38
Gambar 3.19 Status keberlanjutan perikanan ikan terbang gabungan seluruh dimensi multi-dimensi
Gambar 3.20 Diagram layang indeks keberlanjutan perikanan antar dimensi Hasil ordinasi metode RAPFISH gabungan seluruh dimensi seperti yang
tertera pada Gambar 3.19 dan Gambar 3.20 menunjukkan bahwa status keberlanjutan perikanan ikan terbang di Kabupaten Takalar dikategorikan kurang
berkelanjutan. Hal ini dikarenakan nilai indeks yang dihasilkan hanya sebesar 30.93. Status keberlanjutan perikanan ikan terbang yang dikategorikan kurang
berkelanjutan terjadi karena adanya ketimpangan antar dimensi yang ada. Dari keempat dimensi yang dipertimbangkan, 2 diantaranya termasuk kategori kurang
berkelanjutan dan 2 dimensi lainnya berkategori tidak berkelanjutan dan cukup berkelanjutan. Dimensi teknologi merupakan dimensi yang paling lemah diantara
semua dimensi karena atribut teknologi didominasi oleh atribut yang berkriteria
30.93
GOOD BAD
UP
DOWN -60
-40 -20
20 40
60
20 40
60 80
100 120
O the
r D
is ti
ng is
hi ng
F e
a tur
e s
Skala Keberlanjutan Multi-dimensi
Posisi Keberlanjutan Titik referensi utama
Titik referensi tambahan
32.54
26.32
56.29 25.3
10 20
30 40
50 60
Dimensi Ekologi
Dimensi Ekonomi
Dimensi Sosial Dimensi
Teknologi
Skala Keberlanjutan
39
nilai buruk, sedangkan dimensi sosial menjadi satu-satunya dimensi dalam kondisi baik karena hampir seluruh atribut sosial berkriteria nilai baik. Buruknya status
keberlanjutan perikanan ikan terbang yang diperlihatkan oleh indeks keberlanjutan perikanan, mencerminkan kurang optimalnya pengelolaan
sumberdaya perikanan di Kabupaten Takalar. Bengen 2003 in Fauzi dan Anna 2002 berpendapat bahwa dimensi ekologi, ekonomi, sosial maupun teknologi
haruslah seimbang demi terciptanya suatu pengelolaan yang berkelanjutan.
Selain teknik ordinasi, perhitungan statistik berupa pengukuran nilai stress dan koefisien determinasi R
2
juga merupakan tahapan dalam analisis menggunakan metode multi-dimensional scalling MDS. Nilai stress dapat
mengukur seberapa dekat nilai jarak dua dimensi dengan nilai jarak multi-dimensi. Mengacu pada Fauzi dan Anna 2005, nilai stress yang dilambangkan dengan S
dan koefisien determinasi R
2
digunakan dalam mengukur goodness of fit. Hasil analisis yang baik ditunjukkan dengan nilai stress yang rendah atau S 0.25 dan
nilai R
2
yang tinggi. Hasil pengukuran nilai statistik dalam analisis RAPFISH terhadap keempat dimensi keberlanjutan disajikan Tabel 3.13.
Tabel 3.13 Tabel nilai statistik hasil analisis RAPFISH pada keempat dimensi
No Dimensi
Keberlanjutan Nilai Statistik
Stress S Persentase R
2
Persentase Iterasi
1 Ekologi
0.16 16
0.93 93
2 2
Ekonomi 0.16
16 0.93
93 2
3 Sosial
0.16 16
0.94 94
2 4
5 Teknologi
Multi-dimensi 0.16
0.13 16
13 0.93
0.95 93
95 2
2 Rata-rata nilai stress hasil analisis metode RAPFISH terhadap setiap
dimensi keberlanjutan sebesar 0.16 16 atau lebih kecil dari 0.25 25 . Nilai koefisien determinasi selang kepercayaan atau R
2
terhadap setiap dimensi keberlanjutan menghasilkan nilai R
2
rata-rata sebesar 93. Hal yang sama juga ditunjukkan pada hasil pengukuran nilai statistik gabungan semua dimensi multi-
dimensi yang memiliki nilai stress kecil dan nilai R
2
yang tinggi. Dengan demikian, berdasarkan nilai stress dan koefisien determinasi atau R
2
diperoleh baik antar dimensi maupun terhadap gabungan seluruh dimensi, maka dapat
disimpulkan bahwa hasil analisis dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, serta baik dan valid untuk diaplikasikan. Informasi lain pada Tabel 3.13 adalah
jumlah iterasi. Jumlah iterasi pada setiap dimensi maupun pada gabungan seluruh dimensi multi-dimensi adalah sebanyak 2 kali. Besarnya jumlah iterasi
menyatakan pengulangan perhitungan pada analisis RAPFISH yang berguna untuk mengetahui pengaruh kesalahan dalam pembuatan skor setiap atribut yang
berpengaruh pada jarak terhadap titik referensi.
Analisis dengan metode RAPFISH juga memungkinkan untuk mengkaji aspek ketidakpastian dan atribut yang sensitif dari hasil analisis keempat dimensi
keberlanjutan. Aspek ketidakpastian disimulasikan dengan menggunakan teknik Monte Carlo
sedangkan analisis sensitivitas disebut juga analisis Laverage pengungkit dinilai berdasarkan standard error perbedaan antara skor dengan
atribut. Hasil analisis Laverage digunakan sebagai acuan dalam pengambilan kebijakan guna meningkatkan dan menjamin keberlanjutan perikanan di
40
Kabupaten Takalar. Analisis Monte Carlo dilakukan untuk menunjukkan kestabilan dari nilai indeks keberlanjutan perikanan ikan terbang yang dihasilkan,
seperti yang dijelaskan oleh Spence and Young 1978 bahwa analisis monte carlo dilakukan untuk melihat tingkat kestabilan hasil ordinasi yang berguna untuk
melihat tingkat gangguan perturbation terhadap nilai ordinasi. Fauzi dan Anna 2002 mengemukakan bahwa teknik Monte Carlo merupakan metode simulasi
untuk mengevaluasi dampak dari kesalahan acak random error terhadap seluruh dimensi. Terdapat tiga tipe dalam melakukan Monte Carlo Algoritma Kavanagh
and Pitcher 2004, namun dalam mengkaji status keberlanjutan perikanan ikan terbang di Kabupaten Takalar hanya menggunakan analisis Monte Carlo dengan
metode “scatter plot”, yang terlihat pada Gambar 3.21 hingga Gambar 3.25..
Gambar 3.21 Kestabilan nilai ordinasi pada dimensi ekologi
Gambar 3.22 Kestabilan nilai ordinasi pada dimensi ekonomi
-60 -40
-20 20
40 60
20 40
60 80
100 120
O the
r D
is ti
ng is
hi ng
F e
a tur
e s
Skala Keberlanjutan Dimensi Ekologi
-60 -40
-20 20
40 60
20 40
60 80
100 120
O the
r D
is ti
ng is
hi ng
F e
a tur
e s
Skala Keberlanjutan Dimensi Ekonomi
41
Gambar 3.23 Kestabilan nilai ordinasi pada dimensi sosial
Gambar 3.24 Kestabilan nilai ordinasi pada dimensi teknologi
Gambar 3.25 Kestabilan nilai ordinasi RAPFISH gabungan seluruh dimensi
-60 -40
-20 20
40 60
20 40
60 80
100 120
O the
r D
is ti
ng is
hi ng
F e
a tur
e s
Status Keberlanjutan Dimensi Sosial
-60 -40
-20 20
40 60
20 40
60 80
100 120
O the
r D
is ti
ng is
hi ng
F e
a tur
e s
Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi
-60 -40
-20 20
40 60
20 40
60 80
100 120
O the
r D
is ti
ng is
hi ng
F e
a tur
e s
Status Keberlanjutan Multi-dimensi
42
Hasil analisis Monte Carlo dengan 25 kali ulangan untuk setiap dimensi maupun gabungan seluruh dimensi keberlanjutan multi-dimensi tertera pada
Gambar 3.21 hingga Gambar 3.25. Hasil simulasi Monte Carlo yang tertera pada gambar diatas menunjukkan adanya plot yang mengumpul baik antar dimensi
maupun terhadap gabungan seluruh dimensi. Hal ini berarti, hasil ordinasi untuk menentukan status keberlanjutan perikanan ikan terbang di Kabupaten Takalar
berada pada posisi yang stabil dan tidak mengalami gangguan, baik pada setiap dimensi maupun gabungan keseluruhan dimensi keberlanjutan. Fauzi dan Anna
2005 menjelaskan bahwa adanya aspek ketidakpastian atau gangguan dari hasil analisis yang menyebabkan plot menyebar dapat disebabkan oleh beberapa hal
diantaranya adalah: 1 dampak dari kesalahan dalam skoring akibat minimnya informasi, 2 dampak dari keragaman dalam skoring akibat perbedaan penilaian,
3 kesalahan dalam data entry, dan 4 tingginya nilai stress yang diperoleh dari algoritma ALSCALL.
4.6 Identifikasi Atribut Sensitif dan Implikasi Kebijakan Pengelolaan
Perikanan Ikan Terbang Berkelanjutan
Setelah diketahui status keberlanjutan perikanan di Kabupaten Takalar maka selanjutnya dilakukan pengelompokan terhadap atribut atribut yang sensitif
dari setiap dimensi yang dipergunakan. Atribut sensitif diperoleh dari hasil analisis Laverage dalam metode RAPFISH. Analisis Laverage dinilai berdasarkan
standard error
perbedaan antara skor yang diperoleh dengan atribut. Tujuan dari analisis Laverage adalah mengevaluasi sensitivitas setiap atribut terhadap nilai
pembentukan indeks keberlanjutan perikanan. Budianto 2012 menjelaskan bahwa atribut sensitif dari hasil analisis metode RAPFISH merupakan
permasalahan yang dapat mempengaruhi status keberlanjutan perikanan ikan terbang. Oleh karena itu, atribut yang teridentifikasi sensitif dijadikan sebagai
acuan atau prioritas dalam merumuskan strategi pengelolaan. Perumusan strategi pengelolaan diharapkan mampu memecahkan permasalahan yang ada khususnya
dalam bidang ekologis, sosial, ekonomi dan teknologi guna menciptakan pembangunan perikanan ikan terbang berkelanjutan di Kabupaten Takalar. Susilo
2003 menjabarkan perumusan strategi pengelolaan berdasarkan hasil identifikasi atribut sensitif dalam bentuk diagram alur seperti pada Gambar 3.26. Hasil
analisis Laverage disajikan pada Gambar 3.27.
Gambar 3.26 Identifikasi atribut sensitif dalam kerangka pembuatan kebijakan
43
Gambar 3.27 Hasil analisis sensitivitas Hasil analisis Leverage sensitivitas yang ditampilkan pada Gambar 3.27
menunjukkan bahwa dengan menggunakan standart error terendah standart error
satu dalam penilaian sensitivitas, maka atribut “jangkauan daerah penangkapan”, “ukuran ikan yang tertangkap” dan “ikan yang tertangkap
sebelum dewasa ” dikatakan berpengaruh dalam pembentukan nilai keberlanjutan
dimensi ekologi. Dari segi dimensi ekonomi dan sosial, keseluruhan atribut yang dipertimbangkan pada kedua dimensi tersebut diketahui berpengaruh dalam
pembentukan nilai keberlanjutan. Dan pada dimensi teknologi, hanya satu dari tiga atribut yang dipergunakan yang berpengaruh dalam pembentukan nilai indeks
keberlanjutan dimensi teknologi yaitu atribut “perubahan alat tangkap bale- bale”
. Dengan demikian maka diketahui terdapat 12 atribut dari 15 atribut yang dipertimbangkan berkategori sensitif sedangkan 3 atribut lain dikategorikan tidak
sensitif. Keseluruhan atribut yang teridentifikasi kemudian menjadi prioritas pada pengambilan kebijakan. Secara keseluruhan, atribut sensitif dari setiap dimensi
dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial, dan dimensi teknologi dapat dilihat pada Tabel 3.14
0.2 1.8
1.2 2.3
2.4 5.4
3.3 3.5
3.5 3.6
5.0 2.5
1.7 0.8
0.5
2 4
6 CPUE
Ukuran ikan tertangkap Ikan tertangkap sebelum dewasa
Jangkauan daerah penangkapan Pendapatan rata rata nelayan
Pasar Utama telur Sumber modal kerja
Harga jual telur Sistem ponggawa sawi
Pengalaman nelayan Pemanfaatan TEK
Pola kerja Perubahan Alat tangkap balebale
selektifitas alat tangkap terhadap TKG Kesesuaian ukuran kapal
Sensitivitas terhadap skor keberlanjutan se, At
r ibu
t
Ekologi Ekonomi
Sosial Teknologi
44
Tabel 3.14 Atribut sensitif dari hasil analisis metode RAPFISH
No Dimensi Atribut Sensitif
1 Ekologi
1. Jangkauan daerah penangkapan
2. Ukuran ikan yang tertangkap
3. Ikan yang tertangkap sebelum dewasa
2 Ekonomi
1. Pasar utama telur ikan terbang
2. Harga jual
3. Sumber modal kerja
4. Pendapatan rata-rata nelayan
3 Sosial
1. Pemanfaatan TEK
2. Pengalaman nelayan
3. Sistem ponggawa sawi
4. Pola kerja
4 Teknologi
1. Perubahan alat tangkap bale-bale
Pada dimensi ekologi, ada tiga atribut yang teridentifikasi sensitif, dua diantaranya yaitu atribut “jangkauan daerah penangkapan” dan “ikan yang
tertangkap sebelum dewasa ” memiliki kriteria skor buruk 1, sedangkan atribut
“ukuran ikan yang tertangkap” memiliki kriteria skor baik 2. Mengacu pada Susilo 2003 maka pengambilan kebijakan pada atribut dengan kriteria skor baik
adalah dengan mempertahankan kondisi yang ada. Sedangkan pada dua atribut yang lain dengan kriteria skor buruk perlu dilakukan perbaikan agar dapat
meningkatkan status keberlanjutan dari segi ekologi. Uraiannya adalah sebagai berikut:
• Skor buruk 1 pada atribut “jangkauan daerah penangkapan” dikarenakan
daerah penangkapan nelayan yang semakin jauh dari fishing ground yang pada mulanya penangkapan dilakukan di perairan Selat Makassar, kini berpindah ke
perairan Laut Seram. Perpindahan fishing ground diduga disebabkan karena rendahnya hasil tangkapan nelayan di perairan Selat Makassar.
• Skor buruk 1 pada atribut “ikan tertangkap sebelum dewasa” disebabkan tingginya persentase ikan terbang TKG III dan IV yang tertangkap selama satu
tahun. Berdasarkan hasil yang diperoleh diketahui sekitar 50–70 dari total ikan terbang yang tertangkap selama setahun merupakan ikan fase matang dan
siap mijah. Hal ini menjelaskan bahwa proporsi ikan yang tertangkap tersebut belum dewasa sehingga akan mempengaruhi proses regenerasi yang pada
akhirnya akan menjadi penyebab penurunan populasi ikan terbang di alam.
Dari keempat atribut yang sensitif pada dimensi ekonomi, atribut “pasar utama telur ikan terbang
” menjadi satu-satunya atribut yang memiliki kriteria skor baik, sedangkan ketiga atribut lainnya berkriteria skor buruk. Uraian ketiga
atribut tersebut adalah sebagai berikut: • Kriteria skor buruk 1 yang dimiliki atribut “harga jual telur ikan terbang”
disebabkan karena kisaran harga jual yang tergolong sangat rendah yaitu hanya sebesar Rp 165.000, jika dibandingkan dengan tahun 2011-2012 yang berada
dikisaran harga Rp 250.000 – Rp 350.000. Banyak dugaan mengenai penurunan harga telur ikan terbang saat ini, beberapa diantaranya menyebutkan
karena kualitas dari telur ikan terbang yang diperoleh nelayan berbeda dari tahun-tahun sebelumnya dari segi warna maupun ukuran telur. Penurunan
kualitas dari hasil tangkapan nelayan tidak lepas dari pengaruh perpindahan
45
lokasi penangkapan, jauhnya lokasi penangkapan menyebabkan ada jeda waktu yang cukup lama antara proses pengolahannya dan waktu awal penangkapan.
• Kriteria skor buruk 1 pada atribut “sumber modal” disebabkan karena modal kerja yang dipergunakan nelayan bukan berasal dari modal pribadi, melainkan
hasil pinjaman dari pemilik modal ponggawa. Ponggawa memberikan bantuan modal kerja kepada nelayan dengan kesepakatan yaitu 5 dari total
penghasilan nelayan diberikan kepada pemilik modal ponggawa atau sering disebut sistem ponggawa-sawi. Hal ini menyebabkan nelayan di Kabupaten
Takalar terikat sepenuhnya dengan pemilik modal. Adanya pinjaman modal memberi kemudahan dan jalan keluar bagi nelayan untuk tetap melakukan
kegiatan penangkapan, namun dalam kondisi tertentu hal ini juga dapat merugikan nelayan. Tingginya modal kerja dan rendahnya hasil tangkapan
dapat menyebabkan nelayan di Kabupaten Takalar terikat hutang kepada pemilik modal. Sujarno 2008 menjelaskan mengenai teori faktor produksi,
jumlah outputproduksi yang berhubungan dengan pendapatan dan sangat bergantung pada modal kerja. Hal ini berarti semakin besar modal kerja yang
dimiliki nelayan maka makin besar hasil tangkapan yang diperoleh produksi.
• Penyebab kriteria skor buruk 1 pada atribut “pendapatan rata-rata nelayan” adalah pendapatan rata-rata nelayan pattorani di Kabupaten Takalar masih
dibawah UMR Provinsi Sulawesi Selatan. Pendapatan nelayan pattorani berkisar Rp 750.000 – Rp 1.500.000 atau rata-rata Rp 1.181.667 per bulan
sedangkan UMR Provinsi Sulawesi Selatan sebesar Rp. 1.195.220 per bulan.
Untuk dimensi sosial, hanya satu atribut yang berkriteria skor buruk dari keempat atribut yang teridentifikasi sensitif. Hal ini jelas berbeda dengan dimensi
ekonomi yang kebanyakan atributnya berkriteria skor buruk. Atribut sensitif yang berkriteria skor baik pada dimensi sosial adalah atribut “pengalaman nelayan”,
“pemanfaatan TEK”,
dan “pola kerja” sedangkan atribut sensitif berkriteria skor buruk adalah atribut “sistem ponggawa sawi”. Atribut sensitif dengan kriteria skor
baik diharapkan dapat dipertahankan kondisinya sedangkan pada atribut sensitif dengan kriteria skor buruk perlu dilakukan perbaikan untuk menunjang
keberlanjutan dari sisi dimensi sosial. Sistem ponggawa-sawi merupakan suatu hubungan kerjasama antara nelayan dengan pemilik modal, seperti yang diuraikan
sebelumnya pada dimensi ekonomi. Contoh lain sistem ponggawa-sawi yang memberi dampak buruk pada nelayan adalah perbedaan harga jual pasaran dengan
harga jual yang ditentukan ponggawa. Seperti yang dilaporkan Nurdin 2012 bahwa setelah kegiatan penangkapan selesai, hasil yang diperoleh nelayan di
serahkan kepada ponggawa pemilik modal dan harga jual ditentukan sepihak oleh ponggawa tanpa mengikuti harga pasar.
Pada dimensi teknologi, hanya satu atribut yang teridentifikasi sensitif yaitu atribut “perubahan alat tangkap bale-bale” dengan kriteria skor yang
dimiliki atribut ini adalah 1 buruk. Mulanya, nelayan melakukan usaha penangkapan dengan menggunakan pakajja dan jaring insang hanyut dengan
target utama adalah ikan terbang. Namun kini, alat tangkap pakajja sudah berganti dengan alat tangkap tradisional dengan nama bale-bale. Perubahan alat tangkap
ini ikut merubah orientasi penangkapan yang dilakukan nelayan di Kabupaten Takalar. Adanya perubahan orientasi penangkapan yang dilakukan nelayan dipicu
oleh tingginya permintaan akan telur ikan terbang serta harga jual dari komoditas telur ikan terbang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ikan terbang itu sendiri.