Gambar 4.4. Turbinaria sp. Pengamatan langsung
4.3. Nilai Kerapatan Indm
2
, Frekuensi Kehadiran , dan Penutupan m
2
Nilai Kerapatan K, Frekuensi Kehadiran FK, dan Penutupan P Chlorophyta alga hijau dan Phaeophyta alga coklat pada setiap stasiun penelitian dapat
dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Nilai Kerapatan Indm
2
, Frekuensi Kehadiran , dan Penutupan m
2
Keterangan: Stasiun 1 : Daerah Aktivitas nelayan
Stasiun 2 : Daerah Pemukiman masyarakat Stasiun 3 : Daerah Pertanian
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa nilai kerapatan, frekuensi kehadiran dan penutupan tertinggi adalah pada stasiun 3 dari spesies Chaetomorpha crassa dengan nilai K
adalah 38,88 individucm
2
, FK adalah 100 , dan P adalah 0,0620 m
2
dan terendah dari ketiga stasiun penelitian terdapat pada stasiun 2 dari jenis
Turbinaria sp. dengan nilai K sebesar 0,6 individum
2
, FK adalah 20 , dan P adalah 0,0008 m
2
. Hal ini disebabkan C. crassa tidak mudah mengalami
No Taksa
Stasiun 1 Stasiun 2
Stasiun 3 K
FK P
K FK
P K
FK P
I A.
Chlorophyceae Udoteaceae
1 B.
H. macroloba Cladophoraceae
3,72 60
0,0021 3,68
60 0,0025
- -
- 2
C. crassa 11,28 100
0,0165 16,2
100 0,0348
38,88 100 0,0620
II C.
Phaeophyceae Dictyotaceae
3 D.
Padina sp. Sargassaceae
2,6 80
0,0020 3,72
100 0,0031
13,36 100
0,0270 4
Turbinaria sp. 0,6
40 0,0013
0,6 20
0,0008 -
- -
Total 18,2
280 0,0220
24,2 280
0,0413 52,24
200 0,0891
kerusakan akibat adanya aktivitas nelayan yang mencari ikan dan memberhentikan kapal pada stasiun penelitian. Thallus C. crassa ini berbentuk
silindris menyerupai rambut sehingga tidak mudah patah dan hidup bergerombol membentuk rumpun mirip gumpalan seperti benang kusut dan sifatnya yang efifit
juga mengakibatkan kerapatan jenis alga ini tinggi. Berbeda dengan jenis Turbinaria sp. yang memiliki thallus berbentuk lembaran dan holdfastnya tidak
kuat menempel pada substrat sehingga lebih mudah mengalami kerusakan akibat terpaan ombak maupun aktivitas di tempat tumbuhnya sehingga kerapatan jenis
alga ini kecil. Menurut Susanto dalam Langoy et al. 2011, Turbinaria sp. ini memiliki
bentuk thallus yang menyerupai lembaran tegak, kasar dan terdapat bekas-bekas percabangan, sedangkan bentuk helaiannyanya yang menyerupai kerucut segitiga
dengan pinggir bergerigi dan bagian tengah lembaran atau daun melengkung ke dalam. percabangannya ferticillate atau cabang-cabang thallus tumbuh dengan
melingkari thallus sebagai sumbu utama. Holdfastnya berbentuk cakram kecil sehingga tidak kuat menempel pada substrat.
Alga jenis H. macroloba dan Turbinaria sp. tidak ditemukan pada stasiun 2 dan stasiun 3. Hal ini disebabkan alga tersebut tidak mampu hidup pada perairan
yang memiliki tingkat kekeruhan yang tinggi akibat limbah pertanian dan pemukiman warga yang masuk ke perairan. Menurut Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya 2009, limbah dalam suatu perairan menutupi permukaan thallus dan menyebabkan thallus akan membusuk dan mati.
Menurut Barus 2004, setiap jenis mempunyai toleransi yang berbeda terhadap perubahan faktor lingkungan. Ada jenis tertentu yang toleran terhadap
perubahan faktor lingkungan abiotik yang sangat besar, sementara jenis lainnya sangat sensitif. Artinya bahwa bagi yang toleran, maka perubahan faktor
lingkungan yang sangat besar dan drastis tidak akan menyebabkan kematian atau berkurangnya jenis tersebut. Sebaliknya jenis yang sensitif, maka terjadinya
perubahan faktor lingkungan akan mempengaruhi kelangsungan hidup jenis tersebut.
Menurut Atmadja dan Sulistijo 1980, faktor pencahayaan, suhu, substrat, DO, salinitas, merupakan faktor penting dalam penentuan keragaman dan kualitas
pertumbuhan alga hijau dan alga coklat. Perubahan faktor fisik kimia misalnya penurunan atau kenaikan yang tinggi akan menurunkan keragaman jenis
Chlorophyta dan Phaeophyta sehingga perlu memperhatikan faktor fisik kimia perairan dalam menentukan keberadaan jenis yang dominan dalam suatu perairan.
Menurut Luning 1990, mengatakan bahwa keberadaan suatu jenis alga tertentu dipengaruhi oleh penetrasi cahaya matahari. Kelas Chlorophyceae lebih efisien
dal am memanfaatkan cahaya merah 650 μm sehingga melimpah di tempat yang
dangkal dimana penetrasi cahaya merah mencapai batas maksimum pada kedalaman tersebut., kelas Phaeophyceae mengandung pigmen fukosantin yang
menyerap cahaya hijau 500 μm -550 μm dan juga memiliki klorofil-c yang menyerap cahaya merah 630 μm-638 μm sehingga lebih cenderung melimpah di
kedalaman yang sedang. Menurut Atmadja 1999, menyatakan bahwa semakin tinggi nilai frekuensi
kehadiran suatu jenis, maka kemungkinan peranan jenis tersebut juga tinggi. Namun hal demikian tidak mampu membuktikan bahwa jenis tersebut benar
berperan penting dalam perairan, karena kemungkinan jenis tersebut hanya melimpah pada lokasi tertentu. Sehingga perlu memperhatikan kualitas dari
perairan pada lokasi penelitian.
4.4. Indeks Keragaman H’ dan Keseragaman E