I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Tempe merupakan produk pangan tradisional yang dibuat dari kacang kedelai yang difermentasi dengan menggunakan kapang Rhizopus. Tempe
merupakan komoditas potensial sebagai sumber protein nabati. Potensi tempe di Indonesia cukup tinggi. Peningkatan konsumsi tempe didorong oleh kesadaran
masyarakat tentang gizi dan manfaat tempe bagi kesehatan. Hardinsyah et al. 2008 menyebutkan bahwa rata-rata konsumsi produk tempe di Indonesia pada
tahun 2007 yaitu 7.9 kgkapita. Potensi tempe yang tinggi tidak diimbangi dengan sifat tempe yang mudah
rusak dan umur simpan yang singkat. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah tersebut dibutuhkan suatu metode pengawetan yang tepat.
Proses termal merupakan salah satu teknologi pengolahan bahan pangan tertua dan paling sederhana yang telah banyak diaplikasikan. Pengawetan dengan
proses termal termasuk efektif dalam memperpanjang daya awet dan umur simpan pangan olahan. Studi aplikasi proses termal untuk memperpanjang umur
simpan tempe telah banyak dilakukan seperti sterilisasi, penggorengan, dan pengalengan. Namun aplikasi proses termal yang menghasilkan tempe dengan
karakteristik tempe segar masih belum tersedia. Penelitian proses termal pada umumnya ditujukan untuk menentukan
kombinasi suhu dan waktu pemanasan tempe yang menghasilkan umur simpan terpanjang dan penurunan kualitas yang minimum. Hasil tersebut berlaku untuk
suatu kondisi dan dimensiukuran tempe yang spesifik. Sebagai akibatnya ditemukan berbagai kombinasi suhu dan waktu yang berbeda-beda tergantung
kondisi penelitian yang dilakukan. Situasi ini menggiring pada suatu pertanyaan mendasar, parameter apakah yang menentukan keawetan maksimum hasil
aplikasi proses termal. Informasi parameter penentu umur simpan maksimum saja ternyata tidak
cukup untuk mendesain proses pengolahan dengan panas yang optimum. Informasi yang mendasar tentang kinetika laju penurunan mutu tempe selama
pengolahan dengan panas juga diperlukan. Sehingga muncul pertanyaan
selanjutnya, bagaimana laju penurunan mutu tempe selama proses pasteurisasi dan bagaimana tingkat sensitifitas laju penurunan mutu terhadap perubahan suhu?
Informasi tersebut sangat diperlukan dalam rangka mengoptimasi aplikasi proses termal pada tempe.
Dalam rangka menunjang optimasi proses termal, metode pengemasan turut memegang peranan penting dalam pengawetan bahan pangan. Metode yang
digunakan adalah pengemasan vakum. Jenis kemasan yang digunakan adalah kemasan yang dapat menahan laju transmisi gas oksigen dan laju transmisi uap
air, yaitu kemasan HDPE dan aluminium foil. Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan penelitian terhadap proses
pasteurisasi tempe dalam kemasan HDPE dan alumunium foil vakum.
1.2 Rumusan Masalah
Potensi tempe yang tinggi tidak diimbangi dengan sifat tempe yang mudah rusak dan umur simpan yang singkat. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah
tersebut dibutuhkan suatu metode pengawetan yang tepat. Pengawetan dapat dilakukan dengan proses pasteurisasi.
Dalam rangka mengoptimasi aplikasi metode pengemasan dan proses termal pada tempe, diperlukan parameter proses yang dapat menentukan keawetan tempe
hasil aplikasi proses termal. Selanjutnya perlu diketahui berapakah nilai laju penurunan mutu tempe selama proses pasteurisasi serta bagaimana tingkat
sensitifitas laju penurunan mutu terhadap perubahan suhu.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menentukan nilai pasteurisasi dari berbagai kombinasi perlakuan pasteurisasi.
2. Mempelajari pengaruh nilai pasteurisasi terhadap keawetan tempe yang dikemas vakum dalam HDPE dan alumunium.
3. Mempelajari pengaruh nilai pasteurisasi terhadap sifat fisik tempe. 4. Menentukan kinetika perubahan mutu tempe selama penyimpanan.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk : 1. Bahan informasi bagi produsen dan industri pengolahan tempe tentang
penggunaan jenis kemasan dan proses pasteurisasi dalam mengurangi perubahan mutu tempe selama penyimpanan.
2. Meningkatkan umur simpan tempe.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tempe dan Manfaatnya