b. Sifat Fisik Tanin
1. Umumnya tanin mempunyai berat molekul tinggi dan cenderung mudah
dioksidasi menjadi suatu polimer, sebagian besar tanin bentuknya amorf dan tidak mempunyai titik leleh.
2. Tanin berwarna putih kekuning-kuningan sampai coklat terang, tergantung
dari sumber tanin tersebut. 3.
Tanin berbentuk serbuk atau berlapis-lapis seperti kulit kerang, berbau khas dan mempunyai rasa sepat astringent.
4. Warna tanin akan menjadi gelap apabila terkena cahaya langsung atau
dibiarkan di udara terbuka. 5.
Tanin mempunyai sifat atau daya bakterostatik, fungistatik dan merupakan racun.
2.4.3 Ekstraksi Tanin
Tanin dapat dipisahkan dari kayu atau kulit kayu melalui ekstraksi dengan menggunakan campuran pelarut netral atau pelarut tunggal. Umumnya tanin
diekstrak dengan menggunakan pelarut air, karena lebih murah dengan hasil yang relatif cukup tinggi, tetapi tidak menjamin jumlah senyawa polifenol yang
dihasilkan Risnasari 2002. Penggunaan pelarut air hanya menghasilkan peningkatan jumlah karbohidrat saja sedangkan presentase tanin dalam ekstrak
tidak berubah, bahkan lebih rendah Pizzi 1983. Kandungan tanin akasia cukup tinggi antara 13 sampai 22 dari bobot kering bila diekstraksi dengan air.
Menurut Browning 1966 diacu dalam Risnasari 2002, menyatakan bahwa untuk memperoleh ekstrak dengan kualitas dan kuantitas yang tinggi,
umumnya digunakan etanol atau aseton dengan perbandingan volume air yang sebanding. Ekstraksi dengan menggunakan pelarut aseton-air menghasilkan
kandungan padat lebih tinggi dibandingkan ekstraksi dengan air. Achmadi dan Darmawan 1991 mengatakan bahwa ekstraksi tanin dengan
air memperlihatkan sifat rekat yang lebih baik dibandingkan ekstraksi dengan etanol 95 dan larutan bisulfit 4. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
rendemen kulit akasia berkisar 5 sampai 12. Kulit tersebut bila diekstrak
dengan perbandingan air 1 : 3 bisa menghasilkan ekstrak tanin cair sebanyak 8 kali bobot kulitnya Santoso 1990.
Suhu yang digunakan untuk ekstraksi tanin biasanya berkisar antara 70ºC sampai 80ºC. Penggunaan suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan zat-zat
selain tanin ikut terlarut, seperti gula-gula bebas, asam-asam sederhana, garam organik dan material lain Buchanan 1952 diacu dalam Citraningtyas 2002.
Penggunaan suhu diatas 80ºC dalam ekstraksi tanin akan meningkatkan hasil ekstraknya, tetapi kualitas yang dihasilkan menjadi kurang baik, hal ini
disebabkan viskositas dari tanin meningkat. Namun jika digunakan aseton-air sebagai pelarut maka sebaiknya dilakukan dalam suhu kamar Makkar 1999.
Ekstraksi tanin yang baik adalah pada suhu 60ºC sampai 70ºC, bila suhu ekstraksi diatas 70ºC, air akan menguap sehingga tanin akan mengendap kembali.
Sedangkan suhu dibawah 60ºC kurang efisien, karena dengan peningkatan suhu ekstraksi, jumlah tanin yang terlarut akan semakin banyak. Penggunaan suhu
tinggi dalam ekstraksi mengakibatkan reaksi yang terjadi lebih kuat karena energi yang dihasilkan tinggi, sehingga ada zat-zat yang seharusnya tidak larut dalam air
karena pengaruh suhu yang tinggi menjadi larut. Menurut Browning 1966 diacu dalam Citraningtyas 2002, faktor-faktor
yang mempengaruhi kualitas tanin antara lain: kondisi kulit, jenis pelarut yang digunakan, kemungkinan adanya logam besi dan temperatur selama ekstraksi.
Achmadi et al. 2002, menyatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi efisiensi dari hasil ekstraksi antara lain: tipe pelarut, suhu dan waktu ekstraksi,
ukuran partikel kulit, perbandingan antara kulit dan pelarut, dan tahapan ekstraksi. Selain itu disamping jenis kayu, umur pohon, tempat tumbuh, serta faktor cuaca
juga turut mempengaruhi kandungan dan komposisi zat ekstraktifnya.
2.4.4 Tanin Sebagai Perekat