dengan: H’ = Indeks keragamanjenis
ni = Jumlah individu untuk jenis yang diamati pi = Proporsi jumlah individu jenis ke-i
N = Jumlah total individu S = Jumlah jenis
Jika nilai H’ 1, keragaman jenis sedikit atau rendah, jika 1 H’ 3, keragaman jenis sedang dan bila H’ 3 maka keragaman jenis tinggi.
f. Indeks Keseragaman E
E =
max H
H
dimana : H’
= indeks keragamanShannon – Wienner
H max = ln S S = banyaknya spesies
Nilai indeks keseragaman E berkisar antara 0 – 1. Semakin kecil nilai E,
semakin kecil pula keseragaman populasinya artinya penyebaran individu tiap jenis sama. Bila mendekati 0, ada satu spesies yang mendominasi. Nilai E
mendekati 1 sebaran individu tiap jenis merata.
g. Indeks Similaritas IS
IS =
100 X
b a
2c
dimana:
IS = Indeks Similaritas a = Jumlah spesies pada lokasi a
b = Jumlah spesies pada lokasi b c = Jumlah spesies yang sama pada lokasi a dan b
Bila IS = 75 sangat mirip 50 - 75 mirip
25 - 50 tidak mirip ≤ 25 sangat tidak mirip
h. Penutupan Jenis indcm
2
P = Luas total penutupan ke-i Luas total pengambilan sampel
dengan: P = Penutupan
i . Penutupan Relatif Jenis
PR = Penutupan jenis ke-i ×100 Penutupan Seluruh jenis
j. Indeks Nilai Penting INP
Indeks nilai penting menggambarkan peran suatu jenis terhadap komunitas jenis lain, semakin tinggi nilai Indeks nilai penting suatu jenis maka semakin
tinggi peranan jenis tersebut. Rumus yang digunakan untuk menghitung INP adalah:
INP = KR+ FR + PR dengan:
INP = Indeks Nilai Penting KR = Kerapatan Relatif
FR = Frekuensi Relatif PR = Penutupan Relatif
k. Analisis Korelasi
Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui hubungan antara keragaman alga hijau dan alga coklat dengan faktor fisik kimia perairan di Pantai Gamo Desa
Sisarahili Gamo Kota Gunungsitoli. Analisis korelasi dihitung menggunakan Analisis Korelasi Pearson dengan metode komputerisasi SPSS Ver.16.00.
Menurut Sugiyono 2005, tingkat hubungan nilai Indeks Korelasi dinyatakan sebagai berikut:
Interval Koefisien Tingkat Hubungan
0,00 – 0,199
Sangat rendah 0,20
– 0,399 Rendah
0,40 – 0,599
Sedang 0,60
– 0,799 Kuat
0,80 – 1,00
Sangat kuat
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Parameter Fisik Kimia Perairan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh nilai faktor fisik kimia perairan pada setiap stasiun seperti pada Tabel 4.1. berikut:
Tabel 4.1.
Faktor Fisik-Kimia Perairan tiap Stasiun Penelitian
No. Parameter
Satuan Stasiun 1
Stasiun 2 Stasiun 3
1. Suhu
◦C 29
30 29
2. pH
7,9 7,6
8 3.
Salinitas ooo
37 33
29 4.
Intensitas Cahaya Candella
492 x 200.000 395 x 200.000
360 x 200.000 5.
Penetrasi cahaya m
1,12 0,83
0,61 6.
Kejenuhan Oksigen 81,152
79,681 82,461
7. DO
mgl 6,2
6 6,3
8. BOD5
mgl 1,2
1 1,3
Keterangan: a. Stasiun 1
: aktivitas nelayan 01
o
20’18,1” N dan 097
o
35’15,9” E b. Stasiun 2
: Pemukiman penduduk 01
o
20’16,75” N dan 097
o
35’20,6” E c. Stasiun 3
: pertanian 01
o
20’16,76” N dan 097
o
35’25,50” E
Tabel 4.1. menunjukkan bahwa faktor fisik kimia setiap stasiun dapat mempengaruhi suatu perairan. Berdasarkan data tersebut juga terlihat jumlah
setiap faktor fisik kimia cukup bervariasi. Faktor fisik dan kimia sangat dibutuhkan dalam suatu ekosistem dan akan mempengaruhi kehidupan alga hijau
dan alga coklat.
4.1.1. Suhu
Hasil pengukuran menunjukan bahwa suhu air berkisar antara 29-30
o
C. Kisaran suhu pada ketiga stasiun penelitian ini tidak jauh berbeda, suhu tertinggi terdapat
pada stasiun 2 sebesar 30
o
C dan pada stasiun 1 dan 2 adalah sebesar 29
o
C. Perbedaan suhu pada lokasi penelitian ini disebabkan perbedaan intensitas cahaya
yang masuk ke air. Menurut Welch dalam Basmi 1999, tingginya suhu air berkaitan dengan besarnya intensitas cahaya matahari yang masuk ke perairan,
karena intensitas cahaya yang masuk menentukan derajat panas. Semakin banyak sinar matahari yang masuk maka suhu semakin tinggi dan bertambahnya
kedalaman akan mengakibatkan suhu menurun.
4.1.2. pH
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada stasiun 3 diperoleh nilai pH yang tertinggi sebesar 8,0 sedangkan nilai pH terendah terdapat pada stasiun 2
sebesar 7,6. Tingginya pH pada stasiun 3 ini disebabkan banyaknya alga yang melakukan fotosintesis pada stasiun ini sehingga diduga bahwa laju fotosintesis
pada stasiun ini juga tinggi dimana proses fotosintesis bergantung pada ketersediaan karbondioksida pada perairan dan juga cahaya matahari yang masuk.
Menurut Barus 2004, pada proses fotosintesis, karbondioksida bersamaan dengan air dengan bantuan cahaya matahari dan klorofil akan menghasilkan bahan
organik dan oksigen sehingga pada perairan yang memiliki laju fotosintesis yang tinggi akan dibutuhkan sejumlah karbondioksida yang banyak. Peningkatan laju
fotosintesis ini akan mengakibatkan pH air juga meningkat, karena nilai pH pada suatu perairan akan berfluktuasi sesuai dengan dinamika fotosintesis yang terjadi.
Menurut Nana dan Putra 2011, nilai pH yang tinggi terjadi di perairan dengan kandungan alga yang tinggi juga dimana proses fotosintesis
membutuhkan banyak CO
2
. Oleh sebab itu, pH pada stasiun 2 rendah disebabkan rendahnya proses fotosintesis yang terjadi karena alga yang melakukan
fotosintesis pada stasiun ini hanya sedikit dibandingkan dengan stasiun 3.
4.1.3. Salinitas
Nilai salinitas yang diperoleh dari ketiga stasiun penelitian berkisar antara 29-37
00
. Salinitas tertinggi diperoleh pada stasiun 1 sebesar 37
00
, sedangkan nilai salinitas terendah diperoleh pada stasiun 3 sebesar 29
00
. Tingginya salinitas pada stasiun 1 ini dikarenakan stasiun ini berada jauh dari muara sungai dan
sedikitnya sungai yang bermuara pada perairan ini. Rendahnya salinitas pada stasiun 3 ini disebabkan stasiun ini berada dekat dengan muara sungai. Hal ini
sesuai dengan yang dikemukakan oleh Nontji 1993, salinitas akan menurun rendah di perairan pantai karena terjadi pengenceran, misalnya karena pengaruh
aliran sungai.
4.1.4. Intensitas Cahaya
Intensitas cahaya yang diperoleh dari hasil penelitian diketahui bahwa intensitas cahaya yang tertinggi terdapat pada stasiun 1 aktivitas nelayan yaitu 492 Candela
dan yang terendah di temukan pada stasiun 3 sebesar 360 Candella. Tingginya intensitas cahaya pada stasiun 1 ini dikarenakan lokasi ini merupakan daerah
aktifitas nelayan sehingga lebih terbuka dan cahaya yang masuk ke badan air tidak terhalang sedangkan stasiun 3 memiliki nilai intensitas cahaya yang rendah
dikarenakan stasiun ini terdapat pepohonan yang menyebabkan cahaya terhalang masuk ke air.
Menurut Barus 2004, vegetasi yang ada di sepanjang aliran air juga dapat mempengaruhi intensitas cahaya yang masuk ke dalam air, karena tumbuh-
tumbuhan tersebut juga mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi cahaya matahari.
4.1.5. Penetrasi Cahaya
Nilai Penetrasi cahaya yang diperoleh dari ketiga stasiun penelitian berkisar 0,61-1,12 m. Penetrasi cahaya tertinggi terdapat pada stasiun 1 daerah
aktivitas nelayan sebesar 1,12 m, sedangkan penetrasi cahaya terendah terdapat pada stasiun 3 sebesar 0,61 m. Rendahnya penetrasi cahaya pada stasiun 3 ini
dikarenakan stasiun ini terlihat lebih keruh dibanding stasiun 1 yang terlihat lebih jernih sehingga cahaya tidak terhalang masuk ke dalam air. Menurut Agusnar
2007, padatan tersuspensi menyebabkan tingkat kejernihan menurun sehingga akan mengurangi penetrasi cahaya kedalam air kemudian Menurut Sutika 1989,
kemampuan daya tembus sinar matahari ke perairan sangat ditentukan oleh warna perairan, kandungan bahan
–bahan organik maupun anorganik yang tersuspensi dalam perairan, kepadatan plankton, jasad renik dan detritus.
Menurut Atmadja 1999, semakin jernih suatu perairan maka semakin lebih banyak cahaya yang menembus perairan dan memperlancar proses
fotosintesis yang mengakibatkan berlimpahnya tanaman fotosintetik yang tumbuh pada perairan tersebut.
4.1.6. DO Dissolved Oxygen
Berdasarkan hasil pengukuran DO yang dilakukan diperoleh nilai oksigen terlarut antara 6,0-6,3 mgl pada setiap stasiun penelitian. Nilai oksigen terlarut
yang tertinggi pada stasiun 3 sebesar 6,3 mgl. Nilai oksigen yang terendah terdapat pada stasiun 2 sebesar 6 mgl. Hal ini disebabkan oleh suhu yang tidak
terlalu tinggi pada stasiun 3 sehingga oksigen yang digunakan untuk penguraian secara aerob hanya sedikit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sastrawijaya 1991,
suhu mempunyai pengaruh besar terhadap kelarutan oksigen, jika suhu naik maka oksigen di dalam air akan menurun. Oksigen terlarut bergantung kepada suhu,
kehadiran tanaman fotosintetik, tingkat penetrasi cahaya yang bergantung kepada kedalaman dan kekeruhan air, tingkat kederasan aliran air, jumlah bahan organik
yang diuraikan dalam air seperti sampah, ganggang mati atau limbah industri. Jika tingkat oksigen terlarut rendah, maka organisme aerob akan menguraikan bahan
organik dan menghasilkan bahan seperti metana dan hidrogen sulfida. Menurut Asmara 2005, Jika nilai pH di laut bersifat asam berarti
kandungan oksigen terlarut rendah. Hal ini akan mempengaruhi kegiatan mikroorganisme dalam proses dekomposisi bahan organik. Limbah dari kegiatan
domestik dan pertanian yang umumnya mengandung bahan organik bila memasuki perairan dapat mempengaruhi nilai kelarutan oksigen dalam air
tersebut. Kelebihan nitrogen dan fosfor dalam air yang berasal dari limbah rumah tangga menyebabkan suatu keadaan yang tidak seimbang di lapisan permukaan
laut, konsentrasi gas oksigen sangat bervariasi dan sangat dipengaruhi oleh suhu makin tinggi suhu, makin berkurang tingkat kelarutan oksigen.
4.1.7. BOD
5
Biological Oxygen Demand
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa nilai BOD yang tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 1,3 mgl, dan yang terendah terdapat pada stasiun 2 sebesar
1 mgl. Hal ini disebabkan karena stasiun 3 ini merupakan daerah pertanian sehingga oksigen yang terlarut dalam air banyak digunakan untuk menguraikan
senyawa organik yang berasal dari pertanian tersebut maka jumlah oksigen yang terlarut dalam air akan mengalami penurunan, dimana nilai BOD sangat
dipengaruhi oleh nilai DO.
Menurut Kristanto 2002, BOD menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk menguraikan atau mengoksidasi bahan-
bahan buangan di dalam air. Jika konsumsi oksigen tinggi, yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut dalam air, maka berarti kandungan
bahan buangan yang membutuhkan oksigen adalah tinggi. Menurut Agusnar 2007, bahan-bahan buangan yang memerlukan oksigen terutama terdiri dari
bahan-bahan organik dan mungkin beberapa bahan anorganik. Polutan semacam ini berasal dari berbagai sumber seperti kotoran hewan maupun manusia,
tanaman-tanaman mati atau sampah organik, bahan-bahan buangan industri dan sebagainya.
4.1.8. Kejenuhan Oksigen
Nilai kejenuhan oksigen tertinggi dari hasil penelitian terdapat pada stasiun 3 sebesar 82,461 dan terendah pada stasiun 2 sebesar 79,681. Tingginya nilai
kejenuhan oksigen pada stasiun 3 ini dipengaruhi oleh tingginya nilai DO pada stasiun tersebut sedangkan pada stasiun 2 nilai kejenuhan oksigennya rendah yang
dikarenakan oleh suhu yang tinggi pada stasiun tersebut. Menurut Barus 2004, Untuk dapat mengukur tingkat kejenuhan oksigen suatu perairan, maka disamping
mengukur konsentrasi oksigen dalam mgL, diperlukan pengukuran temperatur dari ekosistem air tersebut, kehadiran senyawa organik akan menyebabkan
terjadinya proses penguraian yang dilakukan oleh mikroorganisme dan berlangsung secara aerob, artinya membutuhkan oksigen. Peranan temperatur
sangat penting untuk diamati terutama dalam kaitannya untuk menilai kandungan oksigen dalam suatu perairan yang diukur. Kualitas dari suatu perairan dapat
dikatakan cukup bersih dan terbebas dari senyawa organik disebabkan karena pada perairan tersebut tidak terjadi defisit oksigen.
4.2. Jenis Chlorophyta alga hijau dan Phaeophyta alga coklat