Distribusi dan Preferensi Habitat Rayap Tingkat Gangguan Habitat

38 di Maliu Basin Jones 2000 yaitu 9transek dan 3.5transek. Pada penelitian diduga, ketebalan serasah berperan dalam menentukan kelimpahan relatif rayap karena serasah merupakan mikrohabitat yang menjadi sumber makanan bagi rayap pemakan tanah Tabel 9. Hal ini juga sejalan dengan dugaan yang disampaikan oleh Jones 2000 yang menyatakan bahwa kelimpahan rayap pemakan tanah disebabkan oleh melimpahnya bahan organik tanah yang berasal dari tumpukan serasah.

B. Distribusi dan Preferensi Habitat Rayap

Spesies S. javanivus merupakan spesies yang banyak ditemukan di Jawa. Spesies S. javanivus dapat ditemukan sampai ketinggian 1000 m dpl. Spesies rayap ini umumnya ditemukan di batang pohon, batang kayu atau tunggak kayu di hutan Roonwal 1970. Walaupun spesies ini juga bisa ditemukan di Kalimantan Jones 2000 dan Sumatera Gathorne-Hardy et al. 2001. Procapritermes setiger pada penelitian ini terdapat luas dari Semenanjung Malaya, Sumatera dan Kalimantan. Ditemukan pada kayu mati Roonwal 1971. Banyak ditemukan di hutan dataran rendah sampai dataran tinggi Tho 1992. Pericapritermes semaranggi menyebar dari Burma, Sumatera bagian Timur sampai Jawa. Bersarang di dalam tanah. Habitat dari hutan dataran rendah sampai dataran tinggi Tho 1992. Macrotermes gilvus pada penelitian ini merupakan spesies rayap yang besar, merupakan rayap pembuat sarang gundukan mound yang umum di Asia Tenggara, dari Burma, Indonesia dan Filipina Roonwal 1970. Habitat yang umum adalah dataran rendah sampai ketinggian 800 m dpl Tarumingkeng 1971. Umumnya terdapat di habitat di sekitar perkampungan, permukiman khususnya kebun atau taman yang luas Tho 1992. Microtermes inperatus banyak terdapat di Jawa, hidup di dalam tanah, sering menyerang permukiman dan pohon mati Roonwal 1970. Microtermes insperatus sering ditemukan bersama-sama dengan M. gilvus dalam menyerang perkebunan Tarumingkeng 1971. Nasutitermes javanicus pada penelitian ini banyak terdapat di Indonesia bagain barat. Habitat hutan atau kawasan permukiman yang dekat dengan hutan Tho 1992. N. matangensis tersebar luas dari Semenanjung Malaya, Vietnam, 39 Sumatera, Jawa, Kalimantan sampai Nikobar dan Pulau Chrismas Samudera Hindia Roonwall 1970. Habitat hutan, terutama pada kayu lembab atau permukiman yang dekat dengan hutan Tho 1992.

C. Tingkat Gangguan Habitat

Hutan lindung adalah habitat yang tidak terganggu. Wana wisata, hutan produksi, agroforestri dan permukiman adalah berturut-turut habitat relatif tidak terganggu sampai yang paling terganggu. Tingkat gangguan habitat didasarkan pada intensitas aktivitas manusia terhadap habitat tersebut Koneri 2007; Shahabudin 2007. Semakin intensif penggunaan lahan oleh manusia maka habitat tersebut makin terganggu. Berdasarkan penelitian ini permukiman merupakan habitat yang paling terganggu dibandingkan dengan keempat tipe penggunaan lahan tersebut. Permukiman merupakan tempat tinggal sehari-hari dan digunakan sebagai lahan pertanian. Dalam penelitian ini hutan lindung merupakan habitat dengan tajuk yang rapat dengan stratifikasi tajuk yang lebih banyak dibandingkan dengan tipe penggunaan lahan yang lain. Tingkat gangguan habitat juga didasarkan atas keterbukaan tajuk Bicknel Watanasit 2004; Shahabudin 2007. Habitat yang memiliki celah gap makin luas sebagai akibat dari penyusutan penutupan tajuk merupakan tanda habitat yang terganggu. Selain itu, habitat yang didominasi oleh rerumputan dari golongan tumbuhan dengan strategi ruderal strategi tumbuhan yang beradaptasi terhadap lingkungan dengan tekanan yang rendah dan tingkat gangguan habitat yang tinggi juga mengindikasikan bahwa habitat tersebut mulai terganggu. Luas bidang dasar LBD dari tumbuhan berkayu juga dapat dijadikan indikasi tingkat gangguan habitat. Pada penelitian ini hutan lindung adalah tipe penggunaan lahan yang memiliki LBD yang paling tinggi 116 m 2 ha. Tipe penggunaan lain berturut-turut dari LBD yang tinggi sampai yang paling rendah adalah wana wisata 76.06 m 2 ha, hutan produksi 92.20 m 2 ha, agroforestri 21.98 m 2 ha dan permukiman 9.17 m 2 ha. Hal ini sesuai dengan pernyataan Smiet 1992 yang menggolongkan ketergangguan habitat hutan di Jawa 40 berdasarkan nilai LBD. Hutan yang tidak terganggu memiliki LBD 45 m 2 ha sedangkan yang terganggu LBD 15 m 2 ha.

D. Pengaruh Tipe Penggunaan Lahan dan Tingkat Gangguan Habitat