pindah panas dari medium pemanas ke dalam bahan perlu diketahui untuk menghitung nilai pasteurisasi. Umumnya proses pasteurisasi di industri
menerapkan sistem batch. Sistem ini tidak berlangsung pada suhu konstan tetapi terjadi perubahan suhu selama proses pemanasan. Dengan demikian, nilai
pasteurisasi didasarkan pada total panas yang diterima oleh produk selama proses pemanasan Kusnandar et al. 2006.
Kombinasi suhu dan waktu dalam proses pasteurisasi akan mempengaruhi efektifitas proses pasteurisasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu :
a ketahanan panas mikroba nilai D dan nilai z, karakteristik produk jumlah mikroba awal, jenis bahan pangan, dan pH bahan pangan; b peralatan proses
jenis medium pemanas, jenis retort, dan profil distribusi panas, serta c jenis dan ukuran kemasan yang digunakan Kusnandar et al. 2006.
Proses pasteurisasi yang dilakukan tidak semata-mata membunuh mikroba, tetapi juga harus mempertimbangkan mutu akhir produk. Kerusakan mutu oleh
pemanasan harus diminimalkan. Optimasi proses pasteurisasi diperlukan untuk menentukan kombinasi suhu dan waktu selama pemanasan dan pendinginan yang
dapat memenuhi kriteria keamanan mutu pangan. Karakteristik produk pangan dan jenis kemasan yang digunakan juga bisa sangat menentukan kombinasi suhu
dan waktu yang diperlukan untuk tujuan pasteurisasi tersebut.
2.6 Penyimpanan Suhu Rendah
Penyimpanan merupakan suatu perlakuan dimana bahan pangan baik yang telah dikemas maupun yang belum dikemas akan ditempatkan dalam suatu
ruangan pada suhu dan kelembaban tertentu untuk proses selanjutnya. Prinsip penyimpanan yaitu pengendalian kecepatan proses metabolisme dan fisik seperti
laju respirasi dan transpirasi, timbulnya infeksi penyakit, dan mempertahankan produk dalam bentuk yang paling berguna bagi konsumen.
Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan yaitu karakteristik bahan pangan, pengontrolan kondisi lingkungan, perhitungan teoritis
untuk memilih jenis kemasan dan perkiraan lama penyimpanan hingga aspek ekonomi. Kondisi penyimpanan yang kurang baik dapat menyebabkan penurunan
mutu bahan pangan Syarief dan Khalid 1993.
Penyimpanan bahan pangan dengan cara pendinginan dapat dilakukan pada suhu chilling dan suhu refrigerator. Suhu chilling berada pada kisaran
10–15
o
C dan refrigerator berada pada kisaran 0–2
o
C sampai 5–7
o
C Fardiaz dan Jenie 1989. Penyimpanan pada suhu ini dapat mengurangi
kecepatan proses biokimia dan pertumbuhan mikroba, memperpanjang daya awet bahan pangan, serta mencegah pertumbuhan mikroba termofilik dan mesofilik.
Suhu 5–7
o
C bisa memperlambat pertumbuhan bakteri pembusuk dan patogen, dan bisa mengurangi kecepatan reaksi enzim dan mikroba serta
memperlambat respirasi pada bahan pangan segar. Semakin rendah suhu, maka semakin lambat terjadinya reaksi kimia, aktivitas enzim dan pertumbuhan
mikroba Buckle et al. 1987.
2.7 Mikroba Target
Tempe merupakan produk yang mudah rusak dan rentan terhadap bahaya kontaminasi mikroba, sehingga tempe mempunyai umur simpan yang pendek.
Salah satu metode pengawetan untuk memperpanjang umur simpan tempe yaitu pasteurisasi. Untuk memaksimalkan proses pasteurisasi, pengemasan secara
vakum dan penyimpanan pada suhu rendah memegang peranan penting dalam pengawetan bahan pangan.
Pemilihan mikroba target didasarkan pada
kemampuan hidup mikroba pada kondisi anaerobik, ketahanan yang tinggi terhadap panas, dan dapat bertahan pada suhu rendah selama penyimpanan.
Mikroba anaerob yaitu mikroba yang mampu hidup tanpa membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannnya. Afolabi dan Popoola 2005 menyatakan bahwa
mikroba yang terdapat pada tempe antara lain Staphylococcus aureus, Clostridium botulinum, Salmonella spp., Yersinia enterocolitica, dan Bacillus
cereus. Mikroba-mikroba tersebut dapat hidup secara anaerob. Fardiaz dan Jenie 1989 menyatakan bahwa Clostridium botulinum, Salmonella spp., Yersinia
enterocolitica, dan Bacillus cereus dapat hidup secara anaerbik. Ketahanan panas suatu mikroba dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu
faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam karakteristik sel yang mempengaruhi sifat ketahanan terhadap panas diantaranya jenis, spesies, umur sel, dan
bentuknya sel vegetatif atau spora. Sedangkan faktor luar yang mempengaruhi
ketahanan suatu mikroba terhadap panas yaitu kondisi pertumbuhan dan komposisi medium pemanasan Fardiaz dan Jenie 1989.
Umumnya mikroba yang mempunyai ketahanan terhadap suhu tinggi selama pasteurisasi adalah mikroba yang membentuk spora. Spora mikroba lebih
tahan panas dibandingkan sel vegetatifnya. Mikroba yang dapat membentuk spora yaitu kelompok Bacillus dan Clostridium. Bakteri pembentuk spora mempunyai
suhu optimum dan maksimum pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan bakteri yang tidak membentuk spora. Ketahanan panas yang tinggi ditunjukkan dengan
nilai D yang tinggi. Nilai D dan z untuk inaktivasi mikroba dan kerusakan gizi penting dalam proses termal dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Jenis mikroba yang banyak digunakan pada proses termal sebagai mikroba target dan karakteristik ketahanannya terhadap panas
Mikroba Nilai z
o
F Nilai D
250
menit
B.stearothermophilus 12.6
4.0 B.subtilis
13.3 - 23.4 0.48 - 0.76
B.cereus 17.5
0.0065 B.perfrigenes
18 -
B.sporogenes PA3679 19.1
0.48 Clostridium botulinum
17.8 0.21
Clostridium thermosaccharolyticum 16 - 22
3.0 - 4.0 Coxiella burnetti
8 -
Sumber : Hariyadi 2009 Proses pendinginan dapat memperlambat pertumbuhan mikroba. Suhu
pendinginan komersial biasanya dibawah 5-7.2
o
C dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Namun, C. botulinum tipe E yang mempunyai sehu
mimimum pertumbuhan pada 3.3
o
C tidak dapat dihambat. Suhu mimimum untuk pertumbuhan beberapa bakteri patogen dapat dilihat pada Tabel 4. Dalam Tabel 4
terlihat bahwa beberapa mikroba patogen masih dapat tumbuh pada suhu di bawah 7.2
o
C. oleh karena itu, suhu pendinginan makanan belum menjamin makanan tersebut bebas dari mikroba patogen Fardiaz dan Jenie 1989.
Tabel 4 Suhu mimimum pertumbuhan beberapa mikroba patogen Bakteri patogen
Suhu mimimum pertumbuhan
o
C Aeromonas hydrophila
1-5
a
Bacillus cereus 10
b
Camphylobacter jejuni 27
a
Clostridium botulinum tipe E 3.3
a
Clostridium perfringens 20
a
Escherichia coli 4
a
Listeria monocytogenes 3
a
Plesiomonas shigelloides 8
a
Salmonella 5.2
a
Staphylococcus aureus 10
a
Vibrio parahaemolyticus 5
a
Yersinia enterocolitica 7
a
Sumber :
a
Frazier dan Westhoff 1988 dalam Fardiaz dan Jenie 1989;
b
Feijoo et al. 1997 Penentuan mikroba target penting dalam perhitungan nilai pasteurisasi
Pv. Hal ini berkaitan dengan nilai z dan suhu referensi T
ref
yang akan digunakan. Nilai z dan T
ref
yang berbeda akan menghasilkan nilai pasteurisasi yang berbeda pula Teck 2007.
Berdasarkan parameter pemilihan mikroba target, C. botulinum tipe nonproteolitik yang mampu hidup pada kondisi aerob, memiliki ketahanan pada
suhu tinggi selama pemanasan, dan bertahan pada suhu rendah selama penyimpanan Doyle 2002; Grecz dan Arvay 1982. Lindstőm et al. 2003
melaporkan bahwa C.botulinum tipe nonproteolitik terdapat pada produk ikan yang dikemas vakum dan diasap. Selain itu, Hariyadi 2009 mengungkapkan
bahwa mikroba tersebut dijadikan mikroba target pada proses pasteurisasi dan penyimpanan pada suhu rendah produk crabmeat. Berdasarkan uraian di atas,
mikroba target yang digunakan dalam penelitian ini adalah Clostridium botulinum tipe nonproteolitik dengan nilai D
85
sebesar 0.28 menit dan nilai z sebesar 7.2
o
C Lund dan Notermans 2005; Lindstőm et al. 2003.
III. BAHAN DAN METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian