Identifikasi Atribut Sensitif dan Implikasi Kebijakan Pengelolaan

45 lokasi penangkapan, jauhnya lokasi penangkapan menyebabkan ada jeda waktu yang cukup lama antara proses pengolahannya dan waktu awal penangkapan. • Kriteria skor buruk 1 pada atribut “sumber modal” disebabkan karena modal kerja yang dipergunakan nelayan bukan berasal dari modal pribadi, melainkan hasil pinjaman dari pemilik modal ponggawa. Ponggawa memberikan bantuan modal kerja kepada nelayan dengan kesepakatan yaitu 5 dari total penghasilan nelayan diberikan kepada pemilik modal ponggawa atau sering disebut sistem ponggawa-sawi. Hal ini menyebabkan nelayan di Kabupaten Takalar terikat sepenuhnya dengan pemilik modal. Adanya pinjaman modal memberi kemudahan dan jalan keluar bagi nelayan untuk tetap melakukan kegiatan penangkapan, namun dalam kondisi tertentu hal ini juga dapat merugikan nelayan. Tingginya modal kerja dan rendahnya hasil tangkapan dapat menyebabkan nelayan di Kabupaten Takalar terikat hutang kepada pemilik modal. Sujarno 2008 menjelaskan mengenai teori faktor produksi, jumlah outputproduksi yang berhubungan dengan pendapatan dan sangat bergantung pada modal kerja. Hal ini berarti semakin besar modal kerja yang dimiliki nelayan maka makin besar hasil tangkapan yang diperoleh produksi. • Penyebab kriteria skor buruk 1 pada atribut “pendapatan rata-rata nelayan” adalah pendapatan rata-rata nelayan pattorani di Kabupaten Takalar masih dibawah UMR Provinsi Sulawesi Selatan. Pendapatan nelayan pattorani berkisar Rp 750.000 – Rp 1.500.000 atau rata-rata Rp 1.181.667 per bulan sedangkan UMR Provinsi Sulawesi Selatan sebesar Rp. 1.195.220 per bulan. Untuk dimensi sosial, hanya satu atribut yang berkriteria skor buruk dari keempat atribut yang teridentifikasi sensitif. Hal ini jelas berbeda dengan dimensi ekonomi yang kebanyakan atributnya berkriteria skor buruk. Atribut sensitif yang berkriteria skor baik pada dimensi sosial adalah atribut “pengalaman nelayan”, “pemanfaatan TEK”, dan “pola kerja” sedangkan atribut sensitif berkriteria skor buruk adalah atribut “sistem ponggawa sawi”. Atribut sensitif dengan kriteria skor baik diharapkan dapat dipertahankan kondisinya sedangkan pada atribut sensitif dengan kriteria skor buruk perlu dilakukan perbaikan untuk menunjang keberlanjutan dari sisi dimensi sosial. Sistem ponggawa-sawi merupakan suatu hubungan kerjasama antara nelayan dengan pemilik modal, seperti yang diuraikan sebelumnya pada dimensi ekonomi. Contoh lain sistem ponggawa-sawi yang memberi dampak buruk pada nelayan adalah perbedaan harga jual pasaran dengan harga jual yang ditentukan ponggawa. Seperti yang dilaporkan Nurdin 2012 bahwa setelah kegiatan penangkapan selesai, hasil yang diperoleh nelayan di serahkan kepada ponggawa pemilik modal dan harga jual ditentukan sepihak oleh ponggawa tanpa mengikuti harga pasar. Pada dimensi teknologi, hanya satu atribut yang teridentifikasi sensitif yaitu atribut “perubahan alat tangkap bale-bale” dengan kriteria skor yang dimiliki atribut ini adalah 1 buruk. Mulanya, nelayan melakukan usaha penangkapan dengan menggunakan pakajja dan jaring insang hanyut dengan target utama adalah ikan terbang. Namun kini, alat tangkap pakajja sudah berganti dengan alat tangkap tradisional dengan nama bale-bale. Perubahan alat tangkap ini ikut merubah orientasi penangkapan yang dilakukan nelayan di Kabupaten Takalar. Adanya perubahan orientasi penangkapan yang dilakukan nelayan dipicu oleh tingginya permintaan akan telur ikan terbang serta harga jual dari komoditas telur ikan terbang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ikan terbang itu sendiri. 46 Hal ini memberikan pengaruh yang cukup besar bagi perikanan di Kabupaten Takalar yang mulanya hanya menangkap ikan terbang kini telah didominasi oleh nelayan yang hanya menangkap telur ikan terbang saja. Grafik perkembangan volume produksi ikan terbang disajikan pada Gambar 3.28. Gambar 3.28 Perkembangan produksi ikan terbang Prov. Sulawesi Selatan periode 1985-2011 DKP Sul-Sel 2012 in Ali 2012 Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa penurunan produksi ikan terbang di Sulawesi Selatan yang paling signifikasn mulai terjadi di tahun 2000. Penurunan produksi ikan terbang pada tahun tersebut tidak sejalan dengan upaya tangkap yang dilakukan Gambar 3.29. Upaya tangkap yang relatif sama dengan tahun- tahun berikutnya ternyata tidak dapat meningkatkan hasil tangkapan ikan terbang. Besarnya aktivitas penangkapan telur ikan terbang yang dilakukan nelayan diduga menjadi penyebab penurunan produksi ikan terbang di perairan Selat Makassar dan mengakibatkan putusnya siklus regenerasi ikan terbang. Gambar 3.29 Grafik upaya tangkap dan produksi ikan terbang maupun telur ikan terbang DKP Provinsi Sulawesi Selatan Berdasarkan uraian setiap atribut yang sensitif dari keempat dimensi keberlanjutan tersebut, maka disusun 8 buah rekomendasi kebijakan yang dapat diterapkan untuk menjaga dan meningkatkan status keberlanjutan perikanan ikan terbang di Kabupaten Takalar adalah sebagai berikut: 1. Pengaturan upaya penangkapan komoditas telur ikan terbang Pengaturan upaya penangkapan telur ikan terbang salah satunya dengan cara pengurangan jumlah armada kapal yang beroperasi dan pembatasan volume alat tangkap. Pengurangan armada kapal dilakukan dengan cara 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 2000 2001 2002 2003 u p aya tan gk ap u n it effort ikan terbang produksi ikan terbang ton 200 400 600 800 1000 2000 2001 2002 2003 u p aya tan gk ap u n it effort telur ikan terbang produksi telur ikan terbang ton 47 pembatasan ijin usaha penangkapan di wilayah yang diketahui telah mengalami penurunan seperti Selat Makassar. Pengurangan juga dapat dilakukan dengan cara pengalihan jumlah armada kapal jumlah dibatasi ke wilayah yang diketahui masih underfishing seperti Laut Seram, agar memberikan peluang bagi sumberdaya ikan terbang yang telah overfishing di Selat Makassar dapat pulih kembali.. 2. Pengaturan zonasi dan waktu penangkapan ikan terbang. Pengaturan zonani dan waktu penangkapan dilakukan untuk menghindari kepunahan dari sumberdaya ikan terbang. Penentuan zonasi dan waktu penangkapan dilakukan dengan memetakan daerah pemijahan dan waktu pemijahan ikan terbang di Selat Makassar. Pemijahan ikan terbang di Selat Makassar dimulai pada bulan Maret hingga Agustus setiap tahunnya. Dengan demikian, pada waktu tersebut diberlakukan larangan kegiatan penangkapan pada wilayah Selat Makassar yang diketahui sebagai daerah dan waktu pemijahan ikan terbang. 3. Penggunaan alat tangkap yang selektif Penyusunan kebijakan mengenai penggunaan alat tangkap yang selektif harus mendapat perhatian dari pemerintah Kabupaten Takalar karena alat tangkap yang selama ini dioperasikan tergolong alat tangkap yang tidak selektif, karena menangkap jenis ikan terbang dengan berbagai ukuran. Untuk itu, alat tangkap yang seharusnya digunakan adalah alat tangkap dengan ukuran mata jaring 1,25 inch – 1,5 inch. Sesuai yang telah dilaporkan oleh Palo 2009 bahwa ukuran mata jaring 3,18 cm, 3,81 dan 4,45 cm lebih selektif, dan memiliki L 50 yang lebih besar dari ukuran pertama kali matang gonad. L 50 yaitu panjang ikan yang memiliki peluang tertangkap sebesar 50 digunakan sebagai kriteria untuk menentukan penggunaan ukuran mata jaring Ricker 1975; Matsuoka 1995 in Mahon et al. 2000. Peningkatan selektifitas alat tangkap diharapkan mampu memberikan manfaat baik secara ekologi maupun ekonomi. 4. Pengembangan alat tangkap yang efisien Selain penggunaan alat tangkap yang selektif, diperlukan juga alternatif alat tangkap untuk penangkapan telur ikan terbang. Alat tangkap bale-bale yang beberapa tahun ini digunakan oleh nelayan termasuk alat tangkap tidak ramah lingkungan karena target utamanya adalah telur ikan terbang. Menurut Ali 2012, salah satu cara mengatasinya adalah dengan mengefektifkan kembali alat tangkap pakkaja sebagai alat penangkap induk dan telur ikan terbang yang ramah lingkungan. 5. Penyediaan modal usaha dengan bunga rendah Adanya penyediaan modal usaha dengan bunga rendah diharapkan mampu memberikan solusi bagi para nelayan pattorani yang selama ini sangat bergantung pada sistem ponggawa-sawi. Penyediaan modal usaha dengan bunga rendah dapat berasal dari pemerintah setempat, bank, ataupun koperasi. 6. Pemberian pelatihan kepada nelayan pattorani. Salah satu pengetahuan penting yang harus dimiliki nelayan pattorani adalah bagaimana cara penanganan hasil tangkapan yang baik dan benar. Pengetahuan ini dapat diberikan salah satunya melalui pelatihan. Pelatihan penanganan hasil tangkapan dianggap perlu karena penurunan kualitas 48 telur ikan terbang yang dihasilkan nelayan dinilai kurang menguntungkan bagi para eksportir telur ikan terbang. Diharapkan dengan dilakukannya pelatihan tersebut, kualitas hasil tangkapan produk tetap terjaga mutunya dan dapat diterima oleh pasar internasional. Menurut Ali 2012, Pelatihan lain yang dapat diberikan kepada nelayan pattorani adalah berupa keterampilan pelayaran, rambu-rambu kepelautan, penggunaan alat bantu pelayaran, dan alat bantu penangkapan ikan. 7. Penyediaan alternatif mata pencaharian Hampir seluruhnya nelayan di Kabupaten Takalar khususnya di Kecamatan Galesong fokus wilayah penelitian hanya berpenghasilan dari kegiatan penangkapan ikan terbang dan telurnya. Dibutuhkan alternatif mata pencaharian lain di musim peralihan saat bukan musim penangkapan ikan terbang dan telur ikan terbang, baik itu berasal dari bidang perikanan ataupun dari luar bidang perikanan. Alternatif pekerjaan dan pendapatan dapat diperoleh dalam bidang pertanian, perkebunan, pertukangankuli dan buruh. 8. Peningkatan peran pemerintah daerah setempat dan Penyusunan peraturan daerah. Koordinasi pemerintah daerah dengan instansi terkait seperti Dinas Kelautan dan Perikanan sangat dibutuhkan dalam pengawasan, pengendalian kegiatan perikanan, hingga pada penyusunan peraturan daerah mengenai aktivitas penangkapan yang dilakukan nelayan. Diperlukan juga satu program pemerintah yang secara langsung melibatkan pastisipasi masyarakat seperti Pembentukan Kelompok Masyarakat. 49 4 KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. MSY dan F opt ikan terbang berdasarkan model Schaefer adalah masing- masing sebesar 818 ton dan 35.711 trip dengan nilai TAC Total Allowable Catch yaitu 654.38 tontahun. Hasil perhitungan pendugaan populasi induk ikan terbang menunjukkan bahwa perkiraan induk ikan terbang yang tertangkap dengan menggunakan jaring insang hanyut selama satu tahun adalah sebesar 10.418.732 ekor, dengan perkiraan jumlah butir telur yang telah dikeluarkan yaitu sekitar 73.662.936.218 butir 2. Usaha penangkapan telur ikan terbang di Selat Makassar dan Laut Seram masih menguntungkan, dengan total keuntungan masing-masing sebesar Rp 13.597.330 dan Rp 41.506.977 per kapal per tahun. 3. Pemanfaatan sumberdaya ikan terbang di Kabupaten Takalar dikategorikan tidak berkelanjutan, karena nilai indeks keberlanjutan yang dihasilkan hanya sebesar 30.93.

4.2 Saran

Perlu dilakukan pengembangan terhadap metode RAPFISH dengan memperluas atau menambah kajian dimensi serta mengganti atribut yang berkategori tidak sensitif hasil penelitian ini dengan atribut baru yang dapat digunakan dalam menilai keberlanjutan pengelolaan sumberdaya ikan terbang khususnya yang mencakup pada wilayah perairan Selat Makassar dan Laut Seram. 50 DAFTAR PUSTAKA Adibrata S. 2012. Evaluasi Kesesuaian Kawasan untuk Pengembangan Budidaya Kerapu Famili Serranidae di Perairan Pulau Pongok Kabupaten Bangka Selatan. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Adrianto L. 2005. Pengantar penilaian ekonomi sumberdaya pesisir dan laut. Bogor ID: PKSPL IPB Alder J, TJ Pitcher, D Preikshot, K Kaschner, and B Ferris. 2000. How Good is Good? A Rapid Appraisal Technique for Evaluation of the Sustainability Status of Fisheries of The North Atlantic. In Pauly and Pitcher eds. Methods for evaluation the impact of fisheries on North Atlantic ecosystem. Fisheries Center Research Reports Vol 8 No 2. Alder J, D Zeller, TJ Pitcher, R Sumaila. 2002. A method for evaluating marine protected area management. Coastal Management. No. 30: 121-131 Ali SA. 1981. Kebiasaan Makanan, Pemijahan, Hubungan Berat Panjang dan Faktor Kondisi Ikan Terbang Cypselurus oxycephalus Bleeker di Laut Flores Sulawesi Selatan. Tesis Sarjana Perikanan. Fakultas Ilmu-ilmu Pertanian Unhas. Ujung Pandang. p.45. Ali SA. 2005. Kondisi Sediaan dan Keragaman Populasi Ikan Terbang Hyrundichthys oxycephalus Bleeker,1852 di Laut Flores dan Selat Makassar. Disertasi. Program Pascasarjana Unhas. 282p Ali SA, MN Nessa, I Djawad, SBA Omar, dan A Djamali. 2005. Hubungan antara kematangan gonad ikan terbang Hyrundichthys oxycephalus Bleeker, 1852 dengan beberapa parameter lingkungan di Laut Flores. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan Torani Nomor 6 15: 403-410. Ali SA. 2005a. Perkembangan kematangan gonad dan Musim Pemijahan Ikan Terbang Hyrundichthys oxycephalus Bleeker,1852 di Laut Flores Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan Torani. 15 6: 416-424 Ali SA. 2012. Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan menggunakan Indikator EAFM, Kajian pada perikanan ikan terbang. Universitas Hasanuddin. Budianto S. 2012. Pengelolaan Perikanan Tangkap Komoditas Udang Secara Berkelanjutan di Kabupaten Cilacap. Tesis. Universitas Indonesia. Devenport J. 1994. How and why flying fish fly. Journal Fish Biology and Fisheries 4: 184 – 214. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Takalar. 2012. Statistik Perikanan Kabupaten Takalar. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan. 2012. Statistik Perikanan Sulawesi Selatan. Dirhamsyah. 2009. The Urgent Need of Development of Fisheries Management Plan of Flyingfish in Macassar Strait and Flores Sea. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 353: 291-310. [EAFM] Modul Ecolocical Aproach for Fisheries Management oleh KKP, WWF, PKSPL-IPB. 2012. Effendie MI. 2002. Biologi Perikanan. Cetakan KeduaEdisi Revisi. Yayasan Pustaka Nusantama. Yogyakarta. 163p. 51 Effendi I, Oktariza W. 2006. Manajemen Agribisnis Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta. 163 hal. Fauzi A, S Anna. 2002. Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan: Aplikasi pendekatan RAPFISH Studi Kasus Perairan Pesisir DKI Jakarta. Jurnal Pesisir dan Lautan Volume 4 Nomor 3. Institut Pertanian Bogor. Hal 43 - 55 Fauzi A, S Anna. 2002. Penilaian depresiasi sumberdaya perikanan sebagai bahan pertimbangan penentuan kebijakan pembangunan perikanan. Jurnal Pesisir dan Lautan Volume 4 Nomor 2. Pp: 43-55 Fauzi A, S Anna. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. PT Gramedia Pustaka Utama. 343 hal. FAO. 1999. Rapfish : A Rapid Appraisal Technique For Fisheries, And Its Application To The Code Of Conduct For Responsible Fisheries. FAO of The United Nations. Rome. Fitrianti RS. 2011. Analisis Catch Per Unit Effort Telur Ikan Terbang dari Laut Seram dan Selat Makassar. Skripsi. FIKP Universitas Hasanuddin. Harahap SRT, A Djamali. 2005. Growth of Flying Fish Hirundichthys oxycephalus in Binuangeun Waters, Banten. Jurnal lktiologi Indonesia Volume 5, Nomor 2. Hartono TT, Taryono K, M Ali Iqbal, S Koeshendrajana. 2005. Pengembangan Teknik Rapid Appraisal for Fisheries RAPFISH untuk Penentuan Indikator Kinerja Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Indonesia. Buletin Ekonomi Perikanan Vol. VI. No.1 Tahun 2005 Hermawan M. 2006. Keberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institutt Pertanian Bogor. Hutomo dkk. 1985. Sumberdaya Ikan Terbang. Lembaga Oseanografi Nasional LIPI. Jakarta. King M. 1995. Fisheries Biology. Assessment and Management. Fishing News Books, Blackwell Science Ltd. Kavanagh P. 2001. Rapid Appraisal of Fisheries RAPFISH Project. RAPFISH Software Description for Microsoft Excel. University of British Columbia. Fisheries Center. Vancouver Kavanagh P, Pitcher TJ. 2004. Implementing microsoft excel software for RAPFISH: A technique for the rapid appraisal of fisheries status. Fisheries Centre Research Report 12 2: 1-75. Kawimbang E, IJ Paransa, ME Kayadoe. 2012. An estimation of garfish stock and its fishing season in Tagulandang waters, Siau Tagulandang Biaro Regency. Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap 11: 10-17. Margono. 2004. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta ID: Rineka Cipta. Mahon R, S Khokiattiwong, HA Oxenford. 2000. Selectivity of Experimental Gillnets for Fourwing Flayingfish, Hirundicthys affinis off Barbados. Enviromental Biology of Fishes 59: 459-463. Nessa MN, H Sugondo, I Andarias, A Rantetondok. 1977. Studi Pendahuluan terhadap perikanan ikan terbang di Selat Makassar. Jurnal Lontara. 13:643-669. Palo M. 2009. Flying Fish Exocoetidae Drift Gill Net Selectivity in the Majene Waters Makassar Strait. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan Torani Vol. 19 3: 137– 142. 52 Parin NV. 1999. Exocoetidae. In: Carpenter, K.E and Volker, H. N eds, FAO Species Identification Guide For Fishery Purpose the Living Marine Resources of Wastern Central Pacific. FAO 4: 2162 – 2179 Pitcher TA, A Bundy, D Preikshot, T Hutton, D Pauly. 1998. Measuring the unmeasurable: A multivariate and interdisciplinary method for rapid appraisal of the health of fisheries. in Pitcher, TJ, P Hart, D Pauly ed: Reinventing Fisheries Management . Kluwer, London. Hal: 31-54. Pitcher TJ, D Preikshot. 2000. RAPFISH: A rapid appraisal technique to evaluate the sustainability status of fiheries. Fisheries Research 49 2001. Fisheries Centre, University of British Columbia. Hal 255-270 Ricker WE. 1975. Computations and Interpretation of Biological Statistic of Fish Population. Bull. Fish Res.Can 191. Satria A, Umbari A, Fauzi A, Purbayanto A, Sutarto E, Muchsin I, Muflikhati I, Karim M, Saad S, Oktariza W, Imran Z. 2002. Acuan singkat menuju desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan. Jakarta Selatan ID: Pusat Kajian Agraria IPB, Partnership for Governance Reform in Indonesia, PT Pustaka Cidesindo. Schaefer M. 1954. Some Aspect of the Dynamics of Population Important to Management of Commercial Marine Fisheries. Bull Inter-Am. Trop. Tuna. Comm.1: 27-56 Sihotang S. 2004. Pengembangan Perikanan Ikan Terbang Cypselurus spp. di Sulawesi Selatan. Disertasi. Program Pascasarjana, IPB. Bogor. Spence I, FW Young. 1978. Monte Carlo studies in Nonmetric Scalling Phycometrica 431: 75-89. Subagiyo AH, Purnomo, A Choliq. 1994. Aspek Ekonomi Pengusahaan Telur Ikan Terbang di Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 93: 51 – 58. Sugiarto T, Herlambang, Brastoro, R Sudjana, S Kelana. 2002. Ekonomi Mikro: Sebuah Kajian Komprehensif. Jakarta ID: PT Gramedia Pustaka Utama. Sugiyono. 2011. Statistika untuk Penelitian. Bandung ID: Alfabeta. Sujarno. 2008. Analisis Faktor-Faktor yang mempengaruhi Pendapatan Nelayan di Kabupaten Langkat. Tesis. Sekolah Pascasarjana USU. Medan. Supardan A. 2006. Maximum Sustainable Yield MSY dan Aplikasinya pada Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Teluk Lasongko Kabupaten Buton. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. 344 hal. Suryana A. 2003. Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Tongkol secara berkelanjutan kasus ikan yang didaratkan di PPN Pelabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat. Tesis. Program Pascasarjana, IPB. Bogor. Susilo BS. 2003. Keberlanjutan Pembangunan Pulau Pulau Kecil: Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari. Kepulauan Seribu. DKI Jakarta. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Syahailatua A. 2006. Perikanan ikan terbang di Indonesia: Riset menuju pengelolaan. Jurnal Oseana XXXI3: 21-31. Syahailatua A. 2008. Ekspor telur ikan terbang. Trubus 464: 158-159. Syahailatua A, Ali SA, Makatipu P. 2008. Strategi reproduksi ikan terbang Exocoetidae dan kaitannya dengan faktor oseanografi di Perairan Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 14 3: 303-310.