12
ditentukan seperti yang tercantum pada Tabel 2.3. Pemberian nilai terhadap setiap atribut memberikan gambaran terhadap kondisi keberlanjutan sumberdaya ikan
terbang, apakah baik ataupun buruk. Mengacu pada metode RAPFISH Pitcher et al
. 1998; Pitcher Preikshot 2001; Susilo 2003, menerangkan bahwa nilai buruk merupakan cerminan kondisi yang paling tidak menguntungkan dalam suatu
pengelolaan, sedangkan nilai baik yaitu nilai yang mencerminkan kondisi yang paling menguntungkan dalam pengelolaan sumberdaya. Dan diantara nilai buruk
dan nilai baik terdapat satu nilai yang disebut dengan nilai antara atau nilai tengah.
Tabel 2.3 Kriteria dalam penentuan nilai setiap atribut Dimensi dan Atribut
Kriteria Nilai Baik Buruk
Dimensi Ekologi CPUE
Ukuran ikan Ikan tertangkap sebelum dewasa
Jangkauan daerah penangkapan Dimensi Ekonomi
Pendapatan rata-rata nelayan Pasar utama telur
Sumber modal Harga jual telur
Dimensi Sosial Sistem ponggawa sawi
Pengalaman nelayan Pemanfaatan TEK
Pola kerja Dimensi Teknologi
Perubahan alat tangkap bale - bale Selektivitas alat tangkap pada TKG
Kesesuaian ukuran kapal 1; 2; 3
1; 2; 3 1; 2; 3
1; 2; 3
1; 2; 3 1; 2; 3
1; 2; 3 1; 2; 3
1; 2; 3 1; 2; 3
1; 2; 3 1; 2; 3
1; 2; 3 1; 2; 3
1; 2; 3 3
3 3
3
3 3
3 3
3 3
3 3
3 3
3 1
1 1
1
1 1
1 1
1 1
1 1
1 1
1
3. Ordinasi RAPFISH Multidimensional Scaling untuk setiap atribut
Ordinasi RAPFISH dengan metode MDS Multidimensional Scaling digunakan untuk menentukan satu titik yang mencerminkan posisi relatif dari
perikanan ikan terbang yang dikaji terhadap dua titik acuan utama yaitu titik baik good dan titik buruk bad. Pemilihan metode MDS dilakukan mengingat
metode Multi-Variate Analysis yang lain seperti factor analysis dan Multi- Attribute Utility Theory
MAUT terbukti tidak menunjukkan hasil yang stabil Pitcher dan Preikshot 2001. Hasil penggunaan metode MDS adalah berupa
objek atau titik yang dipetakan kedalam ruang dua atau tiga dimensi dan diupayakan titik tersebut berada sedekat mungkin dengan titik asal dua titik atau
objek yang sama dipetakan dalam satu titik yang saling berdekatan satu sama lain. Sebaliknya, objek atau titik yang tidak sama digambarkan dengan titik - titik
yang berjauhan.
Teknik ordinasi penentuan jarak dalam MDS didasarkan pada Euclidian Distance
yang dalam ruang yang berdimensi n dapat ditulis sebagai berikut Fauzi dan Anna 2005:
13
d = �|�
1
− �
2 2
|+| �
1
− �
2 2
|+| �
1
− �
2 2
|+ … Konfigurasi atau ordinasi dari suatu objek atau titik didalam MDS kemudian
diaproksimasi dengan meregresikan jarak Euclidian d
ij
dari titik i ke titik j dengan titik asal
�
ij
sebagaimana persamaan berikut Fauzi dan Anna 2005: �
��
= � + ��
��
+ �
Umumnya ada tiga teknik yang digunakan untuk meregresikan persamaan diatas yaitu metode last square KRYST, metode least square bergantian yang
didasarkan pada akar dari euclidian distance atau disebut metode ALSCAL, dan metode yang didasarkan Maximum Likelihood. Dari ketiga metode tersebut,
metode Algoritma ALSCAL merupakan metode yang sesuai untuk RAPFISH dan mudah tersedia hampir pada setiap software statisitika SPSS dan SAS Alder et
al.
2000. Metode ALSCAL mengoptimasi jarak kuadrat square distance = d
ijk
terhadap kuadrat titik asal = 0
ijk
, yang dalam tiga dimensi i, j, k ditulis dalam formula yang disebut S-Stress sebagai berikut:
� = � 1
� � �
∑ ∑ �
��� 2
− �
��� 2
2 �
�
∑ ∑ �
��� 4
� �
�
� �−1
dimana jarak kuadrat merupakan jarak Euclidian yang dibobot atau ditulis : �
��� 2
= � �
�� �
�=1
�
��
− �
�� 2
Pada setiap pengukuran yang bersifat mengukur metric seberapa fit goodness of fit
, jarak titik pendugaan dengan titik asal menjadi sangat penting. Goodness of fit dalam metode MDS gunanya adalah mengukur seberapa tepat konfigurasi dari
suatu titik dapat mencerminkan data aslinya. Mengacu pada Fauzi dan Anna 2005, goodness of fit dalam MDS dicerminkan dari besaran nilai S-Stress yang
dihitung berdasarkan nilai S diatas. Nilai stress yang rendah menunjukkan goodfit sementara nilai S yang tinggi sebaliknya. Hasil analisis metode RAPFISH yang
baik akan menunjukkan nilai stress yang lebih kecil dari 0,25 S 0,25. 4.
Penentuan status keberlanjutan Penentuan status keberlanjutan pengelolaan perikanan ikan terbang
berdasarkan pada indeks keberlanjutan perikanan. Indeks keberlanjutan perikanan mempunyai selang antara 0 – 100. Nilai indeks keberlanjutan yang digunakan
dalam penelitian ini mengacu pada Budianto 2012 yang membagi status keberlanjutan dalam 4 kategori, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Indeks keberlanjutan perikanan
Nilai Indeks Kategori
0 – 25 Tidak berkelanjutan
26 – 50 Kurang berkelanjutan
51 – 75 Cukup berkelanjutan
76 – 100 Berkelanjutan
14
5. Analisis Monte Carlo dan Analisis Laverage
Analisis Monte Carlo digunakan untuk mengetahui kestabilan hasil ordinasi RAPFISH atau kestabilan indeks keberlanjutan yang dihasilkan. Analisis
Monte Carlo pada metode RAPFISH dilakukan sebanyak 25 kali ulangan. Metode
analisis Monte Carlo yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode scatter plot
. Kestabilan indeks keberlanjutan yang dihasilkan tercermin oleh plot yang mengumpul, sedangkan jika hasil analisis Monte Carlo menunjukkan plot
menyebar dapat diartikan terdapat gangguan atau aspek ketidakpastian dalam hasil analisis.
Analisis Laverage dilakukan untuk mengetahui atribut apa saja yang sensitif dari seluruh dimensi keberlanjutan yang digunakan. Atribut paling sensitif
akan memberikan kontribusi terhadap keberlanjutan dalam bentuk perubahan Root Mean Square
RMS yaitu pada sumbu X skala keberlanjutan. Semakin besar nilai perubahan RMS semakin besar peranan atribut tersebut maka semakin
sensitif dalam pembentukan nilai keberlanjutan perikanan.
15
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Lokasi Penelitian
4.1.1
Letak Geografis dan Gambaran Umum Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar
Kabupaten Takalar merupakan salah satu kabupaten yang terletak di
bagian selatan Pulau Sulawesi, berada di antara 5
o
3’ – 5
o
33’ lintang selatan dan 119
o
22’-118
o
39’ bujur timur dan berjarak kurang lebih 29 km dari ibukota Propinsi Sulawesi Selatan. Di sebelah utara Kabupaten Takalar berbatasan
langsung dengan Kota Makassar, di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Jeneponto, di sebelah selatan berbatasan dengan Laut Flores dan di sebelah barat
dibatasi oleh Selat Makassar.
Luas wilayah Kabupaten Takalar adalah sekitar 566,51 km
2
dimana 240,88 km
2
diantaranya merupakan wilayah pesisir dengan panjang garis pantai sekitar 74 km. Kabupaten Takalar terdiri dari 9 wilayah kecamatan dan 83 wilayah
desakelurahan, 3 kecamatan di antaranya yaitu kecamatan galesong utara, kecamatan galesong, dan galesong selatan merupakan penyumbang hasil
perikanan terbesar dan juga merupakan basis nelayan untuk usaha penangkapan ikan terbang maupun telurnya.
Kecamatan Galesong sebagai fokus wilayah penelitian, terletak di sebelah barat Kabupaten Takalar. Kecamatan Galesong merupakan hasil pemekaran dari
Kecamatan Galesong Utara, memiliki jumlah penduduk sebesar 37.643 jiwa terdiri dari 18.346 jiwa laki-laki dan 19.297 jiwa perempuan yang tersebar di 14
wilayah desa Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Data jumlah penduduk di kecamatan galesong Desa
Penduduk Rumah Tangga
Rata-Rata ART
Galesong Baru 2.472
618 4
Galesong Kota 2.775
694 4
Pa’La’Lakkang 3.747
937 4
Kalukuang 2.254
564 4
Pa’rasangan Beru 2.262
566 4
Parangmata 2.364
591 4
Boddia 3.778
945 4
Bontoloe 3.112
778 4
Mappakalompo 3.162
791 4
Kalenna Bontongape 2.142
536 4
Parambambe 2.223
556 4
Campagayya 2.238
560 4
Bontomangape 2.153
538 4
Pattinoang 2.961
740 4
Jumlah 37.643
9.411 4
Sumber: DKP Kabupaten Takalar, 2012
16
Wilayah Kecamatan Galesong dikategorikan sebagai kecamatan pesisir karena setengah dari jumlah total wilayah desa yang dimiliki kecamatan ini
terletak di sepanjang pesisir Selat Makassar Tabel 3.2. Dengan letak wilayah yang cukup strategis membuat sektor perikanan dan kelautan di kecamatan
galesong berkembang cukup pesat, khususnya pada sektor perikanan tangkap.
Tabel 3.2 Klasifikasi desa berdasarkan letaknya
Desa Letak Desa
Pantai Bukan Pantai
Galesong Baru
√
Galesong Kota
√
Pa’La’Lakkang
√
Kalukuang
√
Pa’rasangan Beru
√
Parangmata
√
Boddia
√
Bontoloe
√
Mappakalompo
√
Kalenna Bontongape
√
Parambambe
√
Campagayya
√
Bontomangape
√
Pattinoang
√
Sumber: DKP Kabupaten Takalar, 2012 Besarnya potensi dalam sektor kelautan dan perikanan juga terlihat dari
pola mata pencaharian masyarakat kecamatan galesong, dimana 80 dari total jumlah penduduk pada kecamatan ini bermatapencaharian utama sebagai nelayan
dan 20 lainnya sebagai petani tambak maupun pekerja buruh Tabel 3.3. Pola mata pencaharian sebagai nelayan yang dilakukan masyarakat kecamatan
galesong dikhususkan sebagai nelayan panangkap pengumpul telur ikan terbang atau sering disebut Nelayan Pattorani.
Tabel 3.3 Jumlah nelayan petani ikan tiap kecamatan
KECAMATAN LAUT
TAMBAK JUMLAH
1 Mangarabombang 513
1031 1544
2 Mappakasunggu 641
1918 2559
3 Sanrobone 108
880 988
4 Polongbangkeng Selatan -
- 5 Pattalassang
- 28
28 6 Polongbangkeng Utara
248 -
248 7 Galesong Selatan
1328 144
1472 8 Galesong
876 27
903 9 Galesong Utara
1873 269
2142
Tahun 2012 5.587
4.297 9.884
Sumber: DKP Kabupaten Takalar, 2012
17
4.1.2 Perikanan Ikan Terbang dan Telur Ikan Terbang di Kabupaten
Takalar, Sulawesi Selatan Sistematika ikan terbang pertama kali ditulis oleh Linneaus pada tahun
1758 khususnya spesies Exocoetus volitans Linneaus. Sampai pada pertengahan abad XIX, penelitian lebih banyak pada aspek taksonomi dan anatomi, setelah itu
mulai dipelajari aspek biologi ikan terbang Devenport 1994. Sistematika ikan terbang menurut Parin 1999 adalah sebagai berikut : Kingdom Animalia;
Phylum Chordata; Sub Phylum Vertebrata; Class Oshteichtyes; Sub Class Actinopterigii; Ordo Benoniformes; Sub Ordo Exocoetinae; Famili
Exocoetidae; Sub family Exocoetinae; Genus Hyrundicthys; Spesies Hyrundicthys oxycephalus. Ikan terbang, seperti yang terlihat pada Gambar 3.1
secara umum memiliki bentuk tubuh yang memanjang seperti cerutu, agak gepeng, garis rusuknya terletak dibagian bawah badan, kedua rahangnya hampir
sama panjang atau rahang bawah lebih menonjol terutama pada individu muda Oxymopharus
dari family Oxyphoramphydae, dan atau rahang atas lebih menonjol daripada rahang bawahnya terutama pada jenis Cypselurus. Sirip
pectoral panjang diadaptasikan untuk melayang dan terdiri dari duri lunak, dengan variasi ukuran dan jumlah ruas sirip bercabang pada masing-masing spesies. Sirip
ekor bercagak dengan cagak bawah yang lebih panjang. Sisiknya sikloid berukuran relatif besar dan mudah lepas. Pada beberapa spesies Hyrundichthys,
sisiknya juga tumbuh pada bagian palatin, pada Fodiator dan Parexocoetus juga tumbuh pada vormer, pterofoid, dan lidah. Ukuran-ukuran panjang kepala, tinggi,
dan lebar juga tergantung pada umur Nontji 1987 in Ali 2005; Hutomo et al 1985.
Gambar 3.1 Ikan terbang Hyrundichthys oxycephalus Provinsi Sulawesi Selatan dikenal sebagai wilayah provinsi penghasil dan
pengekspor terbesar ikan terbang dan telur ikan terbang di Indonesia. Ikan terbang atau lebih dikenal dengan nama lokal tuing-tuing torani, pada musim tertentu
melimpah keberadaannya diperairan Selat Makassar dan Laut Flores. Hal inilah yang menjadi pemicu tingginya aktivitas pemanfaatan yang dilakukan nelayan
terhadap sumberdaya ikan terbang maupun telurnya di Selat Makassar dan Laut Flores. Diketahui bahwa jumlah ekspor telur ikan terbang yang berasal dari
wilayah Provinsi Sulawesi Selatan adalah sebesar 20 - 30 dari jumlah total ekspor telur ikan terbang Indonesia ke negara-negara Asia. Pencapaian ekspor
tertinggi yang pernah diperoleh adalah di tahun 1983, dimana volume ekspor telur ikan terbang mencapai 399,8 ton. Selain itu, menurut data yang diperoleh dari
DKP SulSel 2012 menunjukkan bahwa pada tahun 2003, nilai eksport komoditas ini sebesar 1.821.345,90 atau setara dengan 193,83 ton telur ikan
terbang. Tingginya ekspor telur ikan terbang dari Sulawesi Selatan saat itu
18
menjadikan komoditas perikanan ini sebagai andalan penghasil devisa kedua setelah udang.
Sasaran pemanfaatan sumberdaya ikan terbang di Selat Makassar dan Laut Flores adalah induk ikan dan telurnya. Saat ini, usaha penangkapan dan perburuan
komoditas ikan terbang maupun telurnya sudah banyak dilakukan oleh nelayan di beberapa daerah di Sulawesi Selatan maupun Sulawesi Barat. Untuk wilayah
Sulawesi Selatan, basis terbesar nelayan penangkap ikan terbang dan telur ikan terbang berada pada kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar. Kegiatan
penangkapan didominasi oleh nelayan nelayan lokal dengan bantuan perahu berukuran panjang sekitar 15 m dan lebar 3 m, berbahan dasar kayu dengan
design tradisional seperti jukung, perahu Sandeq, perahu motor tempel Out Board Motor
dan perahukapal motor In Board Motor Gambar 3.2.
Gambar 3.2 Kapal nelayan pattorani di Kabupaten Takalar Upaya penangkapan komoditas ikan terbang dan telur ikan terbang
dilakukan dengan menggunakan alat tangkap yang berbeda. Penangkapan telur bersamaan dengan induk ikan terbang digunakan bubu hanyut atau pakajja, untuk
menangkap induk ikan terbang digunakan jaring insang hanyut, sedangkan untuk mengumpulkan telur ikan terbang digunakan rumpon fish accumulation devices
dengan nama daerah bale-bale.
Bubu hanyut atau pakajja adalah alat tangkap yang pertama yang digunakan nelayan untuk melakukan usaha penangkapan ikan terbang Gambar
3.3. Bubu hanyut merupakan alat perangkap ikan berbentuk silinder yang terbuat dari bila-bila bambu, kedua mulutnya diberikan daun kelapa dan sargassum
sebagai tempat peletakan telur sehingga dapat menghasilkan ikan dan telurnya. Sargassum ini sendiri selain sebagai tempat peletakan telur, juga berfungsi
memberi aroma tersendiri agar memanggil ikan untuk datang memijah Mallawa