Pengaruh Lingkungan Terhadap Pertumbuhan Padi

7 area daun. Faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi padi adalah tanah masam, sehingga upaya pemanfaatan lahan-lahan marginal seperti lahan kering dan rawa menjadi kurang berkembang dikarenakan kondisi tanah yang masam dengan pH 3.5-5.5 Noor 1996. Toksisitas aluminium merupakan salah satu cekaman abiotik yang biasanya ditemukan pada lahan masam. Aluminium adalah salah satu diantara unsur yang memiliki kelimpahan paling banyak di bumi, mewakili sekitar 8 berat lapisan bumi Asher 1991. Keracunan Al merupakan salah satu faktor pembatas pertumbuhan yang penting bagi tanaman pada berbagai tanah masam dunia, yang meliputi 50 lebih dari lahan pertanian didunia adalah tanah asam Bot et al. 2000. Tanah masam adalah tanah yang memiliki pH yang rendah, tanah ini terbentuk karena dekomposisi bahan organik dan curah hujan yang tinggi Salisbury dan Ross 1995. Pengaruh cekaman Al tidak sama pada semua tanaman, bahkan dalam spesies yang sama. Akar merupakan bagian tanaman yang paling sensitif terhadap keracunan Al. Gejala awal yang tampak pada tanaman yang keracunan Al, yaitu tidak berkembangnya sistem perakaran sebagai akibat penghambatan perpanjangan sel Purnamaningsih dan Mariska 2008. Keracunan Al yang berat terutama pada pH tanah dibawah 5, Al menjadi terionisasi dengan bentuk ion trivalent Al 3+ bersifat toksik bagi tanaman dan merusak sistem perakaran tanaman Kochian et al. 2004. Namun tidak semua Al bersifat toksik, Al yang membentuk ikatan dengan ligand seperti aluminium silikat tidak beracun bagi tanaman. Rout et al. 2001, mengemukakan bahwa kelarutan Al yang tinggi di dalam tanah sangat merugikan tanaman karena menghambat pertumbuhan akar. Namun terdapat beberapa spesies tanaman yang memiliki toleransi terhadap konsentrasi Al yang tinggi Bell dan Edwards 1987. Akar dari tanaman yang toleran Al akan sedikit atau sama sekali tidak mengalami kerusakan ketika tercekaman Al dibandingkan akar dari tanaman yang sensitif Al Delhaize et al. 2004, sehingga akar dari tanaman yang toleran Al akan memiliki kemampuan pertumbuhan akar kembali yang lebih tinggi dibanding akar dari tanaman yang sensitif Al. Kemampuan toleransi ini dikontrol secara genetik. Menurut Taylor 1991 mekanisme toleransi tanaman terhadap Al terbagi menjadi dua kelompok, yaitu: 1 dengan mencegah Al masuk ke dalam simplas dan sampai daerah metabolik yang peka di dalam sel tanaman mekanisme ekslusi, dan 2 dengan detoksikasi, imobilisasi atau pengubahan dalam metabolisme saat Al telah masuk ke dalam simplas sehingga memungkinkan tanaman melanjutkan proses tumbuhnya mekanisme internal. Mekanisme eksklusi berhubungan dengan: imobilisasi Al dalam dinding sel, sifat selektif permeabel membran plasma, meningkatkan pH di sekitar perakaran, dan kelatisasi Al oleh asam organik. Mekanisme internal berhubungan dengan: kelatisasi Al dalam sitosol oleh asam organik atau protein, kompartementasi Al dalam vakuola, evolusi enzim pada tanaman toleransi Al Anggraito 2012. Selain itu beberapa peneliti melaporkan bahwa toleransi terhadap Al juga dipengaruhi oleh mucilage pada tanaman. Mucilage adalah bahan seperti gel yang dihasilkan pada bagian ujung akar yang sedang berkembang. Mucilage merupakan partikel penting pada tanah mineral asam untuk melindungi meristem akar, Watanabe et al. 2008 menyebutkan bahwa mucilage akar berperan dalam imobilisasi kation-kation logam misalnya Al pada rizofer. Pada tanaman Vigna unguiculata dan M. Malabathricum memiliki toleransi terhadap Al karena dapat 8 menghasilkan sejumlah besar mucilage jika dibandingkan dengan yang sensitif Suthipradit et al. 1990; Watanabe et al. 2008. Pada tanaman padi keracunan Al, menyebabkan kerusakan sistem akar, dimana tanaman padi yang sensitif Al yaitu IR64 dan Krowal, mengalami pertumbuhan akar terhambat dibandingkan tanaman padi yang toleran Al yaitu Grogol dan Hawara Bunar. Akumulasi Al yang tinggi pada tanaman padi yang sensitif Al menyebabkan kerusakan akar, dan ini tidak terjadi pada tanaman padi yang toleran Al Roslim 2011.

2.3 Metallothionein

Metallothionein adalah molekul metalloprotein dengan berat molekul rendah yang memiliki kemampuan untuk mengikat sejumlah unsur transisi. Seng Zn, tembaga Cu dan air raksa Hg merupakan logam yang paling sering berasosiasi dengan protein ini. Protein ini pertamakali di isolasi pada tahun 1957 dari kortek ginjal yang mengandung sejumlah besar sulfur dan kadmium oleh Margoshes dan Vallee, dan protein ini selanjutnya dikarakteristik oleh Kagi dan Vallee pada tahun 1960 Cousins 1983. Ciri-ciri yang menonjol dari protein ini adalah: 1 berupa rantai tunggal polipeptida tersusun dari 61 asam amino, 2 protein yang memiliki kemampuan mengikat logam antara 5 dan 7 gram atom per mol, 3 25-35 dari residu asam aminonya adalah sistein dan tidak memiliki ikatan disulfida seperti umumnya pada protein, 4 tidak memiliki asam amino aromatik yang terdapat pada polipetida dan 5 polymorphis ditunjukkan dengan sedikitnya dua mayor dan sejumlah minor isometallothionein di setiap ekstrak jaringan Cousins 1983. Metallothionein merupakan protein unik berukuran kecil yang berada pada posisi antara hormon-hormon polipetida dari protein globular intrasellular. Ukuran metallothionein pada kondisi denaturasi diperkirakan sekitar 6600 dalton, sedangkan ketika penyesuaian dengan muatan logam, polipetida bebas-logam misalnya thionein sekitar 6000 dalton. Tembaga dan seng merupakan logam utama yang berikatan dengan metallothionein Cousins 1983. Level metallothionen yang mengikat logam seperti seng pada individu yang sehat terjaga pada kondisi tetap rendah, level ini akan meningkat disebabkan penyakit, stres, atau berubah mencolok akibat penggunaan tembaga atau seng. Ekspos kadmium dan air raksa menghasilkan pengikatan metallothionein dengan sejumlah logam dalam jaringan. Berdasarkan struktur primer dari metallothionein ginjal, terdapat tiga residu sistein utama yang berperan dalam pengikatan ligan dengan logam Cousins 1983. Korelasi yang tinggi antara kenaikan tingkat metallothionein dan logam dalam jaringan seringkali ditemukan, protein metallothionein ini bersifat induce. Logam kadmium, seng dan tembaga dapat menginduksi metallothionein, selain itu dexamethasone dan steroid dengan aktivitas glukokortikoid juga dapat merubah ekspresi gen metallothionein dan meningkatkan akumulasi seng dan kadmium dalam kultur sel parenchymal hati Cousins 1983. Literatur degradasi metallothionein masih sangat terbatas dibandingkan sintesis metallothionein. Investigasi degradasi metallothionein liver yang diinduksi seng secara in vivo menggunakan pelabelan 65 Zn dan 35 S-sistein. Hasil 9 yang diperoleh menunjukkan bahwa degradasi metallothionein dipengaruhi ikatan logam. Konsep ini juga diperkuat melalui eksperimen degradasi secara in vitro, yaitu pelabelan seng dan kadmium yang menginduksi metallothionein, selanjutnya metallothionein diisolasi dan diinkubasi dengan protease. Protease mendegradasi protein metallothionein. Protein metallothionein kadmium lebih resisten dibandingkan protein metallothionein seng Cousins 1983. Degradasi metallothionein tembaga berlangsung dengan cepat pada kondisi in vivo. Aspek utama dari sintesis dan degradasi metallothionein ditunjukkan pada Gambar 2 Cousins 1983. Gambar 2 Mekanisme sellular yang mempengaruhi sintesis dan degradasi metallothionein Cousins et al. 1983 Fungsi dari metallothionein menurut Cousins 1983 adalah sebagai berikut: 1 metallothionein memiliki peranan yang penting dalam metabolisme sellular, 2 metallothionein merupakan suatu ligan penyangga untuk menetralkan atau menghilangkan pengaruh logam-logam toksik dan 3 metallothionein merupakan kelompok sulfur yang terlibat dalam oksidasi-reduksi dan terkait erat dengan pengikatan logam. Metallothionein juga memiliki kemampuan sebagai antioksidan Robinson et al. 1993. Kerusakan DNA yang diakibatkan oleh cekaman oksidatif