V. PEMBAHASAN
A. Kekayaan Spesies Rayap
Pada penelitian ini diperoleh kekayaan jenis sebanyak tujuh spesies. Jumlah ini  lebih  sedikit  dibandingkan  dengan  penelitian  yang  sama  di  ekosistem
pegunungan yang dilakukan oleh Jones 2000 dan Gathorne-Hardy et al. 2001. Kekayaan  spesies  rayap  di  Maliu  Basin-Sabah  Kalimantan  pada  eksositem
dengan ketinggian di atas 1000 m dpl diperoleh kekayaan spesies rayap sebanyak 13 dan 11 spesies Jones 2000 dan Gathorne-Hardy et al. 2001 mengeksplorasi
sebanyak  30  spesies  di  Taman  Nasional  Lauser  Aceh  Sumatera  pada  beberapa ketinggian dari 125 m dpl sampai dengan 1400 m dpl. Terdapat perbedaan jumlah
spesies  rayap  yang  mencapai    50  antara  jumah  spseies  rayap  pada  penelitian ini  dengan  kedua  penelitian  sebelumnya.  Namun,  hal  ini  dapat  dijelaskan
berdasarkan  sumber  keanekaragaman  hayati  awalnya.  Kelompok  spesies    pool species yang ada pada masing-masing pulau berbeda Donovan et al. 2002. Tho
1992  menyebutkan  bahwa  spesies  rayap  di  Jawa  lebih  sedikit  dibandingkan dengan  Sumatera  dan  Kalimantan.  Di  Jawa  terdapat  54  spesies  rayap  sedangkan
Sumatera  ada  89  spesies  rayap  dan  90  spesies  rayap  di  Kalimantan.  Hal  ini didukung  dengan  penelitian  Gathorne-Hardy  et  al.  2002  yang  menyatakan
bahwa ukuran pulau berperan dalam komposisi rayap. Kekayaan  spesies  yang  rendah  juga  dapat  dikaitkan  dengan  teori
biogeografi.  Ukuran  pulau  dan  jarak  dari  daratan  benua  daratan  utama  sumber kolonisasi  berpengaruh  terhadap  kekayaan  spesies.  Rizali  2006  menyebutkan
bahwa  kekayaan  spesies  semut  di  Kepulauan  Seribu  terkait  dengan  luasan  pulau dan  jarak  pulau  dari  sumber  kolonisasi  Jawa.  Hal,  ini  didukung  dengan
kenyataan bahwa Pulau Jawa adalah pulau yang paling kecil dibandingkan dengan Sumatera  dan  Kalimantan.  Jarak  dari  Benua  Asia,  Pulau  Jawa  menunjukkkan
posisi  yang    paling  jauh  dibandingkan  Sumatera  dan  Kalimantan.  Di  Kepulauan Krakatau,  Kekayaan  spesies  rayap  lebih  sedikit  dibandingkan  dengan  daratan
utama Pulau Jawa dan Sumatera Donovan et al. 2002. Pulau Panjang paling kecil  dan  paling  jauh  dari  pulau  Jawa  dan  Sumatera  hanya  dihuni  oleh  tiga
spesies rayap. Pulau Rakata lebih besar daripada pulau Panjang dan lebih dekat
35 dengan  Pulau  Sumatera  memiliki  kekayaan  spesies  rayap  lebih  tinggi
dibandingkan  dengan  kekayaan  spesies  rayap  di  Pulau  Panjang  yaitu  sebanyak lima  spesies.  Sedangkan,  Pulau  Sebesi  paling  besar  dan  paling  dekat  dengan
pulau  Sumatera  memiliki  kekayaan  spesies  rayap  yang  tertinggi  dibandingkan dengan kedua pulau tersebut yaitu sebanyak 13 spesies rayap Gathorne-Hardy
Jones. 2000. Perbedaan  jumlah  spesies  rayap  yang  diperoleh  selain  dipengaruhi  oleh
keberadaan pool species dan teori biogeografi juga dipengaruhi oleh lokasi. Pada penelitian  ini,  hutan  lindung  yang  dijadikan  sebagai  sumber  kekayaan  spesies
ternyata  relatif  sulit  diperoleh.    Secara  umum  di  Jawa  Tengah,  hutan  alam  yang ada sangat sedikit, dibandingkan dengan Jawa Barat dan Jawa Timur FWI 2001.
Hutan  alam  umum  di  Jawa  umum  berada  di  pegunungan.    Hal  ini  berpengaruh terhadap kekayaan spesies yang diperoleh dalam penelitian ini. Padahal, lebih dari
60    kekayaan  spesies  rayap  berada  di  hutan  yang  belum  terganggu  atau  hutan primer Jones et al. 2003.
Semakin  tinggi  suatu  lokasi  maka  keanekaragaman  spesies  rayap  makin menurun Jones 2000; Gathorne-Hardy et al. 2001. Gathorne-Hardy et al. 2001
kekayaan  spesies  rayap  menurun  tiap  interval    ketinggian  100  m.  Faktor  utama yang  menyebabkan  penurunan  kekayaan  jenis  pada  dataran  tinggi  adalah
fenomena kabut. Kehadiran kabut yang rutin akan menyebabkan penurunan suhu lingkungan Gathorne-Hardy et al 2001. Speight et al. 1999 menyatakan bahwa
semua  serangga  adalah  berdarah  panas  poikilotherms  dimana  suhu  tubuhnya dipengaruhi  oleh  suhu  lingkungan  disekitarnya.  Suhu  merupakan  faktor  utama
yang  menentukan  beberapa  proses  fisiologis  serangga  seperti  pertumbuhan, perkembangan atau aktivitas serangga.
Secara  umum  kekayaan  spesies  suatu  organisme  di  suatu  ekosistem disebabkan  oleh  empat  faktor,  yaitu  1  geografi  yang  terdiri  dari  ketingggian
tempat,  posisi  pada  garis  lintang  dan  kedalaman  untuk  ekosistem  perairan  dari permukaan  air;  2  faktor  yang  terkait  dengan  ketinggian  tempat  seperti  variasi
musim, masukan energi, produktivitas ekosistem, umur ekosistem dan ekosistem yang  didominasi  oleh  sebuah  faktor  abiotik  yang  ekstrim;  3  faktor  yang  tidak
terkait  dengan  posisi  pada  garis  lintang  seperti  gangguan  secara  fisik  terhadap
36 ekosistem, isolasi habitat dan tingkat keragaman sifat kimia dan fisika habitat; 4
faktor  biotik,  seperti  kompetisi,  predasi  dan  parasitisme,  keragaman  spasial  dan arsitektur  yang  disebabkan  oleh  organisme  tersebut  dan  tahapan  suksesi  pada
komunitas tersebut Begon et al. 2005. Perbedaan  kekayaan  spesies  rayap  pada  penelitian  ini  dengan  penelitian
yang sama di Maliu Basin oleh Jones 2000 dan di Lauser oleh Gathorne-Hardy et  al.  2001  diduga  kuat  disebabkan  oleh  perbedaan  lokasi  penelitian.  Karena
penelitian  ini  juga  menggunakan  metode  yang  sama  dengan  kedua  penelitian sebelumnya.  Perbedaan  kekayaan  spesies  rayap  yang  ditemukan  pada  penelitian
yang  berbeda  mungkin  disebabkan  oleh  perbedaan  lokasi  dan  metode  yang digunakan  Calderon    Contantino  2007.  Intensitas  pengoleksiaan  rayap,  yaitu:
waktu  dan  semua  mikrohabitat  yang  mampu  dieksplorasi  dapat  mempengaruhi jumlah spesies rayap yang diperoleh dalam sampling pengamatan rayap Jones
Eggleton  2000.  Dengan  demikian,  penggunaan  metode  dalam  pengkoleksian rayap,  rancangan  percobaan,  dan  perbedaan  tingkat  usaha  pengkoleksian  dapat
mempengaruhi jumlah spesimen rayap  yang terkoleksi Jones et Gathorne-Hardy et al. 2001
Komposisi dan Kepadatan Rayap
Pada penelitian ini komposisi jenis rayap terdiri dari empat subfamili  yaitu Rhinotermitinae, Macrotermitinae, Termitinae dan Nasutitermitinae. Subfamili ini
merupakan subfamili yang umum ditemukan di kawasan Paparan Sunda Ronwall 1970;  Tarumingkeng  1971;  Tho  1992.  Hasil  ini  sesuai  dengan  yang  dilakukan
oleh  Jones  2000;  Gathorne-Hardy  et  al.  2001  dimana  subfamili  yang ditemukan
adalah Rhinotermitinae,
Macrotermitinae, Termitinae
dan Nasutitermitinae.
Namun, pada
penelitian Jones
2000 diperoleh
Subfamili Kalotermitidae. Pada dataran tinggi umumnya kelompok rayap pemakan tanah lebih sedikit
dibandingkan  dengan  dataran  rendah.  Di  Lauser  di  kelompok  rayap  pemakan ditemukan  sebanyak  18  spesies  sedangkan  dataran  rendah  mencapai  30  spesies
Gathorne-Hardy  et  al.  2001.  Pada  penelitian  ini  ditemukan  spesies  rayap pemakan  tanah  sebanyak  dua  spesies  sedangkan  pemakan  kayu  lebih  banyak
37 sebanyak  lima  spesies.  Hal  ini  sesuai  dengan  penelitian  Jones  2000  yang  juga
menemukan  dua  spesies  dari  kelompok  rayap  pemakan  tanah  yaitu Pericapritermes ? nitobei dan P sp B. Genus Pericapritermes dan Procapritermes
merupakan  genus  yang  umum  ditemukan  di  dataran  tinggi  Jones  2000; Gathorne-Hardy et al. 2001.
Schedorhinotermes  javanicus,  N.  matangensis  adalah  dua  spesies  yang umum  ditemukan  di  dataran  tinggi,  misalnya  di  dataran  tinggi  di  Maliu  Basin
Jones 2000, Lauser Gathorne-Hardy et al. 2001 dan juga dalam penelitian ini. Spesies  rayap  M.  gilvus  tidak  ditemukan  di  kawasan  berhutan,  spesies  ini  hanya
ditemukan  di  pertanaman  singkong  Gillison  et  al.  2003.  Hal  ini  sesuai  dengan pendapat  Roonwall  1970  dan    Tarumingkeng  1971  yang  menyatakan  bahwa
M.  gilvus  adalah  spesies  yang  banyak  ditemukan  di  habitat  yang  terbuka  serta berasosiasi  dengan  permukiman  sebagai  ciri  habitat  yang  sudah  terganggu.
Sedangkan,  Procapritermes  setiger  dan  Pericapritermes  semarangi  adalah  dua spesies yang ditemukan di hutan primer Gillison et al. 2003.
Pengaruh negatif dari ketinggian tempat terhadap keberadaan spesies rayap pemakan tanah adalah terkait dengan strategi mencari makan dari masing-masing
kelompok rayap Gathorne-Hardy et al. 2001. Rayap pemakan tanah memperoleh energi  dari  campuran  antara  mineral  tanah  dan  humus  akibatnya  energi  yang
diperoleh  untuk  melakukan  aktivitas  metabolisme  lebih  rendah  dibandingkan dengan  rayap  pemakan  kayu  Jones  2000.  Peningkatan  ketinggian  berkorelasi
dengan  suhu  yang  rendah  yang  menjadi  faktor  pembatas  metabolisme  rayap. Karena rayap pemakan tanah harus mengeluarkan energi  yang lebih tinggi untuk
beraktivitas dibandingkan
rayap pemakan
kayu Jones
2000; Gathorne-Hardy  et  al.  2001.  Oleh  karena  itu,  kekayaan  spesies  rayap  pemakan
tanah di dataran tinggi lebih rendah dibandingkan dengan dataran rendah. Hal  ini  serupa  juga  ditunjukan  dengan  nilai  kelimpahan  kelompok  rayap
pemakan  tanah  dan  rayap  pemakan  kayu.  Pada  penelitian  ini,  kelimpahan  rayap pemakan  tanah  selalu  lebih  rendah  dibandingkan  dengan  kelimpahan  rayap
pemakan  kayu  Tabel  2,  kecuali  untuk  tipe  penggunaan  lahan  Agroforestri. Namun, kelimpahan relatif kelompok rayap pemakan tanah di hutan lindung pada
penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan kelimpahan rayap pemakan tanah
38 di  Maliu  Basin  Jones  2000  yaitu  9transek  dan  3.5transek.  Pada  penelitian
diduga,  ketebalan  serasah  berperan  dalam  menentukan  kelimpahan  relatif  rayap karena serasah merupakan mikrohabitat yang menjadi sumber makanan bagi rayap
pemakan  tanah  Tabel  9.  Hal  ini  juga  sejalan  dengan  dugaan  yang  disampaikan oleh  Jones  2000  yang  menyatakan  bahwa  kelimpahan  rayap  pemakan  tanah
disebabkan  oleh  melimpahnya  bahan  organik  tanah  yang  berasal  dari  tumpukan serasah.
B. Distribusi dan Preferensi Habitat Rayap