Keanekaragaman Makroalga di Sekitar Pantai Desa Fodo Kota Gunungsitoli

(1)

KEANEKARAGAMAN MAKROALGA DI SEKITAR PANTAI

DESA FODO KOTA GUNUNGSITOLI

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

MONARIA LASE 090805012

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

PERSETUJUAN

Judul : Keanekaragaman Makroalga di Sekitar Pantai

Desa Fodo Kota Gunungsitoli

Kategori : Skripsi

Nama : Monaria Lase

Nomor Induk Mahasiswa : 090805012

Program Studi : Sarjana (S1) Biologi Departemen : Biologi

Fakultas : Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Disetujui di:

Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Dr.Hesti Wahyuningsih, M.Si Dr. Miswar Budi Mulya, M.Si NIP. 19691018 199412 2 002 NIP. 19691010 199702 002

Diketahui/ Disetujui oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua

Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc NIP 19630123 199003 2 001


(3)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan i

Pernyataan ii

Penghargaan iii

Abstrak iv

Abstract v

Daftar Isi vi

Daftar Tabel viii

Daftar Gambar ix

Daftar Lampiran x

Bab 1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Permasalahan 2

1.3. Tujuan Penelitian 2

1.4. Manfaat Penelitian 2

Bab 2. Tinjauan Pustaka

2.1. Ekosistem Pesisir Pantai 3

2.2. Pengertian Makroalga 4

2.3. Klasifikasi Makroalga. 5

2.3.1 . Chlorophyceae (Alga Hijau) 5 2.3.2. Phaeophyceae (Alga Coklat) 7 2.3.3. Rhodophyceae (Alga Merah) 8

2.4. Sebaran Makroalga 11

2.5. Faktor Fisik Kimia Perairan 11

2.5.1. Suhu 12

2.5.2. Salinitas 12

2.5.3. Intensitas Cahaya 12 2.5.4. Penetrasi Cahaya 13 2.5.5. Derajat Keasaman (pH) 14 2.5.6. Oksigen Terlarut 14 2.5.7. Kandungan Nitrat dan Fosfat 14

2.6. Peran Makroalga 15

Bab 3. Bahan Dan Metode

3.1. Waktu Dan Tempat 17

3.2. Deskripsi Area 17

3.2.1. Stasiun 1 17

3.2.2. Stasiun 2 18

3.2.3. Stasiun 3 18

3.3. Metoda Penelitian 19


(4)

3.5. Pengukuran Faktor Fisik Dan Kimia Perairan

19

3.6. Analisis Data 20

Bab 4. Hasil Dan Pembahasan 24

4.1. Faktor Biotik Lingkungan 24

4.1.1. Makroalga yang ditemukan Pada 3 Stasiun Penelitian

24 4.1.2. Kerapatan Jenis Makroalga (K),

Kepadatan Relatif (KR) dan Frekuen si Kehadiran (FK) Makroalga Pada 3 Stasiun Penelitian

31

4.1.3. Penutupan Jenis Makroalga (P), Penutupan Relatif (PR) dan Indeks Nilai Penting (INP) Makroalga

33

4.1.4. Indeks Keanekaragaman (H’) dan

Indeks Keseragaman (E)

34 4.1.5. Nilai IS (Indeks Similaritas) 35

4.2. Faktor Abiotik Lingkungan 36

4.2.1. Suhu 36

4.2.2. Intensitas Cahaya dan Penetrasi Cahaya

37

4.2.3. pH 37

4.2.4. Salinitas 38

4.2.5. Oksigen Terlarut (Disolved Oxygen) 38

4.2.6. BOD5 39

4.2.7. Kadar Nitrat & Fosfat 39

4.2.8. Kejenuhan Oksigen 40

4.3. Analisis Korelasi 40

Bab 5. Kesimpulan Dan Saran 42

5.1. Kesimpulan 42

5.2. Saran 42


(5)

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel

Judul Halaman

1. Alat, Bahan, Satuan dan Metode Pengukuran Faktor fisik dan kimia

19 4.1.1. Makroalga yang ditemukan Pada Tiga Stasiun

Penelitian

24

4.1.2. Kerapatan Jenis Makroalga (ind/m2), Kerapatan Relatif (%) dan Frekuensi Kehadiran (%) Makroalga pada 3 Stasiun Penelitian

31

4.1.3. Penutupan Jenis Makroalga (cm2), Penutupan Relatif (%) dan Indeks Nilai Penting Makroalga pada Stasiun

33

4.1.4. Nilai H’ (Indeks Diversitas Shannon-Wiener) dan E (Indeks Equitabilitas) yang diperoleh pada Stasiun Penelitian

34

4.1.5. Nilai IS (Indeks Similaritas) Pada 3 Stasiun Penelitian

35

4.2. Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan pada Masing-masing Stasiun Penelitian

36 4.3. Nilai Korelasi Antara Parameter Fisik-Kimia

Perairan dengan Keanekaragaman Makroalga dari Setiap Stasiun Penelitian


(6)

DAFTAR GAMBAR

Nama Gambar

Judul Halaman

1. Stasiun 1 (Pantai Bunda) 17

2. Stasiun 2 (Pantai Fodo Indah) 18

3. Stasiun 3 (Pantai Laowömaru) 18

4.1. Chaetomorpha 25

4.2. Amphiroa 25

4.3. Gelidiela 26

4.4. Gelidium 26

4.5. Gracilaria 27

4.6. Eucheuma 27

4.7. Rhodymenia 28

4.8. Padina 28

4.9. Sargassum 29


(7)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lampiran

Judul Halaman

1. Peta Lokasi Penelitian 47

2. Bagan Alir DO 48

3. Bagan Alir BOD5 49

4. Bagan Kerja Analisis Nitrat (NO3) 50

5. Bagan Kerja Analisis Fosfat (PO43-) 51

6. Tabel Kelarutan O2 52

7. Contoh Perhitungan Makroalga 53

8. Foto Sampel Makroalga 55

9. Foto Kerja di Lapangan 57


(8)

PERNYATAAN

KEANEKARAGAMAN MAKROALGA DI SEKITAR PANTAI

DESA FODO KOTA GUNUNGSITOLI

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Januari 2014


(9)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber kekuatan, pengharapan dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini yang berjudul “Keanekaragaman Makroalga di Sekitar Pantai Desa Fodo Kota Gunungsitoli” yang disusun sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sains Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Dosen Pembimbing 1, yaitu Bapak Dr. Miswar Budi Mulya, M. Si, dan kepada Ibu Dr.Hesti Wahyuningsih, M.Si selaku Dosen Pembimbing 2 yang dengan sabar membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih kepada Ibu Mayang Sari Yeanny, S.Si. M. Si dan Bapak Drs. Nursal. M. Si selaku Dosen Penguji dan kepada Ibu Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S selaku dosen Penasehat Akademik yang membimbing penulis selama masa perkuliahan. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc selaku Ketua Departemen Biologi FMIPA USU dan Ibu Dr.Saleha Hannum, M.si selaku sekretaris Departemen Biologi FMIPA USU, seluruh Dosen Pengajar dan pegawai administrasi di Departemen Biologi. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Gunungsitoli beserta para pegawainya yang telah membantu dalam penyelesaian penelitian ini.

Teristimewa penulis mengucap terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada orang tua penulis yang tercinta: Ayahanda K. Lase dan Ibunda S. Telaumbanua yang telah memberi doa, harapan, dukungan dan materi sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Kepada kakak, abang dan adik yang penulis cintai Trisnia F. Lase, S.K.M, Erik A. Lase dan Artathina Lase yang telah memberi semangat dan motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini. Kepada teman-teman seperjuangan, Elisabeth, Julie, Boy, Uba serta seluruh stambuk 2009, adik stambuk 2010, adik asuh ku Febby dan Juneidi dan seluruh stambuk 2011 dan stambuk 2012 yang selalu mendukung dan memberi semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya dalam penyusunan tulisan ini masih terdapat banyak kekurangan, baik dalam penulisan maupun hasil dan pembahasan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan penulisan skripsi ini.


(10)

KEANEKARAGAMAN MAKROALGA DI SEKITAR PANTAI DESA FODO KOTA GUNUNGSITOLI

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian dengan judul “Keragaman Makroalga di Sekitar Pantai Desa Fodo Kota Gunungsitoli”. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui keragaman makroalga dan hubungan faktor fisik kimia dengan keragaman makroalga. Penelitian ini dilakukan dengan metode Transek Kuadrat dengan menentukan 3 stasiun penelitian sepanjang garis pantai. Pengambilan sampel dilakukan dengan 25 kali ulangan pada masing-masing stasiun penelitian. Hasil penelitian memperoleh 3 kelas makroalga yang terdiri dari 7 ordo, 8 famili dan 10 genus. Nilai total kerapatan tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebanyak 50, 76 ind/m2 dan terendah terdapat pada stasiun 2 sebanyak 13,16 ind/m2. Indeks Keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu 1,470 dan indeks keanekaragaman terendah terdapat pada stasiun 2 yaitu 1,018. Indeks Keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu 0,802 dan indeks keseragaman terendah pada stasiun 2 yaitu 0,632. Hasil analisis korelasi menunjukan bahwa salinitas berkorelasi sangat kuat terhadap Indeks

Keanekaragaman (H’) makroalga.


(11)

MACROALGAE DIVERSITY AT BEACH FODO VILLAGE GUNUNGSITOLI

ABSTRACT

The research of “Macroalgae Diversity at Beach Fodo Village, Gunungsitoli” has

been done. The objectives of this research were to know the diversity of macroalgae and the correlation between physical-chemical factors and the diversity of macroalgae. The research was done by using Kuadratic Transect Methode and by determining 3 research stasions along the coastline. The sampling was done 25 times on each research station. The research found 3 kinds of macroalgae which consist of 7 classes, 8 families and 10 genera. The amound of the highest density 50,76 ind/m² was found on the station 3 and the lowest 13,16 ind/m² was found on the station 2. The highest diversity index 1,470 was at station 1 and lowest 1,018 was at station 2. The highest uniformity index 0,802 was at station 3 and the lowest 0,623 was at station 3. The correlation analysis

result shows that salinity strongly correlate to the macroalgae diversity index (H’).


(12)

KEANEKARAGAMAN MAKROALGA DI SEKITAR PANTAI DESA FODO KOTA GUNUNGSITOLI

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian dengan judul “Keragaman Makroalga di Sekitar Pantai Desa Fodo Kota Gunungsitoli”. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui keragaman makroalga dan hubungan faktor fisik kimia dengan keragaman makroalga. Penelitian ini dilakukan dengan metode Transek Kuadrat dengan menentukan 3 stasiun penelitian sepanjang garis pantai. Pengambilan sampel dilakukan dengan 25 kali ulangan pada masing-masing stasiun penelitian. Hasil penelitian memperoleh 3 kelas makroalga yang terdiri dari 7 ordo, 8 famili dan 10 genus. Nilai total kerapatan tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebanyak 50, 76 ind/m2 dan terendah terdapat pada stasiun 2 sebanyak 13,16 ind/m2. Indeks Keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu 1,470 dan indeks keanekaragaman terendah terdapat pada stasiun 2 yaitu 1,018. Indeks Keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu 0,802 dan indeks keseragaman terendah pada stasiun 2 yaitu 0,632. Hasil analisis korelasi menunjukan bahwa salinitas berkorelasi sangat kuat terhadap Indeks

Keanekaragaman (H’) makroalga.


(13)

MACROALGAE DIVERSITY AT BEACH FODO VILLAGE GUNUNGSITOLI

ABSTRACT

The research of “Macroalgae Diversity at Beach Fodo Village, Gunungsitoli” has

been done. The objectives of this research were to know the diversity of macroalgae and the correlation between physical-chemical factors and the diversity of macroalgae. The research was done by using Kuadratic Transect Methode and by determining 3 research stasions along the coastline. The sampling was done 25 times on each research station. The research found 3 kinds of macroalgae which consist of 7 classes, 8 families and 10 genera. The amound of the highest density 50,76 ind/m² was found on the station 3 and the lowest 13,16 ind/m² was found on the station 2. The highest diversity index 1,470 was at station 1 and lowest 1,018 was at station 2. The highest uniformity index 0,802 was at station 3 and the lowest 0,623 was at station 3. The correlation analysis

result shows that salinity strongly correlate to the macroalgae diversity index (H’).


(14)

1.1. Latar Belakang

Pulau Nias adalah pulau di luar Pulau Sumatera yang terletak di rangkaian kepulauan sebelah barat kurang lebih sejajar dengan Pulau Sumatera. Pulau ini dipisahkan oleh Selat Mentawai; termasuk Pulau Simeuleu yang terletak sekitar 140 km disebelah barat laut, dan Pulau Batu yang terletak sekitar 80 km di sebelah tenggara. Pulau Nias terletak diantara 1º 30’ Lintang Utara dan 97º - 98º Bujur Timur, dan mencakup area seluas 4.771 km2 (Telaumbanua, 2007). Saat ini telah banyak pemanfaatan yang terjadi di Pulau Nias, seperti daerah pariwisata, aktivitas nelayan dan pemanfaatan sumber daya laut lainnya. Desa Fodo merupakan salah satu desa yang terdapat di kota Gunungsitoli. Desa Fodo memiliki 3 (tiga) pantai yaitu Pantai Bunda, Pantai Fodo Indah dan Pantai Laowömaru. Desa ini diperkirakan memiliki panjang garis pantai sepanjang ± 2 km.

Makroalga merupakan salah satu komoditas perikanan penting di Indonesia. Indonesia menduduki posisi penting sebagai produsen makroalga dunia. Produksi makroalga Indonesia berasal dari pengambilan di laut dan pembudidayaan (Kordi, 2011). Banyak masyarakat yang sekarang ini telah memanfaatkan makroalga untuk dijadikan sebagai bahan dasar dalam pembuatan makanan, obat-obatan, kosmetik dan sebagainya. Makroalga merupakan produsen bagi organisme yang ada di dalam perairan.

Menurut Atmaja (1995), makroalga pada perairan laut umumnya merupakan bagian dari komponen ekosistem terumbu karang dan dimanfaatkan sebagai produsen bagi kehidupan organisme di akuatik. Dari segi ekologis makroalga berfungsi juga sebagai penyedia karbonat dan pengokoh substrat dasar yang bermanfaat bagi stabilitas dan kelanjutan keberadaan terumbu karang tersebut. Selain itu juga bermanfaat bagi penunjang kebutuhan hidup manusia sebagai bahan pangan dan industri.


(15)

Sebaran jenis-jenis makroalga ditentukan oleh kecocokan habitatnya, yang umumnya terdapat pada rataan terumbu karang. Makroalga menempel pada substrat benda keras berupa pasir, karang, pecahan karang mati atau kulit kerang sesuai dengan lingkungan terumbu karang. Habitat makroalga pada umumnya mengikuti pola terumbu karang (Soegiarto et al. 1978 dalam Miarni, 2004). Sejauh ini, keberadaan makroalga di perairan Sekitar Pantai Desa Fodo Kota Gunungsitoli belum banyak diketahui.

1.2. Permasalahan

Makroalga biasanya ditemukan pada daerah rataan terumbu karang. Substrat yang sering dijadikan tempat menempelnya makroalga adalah terumbu karang, karang mati, batu dan pasir. Perairan di sekitar Pantai Desa Fodo merupakan pantai yang terdapat terumbu karang yang telah mati maupun yang masih hidup pada pinggiran pantai. Menurut Kordi (2010), rusaknya terumbu karang, dapat merangsang pertumbuhan makroalga pada kerangka karang. Sejauh ini, masyarakat di sekitarnya belum ada yang mengetahui keberadaan makroalga di sekitar Pantai Desa Fodo Kota Gunungsitoli

1.3.Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Mengetahui keanekaragaman makroalga di sekitar Pantai Desa Fodo Kota Gunungsitoli

b. Mengetahui hubungan keanekaragaman makroalga dengan kondisi fisik kimia di sekitar perairan Pantai Desa Fodo Kota Gunungsitoli..

1.4.Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah memberi informasi awal mengenai keanekaragaman makroalga di lokasi kajian yang selanjutnya dapat digunakan sebagai data awal untuk untuk berbagai pihak yang membutuhkan.


(16)

2.1. Ekosistem Pesisir Pantai

Ekosistem pantai merupakan daerah yang letaknya berbatasan dengan ekosistem daratan, laut, dan daerah pasang surut. Ekosistem pantai dipengaruhi oleh siklus harian pasang surut laut. Organisme yang hidup di pantai memiliki adaptasi struktural sehingga dapat melekat erat pada substrat yang keras. Sebagai daerah perbatasan antara ekosistem laut dan ekosistem darat, hempasan gelombang dan hembusan angin menyebabkan pasir dari pantai membentuk gundukan ke arah darat, sehingga membentuk hutan pantai. Keadaan dalam massa air yang berdekatan dengan daratan, sedikit berbeda dengan keadaan laut terbuka (Asriyana dan Yuliana, 2012).

Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara wilayah daratan dengan karakteristik daratannya dan wilayah lautan dengan karakteristik lautannya dan membawa dampak yang cukup signifikan terhadap pembentukan karakteristik sumberdaya alamnya saja, melainkan juga berdampak terhadap pembentukan karakteristik sumberdaya manusia dan kelembagaan sosial yang terdapat di sekitarnya (Wahyudin, 2004).

Wilayah pesisir memiliki produktivitas yang sangat tinggi dengan tingkat aksesibilitas yang sangat tinggi pula. Ekosistem pesisir pantai menyediakan pilihan yang sangat beragam terhadap barang (komoditas) dan jasa, menjadi lokasi pelabuhan niaga, penghasil ikan, kerang-kerangan, krustase, sumber penghasil bahan-bahan kimia untuk farmasi, kosmetik, bahan kebutuhan rumah tangga, bahan-bahan untuk konstruksi, dan sebagainya. Wilayah pesisir berbagai jenis habitat dan menjadi tempat berkerumunnya keanekaragaman genetik dan spesies, menyimpan dan mengedarkan nutrient, menyaring bahan pencemar dari daratan dan melindungi pantai dari erosi dan badai. Selain itu, wilayah pesisir pantai menjadi daya tarik bagi manusia untuk menghuninya atau menggunakannya sebagai area rekreasi dan pariwisata ( Tahir, 2012).


(17)

2.2. Pengertian Makroalga

Tumbuhan ganggang (alga) merupakan tumbuhan bertalus yang hidup di air, baik air tawar maupun air laut, setidak-tidaknya selalu menempati habitat yang lembab atau basah. Beberapa alga ada yang bergerak aktif dan ada yang tidak. Jenis-jenis yang hidup bebas di air, terutama tubuhnya yang bersel tunggal dan dapat bergerak aktif merupakan penyusun plankton. Alga yang hidupnya melekat pada pada sesuatu yang ada dalam air, misalnya batu atau kayu disebut bentos.

Vegetasi makroalga di perairan laut, umumnya merupakan komponen dari ekosistem terumbu karang. Keberadaanya sebagai organisme produser memberikan sumbangan berarti bagi kehidupan binatang akuatik terutama herbivor di laut. Makroalga mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia karbonat dan pengokoh substrat dasar yang bermanfaat bagi menunjang kebutuhan hidup manusia sebagai bahan pangan dan industri. Sebaran makroalga di perairan laut secara umum mengikuti sebaran terumbu karang sebagai habitatnya. Namun secara lokal di daerah terumbu karang, sebaran makroalga dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan dan karakteristik jenis makroalga tersebut (Atmadja, 1999).

Tumbuhan air makro tumbuh di perairan tawar dan laut yang tumbuh di dasar perairan (makroalga/seaweed) yang umumnya hanya menempati area yang relatif sempit di daerah perairan dangkal. Makroalga adalah kelompok alga multiseluler yang tubuhnya berupa talus yang tidak mempunyai akar, batang dan daun sejati. Kelompok tumbuhan ini hidup di perairan laut yang masih mendapat cahaya matahari dengan menempel pada substrat yang keras (Asriyana dan Yuliana, 2012).

Secara ekologi, komunitas makroalga mempunyai peranan dan manfaat terhadap lingkungan sekitarnya yaitu sebagai tempat asuhan dan perlindungan bagi jenis – jenis ikan tertentu (nursery grounds), tempat pemijahan (spawning grounds), sebagai tempat mencari makanan alami ikan – ikan dan hewan herbivor (feeding grounds). Dari segi ekonomi, makroalga sebagai produk alam merupakan komoditi yang sangat baik untuk dikembangkan mengingat kandungan kimia yang dimilikinya. Makroalga dimanfaatkan secara luas baik dalam bentuk


(18)

olahan. Dalam bentuk raw material di Indonesia digunakan sebagai lalapan, sayuran, manisan dan asinan. Kemudian dari segi biologis, makroalga mempunyai andil yang besar dalam meningkatkan produktivitas primer, penyerap bahan polutan, penghasil bahan organik dan sumber produksi oksigen bagi organisme akuatik di lingkungan perairan (Bold and Wynne, 1985).

2.3. Klasifikasi Makroalga

Makroalga yang berukuran besar dapat digolong dalam tiga kelompok besar, yaitu Chlorophyceae (alga hijau), Phaeophyceae (alga coklat) dan

Rhodophyceae (alga merah). Makroalga ini berfungsi sebagai produsen primer pada suatu perairan, ketiga k elompok makroalga ini juga berfungsi untuk menfiksasi bahan organik dari bahan anorganik dengan bantuan cahaya matahari yang dimanfaatkan langsung oleh herbivor (Asriyana dan Yuliana, 2012).

2.3.1. Chlorophyceae (Alga Hijau)

Kelompok makroalga ini merupakan kelompok yang memiliki vegetasi terbesar dibanding kelompok lainnya. Chlorophyceae disebut juga alga hijau yang tergolong ke dalam divisi Chlorophyta. Sel-selnya memiliki kloroplas yang berwarna hijau yang jelas seperti pada tumbuhan tingkat tinggi karena mengandung pigmen klorofil a dan b, karotenoid. Pada kloroplas terdapat pirenoid, hasil asimilasi berupa tepung dan lemak. Hasil asimilasi beberapa amilum, penyusunnya sama seperti pada tumbuhan tingkat tinggi yaitu amilase dan amilopektin. Perkembangbiakan terjadi secara aseksual dan seksual. Secara aseksual dengan membentuk zoospora, sedangkan secara seksual dengan anisogami. Chlorophyceae terdiri atas sel-sel kecil yang merupakan koloni berbentuk benang yang bercabang-cabang atau tidak, adapula yang membentuk koloni yang menyerupai kormus tumbuhan tingkat tinggi (Tjitrosoepomo, 1994). Menurut Juwana dan Romimohtarto (2001), tercatat sedikitnya 12 genus alga hijau yang banyak diantaranya sering dijumpai di perairan pantai. Berikut ini adalah genus-genus alga hijau diantaranya adalah:

1. Caulerpa yang dikenal beberapa penduduk pulau sebagai anggur laut yang terdiri dari 15 jenis dan lima varietas.


(19)

2. Ulva mempunyai thalus berbentuk lembaran tipis. Ada tiga jenis yang tercatat, satu diantaranya yaitu U. reticulata. Alga ini biasanya melekat dengan menggunakan alat pelekat berbentuk cakram pada batu atau pada substrat lain.

3. Valonia (V. ventricosa) mempunyai thallus yang membentuk gelembung berisi cairan berwarna ungu atau hijau mengkilat, menempel pada karang atau karang mati.

4. Dictyosphaera (D. caversona) dan jenis-jenis dari marga ini di Nusa Tenggara Barat dinamakan bulung dan dimanfatkan sebagai sayuran.

5. Halimeda terdiri dari 18 jenis. Marga ini berkapur dan menjadi salah satu penyumbang endapan kapur di laut. H. tuna terdiri dari rantai bercabang dari potongan tipis berbentuk kipas. Alga ini terdapat di bawah air surut, pada pantai berbatu dan paparan terumbu, tetapi potongan-potongannya dapat tersapu ke bagian atas pantai setelah terjadi badai.

6. Chaetomorpha mempunyai thallus atau daunnya berbentuk benang yang mengumpal. Jenis yang diketahui adalah C. crassa yang sering terjadi gulma bagi budidaya laut.

7. Codium hidup menempel pada batu atau batu karang, tercatat ada enam jenis. 8. Dari marga Udotea tercatat dua jenis dan banyak terdapat di perairan

Sulawesi, seperti di Kepulauan Spermonde dan Selat Makasar. Alga ini tumbuh di pasir dan terumbu karang.

9. Tydemania (T. expeditionis) tumbuh di paparan terumbu karang yang dangkal dan di daerah tubir pada kejelukan 5 – 30 m di perairan jernih.

10.Burnetella (B. nitida) menempel pada karang mati dan pecahan karang di paparan terumbu.

11. Burgenesia (B. forbisii) mempunyai thalus membentuk kantung silendrik berisi cairan warna hijau tua atau hijau kekuning-kuningan, menempel di batu karang atau pada tumbuh-tumbuhan lain.

12.Neomeris (N. annulata), tumbuh menempel pada substrat pada karang mati di dasar laut. N. annulata hidup di daerah pasut di seluruh perairan Indonesia.


(20)

2.3.2. Phaeophyceae (Alga Coklat)

Phaeophyceae adalah ganggang yang berwarna coklat/pirang. Dalam kromatoforanya terkandung klorofil a, karotin dan xanthofil tetapi yang terutama adalah fikosantin yang menutupi warna lainnya dan menyebabkan ganggang itu kelihatan berwarna pirang. Sebagai hasil asimilasi dan sebagai zat makanan cadangan tidak pernah ditemukan zat tepung, tetapi sampai 50 % dari berat keringnya terdiri atas laminarin, sejenis karbohidrat yang menyerupai dekstrin dan lebih dekat dengan selulosa daripada zat tepung. Selain laminarin, juga ditemukan manit, minyak dan zat-zat lainnya. Dinding selnya sebelah dalam terdiri atas selulosa, yang sebelah luar dari pektin dan di bawah pektin terdapat algin. Sel-selnya hanya mempunyai satu inti. Perkembangbiakannya dapat berupa zoospora dan gamet. Kebanyakan phaeophyceae hidup dalam air laut dan hanya beberapa jenis saja yang dapat hidup di air tawar. Di laut dan samudera di daerah iklim sedang dan dingin, talusnya dapat mencapai ukuran yang amat besar dan sangat berbeda-beda bentuknya. Jenis ini termasuk bentos yang melekat pada batu-batu, kayu sering juga sebagai epifit pada talus ganggang yang lain bahkan ada yang hidup endofit (Tjitrosoepomo, 1994).

Phaeophyta (Alga coklat) sebagian besar dalam bentuk filamen atau thalloid, umumnya ditemukan di laut, hanya beberapa jenis yang dapat ditemukan di air tawar. Jenis yang ditemukan pada air tawar hidup dengan cara menempel pada substrat seperti batu, tidak ada satu pun yang bersifat plantonik (Asriyana dan Yuliana, 2012). Menurut Juwana dan Romimohtarto (2001), terdapat delapan marga alga coklat yang sering ditemukan di Indonesia. Berikut ini adalah marga-marga alga coklat diantaranya adalah:

1. Cystoseira sp. hidup menempel pada batu di daerah rataan terumbu dengan alat pelekatnya yang berbentuk cakram kecil. Alga ini mengelompok bersama dengan komonitas Sargassum dan Turbinaria. Alga ini mempunyai dua atau tiga sayap longitudinal dengan pinggiran bergerigi. Sayap ini mencapai lebih dari 0,5 cm lebarnya. Kantung udaranya terdapat di sepanjang thalus. 2. Dictyopteris sp. hidup melekat pada batu di pinggiran luar rataan terumbu

jarang dijumpai. Jenis alga ini banyak ditemukan di Selatan Jawa, Selat Sunda dan Bali.


(21)

3. Dictyota (D. bartayresiana), tumbuh menempel pada batu karang mati di daerah rataan terumbu. Warnanya coklat tua dan mempunyai thallus bercabang yang terbagi dua. Thallus yang pipih, lebarnya 2 mm.

4. Hormophysa (H. triquesa), hidup menempel pada batu dengan alat pelekatnya berbentuk cakram kecil. Alga ini hidup bercampur dengan Sargassum dan

Turbinaria dan hidup di rataan terumbu.

5. Hydroclathrus (H. clatratus), tumbuh melekat pada batu atau pasir di daerah rataan terumbu dan tersebar agak luas di perairan Indonesia.

6. Padina (P. australis), tumbuh menempel batu di daerah rataan terumbu, baik di tempat terbuka di laut maupun di tempat terlindung. Alat pelekatnya yang melekat pada batu atau pada pasir, terdiri dari cakram pipih, biasanya terbagi menjadi cuping-cuping pipih 5 – 8 cm lebarnya. Tangkai yang pipih dan pendek menghubungkan alat pelekat ini dengan ujung meruncing dari selusin daun berbentuk kipas. Setiap daun mempunyai jari-jari 5 cm atau lebih.

7. Sargassum terdapat melimpah mulai dari air surut pada pasang-surut bulan setengah ke bawah. Alga ini hidup melekat pada batu atau bongkohan karang dan dapat menempel dari substratnya selama ombak besar dan menghanyut kepermukaan laut atau terdampar di bagian atas pantai. Warnanya bermacam-macam dari coklat muda sampai sampai coklat tua. Alat pelekatnya terdiri dari cakram pipih. Di perairan Indonesia tercatat tujuh jenis, yakni S. polycystum, S. plagiophyllum, S. duplicatum, S. crassifolium, S. binderi, S. echinocarpum, dan S. cinereum.

8. Turbinaria terdiri dari tiga jenis yang tercatat, yakni T. conoides, T. decurrens,

dan T. ornate. Alga ini mempunyai cabang-cabang silendrik dengan diameter 2 – 3 mm dan mempunyai cabang lateral pendek dari 1 - 1,5 cm panjangnya. Alga ini terdapat di pantai berbatu dan paparan terumbu.

2.3.3. Rhodophyceae (Alga Merah)

Rhodophyceae memiliki warna merah sampai ungu. Kadang-kadang juga lembayung atau pirang kemerah-merahan. Kromatoforanya berbentuk cakram atau suatu lembaran, mengandung klorofil a dan karotenoid, tetapi warna itu tertutup oleh zat warna merah yang mengadakan fluoresensi, yaitu fikoeritrin.


(22)

Pada jenis-jenis tertentu terdapat fikosianin. Sebagian asimilasi terdapat sejenis karbohidrat yang disebut tepung floride, yang juga merupakan hasil polimerasi glukosa, berbentuk nulat, tidak larut dalam air, seringkali berlapis-lapis jika dibubuhi yodium berwarna kemerah-merahan. Tepung ini sifatnya dekat dengan

glikogen dan tidak terdapat dalam kromatoforanya, melainkan pada permukaannya. Selain itu juga terdapat floridosida (senyawa gliserin dan

galaktosa ) dan tetes-tetes minyak. Kadang-kadang juga terdapat pirenoid.

Rhodophyceae kebanyakkan hidup di dalam air laut, terutama dalam lapisan-lapisan air yang dalam, yang hanya dapat dicapai oleh cahaya bergelombang pendek. Hidupnya bentos, melekat pada suatu substrat dengan benang-benang pelekat atau cakram pelekat (Tjitrosoepomo, 1994).

Rhodophyta (alga merah) merupakan makroalga yang jarang ditemukan di air tawar. Alga merah ini tidak ada ditemukan yang bersifat plantonik. Beberapa genera dari alga ini dapat ditemukan di air tawar yang merupakan spesies endemik. Spesies dalam bentuk filamen (misalnya Batrachospermum) hanya terbatas pada sungai yang berarus deras dengan kondisi oksigen yang bagus dan airnya yang bersuhu dingin (Asriyana dan Yuliana, 2012).

Menurut Juwana dan Romimohtarto (2001), tercatat 17 marga terdiri dari 34 jenis. Berikut ini marga-marga alga merah yang ditemukan di Indonesia diantaranya adalah:

1. Acanthophora terdiri dari dua jenis yang tercatat, yakni A. spicifera, dan A. muscoides. Alga ini hidup menempel pada batu atau benda keras lainnya. 2. Actinotrichia (A. fragilis) terdapat di bawah pasut dan menempel pada karang

mati. Sebarannya luas terdapat pula di padang lamun.

3. Anansia (A. glomerata) tumbuh melekat pada batu di daerah terumbu karang dan dapat hidup melimpah di padang lamun.

4. Amphiroa (A. fragilissima) tumbuh menempel pada dasar pasir di rataan pasir atau menempel pada substrat dasar lainnya di padang lamun. Sebarannya luas. 5. Chondrococcus (C. hornemannii) tumbuh melekat pada substrat batu di ujung


(23)

6. Corallina belum diketahui jenisnya. Alga ini tumbuh di bagian luar terumbu yang biasanya terkena ombak langsung. Sebarannya tidak begitu luas terdapat antaranya di pantai selatan Jawa.

7. Eucheuma adalah alga merah yang biasa ditemukan di bawah air surut rata-rata pada pasang-surut bulan setengah. Alga ini mempunyai thallus yang silindris, berdaging dan kuat dengan bintil-bintil atau duri-duri yang mencuat ke samping pada beberapa jenis. Thallusnya licin. Warna alganya ada yang tidak merah, tetapi coklat kehijau-hijauan kotor atau abu-abu dengan bercak merah. Di Indonesia tercatat empat jenis, yakni E. denticulatum (E. spinosum), E. edule, E. alvarezii (Kappaphycus alvarezii), dan E. serra.

8. Galaxaura terdiri dari empat jenis, yakni G. kjelmanii, G. subfruticulosa, G. subverticillata, dan G. rugosa. Alga ini melekat pada substrat batu di rataan terumbu.

9. Gelidiella (G. acerosa) tumbuh menempel pada batu. Alga ini muncul di permukaan air pada saat air surut dan mengalami kekeringan. Alga ini digunakan sebagai sumber agar yang diperdagangkan.

10.Gigartina (G. affinis) tumbuh menempel pada batu di rataan terumbu, terutama di tempat-tempat yang masih tergenang air pada saat air surut terendah.

11.Gracilaria terdiri dari tujuh jenis, yakni G. arcuata, G. coronopifolia, G. foliifera, G. gigas, G. salicornia, dan G. verrucosa.

12. Halymenia terdiri dari dua jenis, yakni H.durvillaei, dan H. harveyana. Alga ini hidup melekat pada batu karang di luar rataan terumbu yang selalu tergenang air.

13. Hypnea terdiri dari dua jenis, yakni H. asperi, dan H. servicornis. Alga ini hidup di habitat berpasir atau berbatu, adapula yang bersifat epifit. Sebarannya luas.

14. Laurencia terdiri dari tiga jenis yang tercatat, yakni L. intricate, L. nidifica,

dan L.obtusa. Alga ini hidup melekat pada batu di daerah terumbu karang. 15. Rhodymenia (R. palmata) hidup melekat pada substrat batu di rataan terumbu. 16.Titanophora (T. pulchra) jarang dijumpai, jenis ini terdapat di perairan


(24)

17.Porphyra adalah alga cosmopolitan. Marga alga ini terdapat mulai dari perairan subtropik sampai daerah tropik. Alga ini dijumpai di daerah pasut (litoral), tepatnya di atas daerah litoral. Alga ini hidup di atas batuan karang pada pantai yang terbuka serta bersalinitas tinggi.

2.4. Sebaran Makroalga

Menurut Connaugty dan Zatholi (1983) dalam Sahrel (2010), penyebaran makroalga dibatasi oleh daerah litoral dan sublitoral dimana masih terdapat sinar matahari yang cukup untuk dapat berlangsungnya proses fotosintesa. Di daerah ini merupakan tempat yang cocok bagi kehidupan makroalga karena terdiri atas batuan. Biasanya makroalga sedikit terdapat di perairan yang dasarnya berlumpur atau berpasir.

2.5. Faktor Fisik Kimia Perairan

Di air hidup bermacam-macam organisme, dari yang berukuran kecil sampai besar. Kehidupan organisme air sangat tergantung pada faktor fisik dan kimia air. Perubahan faktor fisik-kimia air yang berpengaruh terhadap organisme daratan. Faktor fisik dan kimia air yang sangat berpengaruh terhadap organisme air berbeda dengan faktor iklim dan faktor kimia tanah. Perubahan faktor fisik-kimia air dapat menyebabkan kematian bagi organisme air. Perubahan yang terjadi dapat disebabkan karena limbah pabrik dan industri di sekitar perairan yang mempengaruhi faktor fisik dan kimia (Suin, 2002).

Kehidupan biota laut naik tumbuh-tumbuhan maupun hewan dan mikroba selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Faktor-faktor tersebut saling berpengaruh satu sama lain atau terdapat satu faktor yang lebih menonjol pengaruhnya daripada faktor-faktor lain. Seperti pada muara atau sungai, faktor salinitas lebih menonjol pengaruhnya daripada faktor-faktor lain dalam kaitannya dengan sebaran biota dari sungai ke laut dan sebaliknya. Faktor-faktor fisik yang perlu diperhatikan pada lingkungan perairan sebagai tempat kehidupan biota laut adalah gerakan air salinitas, suhu, cahaya, dan derajat keasaman (Juwanna dan Romimohtarto, 2009).


(25)

2.5.1. Suhu

Suhu permukaan perairan bergantung pada presipitasi, evaporasi, kecepatan angin, intensitas cahaya matahari dan faktor fisik yang terjadi di dalam perairan. Presipitasi air laut terjadi melalui curah hujan yang dapat menurunkan suhu air permukaan laut. Evaporasi dapat meningkatkan suhu kira-kira 0,1°C pada lapisan permukaan hingga kedalaman 10 meter dan hanya kira-kira 0,02°C pada kedalaman 10-75 meter (Asriyana dan Yuliana, 2012).

Dibandingkan dengan udara, air mempunyai kapasitas panas yang lebih tinggi. Dalam setiap penelitian pada ekosistem air, pengukuran temperatur air merupakan hal yang mutlak dilakukan. Hal ini disebabkan karena kelarutan berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktivitas biologis-fisiologis di dalam ekosistem air yang sangat dipengaruhi temperatur. Semakin naik temperatur akan menyebabkan kelarutan oksigen dalam air menjadi berkurang. Hal ini dapat menyebabkan organisme air akan mengalami kesulitan untuk melakukan respirasi (Barus, 2004).

2.5.2. Salinitas

Salinitas pada berbagai tempat di lautan terbuka yang jauh dari daerah pantai variasinya sempit saja, biasanya antara 34-37 o/oo, dengan rata-rata 35 o/oo. Perbedaan salinitas terjadi karena perbedaan dalam penguapan dan presipitasi. Salinitas lautan di daerah tropik lebih tinggi karena evaporasi lebih tinggi, sedangkan pada lautan di daerah beriklim sedang salinitasnya rendah karena evaporasi lebih rendah. Di daerah pantai dan laut yang tertutup sebagian, salinitas lebih bervariasi dan mungkin mendekati 0 di mana sungai-sungai besar mengalirkan air (Nybakken, 1992).

2.5.3. Intensitas Cahaya

Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat-sifat optis dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan ke luar dari permukaan air. Dengan bertambahnya kedalaman lapisan air maka intensitas cahaya tersebut akan mengalami perubahan yang signifikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif (Barus, 2004).


(26)

Banyaknya cahaya menembus permukaan laut dan menerangi lapisan permukaan laut setiap hari dan perubahan intensitas dengan bertambahnya kejelukan memegang peranan penting dalam menentukan pertumbuhan fitoplankton. Cahaya yang menerangi daratan atau lautan biasanya diukur dalam luxmeter (Juwana dan Romimohtarto, 2009).

Makroalga mampu hidup pada situasi yang mendukung kehidupannya. Termasuk salah satunya adalah kedalaman yang menjadikan ciri khas dari suatu spesies makroalga. Intensitas cahaya yang masuk ke dalam suatu perairan sangat diperlukan untuk mendukung berlangsung fotosintesis. Penetrasi cahaya matahari yang terbatas akan membatasi kemampuan makroalga dalam melakukan fotosintesis. Menurut Atmadja (1999), pencahayaan ada kaitannya dengan proses fotosintesis bergantung pada kecerahan dan kedalaman air yang mempengaruhi intensitas cahaya. Kehadiran dan kelimpahan makroalga akan berkurang pada tempat-tempat yang lebih dalam dibandingkan dengan daerah yang lebih dangkal. Makin jernih perairan akan lebih banyak cahaya yang menembus dan memperlancar proses fotosintesis, mengakibatkan semakin bertambah baik dan melimpahnya alga di daerah tersebut.

2.5.4. Penetrasi Cahaya

Penetrasi cahaya yang terbentuk akan berbeda pada sistem ekosistem air yang berbeda. Pada batas akhir penetrasi cahaya disebut sebagai titik kompensasi cahaya, yaitu titik pada lapisan air, di mana cahaya matahari mencapai nilai minimum yang menyebabkan proses asimilasi dan respirasi berada dalam keseimbangan. Dapat juga diartikan bahwa pada titik kompensasi cahaya ini, konsentrasi karbondioksida dan oksigen akan berada dalam keadaan relatif konstan (Barus, 2004).

Pencahayaan yang ada kaitannya dengan proses fotosintesis bergantung pada kecerahan dan kedalaman air yang mempengaruhi intensitas cahaya. Kehadiran dan kelimpahan alga di daerah terumbu karang, tampaknya berkurang pada tempat-tempat yang lebih banyak cahaya menembus dan memperlancar proses fotosintesis yang mengakibatkan akan bertambah baik dan berlimpahnya alga yang tumbuh di tempat tersebut (Atmadja, 1999).


(27)

2.5.5. Derajat Keasamaan (pH)

Organisme air dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan gangguan metabolisme dan respirasi (Barus, 2004).

Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu parameter yang dapat menentukan produktivitas suatu perairan. pH perairan laut Indonesia pada umumnya bervariasi antara 6,0-8,5, nilai pH maksimum terdapat pada zona fotosintesis (Juwana dan Romimohtarto, 2009).

2.5.6. Oksigen Terlarut

Oksigen merupakan faktor yang paling penting bagi organisme air. Semua tumbuhan dan hewan yang hidup dalam air membutuhkan oksigen yang terlarut. Oksigen yang terlarut dalam air berasal dari udara dan hasil fotosintesis tumbuh-tumbuhan yang ada dalam air. Oksigen yang berasal dari hasil fotosintesis tergantung pada kerapatan tumbuh-tumbuhan air dan lama serta intensitas cahaya sampai ke badan air tersebut (Suin, 2002).

Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem air, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme air. Umumnya kelarutan oksigen dalam air sangat terbatas. Dibandingkan dengan kadar oksigen di udara yang sangat mempunyai konsentrasi sebanyak 21% volume air hanya mampu menyerap oksigen sebanyak 1% volum saja (Barus, 2004).

2.5.7. Kandungan Nitrat dan Fosfat

Menurut Barus (2004), nitrat merupakan produk akhir dari proses penguraian protein dan diketahui sebagai senyawa yang kurang berbahaya dibandingkan dengan ammonium/amoniak atau nitrit. Nitrat adalah zat nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan untuk dapat tumbuh dan berkembang, sementara nitrit merupakan


(28)

senyawa toksik yang dapat mematikan organisme air. Fosfat merupakan unsur penting lainnya dalam suatu ekosistem perairan.

Makroalga sebagai tanaman yang hidup di perairan membutuhkan nutrien pada jumlah yang cukup dan seimbang guna mencapai produksi yang optimal. Makroalga memerlukan unsur hara yang cukup untuk bertumbuh dan berkembang, baik itu unsur hara makro maupun unsur hara mikro. Jika salah satu unsur hara tidak tersedia, maka dapat menyebabkan pertumbuhan, perkembangan serta produksi rumput laut terhambat. Penyerapan unsur hara akan menambah nutrien dan kandungan agar. Unsur utama yang banyak dibutuhkan adalah nitrat dan fosfat (Alamsjah, 2009).

2.6. Peran Makroalga Bagi Manusia

Makroalga merupakan salah satu komoditas perikanan yang penting di Indonesia. Indonesia menduduki posisi penting dalam produksi makroalga di dunia. Produksi makroalga Indonesia mengalami peningkatan tiap tahun. Pada tahun 2008 produksi makroalga sebesar 2,2 juta ton dan mengalami peningkatan mencapai 2,5 juta ton pada tahun 2009. Pada tahun 2014 produksi makroalga Indonesia diperkirakan mencapai 10 juta ton. Angka ini masih rendah karena potensi budidaya makroalga Indonesia mencapai 29 juta ton/tahun, yaitu 17 juta ton/tahun budidaya makroalga di laut/daerah pasang surut dan 12 juta ton/tahun budi daya di tambak (Kordi, 2011).

Makroalga merupakan salah satu sumber kekayaan laut di Indonesia yang tumbuh dan menyebar hampir di seluruh wilayah perairan Indonesia. Diperkirakan sepanjang garis pantai sekitar 81.000 km diyakini memiliki potensi makroalga yang sangat tinggi. Dari segi ekonomis rumput laut merupakan komoditi yang potensial untuk dikembangkan mengingat nilai gizi yang dikandungnya. Menurut kandungan zat yang terdapat pada rumput, maka rumput laut dapat dijadikan bahan makanan seperti agar-agar, sayuran, kue dan menghasilkan bahan algin, karaginan dan furcelaran yang digunakan dalam industry farmasi, kosmetik, tektil dan lain-lain (Miarni, 2004).

Khusus mengenai vegetasi makroalga di perairan laut, umumnya merupakan komponen dari ekosistem terumbu karang. Keberadaanya sebagai


(29)

organisme produsen memberikan sumbangan berarti bagi kehidupan binatang akuatik terutama herbivor di laut. Dari segi ekologisnya makroalga ini berfungsi juga sebagai penyedia karbonat dan pengokoh substrat dasar pada perairan yang sangat bermanfaat bagi stabilitas dan kelanjutan keberadaan terumbu karang di dalam perairan tersebut . Selain itu bermanfaat sebagai penunjang kebutuhan hidup manusia sebagai bahan pangan dan industri (Atmadja, 1999).

Makroalga merupakan salah satu sumberdaya hayati dari perairan yang sangat potensial untuk dikembangkan dan telah tersebar di wilayah perairan nusantara terutama di daerah pesisir intertidal dan pulau-pulau karang. Sumber daya ekonomi kelautan terdiri dari sumber daya hayati (terutama perikanan, rumput laut, dan mutiara); dan sumber daya non hayati, seperti pertambangan, perhubungan laut, industri maritim, dan pariwisata bahari (Ismail, 2009).

Jenis-jenis makroalga menjadi penting secara ekonomi disebabkan oleh senyawa polisakarida yang dikandungnya. Jenis-jenis yang biasanya mudah ditemukan di perairan Indonesia adalah marga Eucheuma dan Hypnea

(penghasil karaginan), Gracilaria dan Gelidium (penghasil agar), serta

Sargassum dan Turbinaria (penghasil alginat). Penghasil karaginan (karaginofit) dan penghasil agar (agarofit) masuk kedalam kelas Rhodophyceae atau alga merah, sedangkan penghasil alginat (alginofit) berasal dari kelas Phaeophyceae.

Indonesia merupakan penghasil agar-agar yang berasal dari genus Gracilaria,

Gelidium, Pterocladia, Acanthopeltis dan ceramium. Kini Indonesia menjadi negara dengan kapasitas terbesar di dunia (Kordi, 2010).

Kandungan bahan-bahan organik yang terdapat dalam makroalga merupakan sumber mineral dan vitamin dalam pembutan agar-agar, salad rumput laut maupun agarose. Agarose merupakan salah satu jenis agar yang telah digunakan dalam percobaan dan penelitian dibidang bioteknologi dan mikrobiologi. Potensi makroalga sebagai sumber makanan (terutama rumput laut), di Indonesia telah dimanfaatkan secara komersial dan secara intensif telah dibudidayakan terutama dengan teknik polikultur (kombinasi ikan dan rumput laut) (Bachtiar, 2007).


(30)

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2013 di Perairan Pantai Bunda, Pantai Fodo Indah dan Pantai Laowömaru Desa Fodo Kota Gunungsitoli. 3.2.Deskripsi Area

Perairan Desa Fodo memiliki garis pantai sepanjang ± 2 km. pada lokasi penelitian ini banyak ditemukan substrat terumbu karang, batuan dan pasir, Pengambilan sampel dilakukan pada 3 (tiga) stasiun, yaitu:

3.2.1. Stasiun 1

Stasiun ini merupakan daerah pariwisata. Secara geografis terletak pada

01°14’57,8” LU dan 97°38’45,2” BT. Substrat yang terdapat pada lokasi ini

adalah batuan karang, karang hidup, karang mati dan pasir (Gambar 1).


(31)

3.2.2.Stasiun 2

Stasiun ini merupakan daerah tempat pemukiman penduduk dan aktivitas nelayan. Secara geografis terletak pada 01° 14’53,9” LU dan 97° 38’ 46,6” BT. Substrat yang terdapat pada lokasi ini adalah batu dan pasir (Gambar 2).

Gambar 2. Pantai Fodo Indah ( Stasiun 2) 3.2.3.Stasiun 3

Stasiun ini merupakan daerah pariwisata. Secara geografis terletak pada

01°14’41,3” LU dan 97°38’56,9” BT. Substrat yang terdapat pada lokasi ini

adalah batu karang, karang mati dan pasir (Gambar 3).


(32)

3.3.Metode Penelitian

Penentuan stasiun didasarkan pada karakteristik pantai. Pengambilan

sampel dilakukan dengan menggunakan metode ”Transek kuadrat”. Sampel diambil pada saat surut, berdasarkan kedalaman 0 m - 1 m. Pengukuran kedalaman dimulai dari garis pantai pada saat surut.

3.4. Identifikasi Jenis Makroalga

Pengidentifikasian makroalga dilakukan dengan menarik garis transek tegak lurus garis pantai sepanjang 50 m (sampai kedalaman 1 m). Jumlah transek pada tiap stasiun sebanyak 5 buah dengan jarak antar transek 30 m. Pada tiap transek dibuat plot ukuran 1 m x 1 m (metode kuadrat) sebanyak 5 buah, dengan jarak antar plot 10 m (jumlah plot pada tiap stasiun adalah 25 plot). Diamati makroalga yang terdapat pada setiap plot dan diidentifikasi dengan menggunakan buku acuan menurut Sterrer (1986) dan Direktorat Jendral Perikanan Budidaya (2009). Diambil juga sampel makroalga yang mewakili setiap stasiun dan diawetkan menggunakan alkohol 70 % sebagai sampel herbarium.

3.5. Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan

Pengukuran faktor fisik kimia perairan yang mencakup parameter, alat & bahan, satuan dan metode kerja dapat dilihat pada Tabel 1:

Tabel 1. Parameter, Alat & Bahan, Satuan dan Metode Kerja yang digunakan

No. Parameter Alat dan bahan

Satuan Metode Kerja

1. Suhu Termometer Hg

oC Diambil air dan diukur dengan menggunakan termometer yang dimasukkan ke dalam air selama ± 10 menit kemudian dibaca skalanya.

2. Salinitas Refraktometer o/

oo Diambil setetes air sampel lalu ditetesi refraktometer dan dibaca skala salinitasnya. 3. Intensitas

cahaya

Lux meter Candela diukur intensitas cahaya dengan cara meletakkan lux meter ke arah cahaya, kemudian dibaca skala angka yang tertera pada alat tersebut.

4. Penetrasi cahaya

Keping sechi m keping sechii dimasukkan ke dalam air sampai terlihat samar, kemudian diukur


(33)

5. Derajat keasaman

pH meter - dimasukkan pH meter ke dalam air yang diambil sampai terlihat skala angka yang konstan pada alat dan dibaca angka yang tertera pada pH meter tersebut.

6. Oksigen terlarut

Botol winkler, MnSO4, KOH KI, H2SO4, Na2S2O3 0,00125N, amilum

mg/L Air diambil dan dimasukkan ke dalam botol Winkler kemudian dilakukan pengukuran oksigen terlarut dan dititrasi dengan metoda winkler.

7. BOD5 Botol winkler, MnSO4, KOH KI, H2SO4, Na2S2O3 0,00125 N, amilum

mg/L Air yang diambil dan dimasukkan ke dalam botol putih dalam kondisi tidak ada

gelembung udara. Diinkubasi selama 5 hari pada suhu 200C. Dihitung nilai BOD dengan cara sama seperti pada pengukuran Oksigen (DO). Kadar BOD5 dihitung dengan mengurangkan DO awal dengan DO akhir. 8. Kejenuhan

Oksigen

Botol winkler, MnSO4, KOH KI, H2SO4, Na2S2O3 0,00125 N, amilum

% Diukur dengan metode winkler dan melihat tabel kejenuhan oksigen yang dihitung dengan melihat konsentrasi oksigen yang diukur. Menggunakan rumus:

Kejenuhan = ₂ [ ]

₂ [ ] x 100% Keterangan:

O2 (u) = nilai konsentrasi oksigen yang diukur (mg/L)

O2 (u) = nilai konsentrasi oksigen sebenarnya sesuai dengan besarnya suhu.

3.6Analisis data

Data yang didapat dari lapangan selanjutnya akan di analisa menggunakan rumus menurut Fachrul (2007) sebagai berikut:

a. Kerapatan Jenis Makroalga (K)

K = ��

dengan:

Ki = Kerapatan jenis ke-i

ni = Jumlah total individu dari jenis ke-i A = Luas areal total pengambilan sampel (m2)


(34)

b. Kerapatan Relatif Jenis Makroalga (KR)

KR = �

∑ X 100 %

dengan:

KR = Kerapatan relatif ni = Jumlah individu ke-i

∑ n = Jumlah individu seluruh jenis c. Frekuensi makroalga (Fi)

Fi = Pi Ʃp dengan:

Fi = Frekuensi jenis ke-i

Pi = Jumlah petak sampel tempat ditemukan jenis ke-i ∑ P = Jumlah total petak sampel yang diamati

d. Frekuensi Kehadiran Makroalga (FK) FK = Pi X 100 %

Ʃp dengan:

FK = Frekuensi Kehadiran

Pi = Jumlah plot ditemukan jenis ke-i

∑p = Jumlah total plot

FK : 0-25% : sangat jarang 25%-50% : jarang

50%-75% : banyak

75%-100% : sangat banyak

Jika nilai FK >50% maka kehadiran makroalga besar dan jika nilai FK <50 %, maka kehadiran makroalga kecil.

e. Frekuensi Relatif (FR) FR = �

∑ X 100 %

dengan :

FR = Frekuensi Relatif Fi = Frekuensi jenis ke-i


(35)

f. Indeks Keanekaragaman Jenis Shannon-Wiener: S

H’ = - ∑ ( pi (ln pi); pi = ni/N i=1

dengan:

H’ = Index keanekaragaman jenis ni = Jumlah individu jenis yang diamati pi = Proporsi jumlah individu jenis ke-i N = Jumlah total individu

S = Jumlah jenis

Jika nilai H’< 1 Maka keanekaragaman jenis pada suatu transek sedikit atau

rendah, jika 1< H’< 3 maka keanekaragaman jenis pada suatu transek sedang dan

bila H’ > 3 maka keanekaragaman jenis tinggi.

g. Indeks Keseragaman (E)

E = H’ H maks dengan:

H’ = Indeks Keanekaragaman Jenis

Hmaks = Indeks Keanekaragaman maksimum

Nilai indeks keseragaman (E) berkisar antara 0 – 1. Bila mendekati 0, ada satu spesies yang mendominasi. Nilai E mendekati 1 sebaran individu tiap jenis merata.

h.Indeks Similaritas (IS)

IS= 2c x 100%

a + b

dengan:

IS = Indeks Similaritas

a = Jumlah spesies pada lokasi A b = Jumlah spesies pada lokasi B


(36)

Bila IS = 75-100% sangat mirip 50-75% mirip

25-50% tidak mirip ≤ 25 sangat tidak mirip i. Penutupan jenis makroalga

P = Luas total penutupan ke-i Luas total pengambilan sampel dengan:

P = Penutupan jenis makroalga j. Penutupan Relatif jenis makroalga

PR = Penutupan jenis ke-i ×100 % Penutupan Seluruh jenis

dengan:

PR = Penutupan Relatif jenis makroalga k. Indeks Nilai Penting (INP)

Indeks nilai penting menggambarkan peran suatu jenis alga terhadap komunitas alga jenis lain, semakin tinggi nilai Indeks nilai penting suatu jenis relatif terhadap jenis lainnya, semakin tinggi peranan jenis pada komunitas tersebut. Rumus yang digunakan untuk menghitung INP adalah:

INP = KR + FR + PR dengan:

INP = Indeks Nilai Penting FK = Frekuensi Kehadiran KR = Kerapatan Relatif PR = Penutupan Relatif l. Analisis Korelasi

Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui keterkaitan hubungan antara Keragaman dengan faktor fisik kimia perairan. Analisis korelasi dihitung menggunakan Analisa Korelasi Pearson dengan metode komputerisasi SPSS Ver.16.00.


(37)

4.1. Faktor Biotik Lingkungan

4.1.1. Makroalga yang ditemukan Pada 3 Stasiun Penelitian

Hasil identifikasi genus dan keberadaan makroalga pada 3 stasiun penelitian dapat dilihat seperti pada Tabel 4.1.1:

Tabel 4.1.1. Makroalga yang ditemukan Pada Tiga Stasiun Penelitian

KELAS ORDO FAMILI GENUS STASIUN

1 2 3 I. Chlorophyceae Cladophorales Cladophoraceae 1.Chaetomorpha + + + II. Rhodophyceae Cryptonemiales Corallinaceae 2. Amphiroa + + + Gelidiales Gelidiaceae 3. Gelidiella - - + 4. Gelidium + - - Gigartinales Gracilariaceae 5. Gracilaria + + +

Solieriaceae 6. Eucheuma + - - Rhodymeniales Rhodymeniaceae 7. Rhodymenia + - - III. Phaeophyceae Dictyotales Dictyotaceae 8. Padina + + +

Fucales Sargassaceae 9. Sargassum - - + 10. Turbinaria - + - Ket: (+) = ditemukan; (-) = tidak ditemukan

Dari Tabel 4.1.1. diketahui bahwa makroalga yang didapat pada seluruh stasiun penelitian adalah 3 kelas yang terdiri dari 7 ordo, 8 famili dan 10 genus. Adapun genus yang ditemukan, diidentifikasi berdasarkan ciri-ciri morfologi seperti bentuk tallus, panjang tallus, warna tallus, percabangan dan tempat melekat makroalga tersebut yaitu:

a. Chaetomorpha

Makroalga ini memiliki tallus yang menyerupai rambut atau benang kusut. Memiliki warna tallus berwarna hijau, banyak ditemukan menempel pada batuan, karang, jaring-jaring dsb. Dalam http://www.iptek.net.id, Chaetomorpha

memiliki tallus silindris menyerupai rambut atau membentuk gumpalan seperti benang kusut dan berwarna hijau. Makroalga ini banyak ditemukan di zona


(38)

pasang surut. Membentuk koloni yang tebal dan sering menutupi perairan. Menempel atau mengaitkan diri pada benda-benda padat seperti sisa tali, jaring atau sisa bangunan di perairan dangkal.

Gambar 4.2 Chaetomorpha b. Amphiroa

Makroalga ini ditemukan melekat pada terumbu karang dan bergerombol, berwarna merah kecoklatan. Tallusnya berukuran 3 cm dan tallusnya bercabang. Dalam http://www.iptek.net.id, Amphiroa merupakan genus makroalga yang berwarna merah dan mempunyai banyak cabang. Tallus berkapur mengandung Ca. Tallus membentuk hamparan setinggi 2-4 cm. Tinggi mencapai 5-10 cm. Tumbuh menempel pada dasar pasir atau menempel pada substrat dasar lainnya di dasar lamun. Persebarannya banyak terdapat di daerah tropis, seperti di Indonesia.


(39)

c. Gelidiella

Makroalga ini ditemukan menempel pada batuan dan karang mati. Memiliki tallus silindris dan bercabang tidak teratur. Warna tallus merah kecoklatan. Menurut Juneidi (2004), Gelidiella merupakan makroalga yang memiliki tallus silindris dengan percabangan tidak teratur. Tallus mempunyai ranting-ranting pendek. Tumbuh pada batu di intertidal atau subtidal. Menurut Sterrer (1986), Gelidiella hidup melekat pada substrat batu-batuan dan karang yang sudah tua/mati.

Gambar 4.3 Gelidiella

d. Gelidium

Makroalga ini memiliki warna merah, ukuran tallus 4 cm, ditemukan melekat pada karang mati, tallus bercabang dan berukuran kecil. Menurut Sterrer (1986), menyatakan bahwa Gelidium memiliki batang utama yang tegak, bercabang tipis, berukuran kecil, hidup soliter atau menyebar. Biasanya ditemukan pada perairan yang dangkal.


(40)

e. Gracilaria

Makroalga ini memiliki tallus berwarna hijau, tallusnya seperti agar, ditemukan menempel pada batuan karang, karang mati dan karang hidup. Tallus berbentuk silindris, licin. percabangan tidak teratur. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (2009), Genus Gracilaria mempunyai ciri-ciri tallus yang bulat dengan permukaan licin, bersegmen-segmen. Membentuk rumpun yang lebat dan tumbuh melebar, percabangan timbul pada setiap antar buku. Memiliki warna hijau hingga kekuning-kuningan, cartiginous.

Gambar 4.4 Gracilaria

f. Eucheuma

Makroalga ini memiliki tallus yang licin, berwarna coklat kemerahan, percabangan tidak teratur, terdapat tonjolan di pinggiran tallus, panjang tallus ± 6 cm. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (2009), Eucheuma

merupakan makroalga yang memiliki tallus silindris, permukaan licin,

cartiginous, memiliki warna coklat tua. Percabangan berlawanan arah, cabang tumbuh dari ruas tallus tetapi agak pendek dan mudah melekat pada substrat.


(41)

g. Rhodymenia

Makroalga ini memiliki tallus yang seperti lembaran, warna coklat kemerahan, tallus licin, halus, percabangan dichotomus, ditemukan melekat pada karang mati. Dalam http://www.iptek.net.id, Rhodymenia merupakan makroalga yang memiliki tallus membentuk lembaran, licin, halus, warna merah pirang. Pangkal batang utama tumbuh percabangan dichotomous atau trichotomous. Ujung lembaran urnumnya dichotom dengan pinggiran rata atau sedikit bergerigi. Biasanya makroalga ini tumbuh di rataan terumbu karang, yang terkena ombak.

Gambar 4.7 Rhodymenia

h. Padina

Makroalga ini memiliki tallus menyerupai lembaran kipas, tipis, berwarna hijau kekuningan, ditemukan melekat pada batuan, karang, batang pohon dan pasir. Dalam http://www.iptek.net.id, Padina memiliki ciri-ciri umum, yaitu tallusnya seperti kipas yang membentuk segmen-segmen lembaran tipis (lobus) dengan garis-garis berambut radial dan mengandung kapur di bagian permukaan daun. Warna tallus coklat kekuningan atau kadang memutih karena mengandung kapur. Padina biasanya ditemui meluas daerah rataan terumbu karang.


(42)

i. Sargassum

Makroalga ini memiliki tallus gepeng, licin, pinggirannya bergerigi. Memiliki batang utama silindris. Percabangan tallus dichotomous, panjang talus 2 cm, tinggi rumpun tallus 20-35 cm. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (2009), Sargassum memiliki tallus yang licin, agak gepeng, batang utama bulat agak kasar dan memiliki holdfast. Cabang pertama muncul pada bagian pangkal. Percabangan berselang-seling, pinggir daun bergerigi jarang, berombak dan ujung melengkung atau meruncing,

Gambar 4.9 Sargassum

j. Turbinaria

Makroalga ini memiliki batang utama yang silindris, tegak, kasar. Memiliki holdfast seperti cakram. Tallus berwarna hijau kecoklatan, kaku. Ditemukan melekat pada karang. Dalam Sterrer (1986), menyatakan bahwa

Turbinaria merupakan genus makroalga yang memiliki tinggi ± 15 cm, berwarna kecoklatan, memiliki holdfast untuk melekat pada batu-batuan. Tallus tegak dan bercabang.

Gambar 4.20 Turbinaria

Dari Tabel 4.1.1 dapat dilihat beberapa genus yang dapat ditemukan pada ketiga stasiun, yaitu: Chaetomorpha, Amphiroa, Gracilaria dan Padina. Keempat


(43)

genus ini merupakan genus makroalga yang dapat tumbuh meluas pada kondisi perairan yang memiliki substrat karang mati, batuan dan pasir. Genus

Chaetomorpha, Amphiroa, Gracilaria dan Padina merupakan genus makroalga yang dapat dijumpai di zona pasang surut bagian tengah hingga subtidal dan menempel pada batu karang atau pecahan karang mati dan tersebar meluas (http://www.iptek.net.id).

Menurut Connaughay dan Zatholi (1983), penyebaran makroalga dibatasi oleh daerah litoral dan sublitoral dimana masih terdapat sinar matahari yang cukup untuk dapat berlangsungnya proses fotosintesis. Menurut Kadi (2004), menyatakan bahwa penurunan produksi alami oleh pengaruh penyimpangan musim yang berakibat buruk tehadap pertumbuhan makroalga sebagai akibat dari faktor hidrologi yang tidak sesuai, sehingga pertumbuhan akan kerdil atau mati. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup juga ditunjang oleh kestabilan substrat sebagai tempat tumbuh, yakni pengaruh aktivitas manusia sehari-hari di atas substrat "reef flats" di daerah terumbu karang yang dapat menimbulkan tekanan terhadap kehadiran dan keanekaragaman makroalga.

Dari hasil penelitian memperlihatkan bahwa makroalga banyak ditemukan pada stasiun 1 yaitu sebanyak 7 genus. Makroalga yang paling sedikit ditemukan pada stasiun 2 yaitu sebanyak 5 genus. Tingginya genus makroalga yang ditemukan pada stasiun 1 berhubungan dengan faktor fisik kimia perairan. Menurut Connel (1974) dalam Kadi (2008), menyatakan suatu lingkungan perairan dalam kondisi stabil akan menunjukan jumlah individu yang seimbang dari semua spesies yang ada, sebaliknya suatu lingkungan perairan yang berubah-ubah akan menyebabkan penyebaran jenis rendah dan cenderung ada individu yang dominan.

Menurut Suin (2002), menyatakan bahwa tingkat kekeruhan air pada suatu perairan akan mengakibatkan penyebaran organisme tumbuhan hijau seperti makroalga tidak begitu dalam, karena mengganggu jalannya proses fotosintesis. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (2009), menyatakan bahwa kecerahan pada suatu perairan sangat berhubungan erat dengan keberadaan makroalga. Kecerahan perairan yang ideal lebih dari 1 m. Air yang keruh


(44)

biasanya mengandung lumpur dan dapat menghalangi tembusnya cahaya matahari di dalam air sehingga proses fotosintesis makroalga terganggu.

4.1.2. Kerapatan Jenis Makroalga (K), Kepadatan Relatif (KR) dan Frekuensi Kehadiran (FK) Makroalga Pada 3 Stasiun Penelitian Hasil perhitungan dari jumlah makroalga pada masing-masing stasiun penelitian didapatkan nilai Kerapatan (K), Kepadatan Relatif (KR) dan Frekuensi Kehadiran (FR), seperti terlihat pada Tabel 4.1.2. berikut:

Tabel 4.1.2. Kerapatan Jenis Makroalga (ind/m2

), Kerapatan Relatif (%) dan Frekuensi Kehadiran (%) Makroalga pada 3 Stasiun Penelitian

T

TAAKKSSAA

S

STTAASSIIUUNN11 SSTTAASSIIUUNN22 SSTTAASSIIUUNN33

K KR FFKK FR K KR FFKK FR K KR FFKK FFRR

Chaetomorpha 2,9 18,9 40 11,8 1,3 10,0 20 10 3,3 6,5 80 18,2

Amphiroa 2,2 14,2 80 23,5 3,8 28,9 40 20 10,4 20,5 60 13,6

Padina 1,3 8,3 40 11,8 7,6 58,1 100 50 16 31,5 100 22,7

Gelidium 1,4 8,8 20 5,9 - - - -

Gelidiella - - - 1 1,9 20 4,5

Gracilaria 6,2 40,2 80 23,5 0,4 2,7 20 10 18 35,5 100 22,7

Rhodymenia 1,4 9,3 60 17,7 - - - -

Sargassum - - - 2 4 60 13,6

Turbinaria - - - - 0,04 0,3 20 10 - - - -

Eucheuma 0,04 0,26 20 5.88 - - - -

Jumlah 15,4 100 100 13,2 100 100 50,8 100 100

Keterangan: K = Kerapatan Jenis Makroalga; KR = Kerapatan Relatif; FK = Frekuensi Kehadiran Dari Tabel 4.1.2 terlihat bahwa genus yang memiliki nilai K, KR dan FK tertinggi diantara seluruh genus adalah genus Gracilaria, dimana genus ini ditemukan pada stasiun 1 dan 3 dengan nilai yang tertinggi dibanding dengan genus lainnya dari tiap stasiun. Pada stasiun 1 keberadaannya sebanyak 6,2 ind/m² (K), 40,2 % (KR) dan 80% (FK). Pada stasiun 3 keberadaannya sebanyak 18 ind/m2 (K), 35,5 % (KR) dan 100 % (FK). Pada stasiun 1 dan 3 substrat yang paling mendominasi adalah karang dan batuan. Menurut Anggadiredja, dkk (2009), Gracilaria dapat tumbuh pada daerah rataan terumbu karang. Hoyle (1973) dalam Atmadja, dkk. (1996) menyatakan bahwa makroalga

Gracilaria merupakan tumbuhan air yang mempunyai toleransi terhadap perubahan kondisi lingkungan.

Pada stasiun 2 dapat dilihat bahwa nilai K, KR dan FK tertinggi pada genus Padina, yaitu sebanyak 7,6 ind/m² (K), 58,1 % (KR) dan 69,5% (FR). Daerah ini memiliki substrat yang batuan dan pasir. Menurut Romimohtarto dan


(45)

Juwana (2001), daerah yang sesuai sebagai tempat melekatnya Padina adalah pada batu dan pasir dengan menggunakan cakram pipih.

Pada stasiun 1, ditemui genus yang tidak ditemui pada stasiun lain yaitu

Gelidium, Rhodymenia dan Eucheuma. Stasiun ini memiliki kedalaman yang dangkal dengan adanya substrat batuan karang, karang hidup, karang mati dan pasir yang sesuai dengan keberadaan keempat genus makroalga tersebut. Menurut Sterrer (1986), menyatakan bahwa Gelidium, Rhodymenia dan Eucheuma

merupakan makroalga yang hidupnya biasa ditemukan pada perairan yang dangkal, hidupnya terlindungi dan ditemukan pada daerah rataan terumbu karang.

Pada stasiun 2, genus yang tidak terdapat pada stasiun yang lain yaitu

Turbinaria . Stasiun ini memiliki substrat batu dan pasir yang sesuai dengan kebutuhan makroalga ini. Menurut Sterrer (1986), menyatakan bahwa Turbinaria

hidup melekat pada batuan karang.

Pada stasiun 3, genus yang tidak terdapat pada stasiun lainnya yaitu

Gelidiella dan Sargassum. Stasiun ini memiliki substrat batu-batuan karang, karang mati dan pasir yang sesuai dengan kebutuhan hidup Gelidiella dan

Sargassum. Menurut Sterrer (1986), menyatakan bahwa Gelidiella dan

Sargassum merupakan makroalga yang hidup melekat pada batuan karang dan karang mati/tua.

Menurut Soegiarto (1977) dalam Kadi (2004), kehadiran makroalga di perairan Indonesia banyak dijumpai di perairan pantai yang mempunyai paparan terumbu. Distribusi dan kepadatannya tergantung pada tipe dasar perairan, kondisi hidrografis musim dan kompetisi jenis. Menurut Mubarak (1990), sifat fisika kimia dan substratnya seperti tingkat kekerasan dan kehalusan dari substrat tersebut, memegang peranan penting dalam penyebaran makroalga. Menurut Kadi (2004), menyatakan bahwa sebaran makroalga diberbagai perairan Indonesia mempunyai habitat yang berbeda-beda yakni substrat berlumpur, pasir kasar, batu dan karang. Marga Caulerpa, Gracilaria, Eucheuma dan Acanthophora, tumbuh di seluruh perairan pantai di Indonesia dengan banyak jenis substrat. Substrat batu karang dapat dijumpai pada pulau-pulau yang mempunyai arus deras dan ombak besar dan berfungsi secara tidak langsung untuk menahan erosi pantai. Makroalga yang tumbuh dengan cara


(46)

melekat menggunakan holfast berbentuk cakram, kebanyakan berada di daerah tubir, dari marga Gelidium, Gelidiopsis, Gelidiella, Hypnea, Laurecia, Hormophysa, Turbinaria dan Sargassum.

4.1.3. Penutupan Jenis Makroalga (P), Penutupan Relatif (PR) dan Indeks Nilai Penting (INP) Makroalga

Hasil perhitungan dari penutupan makroalga (P), Penutupan Relatif (PR) dan Indeks Nilai Penting (INP) pada setiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 4.1.3. berikut:

Tabel. 4.1.3. Penutupan Jenis Makroalga (cm2), Penutupan Relatif (%) dan Indeks Nilai Penting Makroalga pada Stasiun

T TAAKKSSAA

S

STTAASSIIUUNN 11 STSTAASSIIUUNN 22 STSTAASSIIUUNN 33

P PR ININPP P PR ININPP P PR ININPP

Chaetomorpha 16 10,16 40,84 6,52 9,06 29,09 27,88 1,75 26,47

Amphiroa 23 14,61 52,38 17,92 24,90 73,78 92,08 5,79 39,91

Padina 5,4 3,43 23,48 42,2 58,64 166,70 459,76 28,89 83,14

Gelidium 12,6 8,00 22,69 - - - -

Gelidiella - - - 9,2 0,58 7,01

Gracilaria 81,36 51,66 115,35 5,08 7,06 19,80 775,52 48,73 107

Rhodymenia 19 12,07 39,04 - - - -

Sargassum - - - 227 14,26 31,92

Turbinaria - - - 0,24 0,33 10,64 - - -

Eucheuma 0,12 0,08 6,22 - - - -

Jumlah 157,48 100 300 71,96 100 300 1591,44 100 300 Keterangan: P = Penutupan Jenis Makroalga; PR = Penutupan Relatif; INP = Indeks Nilai Penting

Dari Tabel 4.1.3 dapat dilihat dilihat bahwa genus yang memiliki nilai penutupan tertinggi pada ketiga stasiun genus Gracilaria dengan nilai 81,36 cm² pada stasiun 1 dan 775,52 cm² pada staiun 3. Genus dengan nilai luasan terendah adalah

Eucheuma dengan nilai 0,12 cm² dan terdapat pada stasiun 1. Pada stasiun 1 dan 3 merupakan daerah yang memiliki kondisi yang sesuai dengan keberadaan genus

Gracilaria dengan tingkat salinitas yang tinggi dan pada stasiun 1 merupakan lokasi yang sesuai dengan kebutuhan genus Eucheuma dengan suhu yang cukup sesuai dengan keberadaan Eucheuma.

Menurut Kordi (2011), Gracilaria merupakan makroalga yang mampu hidup pada kondisi lingkungan yang lingkungan yang luas daripada Eucheuma.


(47)

pada lingkungan yang airnya stagnan hingga gerakan air yang sedang. Salinitas perairan yang cocok untuk genus ini antara 15-34 ppt. Oleh karena itu, Gracilaria

dapat dibudidayakan di laut dan di tambak. Pada stasiun 1 suhunya lebih rendah yaitu 30°C dibandingkan dengan stasiun lainnya dan lebih sesuai dengan keberadaan Eucheuma. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (2009), suhu yang sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan Eucheuma

berkisar antara 20-28°C.

4.1.4. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E)

Indeks keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) pada masing

-masing stasiun dapat dilihat pada Tabel 4.1.4 berikut:

Tabel. 4.1.4. Nilai H’ (Indeks Diversitas Shannon-Wiener) dan E (Indeks Equitabilitas) yang diperoleh pada Stasiun Penelitian

H' E

Stasiun 1 1,470 0,755

Stasiun 2 1,018 0,632

Stasiun 3 1,437 0,802

Dari Tabel 4.2.4 dapat dilihat bahwa nilai indeks keanekaragaman tertinggi pada stasiun 1 dengan nilai 1,470 dan nilai indeks keanekaragaman terendah terdapat pada stasiun 2 dengan nilai 1,018. Indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun 3 dengan nilai 0,802 dan nilai indeks keseragaman terendah terdapat pada stasiun 2 dengan nilai 0,632. Hal ini menunjukkan bahwa pada stasiun 1 merupakan daerah yang sesuai dengan keberadaan makroalga, dilihat dari kondisi perairannya yang bersih dan faktor fisik kimia perairannya yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan makroalga. Sedangkan pada stasiun 2 kondisi faktor fisik kimia perairannya tidak cukup sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan makroalga.

Menurut Odum (1994), menyatakan bahwa keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh pembagian atau penyebaran individu dalam tiap jenisnya, karena suatu komunitas walaupun banyak jenisnya tetapi bila penyebaran individunya tidak merata maka keanekaragaman jenis dinilai rendah. Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) adalah suatu indeks keanekaragaman biota pada suatu


(48)

daerah, bila nilainya semakin tinggi, maka semakin tinggi tingkat keanekaragamannya dan begitu juga sebaliknya.

Menurut Barus (2004), keanekaragaman tergantung pada jumlah jenis yang ada dalam suatu komunitas dan pola penyebaran individu antar jenis suatu komunitas dinyatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi apabila ternyata banyak spesies yang relatif merata. Dengan kata lain apabila suatu komunitas hanya terdiri dari sedikit spesies dengan jumlah individu yang tidak merata maka komunitas tersebut mempunyai keanekaragaman yang rendah.

Menurut Krebs (1985), apabila indeks keseragaman mendekati 0 maka semakin kecil keseragaman suatu populasi dan penyebaran individu setiap genus tidak sama, serta ada kecenderungan suatu genus mendominasi pada populasi tersebut. Sebaliknya semakin mendekati nilai 1 maka populasi menunjukkan keseragaman jumlah individunya merata. Menurut Suin (2002), menyatakan bahwa penyebaran organisme yang tidak merata pada suatu perairan dapat disebabkan adanya perbedaan suhu, kadar oksigen, intensitas cahaya dan faktor abiotik lainnya.

4.1.5. Nilai IS (Indeks Similaritas)

Indeks Similaritas (IS) antara stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel di 4.1.5 berikut:

Tabel 4.1.5 Nilai IS (Indeks Similaritas) Pada 3 Stasiun Penelitian

IS Stasiun

1 2 3

Stasiun 1 - 67 % 62 %

Stasiun 2 - - 73%

Stasiun 3 - - -

Dari Tabel 4.1.5 di atas dapat dilihat bahwa Indeks Similaritas (IS) yang diperoleh pada stasiun penelitian tergolong mirip berkisar 62% - 73%. Nilai Indeks Similaritas tertinggi yaitu antara stasiun 2 dan 3 dengan nilai 73 %, sedangkan nilai indeks similaritas terendah yaitu antara stasiun 1 dan 3. Hal ini menunjukan bahwa pada genus yang ditemukan stasiun 2 dan 3 tergolong mirip jika dibandingkan dengan genus makroalga yang ditemukan pada stasiun 1 dan 3. Tingkat kemiripan antar stasiun ini dapat dipengaruhi oleh faktor fisik kimia dari ketiga stasiun.


(49)

Menurut Krebs (1985), Indeks Similaritas digunakan untuk mengetahui seberapa besar kesamaan organisme yang hidup di beberapa tempat yang berbeda. Apabila semakin besar indeks similaritasnya, maka jenis organisme yang sama pada stasiun yang berbeda akan semakin banyak. Selanjutnya dijelaskan bahwa kesamaan organisme antara dua lokasi yang dibandingkan sangat dipengaruhi oleh kondisi faktor lingkungan yang terdapat pada daerah tersebut.

4.2. Faktor Abiotik Lingkungan

Hasil pengukuran faktor fisik kimia lingkungan yang diperoleh pada setiap stasiun penelitian, seperti terlihat pada Tabel 4.2 berikut:

Tabel 4.2. Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan pada Masing-masing Stasiun Penelitian

No. Parameter Satuan Stasiun

1 2 3

1. Suhu ◦C 30 32 32

2. pH 7.9 7.8 8.2

3. Salinitas ‰ 35 34 35

4. Intensitas Cahaya Candella 474 x 200.000 448 x 200.000 729 x 200.000 5. Penetrasi cahaya M 0.93 0.83 0.37 6. Kejenuhan Oksigen % 90,3 68,3 68,3 7. Kelarutan Oksigen (DO) mg/L 6.8 5 5

8. BOD5 mg/L 1 1 1.2

9. Kadar Nitrat mg/L 0,324 0,361 0,352 10. Kadar Posfat mg/L 0,122 0,115 0,129

11. Substrat

batuan karang, karang hidup, karang mati dan

pasir Batu dan pasir

Batu, pasir dan karang mati Keterangan:

Stasiun 1 : Pantai Bunda (daerah pariwisata)

Stasiun 2 : Pantai Fodo Indah (daerah pemukiman penduduk dan nelayan) Stasiun 3 : Pantai Laowömaru (pariwisata)

4.2.1. Suhu

Penelitian yang telah dilakukan diperoleh nilai suhu perairan yang diperoleh berkisar 30°C-32°C. Suhu tertinggi pada stasiun 2 dan 3 dengan nilai 32°C. Suhu terendah pada stasiun 1 dengan nilai 30°C. Tingginya suhu pada stasiun 2 dan 3 dipengaruhi oleh letak pepohonan yang berada jauh dari kedua stasiun tersebut sehingga dapat meningkatkan suhu pada perairan tersebut. Semakin jauh perairan dari komunitas vegetasi, maka semakin tinggi suhu pada suatu perairan.

Menurut Barus (2004), menyatakan bahwa pola temparatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran


(50)

panas antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi yang menyebabkan hilangnya perlindungan, sehingga badan air terkena cahaya matahari secara langsung dan meningkatkan suhu pada suatu perairan

4.2.2. Intensitas Cahaya dan Penetrasi Cahaya

Penelitian yang telah dilakukan diperoleh nilai intensitas cahaya dengan nilai tertinggi pada stasiun 3 dengan nilai 729 x 200.000 candela, nilai intensitas cahaya terendah pada stasiun 2 dengan nilai 448 x 200.000 candela. Penetrasi cahaya tertinggi diperoleh pada stasiun 1 dengan nilai 0,93 m, sedangkan nilai penetrasi cahaya terendah pada stasiun 3 dengan nilai 0,37 m. Tingginya nilai penetrasi cahaya pada stasiun 1 dengan intensitas cahaya yang tidak terlalu tinggi dibanding dengan stasiun yang lain disebabkan oleh kejernihan airnya yang tidak keruh serta kedalaman yang dangkal akibat keberadaan terumbu karang di daerah ini. Pada stasiun 3 daerah ini perairannya keruh dan kedalamannya lebih dalam karena terumbu karang tidak mendominasi dan mengakibatkan penetrasi cahayanya lebih rendah meskipun intensitas cahaya pada lokasi ini paling tinggi.

Menurut Suin (2002), menyatakan bahwa penetrasi cahaya akan berkurang jika kondisi perairannya keruh. Nybakken (1992) bahwa kedalaman yang lebih dangkal mengakibatkan cahaya matahari yang masuk ke perairan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang memiliki kedalaman yang cukup dalam. Menurut Sastrawijaya (2001), cahaya matahari tidak dapat menembus dasar perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau zat terlarut tinggi. Berkurangnya cahaya matahari yang masuk pada suatu perairan disebabkan karena banyaknya faktor, antara lain adanya bahan yang tidak larut seperti debu, tanah liat maupun mikroorganisme air yang mengakibatkan air menjadi keruh.

4.2.3. pH

Penelitian yang telah dilakukan diperoleh nilai pH air berkisar 7,8 – 8,2. pH air tertinggi pada stasiun 3 dengan nilai 8,2, sedangkan nilai pH air terendah pada stasiun 2 dengan nilai 7,8. Tingginya pH air pada stasiun 3 dapat disebabkan oleh


(1)

6

. Tabel Kelarutan O2

T˚C 0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9

0 14,6 14,12 14,08 14,04 14,00 13,97 13,93 13,89 13,85 13,81 1 13,77 13,74 13,70 13,66 13,63 13,59 13,55 13,51 13,48 13,44 2 13,40 13,37 13,33 13,30 13,26 13,22 13,19 13,15 13,12 13,08 3 13,05 13,01 12,98 12,94 12,91 12,87 12,84 12,81 12,77 12,74 4 12,70 12,67 12,64 12,60 12,57 12,54 12,51 12,47 12,44 12,41 5 12,37 12,34 12,31 12,28 12,25 12,22 12,18 12,15 12,12 12,09 6 12,06 12,03 12,00 11,97 11,94 11,91 11,88 11,85 11,82 11,79 7 11,76 11,73 11,70 11,67 11,64 11,61 11,58 11,55 11,52 11,50 8 11,47 11,44 11,41 11,38 11,36 11,33 11,30 11,27 11,25 11,22 9 11,19 11,16 11,14 11,11 11,08 11,06 11,03 11,00 10,98 10,95 10 10,92 10,90 10,87 10,85 10,82 10,80 10,77 10,75 10,72 10,70 11 10,67 10,65 10,62 10,60 10,57 10,55 10,53 10,50 10,48 10,45 12 10,43 10,40 10,38 10,36 10,34 10,31 10,29 10,27 10,24 10,22 13 10,20 10,17 10,15 10,13 10,11 10,09 10,06 10,04 10,02 10,00 14 9,98 9,95 9,93 9,91 9,89 9,87 9,85 9,83 9,81 9,78 15 9,76 9,74 9,72 9,70 9,68 9,66 9,64 9,62 9,60 9,58 16 9,56 9,54 9,52 9,50 9,48 9,46 9,45 9,43 9,41 9,39 17 9,37 9,35 9,33 9,31 9,30 9,28 9,26 9,24 9,22 9,20 18 9,18 9,18 9,15 9,13 9,12 9,10 9,08 9,06 9,04 9,03 19 9,01 8,99 8,98 8,96 8,94 8,93 8,91 8,89 8,88 8,86 20 8,84 8,83 8,81 8,79 8,78 8,76 8,75 58,73 8,71 8,70 21 8,68 8,67 8,65 8,64 8,62 8,61 8,59 8,58 8,56 8,55 22 8,53 8,52 8,50 8,49 8,47 8,46 8,44 8,43 8,41 8,40 23 8,38 8,37 8,36 8,34 8,33 8,32 8,30 8,29 8,27 8,26 24 8,25 8,23 8,22 8,21 8,19 8,18 8,17 8,15 8,14 8,13 25 8,11 8,10 8,09 8,07 8,06 8,05 8,04 8,02 8,01 8,00 26 7,99 7,97 7,96 7,95 7,94 7,92 7,91 7,90 7,89 7,88 27 7,86 7,85 7,84 7,83 7,82 7,81 7,79 7,78 7,77 7,76 28 7,75 7,74 7,72 7,71 7,70 7,69 7,68 7,67 7,66 7,65 29 7,64 7,62 7,61 7,60 7,59 7,58 7,57 7,56 7,55 7,54 30 7,53 7,52 7,51 7,50 7,48 7,47 7,46 7,45 7,44 7,43


(2)

a. Kerapatan Chaetomorpha pada stasiun 1

K =

� � .

=

= 2,9 ind/m

2

b. Kerapatan Relatif

Chaetomorpha

.

pada stasiun 1

KR =

�ℎ� � ℎ�

x

100 %

=

,

,

x

100%

=

8,91 %

c. Frekuensi Kehadiran

FK =

�ℎ� � ℎ� .

x 100 %

=

x 100 %

= 40 %

d. Indeks keanekaragaman (H’) seluruh

Makroalga pada Stasiun 1

S

H’ =

-

∑ ( pi (ln pi) ) dimana pi = ni/N

i=1

=

ln

+

ln

+

ln

+

ln

+

ln

+

ln

+

ln


(3)

=

,

=

0,755

f. Indeks Similaritas (IS)

100%

x

b

a

2c

IS

IS = 2 x 4 x 100%

7 + 5

= 67 %

g. Penutupan Jenis

Chaetomorpha

P =

�ℎ� � ℎ�

=

=

16

h. Penutupan Relatif

Chaetomorpha

PR

=

�ℎ� � ℎ�

x 100 %

=

,

x 100 %

= 10,16%

i. Indeks Nilai Penting (INP)

Chaetomorpha

INP = KR + FK + PR

= 18,91 % + 11,76 % + 10,16 %

= 40,48 %


(4)

Gambar 4.

Amphiroa

Gambar 5.

Chaetomorpha

Gambar 6.

Eucheuma

Gambar 7.

Gelidiela


(5)

Gambar 10.

Padina

Gambar 11.

Rhodymenia


(6)

Pengukuran Kandungan Oksigen Pengambilan Substrat Pasir