Pengaruh Tipe Penggunaan Lahan dan Tingkat Gangguan Habitat

40 berdasarkan nilai LBD. Hutan yang tidak terganggu memiliki LBD 45 m 2 ha sedangkan yang terganggu LBD 15 m 2 ha.

D. Pengaruh Tipe Penggunaan Lahan dan Tingkat Gangguan Habitat

Penelitian ini menunjukan bahwa tipe penggunaan lahan yang berbeda menyebabkan penurunan kekayaan spesies rayap, kelimpahan relatif rayap dan biomassa rayap secara bertahap dari hutan lindung ke permukiman Tabel 8 dan Gambar 15. Beberapa penelitian juga melaporkan adanya penurunan kekayaan spesies dan kelimpahan relatif rayap misalnya Eggleton Bignel 1995; Eggleton et al. 1995; 1996; 1999; 2002; Jones Prasetyo 2002; Gillison et al. 2003; Jones et al. 2003 dan biomassa rayap Eggleton et al. 1996; 1999 dalam merespons perubahan penggunaan lahan. Namun, pada penelitian ini respons penggunaan lahan terhadap struktur komunitas keanekaragaman hayati rayap tidak menunjukan pengaruh yang nyata Tabel 8. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Gathorne-Hardy et al. 2002 yang menyimpulkan bahwa penurunan keanekaragaman hayati rayap tidak dipengaruhi oleh tipe penggunaan lahan. Tapi sistem pertanaman monokultur yang menyebabkan penurunan kekayaan spesies rayap secara nyata. Sistem pertanaman monokultur menyebabkan penurunan keanekaragaman hayati rayap karena menurunkan keragaman mikrohabitat untuk mendukung kehidupan rayap Jones et al. 2003. Pada penelitian tentang pengaruh penggunaan lahan terhadap kekayaan spesies kumbang kotoran menunjukan cenderung penurunan kekayaan spesies kumbang kotoran dari hutan alam ke kawasan yang terbuka, namun secara statistik tidak nyata. Perbedaan yang nyata hanya ditunjukan oleh dua tipe penggunaan lahan yaitu: kekayaan spesies kumbang kotoran di hutan alam dengan di kawasan yang terbuka. Sistem pertanian agroforestri menunjukan kekayaan spesies yang hampir sama dengan hutan primer Shahabudin 2007. Namun, dalam penelitian ini sistem agroforestri menunjukan perbedaan antara kekayaan spesies rayap dan kelimpahan relatif rayap yang ada dengan hutan lindung. Hal ini diduga disebabkan oleh tingkat gangguan habitat mempengaruhi keberadaan spesies rayap. Habitat agroforestri dalam penelitian ini merupakan habitat yang sudah terganggu Tabel 7. 41 Tingkat gangguan habitat berkorelasi negatif dan pengaruhnya nyata terhadap struktur komunitas rayap Tabel 8. Hal ini sesuai dengan penelitian Gathorne-Hardy et al. 2002. Gangguan habitat merupakan penyebab utama penurunan keanekeragaman hayati rayap di Paparan Sunda. Mekanisme yang menyebabkan penurunan keanekaragaman komunitas rayap akibat gangguan habitat adalah: 1 Penyusutan penutupan tajuk menyebabkan sinar matahari dapat langsung mengenai permukaan tanah. Perubahan ini berakibat pada penurunan kelembaban dan peningkatan suhu lingkungan sehingga membentuk iklim mikro yang lebih ekstrim. Variasi antara suhu dan kelembaban harian tinggi sehingga mempengaruhi aktivitas rayap; 2 Gangguan habitat berdampak pada penurunan jumlah dan kualitas mikrohabitat. Mikro habitat rayap yang berkurang akan mengurangi kesediaan makan rayap dan untuk bersarang; 3 peningkatan bulk density sehingga tanah semakin padat dan menurunkan aktivitas rayap, terutama rayap tanah. Sehingga jika habitat makin terganggu, yang mengalami dampak pertama kali adalah kelompok rayap pemakan tanah. Eggleton et al. 1995; 1996; 1999; Jones Prasetyo 2002; Jones et al. 2003. Hal ini dibuktikan dengan tidak ditemukannya kelompok rayap pemakan tanah pada kawasan permukiman. Tingkat gangguan habitat mempengaruhi komposisi spesies rayap. Spesies rayap pemakan tanah tidak hadir pada habitat yang terganggu dan terbuka. Umumnya kelompok rayap pemakan tanah memiliki integumen yang kurang terskeklerotisasi dibandingkan dengan kelompok rayap pemakan kayu Davies et al. 2003 sehingga kelompok rayap pemakan tanah lebih peka terhadap kondisi lingkungan. Faktor lain adalah kelompok rayap pemakan tanah memiliki kemampuan dispersal yang rendah, sehingga kemampuan kelompok rayap ini untuk mengkolonisasi suatu habitat di sekitarnya tidak luas. Kelompok rayap pemakan tanah memiliki ketergantungan pada beberapa parameter lingkungan yang tinggi. Misalnya kelompok rayap pemakan tanah memerlukan kondisi kelembaban tanah dan suhu tanah yang lebih stabil dibandingkan rayap pemakan kayu. Kondisi habitat yang ideal bagi kelompok rayap pemakan tanah adalah hutan hujan tropis yang rapat penutupan tajuknya Eggleton et al. 20002 42 Gathorne-Hardy et al. 2000 mengemukakan bahwa dalam proses kolonisasi suatu habitat, rayap pemakan kayu adalah pioneer. Gangguan habitat merupakan tahapan awal suksesi, spesies yang tidak bisa menyesuaikan akan punah dan digantikan oleh spesies yang mampu bertahan. Kemampuan kelompok pemakan kayu untuk bertahan di dalam habitat yang terganggu disebabkan oleh kemampuan rayap tersebut dalam menggunakan sumber daya yang tersedia secara efektif. Selain itu rayap pemakan kayu lebih banyak memperoleh energi yang lebih tinggi dengan memakan kayu yang kaya selulosa sedangkan rayap pemakan tanah memperoleh selulosa dari bahan organik dan mineral tanah. sehingga rayap pemakan kayu lebih tinggi ketahananya terhadap tekanan dari luar dibandingkan rayap pemakan tanah. Penggunaan lahan juga menyebabkan penurunan biomassa rayap Eggleton et al. 1996; 1999. Biomassa rayap pada penelitian ini untuk hutan yang belum terganggu sebasar 1.33 grm 2 sedangkan pada penelitian Eggleton et al. 1999 di Kalimantan sebesar 3,49 grm 2 , namun pada penelitian Eggleton et al. 1996 di Kamerun diperoleh biomassa yang tinggi yaitu sebesar 123.2 grm 2 . Perbedaan nilai ini disebabkan oleh perbedaan metode yang digunakan dalam mengestimasi biomassa rayap. Kesulitan yang lain dalam menduga biomassa rayap adalah kekomplekan habitat dari rayap Yamada 2005 dan populasi rayap yang sangat tinggi serangga sosial dengan perilaku kriptik. Penggunaan lahan berpengaruh terhadap biomassa rayap Meyer et al. 2001. Hal ini terkait dengan kelimpahan rayap. Semakain melimpah populasi rayap maka biomassa rayap makin tinggi. Biomassa rayap juga dipengaruhi oleh berat rata-rata individu spesies rayap dan kelimpahan relatifnya. Hutan lindung memiliki biomassa rayap tertinggi karena spesies penyusunnya banyak berasal dari spesies rayap dengan ukuran yang besar dan kelimpahan relatif yang tinggi. Meyer et al. 2001 menyebutkan bawah biomassa kasta prajurit mayor rayap Macrotermes natalensis memberikan kontribusi yang tinggi 68.45 terhadap biomassa total koloni dibandingkan kasta pekerja 25.00. Ketebalan serasah adalah parameter lingkungan yang paling berpengaruh dan nyata terhadap keberadaan spesies rayap Tabel 9. Serasah merupakan sumber utama unsur hara pada suatu ekosistem. Serasah berperan penting dalam 43 peningkatkan porositas tanah dan aktivitas organisme di dalam tanah. Hal ini juga didukung dengan banyaknya spesimen rayap yang terkoleksi di tumpukan serasah atau kayu, selain di dalam tanah di dalam penelitian ini. Kekayaan spesies dan kelimpahan relatif rayap tertinggi diperoleh di hutan lindung yang memiliki ketebalan serasah yang tertinggi. Hasil yang sama juga diperoleh dari penelitian Koneri 2007, komunitas kumbang lucanid yang tertinggi diperoleh pada habitat yang memiliki ketebalan serasah yang tertinggi. Ketebalan serasah merupakan salah satu mikrohabitat rayap untuk bersarang dan mencari makan. Menurut Jones 2000, humus yang kaya akan bahan organik berperan dalam kekayaan spesies rayap. Keberadaan serasah dapat dijadikan sebagai tempat perlindungan bagi rayap dari kondisi disekitarnya, mempertahankan kondisi iklim mikro yang tetap dan menyediakan sumber makanan bagi rayap. E. Parameter Lingkungan Pengaruh gangguan terhadap suatu habitat pada penelitian ini menunjukan perbedaan. Struktur komunitas tumbuhan bawah di hutan lindung menunjukan nilai keanekaragaman hayati Indeks Shannon-Wiever berkisar dari 1 rendah sampai 5 tinggi, kekayaan spesies tumbuhan, kemerataan spesies indeks Smith dan Wilson berkisar dari 0 sama sampai 1 berbeda dan kerapatan individu yang lebih tinggi dibandingkan dengan empat tipe penggunaan yang lain Tabel 4. Keanekaragaman hayati komunitas tumbuhan bawah yang tinggi berada di tipe penggunaan lahan yang tidak terganggu dan paling terganggu, keanekaragaman yang rendah diperoleh di tipe penggunaan lahan dengan tingkat gangguan habitat menengah. Hal ini berbeda dengan penelitian Koneri 2007 dan Shahabudin 2007 yang memperoleh keanekaragaman tumbuhan bawah pada tingkat gangguan menengah adalah yang tertinggi. Hal ini diduga terkait dengan proses suksesi yang terjadi pada habitat tersebut. Perbedaan antara hasil penelitian ini dengan kedua penelitian di atas diduga terjadi karena perbedaan tingkatan suksesi yang sedang terjadi dan intensitas gangguan atau intervensi manusia yang terjadi pada habitat tersebut. Penutupan tajuk juga mempengaruhi kekayaan spesies tumbuhan bawah, perlakuan penjarangan yang menyebabkan pembukaan 44 tajuk akan meningkatkan kekayaan spesies tumbuhan bawah Thomas et al. 1999. Tumbuhan bawah pada hutan lindung yang relatif tidak terganggu dicirikan dengan banyaknya spesies yang bersifat toleran naungan. Sedangkan, untuk lahan yang terganggu di sini diwakili oleh lahan agroforestri dan permukiman banyak dijumpai tumbuhan intoleran naungan. Smart et al. 2006 menyatakan bahwa ekosistem yang dimodifikasi oleh manusia akan meningkatkan keseragaman biotik karena ekosistem tersebut mengalami perubahan biofisik yang berakibat pada peningkatan kesesuain habitat pada beberapa spesies. Namun, modifikasi ekosistem oleh manusia menurunkan kesesuaian habitat pada sejumlah besar spesies. Spesies ini merupakan spesies invansif yang umumnya dicirikan oleh tumbuhan gulma. Sehingga ada kecenderungan suatu habitat akan memiliki tingkat kemerataan spesies yang rendah. Hal ini disebabkan oleh perubahan faktor pembatas lingkungan sehingga terjadi penurunan keanekeragaman tumbuhan, relung-relung ekologis mengalami kekosongan dan pembentukan komunitas tumbuhan yang didominasi oleh spesies weedier atau gulma kompetitor yang lemah namun penyebarannya bagus Tilman Lehman 2001. Keanekaragaman tumbuhan atas menunjukan pola yang sama dengan tumbuhan bawah. Keanekaragaman tumbuhan atas terrendah berada di habitat dengan tingkat gangguan menengah Tabel 4. Hal ini berbeda dengan penelitian Koneri 2007 dan Shahabudin 2007 dimana habitat dengan tingkat gangguan habitat yang menengah merupakan habitat dengan keanekaragaman hayati tumbuhan atas yang tertinggi. Hal ini terkait dengan intervensi manusia, semakin sering mengalami gangguan maka proses suksesi akan berjalan mundur, artinya proses menjadi klimaks tidak terjadi. Smiet 1992 menyatakan komunitas tumbuhan di dataran tinggi di Pulau Jawa sangat terpengaruh oleh gangguan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Tiga tipe penggunaan di sini merupakan hutan produksi yang secara manajerial dibuat menjadi monokultur, jadi wana wisata, hutan produksi dan agroforestri lebih homogen dan keanekaragaman hayatinya lebih rendah. Namun, kelimpahan dan luas bidang dasar pada penelitian ini Tabel 4 menunjukan pola yang umum, makin menurun luas bidang dasarnya seiring 45 peningkatan ketergangguan habitat. Smiet 1992 menggolongkan hutan terganggu dan tidak terganggu berdasarkan luas bidang dasarnya. Hutan yang terganggu memiliki luas bidang dasar 15 m 2 ha dan yang tidak terganggu luas bidang dasarnya 45 m 2 ha. Pada penelitian ini hutan yang tidak terganggu luas bidang dasarnya 116 m 2 ha. Hal, ini terkait dengan intervensi manusia terhadap hutan. Aktivitas manusia mengakibatkan perubahan struktur dan komposisi spesies pohon di hutan Smiet 1992. Luas bidang dasar yang tinggi juga dipengaruhi oleh umur tumbuhan dan kerapatan individu. Kondisi pH tanah pada umumnya berkisar dari 3.0 sampai 9.0. Di Indonesia umumnya tanah bereaksi masam dengan pH 4.0 – 5.5 sehingga tanah dengan pH 6.0 – 6.5 termasuk tanah dengan pH netral Hardjowigeno 2007. Pada penelitian ini rentang pH pada beberapa tipe penggunaan lahan adalah 5.55 di hutan pinus sampai 6.35 di permukiman. Kondisi pH tanah pada tegakan pinus umumnya bersifat lebih masam karena serasah pinus tidak mudah terdekomposisi dan tingginya kandungan senyawa α pinene dan β pinene Hilwan 1993, Hardjowigeno 2007. Nilai karbon organik dan nitogen total pada penelitian ini berkisar dari 6.15 – 9.60 dan 0.51 – 0.74 . Berdasarkan kriteria BPT 2005 maka nilai karbon organik dan nitrogen total adalah sangat tinggi untuk karbon organik 5.0 dan tinggi 0.51 – 0.75 untuk nitrogen total. Tingginya kandungan nitrogen di dalam tanah disebabkan oleh jumlah bahan organik tanah yang halus, intensitas pengikatan nirogen oleh mikroorganisme, pemupukan dan jumlah air hujan Hardjowigeno 2007. Perbedaan kandungan karbon dan nitrogen di dalam tanah sangat dipengaruhi oleh jumlah masukan dan kualitas input serasah dari tumbuhan yang berada di kawasan tersebut. Pada lokasi dengan vegetasi yang lebih beragam akan meningkatkan variabilitas kandungan nitrogen dan karbon Martinus et al. 2004. Namun pada penelitian ini kandungan karbon organik dan nitrogen total yang tertinggi berada di hutan produksi. Hutan produksi didominasi oleh tanaman pinus. Serasah pinus merupakan serasah yang banyak mengandung nitrogen dan sukar terdekomposisi. 46 Pada penelitian ini, nilai bulk density, kandungan karbon dan nitrogen menunjukan nilai yang tinggi dibandingkan dengan nilai yang umumnya terjadi. Jika diamati dari kondisi geologis, fenomena ini adalah wajar. Karena lokasi pengambilan sampel berada di bekas Gunung aktif Gunung Slamet. Umumnya tanah pada daerah gunung beraktif adalah tanah andisol, dengan nilai bulk density antara 0.6 – 0.9 gramcc Hardjowigeno 2007. Bulk density tanah andisol karena tingginya jumlah alofan dan bahan organik. Keragaman nilai bulk density disebabkan oleh perbedaan tingkat perkembangan tanah, kandungan bahan organik dan jumlah liat Sutopo 2003. Pada penelitian ini tipe penggunaan lahan yang makin terganggu mengakibatkan peningkatan kondisi pH tanah dan bulk density serta menurunkan kandungan karbon organik dan nitrogen total Tabel 5. Hal ini memperkuat hasil penelitian Jones et al. 2003 dan Hairiah et al. 2004 yang menyatakan bahwa perubahan tipe penggunaan lahan dari yang tidak terganggu ke tipe penggunaan lahan yang terganggu akan menyebakan peningkatan kondisi pH tanah dan bulk density dan menurunkan kandungan karbon organik dan nitrogen total. Perubahan tipe penggunaan lahan akan mengakibatkan perubahan sifat fisika tanah Barros et al. 2004. Peningkatan aksesibilitas suatu ekosistem akan berdampak pada tingkat gangguan tanah. Tanah yang sering dirambah akan meningkatkan pemadatan tanah. Dampaknya ruang pori akan menurun sehingga bulk density-nya meningkat. Bulk density yang rendah di hutan lindung disebabkan oleh dua hal, yaitu: 1 tingginya bahan organik yang meningkatkan aktivitas organisme tanah, sistem perakaran yang dalam sehingga meningkatkan pemecahan aggregat tanah Suprayogo et al. 2004. 2 Sedangkan Hairiah et al. 2004 menyatakan bahwa sistem penggunaan lahan berpengaruh terhadap jumlah pori makro tanah, sehingga menurunkan nilai bulk density. Faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan jumlah pori makro tanah adalah tajuk pohon, luas bidang dasar, tumbuhan bawah dan lapisan serasah. Pada penelitian ini ketebalan serasah menunjukan penurunan dengan meningkatnya tingkat gangguan pada ekosistem. Ketebalan serasah dipengaruhi oleh tipe penggunaan lahan dan pola pengelolaannya Hairiah et al. 2004. 47 Penelitian Hairiah et al. 2004 menyimpulkan bahwa tipe penggunaan lahan berpengaruh nyata terhadap ketebalan serasah. Namun, nilai ketebalan serasah pada penelitian ini 160.88 grm 2 lebih rendah daripada penelitian Hairiah et al. 2004 sebesar 210 grm 2 . Ketebalan serasah terkait dengan jumlah masukan serasah yang berasal dari guguran biomassa tumbuhan yang ada atau produktivitas serasah. Faktor lain adalah tingkat keterdekomposisian serasah tersebut. Semakin sulit serasah terdekomposisi maka serasah yang ada makin meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Martinus et al. 2004 yang menyatakan bahwa ketebalan serasah dipengaruhi oleh jumlah jatuhan serasah dan laju dekomposisi. Namun, aktivitas manusia juga berpengaruh pada jumlah serasah yang ada. Misalnya pada lingkungan permukiman, serasah yang tidak berguna cenderung untuk disingkirkan karena alasan estetika. Laju dekomposisi pada penelitian ini termasuk dalam kategori sedang 0.005 – 0.01 untuk hutan lindung 0.007, agroforestri 0.0055, dan wana wisata 0.005 sedangkan tipe penggunaan yang lain hutan pinus 0.0044 dan permukiman 0.0039 dikelompakan dalam laju dekomposisi lambat 0.005. Laju dekomposisi pada penelitian ini menurun dengan meningkatnya tingkat gangguan habitat yang diakibatkan oleh tipe penggunaan lahan F 4.20 =19.70, p = 0.001. Hal ini sesuai dengan penelitian Martinus et al. 2004, dimana laju dekomposisi menurun dari hutan primer ke hutan tanaman. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju dekomposisi adalah faktor lingkungan curah hujan, suhu, pH, kelembaban tanah dan genangan air, kandungan bahan kimia dari serasah, dan keberadaan organisme pengurai Aerts et al. 2003. Penurunan laju dekomposisi dengan meningkatnya tingkat gangguan terhadap suatu habitat diduga dipengaruhi oleh terjadinya perubahan parameter lingkungan dan keberadaan organisme pengurai yang menurun baik jumlah maupun jenisnya. Hutan lindung merupakan tipe penggunaan lahan yang tertinggi laju dekomposisinya karena di sini kelimpahan relatif rayap adalah yang tertinggi. Rayap merupakan salah satu organisme utama yang berperan dalam dekomposisi di ekosistem daratan Lee Wood 1971. 48

F. Komunitas Rayap sebagai Bioindikator