dari 6D
85
, kemudian disimpan pada tiga suhu penyimpanan yang berbeda dan dievalusi sifat fisiknya selama penyimpanan.
4.2 Korelasi Antara Keawetan Tempe dan Pasteurisasi
Umur simpan produk pangan adalah waktu antara saat produksi dan pengemasan, sampai dengan produk tersebut tidak dapat lagi diterima oleh
konsumen pada kondisi penyimpanan tertentu Ellis dan Man 2000. Umur simpan dapat didefinisikan pula sebagai keawetan produk pangan.
Keawetan tempe ditentukan secara visual berhubungan dengan kelayakan tempe secara organoleptik untuk dikonsumsi. Tingkat keawetan tempe dinilai
berdasarkan kriteria kritis tertentu yang menyebabkan tempe tidak layak untuk dikonsumsi. Berdasarkan pengamatan visual, tempe yang tidak layak konsumsi
mempunyai parameter objektif tersaji pada Gambar 5 dan kriteria kritis tempe yang tidak layak untuk dikonsumsi tersaji pada Tabel 5.
Gambar 5 dan Tabel 5 menunjukkan beberapa kriteria kritis untuk tempe yang tidak layak untuk dikonsumsi. Tempe yang tidak layak konsumsi secara
organoleptik mempunyai karakteristik bau amonia yang menyengat, tekstur yang lunak, warna coklat kehitaman, dan berlendir.
a b c d Gambar 5 Kondisi tempe yang menunjukkan kerusakan. Penggelembungan
kemasan pada tempe yang dikemas dalam HDPE vakum a, penggelembungan kemasan pada tempe yang dikemas dalam
aluminium foil vakum b, penampakan tempe yang sudah menimbulkan bau asam, berlendir, dan tektur yang lembek c,
dan penampakan tempe yang sudah menimbulkan warna coklat kehitaman d
lendir
Tabel 5 Titik kritis tempe yang tidak layak konsumsi
Parameter Nilai kritis
pH 4.9 ± 0.045
Tekstur mm5.0 s 13.09 ± 0.05
Daya iris gmm 14.49 ± 0.44
Kecerahan 60.32 ± 0.47
Tabel 6 Hasil pengamatan visual terhadap keawetan tempe Perlakuan
Umur simpan hari Tempe segar, disimpan pada suhu ruang
2 Tempe segar, disimpan pada suhu refrigerator
3 Tempe yang dikemas vakum, disimpan pada
suhu ruang 2
Tempe yang dikemas vakum, disimpan pada suhu refrigerator
4 - 5 Tempe yang dikemas vakum, dipasteurisasi,
disimpan pada suhu ruang 1
Tempe yang dikemas dalam aluminium foil vakum, dipasteurisasi, disimpan pada suhu 5
o
C 11 - 37
Tempe yang dikemas dalam HDPE vakum, dipasteurisasi, disimpan pada suhu 5
o
C 8 - 24
Pengamatan mutu tempe pada penelitian dilakukan setiap hari selama penyimpanan sampai tempe menunjukkan gejala kerusakan seperti yang
dideskripsikan pada Gambar 5. Keawetan tempe dari berbagai kombinasi perlakuan pasteurisasi tersaji pada Tabel 6 dan korelasi antara keawetan tempe
dengan berbagai kombinasi perlakuan pasteurisasi yang dilakukan tersaji pada Gambar 6.
Gambar 6 dan Tabel 6 memperlihatkan bahwa proses pasteurisasi dapat memperpanjang keawetan tempe. Keawetan maksimum diperoleh pada nilai
pasteurisasi optimum. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa keawetan tempe mengalami penurunan pada nilai pasteurisasi lebih dari nilai pasteurisasi
optimum. Nilai pasteurisasi optimum yang memberikan keawetan maksimum pada suhu penyimpanan 5, 15, dan 20
o
C untuk kemasan vakum HDPE yaitu 35.05, 35.36, dan 33.30 menit. Keawetan maksimum yang diperoleh pada suhu
penyimpanan 5, 15, dan 20
o
C untuk kemasan vakum HDPE yaitu 24, 16, dan 13 hari. Sedangkan nilai pasteurisasi yang memberikan keawetan optimum pada suh
u
a
b Gambar 6 Korelasi antara keawetan tempe dan pasteurisasi pada tempe yang
dikemas vakum dalam aluminium foil a dan HDPE b. Inset menunjukkan pola perubahan keawetan tempe pada Pv 0-70 menit.
Garis menunjukkan
pola keawetan
tempe pada
suhu penyimpanan 5
o
C, garis menunjukkan pola keawetan tempe pada suhu penyimpanan 15
o
C, dan garis menunjukkan pola keawetan tempe pada suhu penyimpanan 20
o
C.
penyimpanan 5, 15, dan 20
o
C untuk kemasan vakum alumunium foil yaitu 37.04, 35.44, dan 42.47 menit. Keawetan maksimum yang diperoleh pada suhu
penyimpanan 5, 15, dan 20
o
C untuk kemasan vakum aluminium foil yaitu serta 25, 17, dan 12 hari. Berdasarkan hasil keawetan maksimum dari setiap perlakuan,
keawetan terpanjang selama 25 hari diperoleh pada nilai pasteurisasi 37 menit dengan menggunakan kemasan vakum aluminium foil dan disimpan pada suhu
5
o
C. Penurunan keawetan tempe pada nilai pasteurisasi lebih dari 37 menit
diduga terkait dengan terjadinya kompetisi antar mikroba pembusuk pada tempe. Proses pasteurisasi akan membunuh kapang, sehingga memberi kesempatan pada
mikroba pembusuk. Setelah kapang mati, mikroba yang bertahan adalah beberapa mikroba pembusuk. Yasir 2010 menyatakan bahwa mikroba pembusuk
merupakan mikroba yang tahan panas karena mikroba tersebut membentuk spora. Berdasarkan daerah aktivitas suhunya, Zaifbio 2009 mengemukakan bahwa
mikroba terbagi menjadi mikroba psirkofilik, mesofilik, dan termofilik. Menurut Astawan 2007, kerusakan makanan berasam rendah dapat berupa kebusukan flat
sour, kebusukan termofilik anaerobik dengan penggembungan, serta kebusukan sulfida yang disebabkan bakteri anaerob pembentuk spora termofilik obligat.
Selama penyimpanan, kapang tempe mati lebih dari 48 jam tanpa perlakuan apapun, selanjutnya tempe akan ditumbuh bakteri atau mikroba yang
merombak protein Sarwono 1996 dalam Haryoko dan Kurnianto 2005. Menurut Sorenson dan Hesseltine 1986 dalam Anonim 2009, Rhizopus sp tumbuh baik
pada kisaran pH 3,4-6. Semakin lama waktu fermentasi, pH tempe semakin meningkat sampai pH 8,4, sehingga kapang semakin menurun karena pH tinggi
kurang sesuai untuk pertumbuhan kapang. Pasteurisasi akan menyebabkan denaturasi protein sehingga kesegaran
tempe menurun. Dalam kondisi normal, protein mampu mengikat cairan di dalam produk sehingga tidak dimanfaatkan oleh mikroba untuk tumbuh dan
berkembangbiak. Dengan terjadinya denaturasi, protein secara bertahap akan kehilangan kemampuannya untuk menahan cairan. Akibat dari perubahan
tersebut, cairan di dalam produk akan lepas dan keluar dari produk. Cairan yang
kaya nutrien tersebut akan digunakan oleh mikroba pembusuk sebagai sumber nutrisi untuk tumbuh dan berkembang.
Pembusukan dimulai dengan ekskresi enzim ekstrasel yang dapat menghidrolisis molekul-molekul komplek menjadi senyawa lebih sederhana.
Selama proses pembusukan, enzim protease akan merombak komponen protein hingga terbentuk asam amino, senyawa ammonia NH
3
, dan hidrogen sulfida H
2
S. Pertumbuhan mikroba pembusuk mengakibatkan pula terbentuknya gas akibat perombakan dari karbohidrat. Protease dan karbohidrase yang berperan
dalam proses perombakan protein dan karbohidrat selama pembusukan berasal dari mikroba pembusuk yang masih bertahan setelah proses pasteurisasi Afrianto
2009. Penelitian ini menunjukkan bahwa kerusakan awal pada tempe dilihat dari menggembungnya kemasan. Kemasan yang menggembung mengindikasikan
bahwa masih terjadinya proses mikrobiologis dari mikroba pembusuk. Adanya mikroba perombak protein akan mengakibatkan tempe cepat mengalami
kebusukan, sebagaimana terlihat pada Gambar 6. Berdasarkan mikroba penyebab kebusukan tersebut, mikroba yang tumbuh
pada nilai pasteurisasi kurang dari nilai pasteurisasi optimum yaitu mikroba dari golongan mesofilik, sedangkan mikroba yang bertahan pada nilai pasteurisasi
lebih dari nilai pasteurisasi optimum yaitu mikroba dari golongan termofilik. Faktor lain yang menyebabkan keawetan menurun seiring dengan
meningkatnya nilai pasteurisasi yaitu pemanasan yang berlebihan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai pasteurisasi lebih dari 37 menit akan
mempercepat kerusakan atau degradasi dari protein. Rhee 2009 mengemukakan bahwa perlakuan dengan menggunakan panas harus dilakukan pengontrolan
dengan baik karena panas yang berlebih dapat menyebabkan deteriorisasi mutu protein dan menyebabkan reaksi maillard. Deteriorisasi pada protein selama
pemanasan terkait dengan hilangnya asam amino yang sensitif terhadap panas seperti metionin, lisin, dan sistein.
Suhu penyimpanan 5, 15, dan 20
o
C menunjukkan perbedaan daya awet tempe selama penyimpanan. Keawetan pada suhu penyimpanan yang lebih rendah
memiliki daya awet yang lebih lama dibandingkan dengan dengan suhu penyimpanan yang lebih tinggi. Perbedaan umur simpan tersebut terkait dengan
mekanisme penurunan mutu yang disebabkan oleh perubahan suhu. Suhu yang terlalu tinggi menyebabkan denaturasi enzim, sedangkan suhu yang terlalu rendah
menyebabkan aktivitas enzim terhambat. Daya awet tempe yang disimpan pada suhu 15 dan 20
o
C tidak berlangsung sebaik dengan tempe yang disimpan pada suhu 5
o
C. Pada suhu 15 dan 20
o
C, sebagian besar kedelai akan dikonsumsi oleh mikroba pembusuk untuk menghasilkan energi dan asam laktat. Proses keawetan
pada suhu ini dalam tempe tidak berlangsung lama, karena terganggu oleh aktivitas bakteri pembusuk dalam mengkonsumsi nutrisi dalam produk. Bakteri
pembusuk dalam produk berkompetisi mendapatkan nutrisi, sehingga sebagian sel secara bertahap megalami kematian dan menyebabkan kebusukan pada tempe.
4.3 Perubahan Sifat Fisik Tempe Selama Penyimpanan