Parameter Fisika Kimia Perairan

68 perbedaan suhu antara atmosfer dan air berkorelasi positif dengan cuaca dan waktu pengambilan data. Stasiun Tanjung Tembing dan stasiun Panamparan adalah bukti bahwa cuaca sangat berpengaruh, dikarenakan saat pengambilan data dilakukan pada saat cuaca mendung sedangkan stasiun lainnya pada saat kondisi cuaca cerah. Tingginya suhu pada saat pasang dari pada saat surut di hampir seluruh stasiun dikarenakan pengambilan data dilakukan pada siang hari yaitu pada pukul 10.00 – 13.00 WIB sehingga menyebabkan suhu air tinggi karena mendapatkan sinar matahari secara langsung. Sedangkan data surut dilakukan pengambilan pada sore hari jam 15.00-17.00 WIB dimana intensitas matahari yang diterima lebih sedikit dibandingkan siang hari. Suhu memiliki peranan penting bagi kehidupan biota perairan. Effendi 2003 menyatakan bahwa suhu memiliki peran terhadap proses fisika kimia dan biologi. Setiap organisme yang memiliki kisaran suhu maksimum maupun minimum dalam melangsungkan kehidupannya. Kenaikan suhu dapat meningkatkan laju metabolisme pada organisme Affandi dan Tang, 2002. Semakin tinggi suhu maka semakin meningkat pula laju metabolisme yang terjadi dan mengakibatkan oksegen terlarut DO yang ada di perairan semakin menurun karena banyak dimanfaatkan oleh organisme. Siagian 2001 in Suwondo et al., 2010 menyatakan bahwa suhu optimum bagi kehidupan organisme bentik adalah berkisar antara 25 - 32 C. Welch 1980 in Diniarti 2010 menambahkan bahwa suhu diatas 34 – 40 C merupakan suhu letal yang dapat menyebabkan kematian bagi makroavertebrata bentik. Saenger 2002 menambahkan bahwa laju respirasi dan fotosintesis memiliki dampak yang sangat signifikan dengan laju terendah apda suhu 17 C dan tertingggi pada suhu 25 C. Bagi kehidupan mangrove suhu berperan penting dalam proses fisiologis, seperti fotosintesis dan respirasi. Pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu rata-rata minimal lebih besar dari 20 C dan perbedaan suhu musiman tidak melebihi 5 C, kecuali di Afrika Timur dimana perbedaan suhu musiman mencapai 10 C Kusmana, 2008. Temperatur perairan sangat dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya : musim, ketinggian dari permukaan laut, limbah, lintang, penutupan awan, sirkulasi udara, aliran, serta kedalaman suatu perairan Effendi 2003; Nurjaya 2006. 69 Gambar 14 Sebaran nilai fisika kimia air pada stasiun pusat pencemaran 70 Salinitas khususnya diwilayah pesisir terlebih lagi di ekosistem mangrove memiliki tingkat fluktuasi yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan wilayah pesisir merupakan daerah peralihan pasang surut dimana pengaruh darat dan laut sangat berpengaruh terhadap mangrove maupun habitat biota akuatik. Pada lokasi penelitian untuk salinitas terbagi menjadi 3 yaitu : pertama, untuk lokasi point source pencemaran A1, A4, A7 dan A10 yaitu berkisar antara 4,33 – 16,67 00 pada saat surut dan 4,00 – 17,00 00 pada saat pasang; kedua, pada ekosistem mangrove A8, A11 dan A13 berkisar antara 28,50 – 29,67 00 saat pasang dan 28,00 – 28,33 00 saat surut; ketiga, yaitu pada lokasi kearah laut setelah ekosistem mangrove A3, A6, A9, A12 dan 14 memiliki salinitas 28,83 – 33,67 00 saat pasang dan 28,17 – 32,50 00 saat surut Gambar 14, 15, dan 16. Rendahnya salinitas di stasiun A1, A4, A7 dan A10 dikarenakan pada stasiun tersebut air yang diukur adalah air payau dari limbah penduduk yang berasal dari sumur yang ada di sekitar rumah mereka. Adapun stasiun A8, A11 dan A13 dimana mangrove ditemukan, salinitas berada pada kisaran yang optimum bagi kehidupan mangrove yaitu sampai dengan 34 00 Kep Men LH No 51 Tahun 2004. Sedangkan untuk stasiun A3, A6, A9, A12 dan 14 dimana perairan tersebut adalah perairan laut dimana memiliki rata-rata nilai salinitas yang tinggi dan sangat mendukung bagi kehidupan terumbu karang dan lamun berdasarkan Kep Men LH No 51 Tahun 2004. pH yang biasa dikenal sebagai derajat keasaman digunakan sebagai penunjuk apakah suatu larutan tersebut bersifat asam atau basa. pH di perairan khususnya pesisir sangat fluktuatif tergantung dari masukan air tawar dari darat maupun air laut. pH juga sangat dipengaruhi oleh pasang dan surut air laut. Sebagian besar biota akuatik memiliki sensitifitas yang sangat terhadap pH. pH optimum yang disukai adalah berkisar antara 7 – 8,5 Effendi, 2003. pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan misalnya proses nitrifikasi akan berakhir apabila pH rendah. Nilai pH di lokasi penelitian pada saat pasang berkisar antara 6,74 – 7,52 Gambar 14, 15, dan 16. Nilai pH terendah terletak pada stasiun A1 dimana pusat pencemaran di desa tersebut berkumpul dan tertinggi pada stasiun A14 yaitu di Desa Sepanjang. Adapun pada saat surut 71 Gambar 15 Sebaran nilai fisika kimia air pada stasiun mangrove 72 berkisar antara 6,76 - 7,48 dengan nilai pH terendah berada pada stasiun A7 pusat pencemaran dan tertinggi pada stasiun A14 setelah ekosistem mangrove. Nilai pH tertinggi baik pasang maupun surut berada di stasiun yang sama dikarenakan perairan tersebut bersubstrat pasir tanpa vegetasi mangrove. Berdasarkan baku mutu Kep Men LH No 51 Tahun 2004 nilai pH pada seluruh stasiun pengamatan berada pada kisaran 7,0 – 8,5 sehingga memiliki kondisi yang baik bagi kehidupan organisme dan mangrove. Nilai pH juga sangat berpengaruh pada kehidupan makrozoobentos khususnya kelas gastropoda, dimana nilai pH yang disukai adalah 7 Moss in Suwondo et al., 2006. Kecerahan suatu perairan sangat dipengaruhi oleh bahan organik maupun anorganik yang terdapat di perairan tersebut. Kecerahan berbanding terbalik dengan kekeruhan dan TSS. Semakin tinggi kecerahan maka semakin rendah nilai Kekeruhan dan TSS. Demikian pula sebaliknya semakin rendah nilai kecerahan maka semakin tinggi nilai kekeruhan dan TSS. Apabila suatu perairan memiliki nilai kekeruhan dan TSS yang tinggi, maka penetrasi cahaya kedalam perairan akan terganggu sehingga menyebabkan terganggunya produktivitas suatu perairan Nybakken, 1992. Dari keseluruhan stasiun pengamatan, nilai kecerahan menunjukkan angka 100. Hal tersebut dikarenakan lokasi pengambilan sample adalah aliran air yang kecil dan dangkal serta di pantai yang dangkal pula. Nilai kekeruhan menunjukkan bahwa stasiun A1, A4, A7 dan A10 memiliki nilai kekeruhan yang sangat tinggi yaitu berkisar antara 40,05 – 43,04 NTU saat pasang 45,62 – 49,13 NTU saat surut. Fenomena ini diduga dikarenakan stasiun tersebut merupakan kawasan yang paling besar menerima beban limbah langsung dari penduduk. Adapun stasiun A8, A11, dan A13 dimana ekosistem mangrove berada memiliki tingkat kekeruhan yang bervarisi baik disaat pasang maupun surut. Pada saat pasang nilai kekeruhan berkisar antara 13,1 – 30,6 NTU, sedangkan saat surut berkisar antara 16 – 34,64 NTU. Bervariasinya nilai tersebut dikarenakan kawasan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda dalam kaitannya dengan faktor oseanografi maupun masukan dari daratan. Adapun stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14 merupakan daerah yang memiliki nilai kekeruhan paling kecil, yaitu berkisar 3,43 – 3,85 NTU saat pasang dan 4,55 – 73 Gambar 16 Sebaran nilai fisika kimia air pada stasiun setelah ekosistem mangrove 74 8,81 NTU saat surut. Meskipun stasiun ini adalah berbatasan langsung dengan laut yang seharusnya memiliki nilai kekeruhan yang tinggi, namun demikian hampir keseluruhan stasiun memiliki nilai kekeruhan yang rendah dan baik bagi biota laut. Berdasarkan Kep Men LH No 51 Tahun 2004 nilai kekeruhan maksimum untuk biota laut adalah 5 NTU. Namun demikian hanya sebagian kecil dari seluruh stasiun yang memiliki kekeruhan yang memenuhi syarat, diantaranya yaitu stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14 dan itupun hanya pada saat pasang, namun saat surut hampir seluruhnya memiliki kekeruhan lebih dari 5 NTU. Nilai kekeruhan sangat ditentukan oleh besarnya nilai kandungan nutrien dalam dari sedimen Prartono dan Hasena, 2009. Semakin tinggi nutrien yang ada, maka semakin besar pula nilai kekeruhan dalam suatu perairan. Nilai TSS di seluruh lokasi penelitian memiliki nilai yang berbanding lurus dengan kekeruhan. Pada stasiun A1, A4, A7 dan A10 memiliki nilai TSS rata-rata berkisar antara 152,79 – 183,54 mgL pada saat pasang dan 154,48-182,1 mgL pada saat surut. Tingginya nilai TSS dikarenakan banyaknya beban pencemar yang terakumulasi di stasiun tersebut. Penurunan kualitas air yang dibarengi dengan peningkatan nilai TSS akan berdampak langsung dalam menghambat laju fotosintesis tumbuhan perairan sehingga secara langsung pula menurunkan nilai DO dalam perairan yang diakibatkan terhambatnya penetrasi sinar matahari. Pada stasiun A8, A11, dan A13 nilai TSS pada saat pasang berkisar antara 87 - 106 mgL, dan pada saat surut 98 - 128 mgL. Adapun stasiun yang berbatasan langsung dengan laut yaitu stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14 memiliki nilai TSS pada saat pasang berkisar antara 31 - 36 mgL dan pada saat pasang rata-rata berkisar antara 37 - 69 mgL Gambar 14, 15, dan 16. Secara umum nilai TSS pada saat surut di seluruh stasiun penelitian lebih tinggi apabila dibandingkan dengan saat pasang. Kadar oksigen terlarut pada perairan sangat dipengaruhi oleh kualitas air lainnya, misalnya kekeruhan, suhu, salinitas, TSS, pergerakan massa air, tekanan atmosfer. Selain itu kadar oksigen terlarut juga sangat dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah Effendi, 2003. Terkait dengan limbah, kadar oksigen bisa jadi menjadi sangat rendah sebagai akibat aktivitas mikroorganisme pengurai yang membutuhkan oksigen dalam proses penguraian yang 75 mengakibatkan do menjadi rendah. Konsentrasi rata-rata oksigen terlarut di Pulau Sepanjang tersebar merata dan hampir seragam pada stasiun pengamatan yang sama karakteristiknya. Pada stasiun A1, A4, A7 dan A10 memiliki nilai DO yang rendah yaitu berkisar antara 4,12 – 4,33 mgL pada saat pasang dan antara 4,08 - 4,25 mgL pada saat surut. Hal tersebut dikarenakan titik pengambilan sample merupakan pusat pertemuan pencemaran sehingga DO yang ada banyak dimanfaatkan oleh bakteri pengurai dalam proses penguraian. Adapun pada stasiun A8, A11, dan A13 yang diambil pada wilayah mangrove diketahui bahwa konsentrasi DO berkisar antara 5,45 – 5,80 mgL pada saat pasang dan antara 5,33 – 5,96 mgL. Sedangkan stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14 memiliki konsentrasi do antara 5,67 – 6,34 mgL pada saat pasang dan antara 5,10 – 6,22 mgL. Berdasarkan standar baku mutu air laut bagi peruntukan biota laut Kep Men LH No 51 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa konsentrasi oksigen terlarut adalah 5. Suwondo et al., 2006 menambahkan bahwa organisme di pantai dapat hidup minimal dengan kondisi DO 4 ppm tergantung dari ketahanan organisme, keaktifan, kehadiran bahan pencemar, dan suhu air. Oleh karena itu untuk seluruh stasiun yang merupakan ekosistem mangrove stasiun A8, A11, dan A13 dan stasiun di sisi laut stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14 masih memenuhi syarat dan baik dalam kondisi pasang maupun surut. Namun untuk stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14 yang merupakan pusat asal pencemaran sudah tidak memenuhi syarat bagi kehidupan biota menurut Kep Men LH No 51 Tahun 2004 namun masih sesuai menurut Suwondo et al., 2006. Konsentrasi bahan organik total dalam air pada stasiun pengamatan sangat bervariasi tergantung dimana lokasi pengamatan dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan informasi bahwa konsentrasi TOM pada stasiun A1, A4, A7 dan A10 pada saat surut adalah sebesar 55,1 – 57,82 mgL dan pasang berkisar antara 51,05 – 55,54 mgL. Konsentrasi terbesar ditemukan pada stasiun A7 yaitu 57,82 mgL saat surut dan 55,54 saat pasang. Besarnya nilai tersebut diakibatkan oleh banyaknya penduduk yang mendiami stasiun tersebut dan banyak membuang limbah serta pada stasiun tersebut terdapat dermaga perahu yang cukup aktif yang berpotensi meningkatkan konsentrasi bahan organik. Konsentrasi bahan organik pada stasiun A8, A11, dan A13 saat surut berkisar antara 13,66 - 30 mgL dan 76 pasang berkisar antara 24,37 – 30,43 mgL. Adapun pada stasiun A3, A6, A9, A12, dan A13 konsentrasi bahan organik pada saat surut berkisar antara 10,18 – 13,93 mgL dan pada saat pasang berkisar antara 12,32 – 28,65 mgL Gambar 14, 15, dan 16. Secara umum konsentrasi bahan organik semakin kearah laut semakin mengecil khususnya di rentetan stasiun yang melewati ekosistem mangrove. Hal tersebut dikarenakan bahan organik yang melawati mengendap ke dasar perairan dan mengalami pencucian. Fosfor merupakan salah satu nutrien yang dimanfaatkan dalam pertumbuhan alga Effendi, 2003. Fosfor yang ditemukan dalam perairan berupa ortofosfat dan polifosfat. Fosfat banyak ditemukan di perairan apabila perairan tersebut mengalami pencemaran bahan organik baik yang berasal dari limbah penduduk maupun pertanian yang menggunakan pupuk dalam usaha pertaniannya. Konsentrasi fosfat pada stasiun A1, A4, A7 dan A10 pada saat surut berkisar antara 0,23 – 0,29 mgL dan pada saat pasang berkisar antara 0,18 – 0,28 mgL Gambar 14, 15, dan 16. Besarnya konsentrasi fosfat di stasiun-stasiun tersebut dikarenakan banyaknya limbah organik dari buangan penduduk. Adapun pada stasiun A8, A11, dan A13 pada saat surut konsentrasi fosfat berkisar antara 0,04 – 0,07 mgL dan pada saat surut berkisar antara 0,06 – 0,1 mgL. Sedangkan pada stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14 konsentrasi fosfat pada saat surut berkisar antara 0,02 – 0,16 mgL dan pada saat pasang berkisar antara 0,04 – 0,13 mgL. Berdasarkan standar baku mutu air laut bagi peruntukan biota laut dalam Kep Men LH No 51 Tahun 2004 kandungan fosfat maksimum adalah 0,015 mgL, maka dapat diketahui bahwa secara keseluruhan memiliki konsentrasi fosfat yang tidak memungkinkan bagi kehidupan biota laut. Effendi 2003 menjelaskan bahwa perairan yang memiliki kandungan fosfat melebihi 0,1 merupakan perairan eutrofik yang berpotensi terjadi blooming. Konsentrasi deterjen pada hasil penelitian menunjukkan bahwa pada stasiun A1, A4, A7 dan A10 pada saat surut 1,27 – 1,46 mgL, pasang 0,99 - 1,24 mgL. Konsentrasi deterjen tertinggi ditemukan pada stasiun A1 dikarenakan stasiun pengamatan sangat dekat dengan aktifitas penduduk yang cukup padat. Adapun konsentrasi deterjen pada stasiun A8, A11, dan A13 pada saat surut berkisar antara 0,44 – 1,04 mgL dan pada saat pasang berkisar antara 0,86 – 0,92 77 mgL. Sedangkan pada stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14 konsentrasi deterjen pada saat surut adalah 0,36 – 0,96 mgL dan pada saat pasang 0,37 – 0,64 mgL Gambar 14, 15, dan 16. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh stasiun yang berada pada point source pencemaran memiliki konsentrasi deterjen diatas 1 mgL. Adapun untuk stasiun ekosistem mangrove dan stasiun setelah ekosistem mangrove secara umum memiliki konsentrasi deterjen yang cukup rendah yaitu dibawah 1 mgL. Berdasarkan standar baku mutu air laut bagi peruntukan biota laut dalam Kep Men LH No 51 Tahun 2004, kandungan deterjen yang diizinkan adalah 1 mgL sehingga secara umum kondisi perairan di Pulau Sepanjang adalah mendukung bagi kehidupan biota akuatik. BOD merupakan jumlah oksigen yang didigunakan dalam proses biokimia bahan organik oleh organisme yang terdapat dalam air, pada keadaan aerobik yang diinkubasi pada suhu 20 C selama 5 hari BOD5 APHA, 2005. Nilai BOD 5 di suatu perairan dapat dijadikan petunjuk dalam menentukan tingkat pencemaran bahan organik suatu perairan Effendi, 2003. Nilai BOD 5 berbanding lurus dengan konsentrasi bahan organik yang terdekomposisi menggunakan sejumlah oksigen di perairan. Nilai BOD 5 berkisar antara 2,36 – 4,07 mgL pada saat pasang dan 2,27 – 3,96 mgL saat surut Gambar 14, 15, dan 16. Nilai tertinggi pada seluruh stasiun rata-rata diperoleh pada stasiun pusat pencemaran, sedangkan nilai BOD 5 terendah rata-rata ditemui setelah ekosistem mangrove. hal tersebut sesuai dengan kondisi DO di lokasi penelitian berbanding terbalik dengan nilai BOD 5 . Hal tersebut dikarenakan oksigen dipakai oleh oleh mikroorganisme dalam proses oksidasi bahan organik. Nitrat merupakan senyawa nitrogen yang paling banyak ditemukan di perairan. Nitrat juga merupakan nutrien utama yang dibutuhkan oleh tanaman air dan alga Effendi, 2003. Nitrat nitrogen merupakan senyawa yang mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Dalam bentuk nitrat, nitrogen mampu dengan mudah dimanfaatkan oleh fitoplankton, sehingga nitrat memiliki peranan penting dala mengendalikan maupun memacu kesuburan perairan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada stasiun A1, A4, A7 dan A10 pada saat pasang memiliki konsentrasi nitrat 0,18 – 0,32 mgL dan pada saat surut sebesar 0,21 – 0,28 mgL. Sedangkan pada stasiun A8, A11, dan A13 konsentrasi nitrat pada saat pasang 78 adalah 0,13 – 0,16 mgL dan pada saat surut sebesar 0,09 – 0,18 mgL. Adapun pada stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14 memiliki konsentrasi nitrat pada saat pasang sebesar 0,05 – 0,16 mgL dan pada saat surut 0,07 – 0,12 mgL Gambar 14, 15, dan 16. Stasiun A1, A4, A7, dan A10 memiliki konsentrasi nitrat yang tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya. Tingginya konsentrasi nitrat di stasiun-stasiun tersebut diduga karena banyaknya bahan organik yang ada di stasiun tersebut sebagai akibat buangan limbah dari penduduk yang berupa berbagai macam sampah organik dan juga sampah lainnya. Pada ekosistem mangrove nitrat selain dihilangkan melalui proses denitrifikasi, juga dimanfaatkan langsung oleh tumbuhan mangrove itu sendiri Wu et al., 2008. Nitrit merupakan bentuk peralihan antara amonia dan nitrat nitrifikasi dan antara nitrat dangan nitrogen denitrifikasi. Pada perairan alami, nitrit ditemukan sangat sedikit sekali dan lebih sedikit dari pada nitrat karena bersifat tidak stabil dengan keberadaan oksigen Effendi, 2003. Hal tersebut dikarenakan nitrit segera dioksidasi menjadi nitrat. Meskipun sedikit, nitrit memiliki sifat toksik bagi biota. Berdasarkan hasil penelitian secara jelas ditemukan konsentrasi nitrit di seluruh stasiun memiliki konsentrasi sangat kecil bahkan ada yang mencapai 0 mgL. Konsentrisi nitrat pada stasiun A1, A4, A7 dan A10 saat pasang memiliki konsentrasi antara 0,002 – 0,017 mgL dan pada saat surut berkisar antara 0,003 – 0,014 mgL. Sedangkan pada stasiun dimana ekosistem mangrove berada yaitu stasiun A8, A11, dan A13 pada saat pasang memiliki konsentrasi nitrit sebesar 0,003 – 0,014 mgL dan pada saat surut 0,002 – 0.01 mgL. Adapun pada stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14 konsentrasi nitrit pada saat pasang berkisar antara 0,00 – 0,004 mgL dan pada saat surut 0,00 – 0,002 mgL Gambar 14, 15, dan 16. Mayoritas sumber nitrit berasal dari limbah domestik dan limbah industri Effendi, 2003. Pada perairan alami konsentrasi nitrit hanya sekitar 0,001 mgL dan tidak lebih dari 0,06 mgL CCREM, 1987 dalam Effendi, 2003. Apabila dibandingkan dengan yang ada di likasi penelitian maka dapat disimpulkan bahwa perairan di lokasi penelitian masih bisa memenuhi syarat untuk kehidupan biota laut. Amonia merupakan salah satu senyawa nitrogen yang dihasilkan dari pemecahan nitrogen organik dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah 79 dan kolom air yang bersumber dari dekomposisi bahan organik oleh mikroba dan jamur dan biasa dikenal sebagai proses amonifikasi Effendi, 2003. Sumber amonia diantaranya adalah feses dari hewan akuatik, difusi dari atmosfer, limbah industri dan limbah domestik. Konsentrasi amonia pada seluruh stasiun memiliki variasi yang sangat beragam. Pada stasiun A1, A4, A7 dan A10 konsentrasi amonia pada saat pasang berkisar antara 0,29 – 0,36 mgL dan pada saat surut berkisar antara 0,23 – 0,38 mgL, sedangkan pada stasiun A8, A11, dan A13 konsentrasi amonia pada saat pasang adalah 0,18 – 0,29 mgL dan pada saat surut 0,18 – 0,24 mgL. Adapun pada stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14 pada saat pasang memiliki konsentrasi amonia antara 0,13 – 0,20 mgL dan pada saat surut 0,16 – 0,19 mgL Gambar 14, 15, dan 16. Pada perairan alami, konsentrasi amonia pada umumnya kurang dari 0,1 mgL McNeely et al., 1979 in Effendi, 2003. Tingginya nilai amonia mengindikasikan terjadinya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, industri, limpasan pupuk pertanian dan sebagainya Effendi, 2003. Berdasarkan standar baku mutu air laut bagi peruntukan biota laut dalam Kep Men LH No 51 Tahun 2004, kandungan maksimum amonia yang dizinkan adalah 0,3 mgL. Nilai tersebut apabila dibandingkan dengan hasil penelitian, maka diketahui bahwa hampir seluruh stasiun penelitian masih sangat memenuhi syarat bagi kehidupan biota akuatik, kecuali stasiun-stasiun yang berada pada puast pencemaran yaitu A1, A4, A7 dan A10 yang hampir seluruhnya memiliki kadar amonia lebih tinggi diantara yang lainnya.

5.2.2 Distribusi Spasial Karakteristik Fisika dan Kimia Air

Untuk mengetahui secara lebih jelas karakteristik kontribusi antar stasiun pengamatan terhadap beban pencemar serta korelasinya dengan karakteristik fisika kimia air baik pada saat surut maupun pasang, maka dilakukan analisis komponen utama AKU atau yang lebih dikenal dengan uji Principal Component Analysis PCA. Hasil uji tersebut disajikan pada Gambar 17 dan 18. Gambar berikut merupakan biplot kualitas perairan saat kondisi perairan mengalami pasang tertinggi. Gambar 17 menunjukkan bahwa stasiun A12, A3, dan A9, berada dalam satu kelompok yang sama, dalam artian stasiun tersebut 80 memiliki karakter lingkungan yang hampir sama. Parameter yang paling dominan pada kelompok tersebut adalah kecepatan arus. Sedangkan stasiun A4 dan A7 memiliki karakter yang sama dalam menyumbang bahan pencemar berupa BOD 5 , TOM, deterjen, nitrat, dan kekeruhan. Adapun stasiun A1 dan A10 memiliki karakter yang sama pula dengan penyumbang beban pencemar yang dominan adalah fosfat, amonia, dan nitrit. Stasiun A4 dan A12 memiliki karakter yang kuat pada parameter pH, DO dan kedalaman. Untuk stasiun A8 memiliki karakter yang kuat diantara beberapa parameter penelitian dengan karakter yang lebih menonjol pada parameter nitrit. Gambar 17 Biplot kualitas perairan pada kondisi pasang tertinggi Gambar 18 Biplot kualitas perairan pada kondisi surut terendah 81 Pada kondisi surut terendah seluruh stasiun memiliki karakteristik yang berbeda pula seperti halnya pada saat pasang tertinggi Gambar 18. Pada gambar tersebut diketahui bahwa stasiun A3, A9, A9, A12 dan A14 memiliki karakteristik lingkungan yang sama yaitu DO. Demikian halnya yang terjadi pada stasiun A11 yang memiliki karakter kuat pada seluruh parameter namun lebih menonjol pada parameter DO. Pada stasiun tersebut berkorelasi positif dengan bahan pencemar berupa nitrat, amonia, TSS, kekeruhan, BOD 5 , fosfat, dan deterjen. Adapun stasiun A4, A7, dan A10 memiliki pola yang sama memiliki karakteristik yang didominasi oleh nitrat, amonia, TSS, kekeruhan, dan TOM. Sedangkan stasiun A1 memiliki karakteristik yang berbeda sama sekali dengan stasiun-stasiun lainnya dimana memiliki karakteristik yang kuat dalam menyumbang bahan pencemar berupa BOD 5 , fosfat, deterjen, dan nitrit. Adapun stasiun A6, A8, dan A13 memiliki karakter yang kuat pada seluruh parameter, namun lebih menonjol pada faktor lingkungan berupa kedalaman, pH, dan kecepatan arus.

5.2.3 Karakteristik Fisika Kimia Sedimen

Analisis terhadap sifat-sifat tanah dilakukan pada 14 stasiun penelitian. Sifat-sifat tanah tersebut diharapkan dapat menjadi gambaran secara umum bagi lokasi penelitian dalam upaya diketahuinya kapasitas asimilasi ekosistem mangrove di lokasi penelitian. Adapun rincian dari stasiun-stasiun tersebut adalah disajikan pada Gambar 19, 20, dan 21. Sifat-sifat tanah yang diamati dalam penelitian ini meliputi beberapa parameter, diantaranya : fraksi sedimen, C organik sedimen, N organik, dan P. Pengukuran tersebut selain digunakan untuk mengetahui kapasitas asimilasi ekosistem mangrove, juga digunakan untuk mengetahui karakteristik sedimen pada mangrove di lokasi penelitian. Penelitian terkait dengan fraksi sedimen pada seluruh lokasi penelitian dilakukan pada keseluruhan stasiun penelitian. Pada masing-masing stasiun penelitian dilakukan pengambilan sample pada 3 layer yang berbeda, yaitu layer 10 cm, 30 cm, dan 60 cm kecuali pada beberapa stasiun yang tidak memungkinkan untuk dilakukan pengambilan sample. Adapun hasil analisis fraksi sedimen disajikan pada Lampiran 2. Berdasarkan hasil penelitian, fraksi sedimen di Pulau Sepanjang adalah pasir dengan kisaran 46,89 – 99,43,