Tanin Sebagai Perekat Sifat Fisik Tanin

dengan perbandingan air 1 : 3 bisa menghasilkan ekstrak tanin cair sebanyak 8 kali bobot kulitnya Santoso 1990. Suhu yang digunakan untuk ekstraksi tanin biasanya berkisar antara 70ºC sampai 80ºC. Penggunaan suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan zat-zat selain tanin ikut terlarut, seperti gula-gula bebas, asam-asam sederhana, garam organik dan material lain Buchanan 1952 diacu dalam Citraningtyas 2002. Penggunaan suhu diatas 80ºC dalam ekstraksi tanin akan meningkatkan hasil ekstraknya, tetapi kualitas yang dihasilkan menjadi kurang baik, hal ini disebabkan viskositas dari tanin meningkat. Namun jika digunakan aseton-air sebagai pelarut maka sebaiknya dilakukan dalam suhu kamar Makkar 1999. Ekstraksi tanin yang baik adalah pada suhu 60ºC sampai 70ºC, bila suhu ekstraksi diatas 70ºC, air akan menguap sehingga tanin akan mengendap kembali. Sedangkan suhu dibawah 60ºC kurang efisien, karena dengan peningkatan suhu ekstraksi, jumlah tanin yang terlarut akan semakin banyak. Penggunaan suhu tinggi dalam ekstraksi mengakibatkan reaksi yang terjadi lebih kuat karena energi yang dihasilkan tinggi, sehingga ada zat-zat yang seharusnya tidak larut dalam air karena pengaruh suhu yang tinggi menjadi larut. Menurut Browning 1966 diacu dalam Citraningtyas 2002, faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas tanin antara lain: kondisi kulit, jenis pelarut yang digunakan, kemungkinan adanya logam besi dan temperatur selama ekstraksi. Achmadi et al. 2002, menyatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi efisiensi dari hasil ekstraksi antara lain: tipe pelarut, suhu dan waktu ekstraksi, ukuran partikel kulit, perbandingan antara kulit dan pelarut, dan tahapan ekstraksi. Selain itu disamping jenis kayu, umur pohon, tempat tumbuh, serta faktor cuaca juga turut mempengaruhi kandungan dan komposisi zat ekstraktifnya.

2.4.4 Tanin Sebagai Perekat

Kulit kayu akasia mengandung tanin dalam jumlah yang tinggi dan bisa mencapai 48 dari kulit kayu dengan kualitas yang baik sehingga sangat berpotensi untuk dijadikan bahan perekat kayu Yano et al. 2003, diacu dalam Subyakto et al. 2005. Menurut Santoso 1998, tanin adalah senyawa organik yang kompleks, kristalnya berbentuk amorf dan dapat larut dalam air dengan membentuk cairan berwarna. Tanin diklasifikasikan menjadi dua yaitu tanin terhidrolisis hidrolizable tannin dan tanin terkondensasi condensed tannin. Tanin terhidrolisis terdiri dari campuran fenol sederhana seperti pyrogallol dan asam ellagat, ester gula yang sebagian besar termasuk glukosa, asam galat dan digalat. Tanin terhidrolisis jarang terdapat pada kayu. Tanin jenis ini banyak terdapat pada kelompok myrobalans, dividivi dan chesnut. Karena kereaktifannya yang rendah terhadap formaldehida maka tanin terhidrolisis menjadi tidak penting pada produksi perekat. Sedangkan tanin terkondensasi mencakup 90 dari total produksi dunia untuk tujuan komersil, terutama untuk pembuatan perekat. Terdapat pada kayu maupun kulit pohon, seperti schinopsis, akasia dan pinus. Komponen-komponen utama tanin terkondensasi adalah katekin flavan-3-ol dan leukoantosianidin flavan-3,4-diol yang termasuk dalam golongan flavonoid dan secara garis besar dapat digolongkan menjadi empat yaitu monoflavonoid, biflavonoid, triflavonoid dan tetraflavonoid Pizzi 1983. Pembentukan perekat tanin formaldehida didasarkan pada reaksi antara tanin dengan formaldehida, sehingga tanin formaldehida merupakan suatu polimer, dalam reaksi polimerisasi tersebut dapat ditambahkan bahan lain seperti urea sehingga menghasilkan tanin urea formaldehida yang merupakan suatu kopolimer Pizzi 1983.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan dari bulan Agustus sampai dengan Desember 2010, bertempat di Laboratorium Biokomposit, Laboratorium Kimia Hasil Hutan, dan Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu dan kulit akasia Acacia mangium Willd yang diperoleh dari sekitar kampus IPB Darmaga Bogor. Kayu akasia digunakan sebagai partikel, sedangkan kulitnya digunakan sebagai ekstender perekat urea formaldehida. Kayu dan kulit yang digunakan berasal dari pohon yang berbeda. Perekat urea formaldehida yang digunakan diperoleh dari PT. Palmolite Adhesive Industri. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: golok, ember plastik, timbangan elektrik, oven, desikator, mesin flaker, hammer mill, saringan 40, 60 dan 100 mesh, erlenmeyer, plastik, penangas air water bath, kertas saring, drum pencampur blender, penyemprot perekat spray gun, pencetak papan, aluminium foil, kempa panas hot press. kaliper, circular saw, UTM Universal Testing Machine, dan sekrup.

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis faktorial 3 x 2 dalam Rancangan Acak Lengkap RAL dengan tiga ulangan. Faktor A adalah jenis ekstender dengan tiga taraf yaitu serbuk A1, ekstrak tanin A2 dan residu A3. Faktor B adalah kadar ekstensi dengan dua taraf yaitu 10 B1 dan 20 B2 dari berat resin solid content. Persamaan umum rancangan percobaan yang digunakan adalah sebagai berikut : Yijk = µ + αi + βj + αβij + εijk