4.3 Struktur Kekerabatan Masyarakat Tionghoa
Dalam proses interaksi sosial dan mempertahankan keberadaan diri dan keturunannya, masyarakat Tionghoa menggunakan sistem
kekerabatannya yang khas. Saat kehidupan etnik Tionghoa sudah menetap, mereka membentuk perkampungan yang mula-mula terdiri dari garis
keturunan ayah. Mulai dari semua saudara laki-laki ayah dengan anak laki- lakinya dan keluarga kakek dengan saudara laki-lakinya. Hal ini yang
kemudian menjadi dasar pengelompokan sistem kekluargaan patrilineal. Kelompok kekerabatan terkecil bukanlah keluarga batin melainkan keluarga
luas yang viriolokal. Dalam sistem keluarga inti yang memegang peranan penting adalah
sang ayah dan semua anak laki-lakinya. Saat ayah meninggal dunia, putra tertuanya yang akan menggantikan posisi sang ayah di dalam keluarganya.
Jikalau anak laki-laki dari etnik Tionghoa menjadi anak angkat dari marga lain, maka hubungannya dengan garis keturunan ayahnya akan terputus. Si
anak ini akan mengikuti garis keturunan ayah angkatnya. Dengan sistem seperti itu, maka kedekatan dengan kerabat ayah diutamakan, tetapi dalam
perkembangannya kedekatan dengan kerabat ibu juga tidak memiliki batasan.
Universitas Sumatera Utara
4.4 Masyarakat Tionghoa di Kota Medan dalam Konteks Indonesia
4.4.1 Asal-Usul Masyarakat Tionghoa di Indonesia
Para imigran Tionghoa yang datang ke Indonesia, sebahagian besarnya berasal dari kelompok etnik Han. Daerah budaya mereka ini
adalah di daerah yang sekarang merupakan Provinsi Fujian dan Guangdong di Cina Selatan, daerah ini dikenal dengan keragaman wilayahnya
Suryadinata, 2008:12. Sejumlah besar etnik Han, yakni juga kelompok etnik terbesar di dunia, tinggal di Asia Tenggara Skinner, 1963:101.
Sebahagian besar orang Tionghoa Indonesia, baik yang merupakan keturunan patrilineal dari para imigran awal maupun para imigran baru,
lahir di Cina daratan Gernet, 1996:6. Sebagai kelompok pertama orang Tionghoa yang menetap dalam
jumlah yang besar, bangsa Hokkien dari Fujian Selatan merupakan kelompok imigran yang mendominasi hingga pertengahan abad ke-19.
Kebudayaan maritim sambil berdagang mereka dipercaya muncul dari kegiatan berdagang mereka sewaktu di Indonesia. Keturunan suku Hokkien
adalah kelompok etnik yang dominan di Indonesia Timur, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan pantai barat Sumatera.
Selain itu ada juga suku Tiochiu, bangsa yang menetap di sebelah selatan daerah Hokkien, dapat dijumpai di seluruh pantai timur Sumatera,
Kepulauan Riau, dan Kalimantan Barat. Suku Tiochiu ini memilih bekerja
Universitas Sumatera Utara
sebagai buruh perkebunan di Sumatera, tetapi kemudian menjadi pedagang di daerah dimana tidak terdapatnya bangsa Hokkien Skinner, 1963:97.
Selanjutnya Bangsa Hakka. Tidak seperti bangsa Hokkien dan Tiochiu, bangsa Hakka berasal dari daerah pedalaman Pegunungan
Guangdong dan tidak mengenal budaya maritim Skinner, 1963:97. Dikarenakan daerahnya yang sangat tidak produktif dalam menghasilkan
sumber daya alam di daerah asal mereka, bangsa Hakka memutuskan untuk hijrah keluar dari daerah mereka akibat desakan ekonomi. Gelombang
migrasi mereka terjadi di sekitar tahun 1850 hingga 1930 dan merupakan yang paling miskin di antara kelompok imigran Tionghoa. Meskipun pada
awalnya mereka menetap di pusat pertambangan di Kalimantan Barat dan Pulau Bangka, bangsa Hakka kemudian didapati bertumbuh dengan pesat di
daerah Batavia dan Jawa Barat pada akhir abad ke-19 Skinner, 1963:102. Yang terakhir adalah suku bangsa Kanton. Seperti halnya bangsa
Hakka, orang-orang Kanton terkenal sebagai pekerja tambang di seluruh Asia Tenggara. Migrasi mereka di abad ke-19 sebagian besar langsung
diarahkan menuju daerah tambang timah di Bangka, lepas pantai timur Sumatera. Mereka juga terkenal sebagai pengrajin tradisional yang sangat
terampil. Bangsa Kanton mendapatkan keuntungan yakni pengetahuan tentang kesuksesan mesin dan industri dari bangsa Eropa ketika mereka di
Guangdong dan Hongkong. Mereka bermigrasi ke Jawa di waktu yang sama
Universitas Sumatera Utara
dengan bangsa Hakka, namun untuk tujuan yang berbeda. Di kota-kota di Indonesia mereka berprofesi sebagai pengrajin, pekerja mesin, dan memiliki
usaha kecil seperti restoran dan hotel. Orang-orang Kanton tersebar merata di seluruh Nusantara namun jumlahnya jauh lebih sedikit ketimbang jumlah
orang-orang Hokkien atau Hakka. Kepentingan peran mereka kemudian dinilai sebagai kepentingan sekunder di dalam komunitas Tionghoa
Skinner, 1963:102.
4.4.2 Awal Kedatangan Bangsa Tionghoa ke Indonesia
Migrasi awal suku bangsa Tionghoa ke Indonesia diperkirakan ketika kedatangan bangsa Mongolia di bawah arahan Kubilai Khan masuk
melalui daerah maritim Asia Tenggara di tahun 1293. Bangsa Mongol kemudian memperkenalkan kemajuan teknologi Tionghoa, yang pada saat
itu mencakup teknologi pembuatan kapal dan dalam hal alat tukar, yakni uang berbentuk koin. Kedatangan mereka diyakini memicu timbulnya
kerajaan baru, yakni Majapahit Reid, 2001:17. Beberapa sumber mengindikasikan bahwa para pedagang Tionghoa pertama kali tiba di
daerah Ternate dan Tidore, di Kepulauan Maluku untuk membeli cengkeh, namun kemudian mereka diusir keluar oleh para pedagang Jawa seiring
berkembangnya ekspansi yang dilakukan oleh Kerajaan Majapahit Reid, 2001: 20-21.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian di abad ke-15, para pedagang Muslim Tionghoa dari pantai timur Cina tiba di daerah-daerah pesisir Indonesia dan Malaysia. Para
pedagang-pedagang ini dipimpin oleh Laksamana Mahmmud Cheng Ho yang beragama Islam, yang mengepalai berbagai ekspedisi di Asia
Tenggara sekitar tahun 1405-1430. Dalam buku The Overall Survey of the Oceans Shores
瀛涯勝覽
, Ma Huan mendokumentasikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pedagang Muslim Tionghoa di Nusantara dan
peninggalan yang diwarisi oleh Cheng Ho dan anak buahnya Ma, 2005: 113-124. Para pedagang ini bermukim di sepanjang pesisir pantai Jawa,
namun kemudian tidak ada data yang mendokumentasikan keberadaan para pedagang ini setelah abad ke-16. Para Muslim Tionghoa ini diperkirakan
telah melebur ke dalam polulasi Muslim di Asia Tenggara Tan, 2005: 796. Dari tahun 1450 hingga 1520, ketertarikan Kerajaan Ming terhadap
Asia Tenggara mencapai titik yang rendah. Perdagangan yang dilakukan, baik secara legal maupun ilegal, jarang yang mencapai kepulauan ini Reid,
1999: 52. Bangsa Portugis juga tidak menyebutkan adanya kependudukan orang Tionghoa ketika mereka tiba di Indonesia pada awal abad ke-16
Reid, 2001:33. Kegiatan perdagangan dari utara mulai kembali terjadi ketika pemerintah Cina melegalkan perdagangan swasta di tahun 1567 dan
mulai mengizinkan lima puluh kapal yang berlayar per tahun. Beberapa tahun kemudian uang mulai mengalir ke kawasan itu, dimulai dari Jepang,
Universitas Sumatera Utara
Meksiko, dan Eropa, dan kegiatan perdagangan mulai berkembang lagi. Koloni Cina yang berbeda-beda berdatangan ke ratusan pelabuhan di Asia
Tenggara, termasuk juga ke pelabuhan lada di Banten Reid, 1999: 52. Para pedagang Tionghoa kemudian memboikot para pedagang
Portugis ketika Malaka jatuh ke tangan bangsa Portugis. Di tahun 1511, para pedagang Muslim membantu etnik Tionghoa di Jawa dalam rangka
menduduki kembali daerah kota dengan menggunakan kapal. Partisipasi orang Tionghoa-Jawa dalam mengambil alih Malaka dicatat dalam buku
“The Malay Annals of Semarang and Cirebon” Guillot, Lombard Ptak, 1998: 179. Pedagang Tionghoa memilih untuk terlibat kerja sama dalam
bisnis dengan orang Melayu dan Jawa ketimbang dengan orang Portugis Borschberg, 2004:12.
4.4.3 Kedudukan Masyarakat Tionghoa di Masa Penjajahan Belanda
Sejalan dengan kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia di awal abad ke-17, mayoritas masyarakat Tionghoa bermukim di sepanjang pantai
timur Jawa. Kebanyakan dari mereka adalah para pedagang, namun mereka juga melakukan kegiatan bercocok tanam. Pemerintah kolonial mengontrak
banyak dari mereka sebagai pengrajin yang terampil dalam pembangunan Batavia sekarang Jakarta di pantai barat laut Jawa Tan, 2005: 796.
Universitas Sumatera Utara
Satu pelabuhan buatan dipilih oleh pemerintah Belanda sebagai markas baru bagi Pemerintah Hindia Belanda Vereenigde Oost-Indische
Compagnie, VOC di tahun 1609 oleh Jan Pieterszoon Coen. Daerah ini menjadi pusat utama untuk perdagangan dengan masyarakat Tionghoa dan
India. Daerah Batavia menjadi rumah terbesar bagi komunitas Tionghoa di Nusantara hingga saat ini Heidhues, 1999:152. Coen dan para gubernur
jenderal lainnya mempromosikan masuknya para imigran Tionghoa ke pemukiman yang baru “untuk kepentingan kedua negara tersebut dan untuk
tujuan mengumpulkan rempah-rempah seperti cengkeh dan pala” Phoa, 1992:9. Jumlah penduduk di pelabuhan tempat masyarakat Tionghoa
bermukim berkembang pesat dari 300-400 jiwa di tahun 1619 menjadi setidaknya 10.000 jiwa di tahun 1740 Phoa, 1992:7. Walau begitu,
pemerintah Belanda juga menerapkan sistem klasifikasi rasial yang memisahkan penduduk keturunan Tionghoa dari mereka yang merupakan
pribumi Chang, 2010:2. Mayoritas dari masyarakat Tionghoa yang menetap di Nusantara
telah memutuskan hubungan dengan daerah asal mereka, yakni Cina, dan menyambut dengan baik perlakuan yang menyenangkan serta perlindungan
yang ditawarkan oleh pihak Belanda Phoa, 1992:8. Beberapa dari mereka menjadi “petani pajak,” pedagang perantara di dalam struktur pemerintahan
Universitas Sumatera Utara
VOC, ditugaskan untuk mengutip pajak ekspor-impor, mengatur penjualan tanah, dan mengatur kegiatan panen sumber daya alam Phoa, 1992:10.
Sesudah meletusnya peristiwa pembantaian besar-besaran di Batavia pada tahun 1740 dan kemudian diikuti dengan meletusnya perang,
pemerintah Belanda terpaksa membatasi kuota jumlah populasi etnik Tionghoa yang ingin masuk ke Indonesia. Amoy yang merupakan
pelabuhan di Provinsi Fujian, Cina Selatan, dijadikan satu-satunya pelabuhan untuk bermigrasi ke Nusantara, dan jumlah kru serta penumpang
dari kapal-kapal yang hendak berlayara dibatasi sesuai dengan ukuran kapal. Penetapan kuota ini ditetapkan pada waktu itu untuk pemenuhan keperluan
akan pekerja, seperti pada saat di bulan Juli 1802, ketika pabrik gula dekat Batavia sangat membutuhkan kehadiran tenaga kerja Hellwig dan
Tagliacozzo, 2009: 168. Ketika VOC dinasionalisasikan oleh Pemerintah Belanda pada 31
Desember 1799, kebebasan yang sebelumnya dirasakan etnik Tionghoa di bawah kerjasama dengan pihak koloni dihapuskan oleh pemerintah Belanda.
Salah satu bentuk penghapusan yang didapatkan adalah pemerintah VOC mengubah monopoli yang selama ini diterapkan oleh etnik Tionghoa
terhadap perdaganan garam Phoa, 1992:11. Satu proses sosial regulasi pada tahun 1816 memperkenalkan sebuah
syarat bagi penduduk pribumi dan orang Tionghoa yang hendak melakukan
Universitas Sumatera Utara
perjalanan di dalam wilayah pemerintahan Belanda harus mengurus izin perjalanan terlebih dahulu. Khusus bagi mereka yang kedapatan tidak
membawa surat izin beresiko besar untuk ditangkap dan ditahan oleh petugas. Gubernur jenderal juga memperkenalkan sebuah resolusi di tahun
1852 yang berisikan larangan bagi “orang Asia dari daerah yang tidak sama, seperti Melayu, Bugis, dan Tionghoa” untuk hidup dalam lingkungan yang
sama sebagai penduduk asli Phoa, 1992:12. Setelah berakhirnya Perang Jawa 1825-1830 yang menghabiskan
dana sangat banyak, pemerintah Belanda memperkenalkan sistem agraria dan budidaya pertanian baru yang memaksa para petani untuk
“menghasilkan produksi sebagian dari lahan mereka dan mengembangkan tanaman yang cocok untuk pasar Eropa.” Sistem tanam paksa memulihkan
perekonomian Belanda, tetapi di lain sisi mengakhiri sistem pajak tanah yang telah dilakukan dibawah pemerintahan VOC.
Orang Tionghoa dianggap sebagai penduduk sementara dan menghadapi kesulitan dalam memperoleh hak atas tanah. Bangsa Eropa
yang ada disitu diprioritaskan dalam memilih areal perkebunan, sementara para pejabat kolonial percaya bahwa daerah-daerah yang tersisa harus
dilindungi dan dilestarikan bagi penduduk pribumi. Sistem sewa jangka pendek dan yang dapat diperpanjang kemudian diperkenalkan sebagai
tindakan sementara, namun sebagian besar etnik Tionghoa memilih untuk
Universitas Sumatera Utara
menetap di lahan-lahan tersebut ketika berakhirnya kontrak dan akhirnya menjadi penghuni liar Phoa, 1992:13 Pada paruh kedua abad ke-19,
pemerintah kolonial kemudian bereksperimen dengan sebuah ide, yakni “Politik Etis” untuk melindungi para penduduk pribumi dan kemudian
menjadikan etnik Tionghoa sebagai “musuh utama negara”. Di bawah kebijakan baru ini pemerintah kolonial meningkatkan pembatasan pada
kegiatan perekonomian etnik Tionghoa Heidhues, 2001:179. Di Kalimantan bagian barat, masyarakat Tionghoa mendirikan
pemukiman pertambangan besar pertama mereka pada tahun 1760 dan menggulingkan kependudukan Belanda dan para pangeran Melayu lokal,
termasuk membentuk republik mereka sendiri di Republik Lanfang. Pada tahun 1819 mereka terlibat konflik dengan pemerintah Belanda yang baru
dan dipandang sebagai sesuatu yang “tidak sesuai” dengan tujuan mereka, namun di lain sisi sangat diperlukan untuk kepentingan pengembangan
kawasan ini Phoa, 1992:14. Kepulauan Bangka Belitung Bangka Biliton juga menjadi contoh
dari pemukiman utama etnik Tionghoa di daerah pinggiran. Tercatat hanya 28 orang etnik Tionghoa yang tinggal di pulau itu di tahun 1851, namun di
tahun 1915 jumlah populasinya meningkat pesat menjadi hampir 400.000 jiwa. Industri perikanan dan tembakau menjadi mata pencaharian utama dan
berkembang pada masa itu. Para kuli didatangkan ke wilayah ini sesudah
Universitas Sumatera Utara
akhir abad ke 19. Sebagian besar kuli disewa dari daerah Negeri-Negeri Selat
1
karena kendala perekrutan yang terjadi di Cina pada saat itu Phoa, 1992:16.
4.5 Etnografi Masyarakat Tionghoa di Kota Medan 4.5.1 Tinjauan Historis Masyarakat Tionghoa di Medan
Dalam bukunya yang bertajuk The Overall Survey of the Oceans Shores 瀛 涯 勝 覽 , Ma Huan mengungkapkan bahwa daerah Haru
Sumatera Timur dapat dicapai dari Malaka dalam waktu pelayaran empat hari empat malam. Ma Huan menggambarkan keadaan demografi pada saat
memasuki negeri itu yakni terdapat teluk air tawar, di sebelah barat ada pegunungan besar, di sebelah timur laut ada laut, sebelah utara berbatasan
dengan Samudera Pasai, dan di sebelah selatan negerinya merupakan daratan. Di dalam peta yang digambar oleh Mao K’un, Ma Huan
menceritakan bahwa kota Haru terletak di Delitua Fatima, 1991. Sejalan dengan Ma Huan, Anderson pada tahun 1823 pernah
memasuki daerah Deli melalui Fresh Water Channel Terusan Air Tawar,
1
Negeri-negeri Selat Straits Settlements adalah sekelompok wilayah kekuasaan Perusahaan Hindia Timur Britania yang diberikan pemerintahan terkelompok sejak tahun
1926. Negeri-Negeri Selat ini terdiri dari negeri Penang, Melaka, dan Singapura. Ketiga negeri ini dahulu di bawah jajahan Britania Inggris. Kini semua negara-negera merdeka
bekas jajahan Inggris membentuk sebuah persekutuan yang disebut dengan Commonwealth Countries atau Negara-Negara Persemakmuran Inggris. Di dalamnya termasuklah
Malaysia, Singapura, Australia, Bangladesh, India, Pakistan, Selandia Baru, Kanada, dan lain-lainnya.
Universitas Sumatera Utara
kota Cina―saat itu labuhan Deli―merupakan pelabuhan bagi Haru hingga abad ke ke-13 dimana pada akhirnya pelabuhan itu hancur. Banyak dugaan
yang menjelaskan kehancuran pelabuhan itu, yakni akibat penyerangan Kerajaan Majapahit pada tahun 1350 M, atau diakibatkan oleh meletusnya
Gunung Sibayak yang menyebabkan gempa dahsyat dan menimbun semua ritus-ritus Tionghoa tersebut Fatima, 1991.
Hingga kemudian ketika memasuki masa kolonial Belanda, daerah Deli didatangi oleh orang-orang Tionghoa dikarenakan terdapatnya banyak
perkebunan di sana. Meskipun pada saat itu bangsa Tionghoa sebagian besar berprofesi sebagai buruh perkebunan, namun menurut catatan sejarah
terdapat orang Tionghoa yang pertama kali diangkat menjadi Mayor oleh pemerintah Belanda, dia adalah Tjong Yong Hian, dan berselang beberapa
lama kemudian, Tjong A Fie diangkat sebagai Mayor menggantikan posisi Tjong Yong Hian Fatima, 1991:67.
Selepas proklamasi kemerdekaan Indonesia, setiap keturunan Tionghoa kemudian diintegrasikan serta dibaurkan ke dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara Indonesia berdasarkan asas-asas Pancasila. Sejak saat itu juga, bangsa Tionghoa menyebar ke seluruh daerah di Indonesia,
termasuk ke daerah Sumatera. Pemerintahan Pantai Timur Sumatera dibagi ke dalam lima wilayah, yaitu Deli dan Serdang, Langkat, Asahan,
Bengkalis, Simalungun dan Karo. Pada tahun 1980-an daerah ini dikenal
Universitas Sumatera Utara
sebagai daerah yang miskin dengan jumlah penduduk yang sangat sedikit. Hingga akhirnya pengusaha Belanda, J. Nienhuis menemukan wilayah Deli
dan merintis usaha perkebunan tembakau, sejak saat itulah wilayah Deli semakin dikenal. Akibatnya, banyak pendatang-pendatang Tionghoa yang
tertarik untuk bekerja di perkebunan yang ada di Sumatera, khususnya Deli. Adanya perluasan dalam bidang perkebunan tembakau, karet, dan
teh, serta dimulainya kegiatan pengeboran minyak di Langkat pada tahun 1920-an menyebabkan ribuan etnik Tionghoa berbondong-bondong dan
kemudian bermukim di Pantai Timur Sumatera untuk memulai usaha seperti berdagang dan bertukang. Kebanyakan dari mereka datang dengan kondisi
yang melarat, namun sesuai dengan etos kerja mereka yang sangat giat dan gigih, perlahan tapi pasti berubah menjadi pedagang yang sangat makmur.
Bahkan sampai saat ini mereka mengukuhkan diri sebagai pedagang yang sukses. Mereka memperluas jenis usaha mereka demi meningkatkan taraf
hidup mereka, sehingga dapat terus bertahan hingga kini. Hingga saat ini jumlah etnik Tionghoa di kota Medan kian
bertambah, bahkan di kota Medan sendiri terdapat daerah-daerah tertentu yang jumlah masyarakat Tionghoa-nya banyak dijumpai. Berikut ini
gambaran penduduk Tionghoa menurut wilayah administrasi di kota Medan dilihat secara per kepala
1
1
Hasil pengolahan data SP 2000 BPS Kota Medan
adalah sebagai berikut.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1: Statistik Penduduk Masyarakat Tionghoa di Medan Tahun 2000
Kecamatan Pria
Wanita Medan Tuntungan
77 58
Medan Johor 4.958
4.757 Medan Amplas
368 355
Medan Denai 3.011
2.957 Medan Area
14.877 15.369
Medan Kota 12.245
12.988 Medan Maimun
4.402 4.484
Medan Polonia 3.269
3.343 Medan Baru
572 588
Medan Selayang 519
465 Medan Sunggal
6.110 5.920
Medan Helvetia 1.388
1.286 Medan Petisah
8.502 8.814
Medan Barat 9.198
9.717 Medan Timur
9.885 10.309
Medan Perjuangan 6.146
6.379 Medan Tembung
5.600 5.386
Medan Deli 3.470
3.193 Medan Labuhan
2.603 2.520
Medan Marelan 1.713
1.545 Medan Kota Belawan
1.792 1.701
Jumlah 100.705
102.134
4.5.2 Bahasa
Empat kelompok bahasa utama yang ada di Indonesia adalaha Hokkien, Mandarin, Hakka, dan Kanton, sedangkan orang Tiochiu berbicara
dengan dialek yang hampir sama dengan bahasa Hokkien. Tercatat sekitar 2 juta penutur asli bahasa dari ragam dialek Tionghoa yang berbeda terdapat
di Indonesia pada tahun 1982, yakni 700.000 penutur rumpun bahasa Min
Universitas Sumatera Utara
Nan termasuk didalamnya bahasa Hokkien dan Tiochiu; 640.000 penutur bahasa Hakka; 460.000 penutur bahasa Mandarin; 180.000 penutur bahasa
Kanton, dan 20.000 penutur rumpun bahasa Dong Min termasuk Xinghua. Sisanya, diperkirakan 20.000 berbicara dalam bahasa Indonesia Lewis,
2005: 391. Banyak orang Indonesia, termasuk orang Tionghoa percaya adanya
pengaruh dialek bahasa Melayu dalam bahasa Tionghoa di Indonesia, secara lokal dikenal sebagai bahasa Melayu-Tionghoa atau Melayu-Cina.
Pertumbuhan karya sastra “peranakan” di paruh kedua abad ke-19 memunculkan semacam varian dalam bahasa Tionghoa. Karya sastra ini
dipopulerkan melalui kisah-kisah silat seni bela diri yang diterjemahkan dari bahasa Tionghoa atau ditulis dalam bahasa Melayu dan Indonesia.
Para ahli bahasa yang membahas tentang bahasa Melayu-Tionghoa kemudian mencatat bahwa tidak semua etnik Tionghoa menggunakan dialek
Melayu yang sama di setiap daerah di Nusantara Kahin, 1991:55. Lebih jauh lagi dijelaskan bahwa meski pemerintah kolonial Belanda merupakan
pihak yang pertama kali memperkenalkan ortografi berbahasa Melayu di tahun 1901, namun surat-surat kabar Tionghoa tidak mengikuti standar ini
hingga masa setelah kemerdekaan Kahin, 1991:61. Dilihat dari faktor-
faktor ini, etnik Tionghoa dianggap memainkan sebuah “peranan penting” dalam perkembangan bahasa Indonesia modern Kahin, 1991:65.
Universitas Sumatera Utara
4.5.3 Sistem Kepercayaan Masyarakat Tionghoa
Hanya sedikit saja ditemukan karya ilmiah yang membahas tentang kehidupan beragama etnik Tionghoa-Indonesia. Buku keluaran Prancis di
tahun 1977 berjudul Les Chinois de Jakarta: Temples et V́ie Collective
“The Chinese of Jakarta: Temples and Collective Life” adalah satu- satunya studi yang membahas kehidupan beragama orang Tionghoa di
Indonesia Coppel, 2002: 256. Kementerian Agama menetapkan agama yang resmi diakui di Indonesia, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu,
Buddha, dan Khonghucu. Atas dasar Undang-Undang Administrasi Kependudukan Tahun 2006 mengakibatkan tidak mungkinnya masyarakat
Indonesia memilih agama di luar dari enam kepercayaan yang telah diresmikan negara untuk dicantumkan di kartu tanda pengenalnya.
Menurut data sensus tahun 2000, hampir 90 persen orang-orang Tionghoa Indonesia memeluk agama Buddha dan Kristen Katolik dan
Protestan Ananta, Arifin, dan Bakhtiar, 2008:30. Perpindahan agama dari “agama tradisional Tionghoa” menjadi agama Kristen banyak terjadi pada
generasi muda. Tidak jarang didapati di dalam sebuah keluarga yang anak- anaknya sudah memeluk Kristen, namun orangtua mereka masih memeluk
agama tradisional Kahin, 1991:122. Gelombang pertama perpindahan dari agama tradisional menjadi
agama Kristen terjadi di rentang tahun 1950 hingga 1960an, sebagai respon
Universitas Sumatera Utara
adanya intoleransi terhadap budaya Tionghoa, dan jumlah orang Tionghoa yang memeluk agama Katolik selama periode ini meningkat hingga lebih
dari 400 persen. Gelombang kedua terjadi setelah pemerintah mencabut status agama Khonghucu sebagai agama yang diakui oleh negara di tahun
1970an. Diperkirakan pada tahun 2006 bahwa 70 persen dari populasi Tionghoa memeluk agama Kristen. Pengamat demografi Aris Ananta
melaporkan pada tahun 2008 “bukti bersifat anekdot” menunjukkan bahwa sebagian besar etnik Tionghoa yang beragama Buddha menjadi agama
Kristen sejalan dengan meningkatnya taraf pendidikan mereka. Indonesia, yang hampir 90 persen penduduknya adalah beragama
Muslim, etnik Tionghoa yang memeluk agama Islam sangatlah sedikit. Sensus di tahun 2003 menyebutkan bahwa hanya 5,41 persen etnik
Tionghoa yang memeluk agama Islam Ananta, Arifin, dan Bakhtiar, 2008: 30.
Asosiasi seperti Persatuan Islam Tionghoa Indonesia PITI telah berdiri sejak akhir abad ke-19. PITI kemudian dibentuk kembali di tahun
1963 sebagai organisasi modern, namun acapkali mengalami periode tidak aktif Ma, 2005: 120.
Khonghucu menduduki posisi terakhir dengan menyumbang 3,91 persen dari total populasi Tionghoa Indonesia Ananta, Arifin, dan Bakhtiar,
2008: 30. Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia MATAKIN memperkirakan bahwa 95 persen penganut Khonghucu di Indonesia adalah
Universitas Sumatera Utara
etnik Tionghoa. Meskipun pada akhirnya pemerintah telah kembali menetapkan Khonghucu sebagai agama yang diakui resmi di Indonesia,
masih banyak pemerintah daerah yang tidak mematuhi keputusan itu dan menolak masyarakat etnik Tionghoa untuk menetapkan agama Khonghucu
di kartu tanda pengenal mereka Suryadinata, 2008:10.
Universitas Sumatera Utara
BAB V FUNGSI, MAKNA, DAN DESKRIPSI UPACARA