diamati pada lima bidang pandang yang berbeda dengan lima ulangan, sedangkan pengamatan trikoma kelenjar atau tidak berkelenjar dilakukan pada tiga bidang pandang yang berbeda dengan lima ulangan. Jumlah stomata dan sel epidermis digunakan untuk mendapatkan indeks stomata Willmer 1983. Kerapatan stomata dan trikoma didapatkan dengan perbandingan jumlah stomata atau trikoma dengan luas bidang pandang Willmer 1983. Penentuan indeks dan kerapatan stomata dengan rumus sebagai berikut: IS = Σ stomata x 100 Σ stomata + Σ sel epidermis KS = Σ stomata mm² Luas bidang pandang Luas bidang pandang = πr₀² Keterangan : IS = Indeks Stomata KS = Kerapatan Stomata r₀ = Jari-jari bidang pandang pada mikroskop Rumus yang sama digunakan untuk menentukan kerapatan trikoma

b. Parameter anatomi daun yang diamati pada sayatan transversal adalah tebal

kutikula adaksial dan abaksial, tebal daun, tebal epidermis adaksial dan abaksial, tebal palisade adaksial dan abaksial, tebal bunga karang, serta tebal hipodermis adaksial dan abaksial. Pengamatan menggunakan mikroskop Olympus CH12 dengan perbesaran 100 x 10 untuk parameter tebal kutikula adaksial dan abaksial, serta perbesaran 40 x 10 untuk parameter tebal daun, tebal epidermis adaksial dan abaksial, tebal palisade adaksial dan abaksial, tebal bunga karang, serta tebal hipodermis adaksial dan abaksial. Pengamatan dilakukan pada empat bidang pandang yang berbeda dengan tiga ulangan tanaman.

3.5 Analisis Data

Data dianalisis dengan uji t-student menggunakan Statistic Product and Service Solution SPSS 16.0 untuk menguji pembandingan antara tanaman di lokasi yang relatif tercemar dengan lokasi kurang tercemar. Parameter anatomi yang yang dibandingkan meliputi kerapatan stomata, indeks stomata, ukuran stomata, tebal daun, tebal kutikula adaksial dan abaksial, tebal epidermis adaksial dan abaksial, tebal palisade adaksial dan abaksial, tebal bunga karang serta tebal hipodermis adaksial dan abaksial. Kriteria uji menggunakan tingkat kepercayaan 95 atau jika nilai t-hit t- tabel, maka terdapat perbedaan yang nyata. Asumsi : H : Pencemaran udara dari debu vulkanik Merapi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap parameter yang diamati. H 1 : Pencemaran udara dari debu vulkanik Merapi memberikan pengaruh nyata terhadap parameter yang diamati. Hasil analisis statistik data yang dianalisis didapatkan dengan menggunakan nilai signifikansi. Signifikansi 0,05 = Berbeda Nyata Tolak H , terima H 1 Signifikansi ≥ 0,05 = Tidak Berbeda Nyata Tolak H 1 , terima H

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Kota Yogyakarta 4.1.1 Sejarah dan Perkembangan Kota Yogyakarta Kota Yogyakarta terletak di Pulau Jawa, 500 km ke arah selatan dari DKI Jakarta, Ibukota Negara Republik Indonesia. Secara historis, Kota Yogyakarta berawal dari sebuah Kota Istana atau Kota Keraton yang bernama Ngayogyakarta Hadiningrat yang terletak di daerah agraris pedalaman Jawa yang dibangun pada tahun 1756 oleh Sultan Hamengkubuwono I Pangeran Mangkubumi. Pendirian kota ini dilakukan setelah terjadi peristiwa Palihan Nagari atau Pembagian Dua Kerajaan Surakarta – Yogyakarta pada tahun 1755 sebagai hasil perjanjian Giyanti. Pada awal perkembangannya, permukiman di Kota Yogyakarta cenderung memusat pada poros besar selatan-utara. Permukiman berupa kampung tempat tinggal penduduk lambat laun tumbuh di sekitar poros yang melintasi istana dari alun-alun utara, Jalan Malioboro hingga ke Tugu. Tempat-tempat permukiman itu lazim disebut sebagai kampung dan namanya diberikan sesuai dengan tugas dan pekerjaan dari penduduk yang menempatinya. Pada awal abad ke 20 pola permukiman penduduk dan stuktur kota tampak semakin memusat dan padat. Kota Yogyakarta dikenal memiliki karakter khas yang mewarnai kehidupan masyarakatnya.

4.1.2 Letak Geografis dan Batas Administratif

Kota Yogyakarta berkedudukan sebagai ibukota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan merupakan satu-satunya daerah tingkat II yang berstatus kota disamping empat daerah tingkat II lainnya yang berstatus kabupaten. Berdasarkan BPS Yogyakarta 2011 , Kota Yogyakarta terletak pada 7º 49’ 26” - 7º 15’ 24” Lintang Selatan dan 110º 24’ 19” - 110º 28’ 53” Bujur Timur pada ketinggian rata-rata 114 m dpl. Sebagai ibukota Provinsi DIY, Kota Yogyakarta menjadi sentra kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya.